Selasa, 22 Juli 2008

EKORELIGI: Kombinasi ekologi plus agama, atau Apa?

Dear sahabat bloggers,

Saya ingin sahabat membaca posting dari Wilmana berikut ini yang merupakan kelanjutan dari postingnya Norman. Dua orang ini adalah sosok yang berbeda.....ssssuuuweeeeerrrrr.......Norman adalah penerus DNA saya sedangkan Wilmana adalah ......sahabat blogger...... sekaligus tokoh yang sebentar tampil .........protagonis........sebentar .....antagonis.......ha ha ha ha....(herannya, saya yang malah dituduh Wilmana dkk. sebagai pemabuk ha ha ha ha) . Apa yang ditawarkan Wilmana kali ini? Jikalau di posting Norman si Wilmana berbicara tentang moralitas maka di posting inilah akan terkuak apa maunya Wilmana. Mau tahu? ....ya baca sendiri dooooonggggggg......(Judul dan isi tulisan tidak saya ubah apapun).

Beberapa waktu yang lalu, sekilas saya menonton acara di salah satu TV swasta yang menayangkan kilas lomba film dokumenter. Satu Peserta mengangkat tema yang menarik yaitu, “ekoreligi”. Wah apalagi nih? Jadi ingat ajaran NASAKOM oleh Bung Karno, nasionalisme-agama-komunisme, sebagai jalan tengah terhadap pertikaian tiga ideologi yang menguasai peta perpolitikan di era orde lama. Ternyata bukan!!

Dalam penjelasannya, Peserta tersebut kurang lebih menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ekoreligi adalah langkah-langkah praktis dalam ritual-ritual keagamaan yang menunjukkan keberpihakan pada likungan. Nah, menarik kan? Dalam tayangannya, film tersebut memperlihatkan adegan ijab kabul, di mana mahar yang diajukan oleh mempelai laki-laki adalah bibit pohon berjumlah 40 yang akan ditanam di lahan terbuka dan tentu, dipelihara hingga tumbuh dan berkembang baik.

Ini ide yang sungguh menggugah, karena benar-benar sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam konsepnya. Bayangkan, dalam adegan tersebut, semua pihak terutama keluarga mempelai perempuan dengan enteng memperlihatkan sikap yang ikhlas dapat menerima sebagian harta mahar yang harusnya diterima sebagai “upah” capek-lelah melahirkan dan membesarkan anak perempuannya, diganti dengan bibit tanaman. Ide yang cerdas, sayangnya ketika diganggu oleh Juri bahwa jika di kemudian hari sang mempelai pria ingin melangsungkan perkawinan kedua hingga keempat, apakah masih harus menanam pohon juga, dan kira-kira berapa banyak pohon? Sayangnya juga, tidak ada penjelasan dari si Konseptor mengenai dalil yang pas sebagai landasan bagi kemungkinan ide tersebut direalisasikan. Padahal inilah yang menurut saya paling penting dari suatu ide atau konsep. Karena ide yang baik, tidak boleh hanya sebatas ide, tapi harus bisa direalisasikan dengan mudah.

Karena itu lewat tulisan ini, saya ingin memicu kita untuk mencari tahu, sejauhmana agama bisa turut lebih aktif mendorong upaya-upaya pelestarian lingkungan. Tentu dari kacamata awam, karena saya ini bukan seorang teolog. Lalu, karena saya seorang penganut agama kristen, maka tentu kasus yang saya angkat adalah kasus agama kristen.

Para sahabat Pembaca, saya kira kita semua tahu bahwa agama manapun saat ini, pasti meletakkan dasar-dasar dogmanya pada kitab suci. Artinya, dari kitab suci kita dapat menemukan dalil-dalil yang menjadi dasar bagi keyakinan iman yang ingin dibangun oleh agama tersebut dan kemudian diajarkan kepada para penganutnya. Kitab suci biasanya berisi seribu satu macam hal yang terkait dengan tata kehidupan keagamaan dari para Penganutnya.

Kebanyakan kitab suci berisi hukum-hukum agama, prosedur ritual, dan kisah-kisah yang sarat dengan nilai-nilai kebajikan yang dapat juga dijadikan dasar bagi hukum agama. Kitab suci juga berbicara tentang TUHAN dan karya-Nya sepanjang sejarah, dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan negara, dan aspek-aspek kehidupan lainnya, termasuk alam dan sumberdaya alias lingkungan. Semuanya itu seringkali dirangkum dalam satu frasa terkenal, “JALAN KESELAMATAN”. Artinya, barang siapa yang dengan cerdas mengikuti informasi dalam kitab suci, maka dia pasti sedang berasa di jalan menuju keselamatan kekal. Selamat di segala alam.

Dalam kitab suci kristen, ada sekian banyak ayat suci yang terkait dengan lingkungan. Kitab suci menyampaikan bahwa Tuhanlah yang menciptakan langit-bumi dan segala isinya (bnd: Kej pasal 1). Karena itu, Tuhan berkuasa atas alam (bnd: Zakaria 10:1). Dan, rupanya Tuhan telah memberi kuasa kepada manusia untuk menjadi “Boss sekaligus Pelayan” atas alam dan sumberdaya. Dalam rangka itu, manusia boleh memanfaatkannya sesuai kebutuhan manusia (bnd: Kej 1:28-30; Kej 9:3). Memanfaatkan sesuai kebutuhan artinya, Tuhan melarang manusia untuk secara serampangan merusak lingkungan yang pada akhirnya berdampak buruk bagi manusia juga (bnd: Ulangan 20:19-20; Ulangan 22:6). Meski jelas sudah hubungan manusia dengan alam dan sumber daya, namun dalam perenungannya, Penulis kitab Mazmur bahkan terheran-heran sambil mempertanyakan soal pemberian kuasa atas alam kepada manusia.

Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya (Mazmur 8:4-7). Demikianlah tulis Pemazmur.

Saya pikir, pertanyaan Pemazmur ini ada benarnya. Karena manusia, dalam kapasitasnya, justru dikenal paling bandel terhadap Tuhan, dibanding ciptaan lainnya. Tetapi, kok malah ditunjuk sebagai yang paling berkuasa? Bahkan rasanya tidak ada orang yang membantah jika saya katakan bahwa kerusakan lingkungan yang sekarang ini muncul dalam isu-isu global warming, adalah akibat penyalahgunaan kekuasaan yang Tuhan berikan kepada manusia.

Jika ikut logika keadilan manusia, paling tidak tumbuh-tumbuhan yang paling layak, karena paling “manis” sikapnya. Gak pernah bertindak aneh-aneh, bahkan dari hidup sampe mati gak pernah ke mana-mana. Tapi bisa jadi inilah yang menjadi handicap tanaman sehingga tidak dipilih sebagai yag berkuasa. Binatang juga punya handicap yaitu akal budinya kurang jalan, ketimbang manusia. Tapi, faktanya justru dengan akal budi itulah manusia terlibat banyak aksi-aksi merusak lingkungan. Dengan akal budinya, manusia mengeksploitasi alam untuk memenuhi nafsu manusiawi. Oh, berarti manusia melupakan hati-nurani yang Tuhan berikan sebagai kontrol terhadap mental manusiawi yang lebih bengis dari nafsu binatang. Binatang membunuh sekedar untuk dimakan, manusia dengan akalnya membunuh untuk bersenang-senang. Jadi, maunya Tuhan adalah akal budi dan hati nurani disinergikan, tapi manusia malah mensinergikan akal budi dengan nafsu egois.

Karena itu, manusia perlu senantiasa merevitalisasi perannya bagi alam ini dalam kapasitas dirinya sebagai umat TUHAN. Manusia perlu merefleksikan kembali secara terus-menerus akuntabilitasnya terhadap kelanjutan kehidupan di muka bumi ini. Agar rasa cinta bumi yang TUHAN taruh di hati nuraninya, tidak tertutup oleh nafsu angkara yang menjadikan dirinya sebagai pusat segalanya. Dalam konteks Umat TUHAN, manusia hanyalah satu dari sekian banyak ciptaan TUHAN. Sebagaimana ciptaan lainnya, manusia Tuhan taruh di bumi tentu ada peran dan fungsinya yang khas. Karena itu, TUHAN-lah yang menjadi pusat dari aktifitas dan kehidupan segala citpaan-Nya. Semua ciptaan, tidak terkecuali manusia harus menjalankan peran dan fungsinya demi memenuhi amanah dari TUHAN. Saya yakin, pencerahan seperti ini akan menjadi landasan bagi berkembangnya motive cinta bumi dalam diri manusia. Motive cinta bumi yang kuat ini saya yakini dapat membimbing manusia pada pemikiran dan tindakan yang ramah lingkungan. Jika alur berpikir ini dianggap OK, maka masalahnya tinggal menemukan metode bagi upaya menumbuhkan motive cinta bumi.

Baiklah, para sahabat Pembaca sekalian, kembali ke laptop. Dari kenyataan di atas, nampaknya ide untuk bikin konsep ekoreligi bukanlah sekedar mimpi kaum agamis yang ingin maksa dogma agamanya. Karena tidak ada salahnya jika dalil-dalil agama yang mengatur kewajiban umatnya bagi kelestarian lingkungan, diangkat dalam serial khotbah-khotbah secara berkala dengan tema cinta bumi. Bahkan diikuti dengan langkah-langkah nyata berupa aksi tanam pohon di rumah masing-masing, hemat energi di segala aras, mengubah sampah menjadi sahabat lingkungan, dan lain-lain.

Melenyapkan sampah dari muka bumi memang tidak mungkin. Di Jakarta saja, jika setiap kali makan setiap orang menyisakan 1 butir nasi di piring makannya, maka setiap hari ada 10,000,000 x 3 = 30,000,000 butir nasi sampah. Bayangkan jika setiap orang menyumbang 10 butir nasi terbuang di piring makannya. Ini baru sampah berupa butir nasi, blom lagi jenis sampah yang lainnya. Mengubah sampah menjadi kompos adalah cara yang sederhana dan mudah serta sangat bermanfaat. Bukan hal yang mustahil jika setiap rumah bersedia melakukan hal ini, kan? Tinggal niatnya aja.

Kembali lagi ke laptop. Penggunaan dalil-dalil agama untuk mendorong kesadaran cinta bumi, nampaknya bakal lebih efektif lagi bila diterapkan pada lingkungan masyarakat yang punya ciri gampang terpengaruh oleh jargon-jargon agama. Nah, kita tahu bahwa dalam kondisi masyarakat Indonesia yang belakangan ini selalu didera kesulitan dan badai kemiskinan serta ketidakpastian dalam segala aspek kehidupan yang terus meningkat, ada kecenderungan masyarakat menjadikan agama sebagai tempat pelarian. Hal ini bisa berdampak negatif tapi juga ada positifnya.

Karena itu, daripada kecenderungan ini dilarang atau sekedar disikapi secara sinis, maka mendingan dilakukan pendekatan dengan ide/konsep ekoreligi ini. Karena bukan hanya dalam kristen, tapi dalam agama lain, islam misalnya, kewajiban ramah lingkungan juga ada hukumnya. Karena islam punya doktrin untuk menjadi “rahmatan lil alamin”.

Kalo begitu, tunggu apa lagi? Kita ini kan akhirnya hanya punya dua pilihan. Pertama, mau berubah sekarang karena kesadaran sendiri atau; Kedua, tunggu sampai dipaksa oleh keadaan? Hati-hati!!

Yang terakhir itu ada risikonya yaitu, jika sudah terlambat maka biaya mahal yang dikeluarkan hanya untuk menunda kiamat, sehingga sesalpun tiada gunanya lagi.

45 komentar:

Anonim mengatakan...

wah... saya pertama nih.

wah yang kedua, saya sudah dibantu wilmana nih atas pertanyaan di tulisan saya sebelumnya. saya baca-baca dulu yah, nanti baru saya bertanya kepada anda, karena saya tertarik pada tulisan bos wilmana ini. tapi berhbung ada sedikit kesibukan, biarlah besok saja.

(norman)

Anonim mengatakan...

@Wilmana kebetulan saat ini sy sedang sepakat dg anda dlm hal yg paling penting hrs bisa direalisasikan dg mudah.
Sayangnya, sy belum mampu nemu penjelasan anda yg mudah dicerna utk menjawab persoalan yg anda anggap paling penting tsb. Ecgh, sy tak sedang menyikapi scr sinis lho, maka mendingan bagi2 dong tips n trik2-nya agar konsep ini bisa direalisasikan dg mudah (dg sikon saat ini).

~JM~

Anonim mengatakan...

@ Bigmike
Terima kasih banyak kepada bigmike yang meskipun Kristiani tetapi mampu menghargai iman sahabat bloggers yang lainnya. Ya, meskipun posting ini bukan posting anda tetapi bukankah hanya karena anda berkenan maka osting ini boleh terpampang di sini. Sekali lagi, kita satu aliran yaitu Nasionalis (tapi tidak bermata gelap seperti Anak NKRI).

Konsep Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin bermakna bahwa Islam dihadirkan Allah SWT sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta. Dalam artian, ya manusia nya ya alam lingkungannya. Akan tetapi secara khusus manusia diciptakan Allah SWT dengan tugas khusus yaitu sebagai khaliah di muka bumi. Manusia diberi hak prerogatif dan otokrasi manusia atas apa yang ada di alam. Sebagai khalifah, manusia oleh Allah SWT dibekali dengan ajaran-ajaran yang membawa umat manusia menuju kemuliaan hidup di dunia dan akhirat. Inilah hakekat dari ajaran Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Berdsarkan prinsip ajaran ini maka saya setuju dengan Wilmana bahwa pengelolaan lingkungan hidup harus mempunyai dasar moralitas. DAN sebagai umat beragama kita bisa mendasarkannya pada ajara agama kita masing-masing. Saya yakin, meskipun kita berbeda tetapi inti ajaran agama kita akan menuntun kita pada apa yg menjadi ”perjuanagn Bigmike, yaitu kita seharusnya mampu berbagi kasih baik kepada sesama maupun kepada alam lingkungan kita.

Unstu sahabatku Bigmike, semoga cepat sembuh (Syamsudin)

Anonim mengatakan...

Betttoollllll, kali ini Wilmana sedaang waras. Postingnya bagus. Gw setuju, Tapi kalo di ganngu A9ust apa Wilmana enggak cemen ya????? ha ha ha Slam damai Peace maaaaannnn (Proxy73)

Anonim mengatakan...

@ Wilmana,

Meskipun sahabat telah mengajukan satu hipotesis yaitu ekoreligi tetapi pertanyaaan yang diajukan oleh bigmke pada posting sebelumnya belum terjawab tuntas? Dapatkah kita mengandalkan individu? Dalam konteks religi, bagaimana cara agama mengendalikan individu? Diserahkan kepada Kasih Allah atau juga diperlukan upaya manusia. Saya mengingatkan bahwa pertanyaan bigmike adalah pertanyaan yang sangat dalam dan "menjebak" (Patrice)

Anonim mengatakan...

@ Bigmike dan @ Syamsudin

Ada pula ayat yang indah yang dapat digunakan untuk justifikasi bagaimana kita manusia harus merawat lingkungan hidup:

“Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakannya pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya.” (QS. 15 : 19-20)

(Suryana)

Anonim mengatakan...

-Buat Mas Wilmana & Semua

Rupanya kegamangan kita dalam ranah praktis membuat kita 'lari' ke, (bersembunyi?) dalam confort zone, moralitas agama, kalau-kalau disana ada jawaban bagi persoalan kekinian terkait isu pemanasan global.

Karena msh 'fresh' dari posting sebelumnya, saya sekedar ingin mengingatkan kata bijak mas bonggo bahwa apapun itu, TANPA AKSI, dia adalah utopia. Ini mengingatkan saya argumen mas NK ttg Pancasila yg dibela mati-matian oleh Mas Wilmana sendiri dan konco-konconya.

Pd posting yg lalu, mas bonggo mengajukan 2 pertanyaan penting yg TIDAK TERJAWAB. Sudah bukan rahasia lagi kalau kami adalah manusia yg teramat gemar memakai jargon agama untuk segala hal. Dan lihatlah, ayat suci sudah mulai bermunculan. TAPI LALU APA??? Bisakah kita lalu lebih bijak menjawab persoalan di level pragmatis praktis spt yg diajukan mas bonggo???

Cerminan ini HARUSLAH memampukan kita mencari MISSING LINK, gap yg begitu luas dan dalam antara JARGON AGAMA dan AKSI NYATA dan bagaimana MENYAMBUNG keduanya agar selaras menghadapi sekaligus menjawab persoalan rumit ribet saat ini.

Hanya dgn cara inilah kita bisa keluar dari lingkaran setan UTOPIS atau betul kata filsuf tua, AGAMA HANYA CANDU BAGI MANUSIA???

-Carpe Diem-

Anonim mengatakan...

Hari ini adalah Hari Anak Sedunia. Mari kita selamatkan lingkungan demi anak2 kita. Buatlah sesuatu mulai dari diri kita sendiri seperti kata Norman.(NN)

Anonim mengatakan...

Agama adalah candu dunia. Agama adalah candu? kata-kata itu mengingatkan kita semua pada jargon kaum komunis. Mengapa CD malah seperti skeptis denga ekoreligi dan menawarkan kekafiran sebagai solusi? Ada apa ini? Saya teringat NK yng berepa waktu lalu mewacanakan anti pancasila. Ah, moralitas ganti kulit ular ini namanya. KIta sih jelas alam semesta diciptakan Allah SWT dan sebagai kafilah tugas anda dan kita semua menjaganya. Jika tidak maka tersedia kutuk neraka sebagai ganjarannya. Camkan itu (Scholihin-IHIN)

Anonim mengatakan...

Oh iya, Selamat Hari Anak 23 Juli 2008. Selamatkan lingkungan karena anak-anaklah yang menjadi pemilik bumu dna masa depannya (Scholihin-IHIN)

Anonim mengatakan...

Kayaknya gw mendukung Wilmana tapi tolong Wilmana menjawab terlebih dahulu apakah ada korelasi antara perilaku beragama dengan keperdulian. Skrang ini, orang selesai sholat bisa merusak rumah ibadat orang lain kok. Pengunjung rumah ibadat meluber tapi kok kelakuan semakin ora genah. Koruptor bertambah-tambah. Apa ada jaminan bahwa dengan berbekal ayat, orang bisa menyelamatkan lingkungan? (Ghentenx, SYDN)

Anonim mengatakan...

-Buat Mas Scholihin-IHIN,

Komentar anda sekedar memperlihatkan KEDANGKALAN berpikir. Pd bagian manakah dari komentar saya yg merupakan SOLUSI KEKAFIRAN???

MALUKAH anda terhadap org-org yg anda cap KAFIR tapi bertutur, berpikir dan bertindak ISLAMI??? Saya lihat anda ikut-ikutan mengucapkan SELAMAT HARI ANAK SEDUNIA. MALUKAH anda saat diberitahu kalau org KAFIR lah yg 'menciptakan' EARTH DAY, SAVE THE PLANET, PLANET HOUR, bahkan WORLD CHILDREN'S DAY. Khusus yg terakhir, PBB pd tahun 1954 memperkenalkan Hari Anak Sedunia. Pada 20 November 1959, PBB mendeklarasikan hak-hak anak-anak. Indonesia??? UU No:23 tentang Perlindungan Anak dikeluarkan tahun 2002. Mengapa TELAT sekali???

Kalau 'gugatan' saya diatas terasa BERAT untuk dijawab, silahkan jawab pertanyaan ringan mas Ghentenx, SYDN.

-Carpe Diem-
Yang beragama tp TIDAK NYANDU ayat kitab lalu LUPA aksi nyata.

Anonim mengatakan...

@all

Trims atas komentar2nya. Sangat positif, terutama pemerkayaan dari @Syamtua dan Kang Ihin. Bhw kang Ihin ada beda persepsi dg Bung CD, sy cm ingatkan sj syair Bill Skahespeare, "There is nothing either good or bad position, but thinking makes it so".
Krn itu, teruskan berkomunikasi sampe kalian mjd terbiasa dg perspektif dan karakter masing-masing. Pasti bisa asal jgn lupa 3 kata kunci, 'tolong', 'maaf', 'trima kasih'.

Trima kasih jg buat para sahabat yg sdh mengajukan pertanyaan2 yg menarik. Sy punya jurus maut warisan Locianpwe Bu Tek Siansu... Tp msh menunggu bbrp saat lg. Sy hrs segera pergi meeting, jd yg menanti jawaban, mohon bersabar, yaa...

(Wilmana)

Anonim mengatakan...

-Buat Mas Wilmana

Baiklah, sesuai saran mas, MAAF kalau respon pd Mas Scholihin-IHIN menampakan kekesalan saya.

-Buat Mas Scholihin-IHIN

TOLONG, pd bagian manakah dari komentar saya yg merupakan SOLUSI KEKAFIRAN???

TOLONG juga jawab bbrp pertanyaan saya diatas.

TERIMA KASIH.

-Carpe Diem-

Anonim mengatakan...

Oh yaa.. Trims jg atas ayat cinta dr Kang Nana... Sangat cinta bumi.

Salam cinta bumi,

(wilmana)

Anonim mengatakan...

Ha ha ha....

Baru kali ini Bung Wilmana berlaku spt norman, kabur dari kejaran pertanyaan para sahabat blogger. Alasannya mmg mantap, mau miting..

Padahal menurut beta jawabannya gampang saja, ikuti pola Bu Agus. Data yg ada menunjukkan bhw dengan mengubah perilaku boros energi, Indonesia dapat menghemat energi baik BBM maupun listrik minimal 10%-30%. Bbrp wkt lalu, ancaman pemadaman bergilir di Jakarta batal gara2 mendadak tjd penghematan listrik dlm jumlah besar oleh penduduk jakarta. Fenomena Jkt ini menunjukkan bhw boros energi mmg fakta keindonesiaan.

BUMN PT Energy Management (Persero) melaporkan bhw elastisitas energi Indonesia sekitar 1,84 - 2 kali. Bandingkn dg Malaysia (1,69 kali), Thailand (1,16 kali), bahkan Jepang sekitar 0,1 kali. Artinya, dg elastisitas spt itu, mk utk menaikkan laju pertumbuhan menjadi 6%, Indonesia perlu konsumsi energi dua kali lipatnya yaitu, 12% (Media Indonesia 28/07).

Jadi marilah kita lakukan apa saja yg bisa kita lakukan utk menghemat penggunaan energi, toh yg nikmati hasilnya kita2 jg. Orang jakarta sdh buktikan itu dg tdk hrs "menderita" akibat pemadaman bergilir terus-menerus, spt di provinsi laen. Pemerintah dg caranya, tentu sdh melakukan penghematan misalnya mengurangi subsidi BBM; melakukan pemadaman listrik bergilir, mewajibkan industri merevisi jadwal kerja, dan sebentar lg bakal menaikkan harga listrik industri. Tentu, hemat energi melalui program pemerintah ini membuat byk pihak yg berteriak menderita.

Krn itu, jk kita dg kesadaran sendiri melakukan penghematan, tentu lbh enak drpd hrs dipaksa keadaan melalui program2 pemerintah itu misalnya.

-bonggo-

Anonim mengatakan...

@ Carpe Diem,

Pssssstttttt.....sabaaaaarrrrr....katanya mau ngikutin jejak bigmike...kok cepat maha seeehhhh...???? Saya lia kemaren sore, bigmike malah disumpahin mampus kena stroke...eh..oangnya ketawa-ktawa ajah tuuuhhhh....

Nah, ane kutipkan bagian komentar anda yg menunjukkan ajakan kekafiran....

.....Cerminan ini HARUSLAH memampukan kita mencari MISSING LINK, gap yg begitu luas dan dalam antara JARGON AGAMA dan AKSI NYATA dan bagaimana MENYAMBUNG keduanya agar selaras menghadapi sekaligus menjawab persoalan rumit ribet saat ini........Hanya dgn cara inilah kita bisa keluar dari lingkaran setan UTOPIS atau betul kata filsuf tua, AGAMA HANYA CANDU BAGI MANUSIA???

Nah, logika dari komentar anda itu adalah jika manusia tidak berhasil mendapatkan (cara sunda teh menemukeun) missing link yang anda maksud, maka agama hanya candu....apa itu tidak ajakan menunuju kekufuran????? Abdi teu jelas, makanya kudu diterangkan yang baik nya jangan ngajak babodoran ke urang nyak!? OK kang Carpe Diem? (Abdi: IHIN)

Anonim mengatakan...

Mang Ihin,

Msh ada pertanyaan Broer CD yg blom kesentuh, tuh.

Neh, abdi copykeun:
"MALUKAH anda terhadap org-org yg anda cap KAFIR tapi bertutur, berpikir dan bertindak ISLAMI???"

"MALUKAH anda saat diberitahu kalau org KAFIR lah yg 'menciptakan' EARTH DAY, SAVE THE PLANET, PLANET HOUR, bahkan WORLD CHILDREN'S DAY."

Beta duga Brur CD coba2 mengajukan masalah religi versus humanism? Krn beta liat, byk atheis (kafir) sbg penganut humanism. Dan @CD mau bilang bhw byk humanist lbh islami drpd org islam.

Moga2 cocok dg maunya Brur CD. Kl tidak, yaa MAAF.

Terima kasih, -bonggo-

Anonim mengatakan...

Syalom Bigmike dan semuanya,

Aku Warga GKI Residen Sudirman Surabaya. Boleh nyumbang pendapat?

Di dalam Alkitab, dasar teologi tentang lingkungan hidup dapat dibaca di dalam MAzmur 104...... Semua ciptaan adalah berharga, cerminan keagungan Allah (Mazmur 104).......Kebesaran Tuhan yang Maha Agung bagi karya ciptaanNya (dalam artian lingkungan hidup) tampak dalam Mazmur 104. Perikop ini menggambarkan ketakjuban pemazmur yang telah menyaksikan bagaimana Tuhan yang tidak hanya mencipta tapi juga menumbuh-kembangkannya dan terus memelihara ciptaanNya. Ayat 13, 16, 18 dan 17 misalnya, menggambarkan pohon-pohon diberi makan oleh Tuhan, semua ciptaan menantikan makanan dari Tuhan. Yang menarik adalah bukan hanya manusia yang menanti kasih dan berkat Allah tapi seluruh ciptaan (unsur lingkungan hidup). Di samping itu penonjolan kedudukan dan kekuasaan manusia atas ciptaan lainnya di sini tidak tampak. Itu berarti bahwa baik manusia maupun ciptaan lainnya tunduk pada kemahakuasaan Allah. Dalam ayat 30, secara khusus dikatakan: “Apabila Engkau mengirim roh-Mu, mereka tercipta, dan Engkau membaharui muka bumi.” Kata “roh” seringkali dikaitkan dengan unsur kehidupan, atau hidup itu sendiri. Ini berarti seluruh makluk ciptaan di alam semesta ini diberikan unsur kehidupan oleh Tuhan. Ayat ini jelas menunjukan bahwa bukan hanya manusia yang diberi kehidupan tapi juga ciptaan lainnya. Betapa berharganya seluruh ciptaan di hadapan Tuhan. Roh Allah terus berkarya dan memberikan kehidupan. Jadi, sikap eksploitatif terhadap alam merupakan bentuk penodaan dan perusakan terhadap karya Allah yang agung itu.

Semoga Firman Tuhan tadi mendatangkan berkat bagi kita semua. Amin (Esther, Surabaya)

Anonim mengatakan...

Nambah ahh...

Kembali beta niru Bu Agus, ada data yg menunjukkan bhw ada jg org beragama yg lbh atheis sikapnya drpd kaum humanis. Koran Sindo 27 November 2007 memberitakan belasan bocah ditangkap polisi krn tiga kali beramai-rame memperkosa rekannya sendiri. Celakanya mereka melakukan itu sepulang belajar ngaji.

Bbrp hari ini hati kita miris melihat sepak terjang Guru ngaji di Masjid Baiturrahman Jombang, Very alias Ryan yg mjd kejam dan bengis gara2 cinta sejenis plus serakah sama harta pr korban.

Lengkap sdh, satunya guru ngaji dan lainnya santri yg belajar ngaji. Kedua pihak mempraktekkan perilaku KAFIR. Makanya @CD begitu sinis dg religi yg dicapnya "candu" itu.

-bonggo-

Anonim mengatakan...

@ Esther

Terima kasih banyak ya karean kutipan ayat-ayat Alkitabnya bagus sekali. Tuhan memberkati saudari.

Pak Mike, sorri agak lama baru muncul lagi di blog. Saya baru kembali liburan di Kefa. Sekarang suda di Jogja lagi dan masih harus berjuang 1 tahun lagi. Doakan cepat selesai (Peter, Jogja)

Anonim mengatakan...

All,

Rasanya postingan yang inipun masih kalah mutu ama posting mother earthnya my bigmike. Posting lagi dooooonggggggg....//Pritha//

Anonim mengatakan...

-Buat Mas Scholihin-IHIN,

TERIMA KASIH atas respon baliknya. Baiklah, mari kita simak ini:

1) Moralitas agama dan perilaku kita TIDAK SELARAS.

2) Agar mampu mengahadapi sekaligus menjawab persoalan rumit ribet saat ini, MENYELARASKAN 2 hal ini menjadi TERAMAT PENTING.

Kedua poin SUBSTANTIF diatas anda SETUJU, tp lalu anda cap saya memberi SOLUSI KEKAFIRAN atas bahasa kiasan yg saya pakai, agama bak candu saat kita gagal menyelaraskan moralitan keyakinan dan sikap kita. Saya bisa mengerti SENSITIFITAS anda walau saya teramat bingung dimana solusi kekafirasn saya itu. Ilmu tafsir anda sedikit ngawur.

Tapi baiklah, saya ingin bertanya lagi. Dari tahun ke tahun, BERHASIL atau GAGALKAH kita menyelaraskan moralitas agama dan sikap??? Kalau anda dpt menjawab ini, saya akan mengajukan pertanyaan follow up. Semoga anda tidak melarikan diri. JANGAN LUPA juga menjawab bbrp pertanyaan saya sebelumnya!!!

-Buat Mas Bonggo

Saya seorang humanis tetapi bukan humanisme yg lahir pd masa 'pencerahan' abad 17 & 18 oleh pemikir spt Voltaire, Jean-Jacques Rousseau, Denis Diderot David Hume dkk yg amat populer sampai saat ini. Saya adalah penganut paham humanisme oleh filsuf tua yg mengajar saya ini:

"Thou shalt love thy neighbor as thyself"

-Carpe Diem-

Anonim mengatakan...

@ Carpe Diem,

Ahaaaaa, blog ini kembali menyenangkan karena setelah jeweran terakhir dari BM semuanya berusaha berdiskusi secara bernas sehingga masalah tidak berlarian meliar kemana-mana. Kata bigmike: diskusi jangan menjadi tempat menyebar kebencian dan dendam. Anda lulus dalam hal itu. Jawaban anda terhadap Mang IHIN bagus dan jernih.

@ Mang IHIN

Saya enggak tahu anda orang baru atau lama. Tetapi kami di sini, sudah sepakat untuk berdiskusi tanpa menuduh. Meski anda berusaha menghindar tetapi bau-bau tuduhan ada di dalam komentar anda. Tetapi baiklah, kita semua berproses.

@ Esther,

Saya pernah beribadat di GKI Ressud. Suasananya meneduhkan. Mungkin karena itu, ulasan teologia lingkungan anda amat baik. Mungkin bisa mereferensi juga kepada tulisan PDT. Robert Borong.

Nah, saya sendir di mana posisinya? Saya sepakat dengan Bigmike. Kasih yang kuat tetapi lemah lembut akan menyelesaikan banyak hal. Termasuk masalah lingkungan hidup (Patrice)

Anonim mengatakan...

Ahh... Akhirnya msh sempat juga mampir di sini nengok para sahabat... Tapi sekali lg maaf, sy hrs segera off-line lg krn ada jadwal kuliah utk gelar profesi jam 19.00 - 22.00 WIB.

Jadi, sambil mengucapkan terima kasih atas kesediaan para sahabat utk mampir dan berkomentar, sy musti pamit dulu. Adik bonggo, sebaiknya jgn cari perkara baru... @CD sy br tau pra Voltaire, cs, sdh ada kelompok humanis.

Eh, Sampe jumpa yaa...

(Wilmana)

mikerk mengatakan...

Dear sahabat bloggers,

Percakapan di dalam psoting ini saya kira hampir mendekati klmaksnya. Kecuali beberapa catatan yang tampaknya masih harus dilakukan oleh Kang IHIN, Carpe Diem, Norman, Wilmana dan lain-lain. Saya pikir, hal ini wajar karena sesungguhnya percakapan di psoting ini hanya merupakan kelanjutan dari posting sebelumnya. Saya tidka berpretensi untuk memberikan penilaian apapun terhadap seluruh komentar yang ada kecuali satu hal, semua sungguh-sungguh berada dalam semangat yang sama, yaitu semangat persaudaraan.

Oleh karena kesimpulan di atas maka, saya ingin membuat sedikit catatan untuk kita renugkan bersama. Perenungan ini saya ambil dari syair lagu yang dahulu (jadul) pernah sangat ngetop. Di antara tahun 1978-1979 sampai awal tahun 1980-an. Pertama adalah lagu Mogi Darusman, yaitu Rayap-Rayap. Lagu ini sungguh fenomenal pada jamannya terutama karena perintah untuk mecekalnya oleh mbah Harto almarhum dan kaki-tangannya. Lagu ini berceritera tentang Kerakusan suatu kekuasaan. Saya tida pernah ragu tentang potensi Kasih yang dimiimi oleh setiap orang tetapi saya juga menyaksikan di sekitar 45 tahun umum hidup saya, yaitu betapa orang-orang baik bertumbangan justru ketika masuk ke dalam sistem. Maka preposisi saya tetap jelas. Mula-mula kita memerlukan orang baik tetapi pada saat yang bersamaan kita memerlukan sistem yang tidak kalah baiknya.

LKutipan sayair lagu ini tidak terlepas dari jasa baik sahabatt kita bersama, yaitu MR JIMI yang rajin mengumpulkan lagu-lagu yang bahkan sudah menghilang lama. Untuk itu. saya mengucapkan terima kasih yang termata banyak kepada saudara MR JIMI (www.Jiwamusik.wordpress.com). Sahabta sekalian, nimatilah syair lagu jadul ini tetapi relevansinya masih sangat kuat sampai hari ini.

Rayap-Rayap
(Mogi Darusman/Teguh Esha)

Kau tahu rayap-rayap
makin banyak dimana-mana
dibalik baju resmi
merongrong tiang negara

Kau tahu babi-babi
makin gemuk di negeri kita
mereka dengan tenang
memakan kota dan desa

Rayap-rayap yang ganas merayap
berjas dasi dalam kantor
makan minum darah rakyat

Menggemuk para rayap dalam bumi yang kian rapuh
Resahnya ibu rakyat terbantai tanpa aduh
Merayap para babi di lautan, sawah dan hutan
Menggencet anak rakyat, meremas jantung mereka

[Reff:]
Rayap-rayap yang ganas merayap
berjas dasi dalam kantor
makan minum darah rakyat

Babi babi yang gemuk sekali
dengan tentram berkembang biak
tak ada yang peduli


(Ya, begitulah sahabat: Rayap dan babi dapat berkembang biak ketika moralitas dan sistem tidak perduli. Liaze Faire. Mereka, anda dan saya membiarkan kejahatan terus berlangsung di depan mata kita. Sementara kita diam. Berpangku Tanagan)

mikerk mengatakan...

Lagu ke dua yang ibgin saya ktip adalah lagu dengan Judul Pencinta Alam yang dinyanyikan oleh Rita Ruby Hartland. Lagu ini menggambarkan moralitas paradox kita antara nilan dan fakta. Mimpinya mencintai alam. Faktanya kita merusak alam. Mimpi kita adlah bersahabat dan menebar kasih tetapi faktanya kita melempar kata hardikan dan caci maki. Oiiihhh....apakah anda heran bahwa di gereja, di Mesjid kita tanpa ragu meneriakkan asma Allah tetapi hanya berhitung menit dan jam kita tanpa malu, kemungkinan malah bangga, berubah menjadi monster kejam yang merusak. Termasuk merusak alam kita sendiri.

Lagu inipun saya kutip dari Posting sahabat kita MR JIMI di jiwamusik.wordpress.com.

Pencinta Alam
(Rita Ruby Hartland)

Pendaki gunung sahabat alam sejati
Jaketmu penuh lambang, lambang kegagahn
Memproklamirkan dirimu pencinta alam
sementara maknanya belum kau miliki

[Reff:]
Ketika aku daki dari gunung ke gunung
disana kutemui kejanggalan makna
Banyak pepohonan merintih kepedihan
dikuliti pisaumu yang tak pernah diam

Batu-batu cadas merintih kesakitan
ditikam belatimu yang pernah takayal
hanya untuk mengumunkan pada khalayak
bahwa disana ada kibar benderamu

Oh.. alam korban ke-aku-an
Oh.. alam korban keangkuhan
maafkan mereka yang tak mau mengerti
arti kehidupan

(Dapatkan anda menyangkal kebenaran subsatansi lagu ini? Esensi bung. Esensi)

Anonim mengatakan...

hei kawan wilmana, setuju gw atas pendapat anda (degha, jkta)

Anonim mengatakan...

Nah akhirnya, saya punya kesempatan sedikit utk merespon berbagai pertanyaan di sela-sela jeda wkt nunggu klien yg mau bertandang ke kantor. Tentu maksudnya utk membahas bbrp hal terkait advis sy bbrp hr lalu.

Krn tdk byk wkt, mk sy ingin mengutip komentar dr seseorang tekait isu yg sy tulis, tp sy ambil dr blog lain. Sekaligus sbg penghargaan kpd yg bersangkutan krn hari ini beliau berulang tahun. Happy birthdya, Bung.

----------------
ekoreligi adalah salah satu varian etika lingkungan. Sebenarnya, paling tua malahan karena hubungan awal manusia dengan alam digagas sebagai suatu kesatuan. Monyet, pohon dan manusia sama harganya dan semuanya dikendalikan oleh sesuatu kuasa yang tidak kelihatan. Sesuatu yang trasendens dan adikodrati. Hampir semua kearifan lokal asal muasalnya ya dari gagasan ekoreligi ini.

Ekoreligi terlupakan ketika etika lingkungan didominasi oleh etika dan falsafah antrposentris. Gagasan yg berpusat pada manusia. Bersamaan dengan semangat postmo, setelah salah satu dampak modernisasi adalah kerusakan lingkungan, orang mencoba berpaling lagi pada etika lama itu, ekoreligi. Ekoreligi mendapat sebutan baru, yaitu ekologi dalam.

Sayangnya, ekologi dalam, yang salah satunya variannya berisikan ekoreligi, harus berhadapan dengan perubahan pola-pola pikir tradisional yang mulai dipengaruhi oleh arus Cartesian yang teramat kuat. Akibatnya, ekoreligi, sama juga dengan mama kandungnya, yaitu religi, terjebak dalam ritual-ritual formal dan miskin internalisasi nilai-nilai luhur religi.

Mesjid penuh, Gereja penuh. Tapi hutan diubah menjadi pabrik, pelabuhan dan lain sebagainya. Anggota DPR dari partai religi malah korupsi pengubahan lahan. Pendeta GPIB menjual aset gereja dan membiarkan lingkungan lamanya di bangun dengan bangunan penebar freon dan komponen gas rumah kaca. Menyedihkan.

(Bahan-bahan seperti ini sudah saya bahas setebal 247 halaman sebagai karya ilmiah pra-disertasi pada matakuliah filsafat ilmu ketika menyelesaikan pendidikan S3 di PPS UGM, Jogjakarta)

(mikerk)
-------------------

Dmknlah, moga2 bisa menjawab rasa penasaran kita lewat berbagai pertanyaan yg diajukan, termasuk sejak posting norman. Msh ada bbrp hal yg ingin sy ulas, tp mungkin nanti setelah klien sy pulang.

(Wilmana)

Anonim mengatakan...

Okay sy ada wkt utk serius merespon bbrp pertanyaan berikut:

Apa sj tips utk realisasi ekoreligi? -> @Jimi

Dapatkah mengandalkan individu? Bgmn agama mengendalikan individu? Serahkan pd Allah atau perlu upaya manusia? -> @Patrice

Persoalan missing link hukum agama vs aksi nyata yg tdk selaras -> @CD

Apa korelasi perilaku beragama vs kepedulian -> @Ghentenx
---------

Sy pingin mengelompokkan pertanyaan2 di atas kpd dua kelompok persoalan yaitu, (a) masalah AKUNTABILITAS penanganan diserahkan pd individu atau negara lewat peraturan; dan (b) masalah ALIGNMENT antara peraturan (agama) dg aksi nyata umat.

Pertama, akuntabilitas. Saya setuju bahwa pada dasarnya masalah lingkungan adalah masalah bagi setiap pribadi. Karena itu alangkah idealnya jk setiap pribadi memiliki kesadaran lingkungan dan atas inisiatif pribadi membiasakan perilaku yg etis thd lingkungan di sekitarnya. Bagaimana mempromosikan kesadaran etika lingkungan spt ini, konsep ekoreligi bisa menjadi salah satu pendekatan. Knp? Krn nilai2 kebajikan agama (virtue ethics) adalah salah satu sumber etika. Perspektif virtue ethics ini rasanya perlu diajukan mengingat Indonesia adalah negara yg pluralistik dlm hal agama. Di samping itu, faktanya etika memiliki sejarah yg jauh lbh tua drpd agama dan nilai2nya selalu bersifat universal melampaui batas kotak2 bernama agama.

Lalu, apakah pendekatan regulasi tdk efektif? Nanti dulu. Sy setuju dg @Jimi bhw ini soal proporsi. Ambil contoh, ada aksi2 eksploitasi alam yg dilakukan oleh kelompok masyarakat yg terorganisasi, misalnya oleh organisasi bisnis. Maka, terhadap yg ini, jelas langkah2 proteksi lingkungan merupakan porsi negara lewat berbagai regulasinya, tentu. Kita dpt menemukan satu bbrp pasal dlm UU No 40/2007 ttg Perseroan Terbatas yg mewajibkan perusahaan utk menjalankan program corporate social responsibility, berikut ancaman sanksi bg yg membandel.

Kedua, ketidakselarasan antara nilai agama dg aksi nyata umat di lapangan. Sy setuju dg bigmike, problem agama2 adalah penyakit menjebak diri pada ritual2 formal dan melupakan proses internalisasi nilai-nilai kebajikan agama agar umat tau bgmn itu dpt dipraktekkan. Dlm konteks ini, bg sy peran agama adalah peran fasilitator bg Umat sbg pelaku. Agama menyampaikan nilai2 kebajikan dan melakukan proses internalisasi melalui berbagai moment pembinaan, di mana ritual2 formal hanyalah salah satu pendekatan dlm pembinaan itu. Krn itu, agama mjd gagal jk sibuk pamer ritual beribadah tp mengabaikan internalisasi nilai2 kebajikannya. Indikator kegagalan agama ini mudah sj diukur. Yaa ketidak selarasan itu.

Inilah yg membuat agama kristen di eropa dan amerika ditinggalkan oleh byk penganutnya yg memilih kembali ke etika. Mereka memilih mempraktekkan nilai2 kebajikan agama tdk lewat jalur formal agama. Krn itu jgn kaget byk kaum humanis tdk beragama tp justru sikapnya lbh kristiani ato spt kata @CD, "lbh islami" dr org2 FPI misalnya.

Lalu, bgmn agar nilai2 kebajikan agama dpt selaras dg perilaku umatnya? Yaa... infrastuktur agama hrs lbh fokus kpd proses internalisasi dr rukun iman-nya, bkn sekedar pamer ritual2 dan artefak fisik bagai buah apel. Mengkilap kulitnya, tp dibalik kulit itu hanya ada kebusukan. Byk fakta menunjukkan bhw agama mmg cenderung mudah dijdkan alat oleh pihak2 tertentu utk menggantungkan hidup, ato memperkaya diri, ato menggapai kekuasaan.

Kembali ke laptop.. Lalu, apakah konsep ekoreligi hanya sekedar khotbah2 lepas tnp ada kejelasan aksi2 nyata cinta bumi dari kaum utopia?

Bisa jadi. Krn agama toh cuma memfasilitasi mereka yg mau selamat. Tp, bisa jg tdk sekedar utopis jk agama bs menjamin realisasi nilai2 bajiknya. Bukan cuma menjamin, tp mjd teladan dg menyediakan wadah bg aksi2 pro-lingkungan yg nyata.

(Wilmana)

Anonim mengatakan...

@wilmana

Saya punya bbrp catatan tp berhubung urusan cari makan begitu melelahkan, malan ini saya ingin tidur. Besok siang, Insya Allah, saya akan muncul.

Salam - Carpe Diem

Anonim mengatakan...

-Buat Mas Wilmana dan 'all'

Sesuai janji, saya kembali lagi untuk mengangkat bbrp isu yg saya anggap penting.

Tulisan mas wilmana merupakan kelanjutan dari tulisan mas Norman, saling melengkapi. Mas Norman bicara hal kepraktisan sedang anda mencoba 'menggali' sistim nilainya. Yang TERAMAT MENGECEWAKAN adalah KEGAMANGAN (ketidaktahuan?) MENYAMBUNG 2 hal ini, sitim nilai dan sikap. Ambil contoh mayoritas komentar ini:

"Yah, mulailah dari diri sendiri dulu."

Atau yang ini yang teramat membingungkan bg saya:

Kasih yang kuat tetapi lemah lembut akan menyelesaikan banyak hal. Termasuk masalah lingkungan hidup (Patrice).

Apa maksudnya???

Menghadapi persoalan yg membutuhkan KEJELASAN sistim nilai dan sikap, maka saya ingin menyorot 2 hal ini: MORAL dan MORALE.

Keterpurukan MORAL yg berlangsung sangat lama, hingga detik ini, telah meluluhlantahkan SOCIAL MORALE manusia Indonesia. MORALE kita yg sudah pd 'titik nadir' ini membuat kita menjadi MASA BODOH, FRUSTASI/TDK TAHU HARUS BUAT APA LAGI atau spt sinyalamen saya itu, 'NYANDU' PD KITAP SUCI, memahaminya secara hurufiah walau tdk 'makes sense.' Kasih yg lemah lembut tapi kuat dpt mengurangi efek pemanasan global. WHAAAAAAAAAT???

Mas Wilmana, dalam MORALE yg spt ini, apapun sistem nilai, kepraktisan yg anda tawarkan, bukan lagi BISA JADI utopis. DIA ADALAH UTOPIA!!! Bagaimana memperbaikan kehancuran social morale ini???

John Calvin, pd abad 16, berhasil menyelamatkan 'social fabric' kota Geneva. Kehancuran MORALE penduduk kota akibat perpecahan dibangun melalui ECCLESIASTICAL ORDIANANCES. Perbuatan immoral dihukum sedang kebajikan didorong dan dijunjung tinggi.

Dari sejarah diatas kita belajar, wacana peduli lingkungan dll akan bermakna dan memberi 'buah' pd masyarakat yg be-'morale' sehat. Dus, walau 'kecewa' dgn diskusi disini, saya tdk kaget.

Terakhir, saya tertarik dgn statement mas wilmana ini:

Inilah yg membuat agama kristen di eropa dan amerika ditinggalkan oleh byk penganutnya yg memilih kembali ke etika. Mereka memilih mempraktekkan nilai2 kebajikan agama tdk lewat jalur formal agama. Krn itu jgn kaget byk kaum humanis tdk beragama tp justru sikapnya lbh kristiani ato spt kata @CD, "lbh islami" dr org2 FPI misalnya.

Mas wilmana betul, tp jangan lupa, etika yg dipakai oleh kaum ateis di amerika dan eropa hakitatnya adalah ETIKA KEKRISTENAN. Saya baru-baru ini nonton wawancara Richard Hawkins katakan walau dia atheis tp CULTURALLY (berbudaya) seorang Kristen.

Saya jadi ingat pesan mas NK, bahwa tdk semua budaya berjenis unggul. Mas wilmana dan saya bisa jadi ateis di Amerika dan Eropa tetapi sangat peduli sesama dan lingkungan. Bagaimana di Indonesia???

-Carpe Diem-

Anonim mengatakan...

Ada ralat dlm paragraph ini:

Dari sejarah diatas kita belajar, wacana peduli lingkungan dll akan bermakna dan memberi 'buah' pd masyarakat yg bermoral dan ber-'morale' sehat. Dus, walau 'kecewa' dgn diskusi disini, saya tdk kaget.

-Carpe Diem-

Anonim mengatakan...

Wooii Bung Carpe, pulang karja langsung bikin pendapat, makanya rada subyektif...

Mmg tdk salah bikin moral or morale comparative org Indonesia VS eropa. Tp membandingkan scr serta merta antara satu tatanan sosial yg disebut "maju" dg tatanan sosial yg disebut "berkembang", justru bs merusak keadilan.

Bro Carpe jgn pura2 lupa bhw proses nation building org eropa jg perlu wkt utk bs mjd spt skrg ini. Bro Carpe jg lupa bhw gejala global warming ini adalah buah moral dan morale negara2 maju. Afrika berubah dr negara hijau mjd hitam dan gersang penuh kebiadaban, toh tdk lepas dr sedotan lintah2 eropa selama ratusan tahun. Moral dan morale bak kuli kelas rendahan dr org indonesia saat ini, jg buah dari sikap moral penjajah eropa juga kan?

Begini, mnrt beta Bro Carpe silahkan sj bikin catatan refleksi moral org indonesia, tp yg obyektif-lah. Jangan banding2kan scr subyektif, apalagi bikin teori budaya unggul dan budaya cemen. Tidak ada itu... Lebih elegan lg jk Bro Carpe bs kasi solusi yg bs dianggap layak... Gimana?

-bonggo-

Anonim mengatakan...

Woooi bung bonggo,

Kalau ngomong jangan asal gitu dong. Beta lihat bung Carpe Diem ('cd') sonde sedang menilai moral dan morale manusia indonesia secara subjektif, apalagi memakai ukuran barat. Bung bonggo ngawur nih. Lagi mabok ko???

Yang beta tangkap, bung cd sedang bicara realitas katong, org indonesia, yg morale nya sudah rata deng tanah, akibat terkikisnya kebajikan. Kondisi ini benar-benar memprihatinkan. Epek morale yg rendah ini sudah sampai mempengaruhi katong pung nalar. Pemanasan global kok solusinya dimulai dari individu? Utopis bung, utopis. Emangnya ini masalah banjir dikampung yg solusinya jauh lebih simple. Jangan buang sampah sembarangan misalnya. Lalu, gemar bicara ayat suci tanpa tau lagi kepraktisannya. Parah, parah.

Yang beta salut, bung cd ada angkat contoh kasus 'kebangkitan' kota genewa.

Jadi karmana bung bonggo, apa katong bisa mulai perbaikan Indonesia belajar dari kota geneva???

-kadeluk-

Anonim mengatakan...

Ah, si kadeluk coba2 bela gurunya si CD yg doyan OOT.

OK, kl ente nolak beta bilang Bro CD itu subyektif. Beta ganti, NAIF. Knp? Krn CD menilai moral dan morale Indonesia pake ukuran Barat. Di samping laen padang laen belalang, toh barat jg tdk bebas nilai thd kondisi kekinian org Indonesia yg "diisap" abis pake moral lintah ala devide et impera. Ini persis org yg ngotot ngukur suhu tubuh pake penggaris, bkn termometer.

Ttg mengatasi global warming, kan sdh dijelaskan Bung Wilmana dg kutipan berikut: "Sy setuju dg @Jimi bhw ini soal proporsi". Jd jelas toh, semua pihak (individu, negara, agama, dll) punya akuntabilitasnya msg2 sesuai proporsinya.

Mo belajar dr Jenewa, baik jg. Tp sekali lg hrs obyektif. Mnrt Ama, keberhasilan jenewa itu sekedar moral protestan, ato justru lbh dominan faktor sosok Calvin-nya?

Nah, Indonesia msh menunggu org2 spt Calvin ato Abe Lincoln, ato Nelson Mandela, ato sejenisnya. Bisa melalui proses seleksi alam, ato bs jg lbh aktif lewat sistem rekrutmen yg berbasis kompetensi (soft & hard competences) yg pernah diusulkan Bung Wilmana di sini.

Anonim mengatakan...

Ah.. Gara2 buru2 ada urusan keluarga, jd lupa kasi ID. Yg di atas itu komen dr -bonggo-

Anonim mengatakan...

Wah, adi bonggo dan tuan kadeluk lg baku firuk (bhs Kupang: adu jotos)rupanya.

Silahkan sj hanya jgn ada yg mau jd ika kobo (bhs kupang: ikan kembung) spt Pak Agus, lalu lupa esensi (ini istilah khas @bm)diskusi, tp asik jual-beli kata2 fiti orang. Oya "fiti" itu bhs kupang artinya santet utk nyakitin sasarannya.

(Wilmana)

Anonim mengatakan...

@ Wilmana dan All,

Alam adalah ciptaan Tuhan dan bukan peristiwa evolusi. Kitab kejadian jelas dan terang benderang tentang hal ini. Jadi, jangan tanya lagi ekoreligi atau apa? Pertanyaan ini sama artinya dengan meragukan kuasa Tuhan. Menerima Tuhan harus 100%. Jangan ada keragauan. Sedikit saja ada keraguan, anda akan sama dengan Darwin si Raja Kafir itu (Andreas)

Anonim mengatakan...

@Andreas

Mending lu pi minum 'obat' saja dolo sebelum 'buka mulut' disini. Sonde lucu bung! Ha ha.

@Bung Bonggo

'Subjektif' jadi 'naif???' Hi hi. Tapi kanapa naif?

Katong tau gelap karena ada terang. Tau kejahatan karena ada kebajikan. Lalu, mengapa mengukur moral dan morale indonesia yg buruk tidak boleh pake ukuran yg baik/bajik, barat??? Okelah, untuk maksud diskusi, tidak boleh karena akan subjektif dan naif. Lalu kita simpulkan moral dan morale kita buruk dari mana??? Waktu lalu @bm pake ukuran barat untuk katakan IndoneSIAL. Subjektif atau Naifkah dia???

Mengatasi pemanasan global sesuai proporsi. Okelah. Dari sisi urgensi, mana yg harus diprioritaskan. Individu? Negara?? Gereja???

Terakhir. Bung bonggo yakin sosok sekelas calvin, mandela, lincoln akan muncul dan menjadi 'ratu adil' yg mampu menyelesaikan persoalan besar kita??? Apa dasar???

-kadeluk-

Anonim mengatakan...

Ah, ini kadeluk su kanaa bonggo jd mulai berhati-hati memulai sesuatu dg bertanya-tanya duluan...

Pertama, mungkin kadeluk baru bergabing jd tdk tau bigmike ada posting hasil survey majalah Foreign Policy. Kl mau obyektif yaa yg begitulah... Jgn Indonesia disandingkan dg barat yaa kayak kura2 disuruh balapan dg kancil... Paling tdk kl mau bikin balapan jgn cuma dua perserta, toh?

Kedua, ttg sosok... Bro Kadeluk pura2 tdk ulas beta punya pertanyaan ttg sejarah bangkitnya Jenewa melulu krn moral protestan, ato lbh byk krn sosok kepemimpinan Calvin. Ato beta balik pertanyaannya, seandainya bukan sosok Calvin yg memimpin pembaruan wkt itu, tp sosok2 kayak Amin Rais, Mega, ato SBY-JK, apa Bro Kadeluk yakin ada hasil yg positif?

Kitong semua jg sepakat bhw problem indonesia adalah ratusan tahun dipimpin oleh org barat dg moral lintah darat. Lalu puluhan tahun dipimpin org sendiri tp jg dg moral lintah darat. Ini menghasilkan manusia Indonesia yg tercabut keluar dr akar nilai2 budayanya sendiri, lalu terbiasa dg moral kuli klas rendahan yg jk mau hidup enak terbiasa utk culas sm bangsa sendiri. Sdh berhasil meramu sistem nilai dlm btk pancasila sj, mmg msh blom cukup. Krn inti masalahnya hrs berjuang utk mengendalikan penyakit culas.

Nah, dlm hal ini beta liat Indonesia butuh pemimpin yg tegas dan keras thd prinsip2 moral yg baik serta didukung oleh sistem good governance dlm tata negara. Sekarang, tdk ada lg jabatan kepala negara dan kepala daerah yg lbh dr 2 periode. Tinggal perbaiki sistem rekrutmen utk menyaring ikan kakap di antara ikan hiu. Terutama yg disaring bukan hard competence, tp soft competence (attitude, motive, moral, morale, etc).

@Anderias
Beta setuju dg @kadeluk. Ente gosok gigi dolu br bikin pendapat. Jd, jgn maen tuduh, anggap org lean kafir, pdhl sikap maen tuduh anda ini justru menunjukkan anda lbh kafir dr yg dituduh.

-bonggo-

Anonim mengatakan...

@Bung Bonggo

Ha ha, dari subjektif, lalu naif lalu sekarang berhati-hati. Tp okelah.

Hal hasil survey majalah Foreign Policy, hakekatnya dia ukuran org barat toh yg bosz sudah cap bermental lintah darat.

Tentang sosok calvin, beta sonde jawab karena beta kira bung bonggo bisa menjawabnya sendiri. Oke, beta balik tanya dahulu, penduduk kota geveva, hormat pd sosok calvin atau moralitasnya??? Mengapa saat Calvin mati, moralitasnya tetap hidup hingga sekarang???

Tentang 'org kuat' beta lia bung carpe diem juga sudah angkat ini sebagai solusi keindonesiaan.

Soal rekrutmen, okelah, mari kita 'wait and see.'

-kadeluk-

mikerk mengatakan...

He he he he...kadeluk...bonggo..kok kedengarannya sepeti orang yang doyan kekerasan atawa banalisme nicchh...coba kalo ganti dengan ...seka-seka.....faloit-faloit....fu-fu...

jangan-jangan dahulu ketika kecil suka kena ....kosi... dan ...tampeleng....dari kakak yang lebe tua ni...ha ha ha ha...itu kakak model sontoloyo tuh...perlu ditangkap ......ha ha ha....sori...iseng-iseng ke sini setelah edit posting baru...

Selamat terus berdiskusi

Anonim mengatakan...

@kadeluk

Wah, beta kira Jenewa itu bagian dr org barat, pelaku moral protestan, sama dg Belanda juga. Tp agak aneh jg, dr mana ente tau Foreign Policy pake ukuran barat? Rasanya ukuran2nya sangat universal sesuai dg kerangka normatif tata negara yg berlaku di mana-mana. Lalu yg diperbandingkan, jg bukan Timur versus Barat, tp ada sekian byk negara dr empat penjuru mata angin?

Lho, kok nanya org Jenewa lbh hormat pd nilai moral protestan, ato Calvin? Justru itulah yg beta pertanyakan. Internalisasi nilai moral protestan di Jenewa itu terjadi scr ajaib begitu sj, ato krn faktor sosok Calvin? Yg pasti Calvin punya sikap yg tegas keras dg prinsip2 yg dianutnya, bahkan menjurus kejam wkt itu, terbukti ampuh memaksa masyarakat mempraktekkan nilai2 moral ini hingga mereka dpt merasakan sendiri hasilnya dan dg kesadaran sendiri mempertahankan sistem "ciptaan" Calvin itu, meski Calvin sdh almarhum.

Jadi, jelas kan apa yg dibilang bung Wilmana... Internalisasi sistem nilai tdk bisa hanya diserahkan pd individu2. Lbh cocok disimpulkan bhw semua stakeholders hrs ambil peran sesuai proporsinya, di mana pd thp awal perlu seorang Pemimpin yang tegas dan keras berpegang pd prinsip2 nilai moral yg ada utk mengarahkan individu2. Tp individu2 jg hrs punya kemauan kuat utk menerima dan melaksanakan sistem nilai itu. Dst...

@bigmike
Hati2 Boss... Kata "bonggo" itu multitafsir. Bgmn memaknai kata "bonggo", menggambarkan siapa kita dan kesehariannya.

-bonggo-

Anonim mengatakan...

@CD, Kadeluk, dan bonggo...

Trims sdh berbaik hati makin memperjelas maksud saya dg diskusi kalian.

Jdi, kalo norman bilang perlu peran individu, mk saya tambahkan bhw scr normatif perlu juga peran stakeholders lainnya dlm urusan etika lingkungan yaitu, agama melalui konsep ekoreligi. Ada yg laen manambahkan dlm komentar peran pemerintah, dst. Kesimpulannya, mmg utk urusan tata nilai ini, perlu peran semua stakeholders sesuai porsinya masing-masing.

Buat yg blom ngerti, "stakeholders" itu istilah lasim utk merujuk pd "pemangku kepentingan".

(Wilmana)