Rabu, 15 Agustus 2012

from savu with love: to indonesia

Dear Sahabat Blogger,

Agustus datang kembali dan itu berarti, bagi orang Indonesia, adalah bulannya Hari Kemerdekaan Republik Indonesia terkasih. Kendati banyak diperbincangkan secara kurang baik (kerajaan korupsi-lah, negara gagal-lah, negara-nya para cicak dan buaya-lah, negaranya para preman ber-ayat-lah serta masih banyak sebutan sinis lainnya) tapi toh di negara inilah saya dilahirkan. Sampai hari ini masih menjadi warga negara yang sah - dan akan terus begitu, dan di sinilah saya akan menua dan lalu menghilang. Mau kemana? Mau bagaimana lagi? Inilah negara saya (dan anda juga). sudah garis tangan. So, terima saja dengan penuh syukur. Karena itu pada tempat pertama ini saya ingin mengucapkan DIRGAHAYU INDONESIA. JAYALAH KAMU SELAMANYA. TUHAN MEMBERKATI. Tetapi bagaimana memberikan makna kepada Hari Raya nasional ini supaya dia tidak berlalu begitu saja tanpa kesan? Ijinkanlah saya untuk menceriterakan Indonesia dari perspektif negeri liliput di bagian selatan Indonesia, di antara samudera raya Pasifik dan Hindia, tempat nenek moyang dari garis ayah saya berasal: Sabu.

Negeri Sabu, biar kecil, tetapi adalah bagian sah dari NKRI. Sabu adalah salah satu kabupaten di propinsi NTT. Ada apa dengan suku bangsa ini sehingga tentang Indonesia perlu diberikan perspektif Sabu? Apa hebatnya? Menurut saya tidak ada yang terlalu hebat. Biasa saja. Apalagi ukuran pulaunya juga tergolong kecil saja. Lalu apa? Ini jawaban saya: Indonesia hari ini tidak lengkap jika 1 saja pulau di antara ratusan ribu buah pulaunya hilang. Dengan perkataan lain, tanpa Sabu maka Indonesia yang ada bukanlah Indonesia yang seperti hari ini. Titik. Anda setuju atau tidak, saya memaksa untuk setuju karena aturan silogismenya memang sudah seperti itu. Lha, apa itu silogisme? Gak urusan, pokoknya saya sudah bilang begitu ya begitulah .... ha ha ha ha.....Lalu, apa prespektif Sabu yang saya sebut-sebutkan tadi yang dapat digunakan untuk meneropong Indonesia hari ini? Pada bagian pertama ini adalah yang berkaitan dengan asal-usul Orang Sabu.

Dari mana asal-usul orang Sabu? Saya mengutuip dari tulisan Riwu Kaho yang lebih senior dari saya, yaitu Robert Riwu Kaho (almarhum ayahanda) dalam bukunya "Orang sabu dan Budayanya" (2005). Pada pengetahuan tradisi yang umum dipercaya di Sabu, nenek moyang Oran Sabu berasal dari suatu negeri di bagian barat dari Pulau Sabu. Entah dimana pastinya karena tabu bagi orang Sabu untuk menyebutkan daerah asal nenek moyang mereka. Namun demikian, jika merujuk kepada kepercayaan bahwa leluhur I orang sabu adalah seseorang yang bernama Kika Ga yang berasal dari ufuk barat Pulau Sabu, yaitu negeri yang bernama Jawa Ae (India Selatan) maka asal usul dimaksud lebih bisa diperkirakan. Konon, Kika Ga berasal dari wilayah Hurat, Kerajaan Gujarat, India bagian selatan. Jika kita membaca di peta India bagian selatan maka kita akan bertemu dengan kota Surat yang terletak di sebelah utara kota Bombay di teluk Cambay. Tanpa bermaksud untuk mengatakan bahwa identifikasi ini 100% pasti begitu tetapi ijinkan saya mengajukan 1 fakta lain yang diungkapkan juga oleh Ayahanda Robert.

Di katakan oleh para tetua di Pulau Sabu, yang adalah folklore turun temurun, bahwa ciri-ciri fisik orang Sabu yang mula-mula adalah ba'bae kae, meddi kuri, keporo rukettu, bella dillu, bella ka'bajela, nga bella ta'be yang artinya berukuran tubuh pendek, berkulit hitam, rambut keriting, telinga lebar, telapak kaki lebar dan juga berdahi lebar. Jika benar demikian maka terdapat paradoks di antara kedua pendapat di atas. Ciri-ciri fisik yang disebut belakangan ini bukan merupakan gambaran orang-orang yang berasal dari India yang umumnya tinggi besar melainkan merupakan gambaran orang dari manusia awal Indonesia seperti Meganthropus atau Pithecanthropus atau Homo sapiens sapiens (manusia moderen). Apakah kelompok ini berasal dari Afrika selatan (out of Africa) atau asli Indonesia (orang Wajak, Trinil dan Solo) atau bahkan asli manusia purba di sabu kita tidak tahu pasti tetapi jika benar bahwa tetua di Sabu memastikan bahwa orang awal di Sabu berciri fisik seperti di atas lalu 2 opsi tentang orang Sabu asli adalah apakah manusia purba ataukah pendatang Homo sapiens sapiens yang datang dari daerah lain maka mereka pasti tidak sekelompok dengan Kika Ga yang beriasal dari India. Apapun juga, dalam ceritera para tetua di Sabu, penduduk asli Pulau Sabu ini menghilang ketika datang orang-orang melayu yang berasal dari Indochina terus ke Malaka dan terus menelusuri Jawa, Bali, NTB, Ende, Flores Timur dan Timor.

Pergerakan migrasi orang-orang Melayu yang berasal dari Indochina memasuki daerah-daerah di Nusantara (Olson, 1996 dan Dahler, 2000) sebenarnya merupakan gambaran pergerakan gelombang II migrasi bangsa-bangsa manusia yang bersebaran di Nusantara lalu tiba di Pulau Sabu. Ditulis oleh Robert "Ayahanda" Riwu Kaho bahwa sekitar 500 tahun SM datanglah orang-orang yang berasal dari daerah Yunan dan wilayah Indochina, yang berhenti sementara di daerah Malaka dengan membawa Budaya Dongson yang mendominasi Indonesia sampai hari ini. Kelmpok ini sangat dominan di Nusantara sekarang yang berasal dari ras Mongoloid. Donselaar (1872) dan beberapa penulis yang jauh lebih ke belakang seperti Bere Talo yang mengutip Lubis menguraikan bahwa sekelompok Melayu (Hindia Muka) berlayar dari negeri Cina putih Malaka (Sina Mutin Malaka) mengarungi laut Jawa menyinggahi P. Ninobe, Kusu, Kae, Api, LoE dan Larantuka Baboe. Dari persinggahan terakhir ini sebagian kelompok terus berlayar sampai ke Pulau Timor di satu tempat yang bernama Halileon Lumamar di muara Sungai Loes, Timor Timur. Sebagian tinggal dan mengisi Pulau Timor ke arah Barat dan sebagian terus berlayar menuju Rote dan menetap di Thie. Dari Thie, sebagian lagi berlayar terus dan tiba di Pulau Sabu. Kisah berpisahnya orang-orang Timor, Thie dan Sabu di Pulau Timor bagian Timur ini menghasilkan kisah legendaris tentang Belu Mau, Thie Mau dan Sabu Mau yang masih diyakin hingga hari ini. Orang-orang Melayu ini memiliki keterampuilan bertani yang memadai dan tanda-tanda ini begitu kuat melekat di orang-oran Sabu sampai hari ini. Dipercaya bahwa sebagain terbesar orang Sabu sekarang adalah keturunan mereka yang berasal dari gelombang migrasi ke II. Jika ini benar demikian maka kelompok yang berperawakan sedang ini (kebanyak orang Sabu berperawakan seperti ini) pastilah bukan sekelompok dengan Kika Ga yang, sekali lagi konon, berasal dari India.

Lalu dari mana datangnya Kika Ga? Seperti yang telah dikatakan tadi bahwa Kika Ga diyakini berasal dari Gujarat, India selatan. Oleh karena itu, kemungkinan besar Kika Ga dan kelompoknya (sebab hampir tidak mungkin terjadi pelayaran seorang diri dalam persebaran manusia) berasal dari gelombang migrasui ke III yang memasuki Nusantara dan tiba di Sabu. Berawal dari pertikaian antar kerajaan di India antara abad 2 dan 3 Masehi amaka banyak kelompok di bagian Selatan yang ditaklukan oleh kerajaan besar di India Utara terpaksa berlayar meninggalakan negeri mereka menuju tempat baru. Orang-orang Keling dengan perawakan yang besar dan berhidung mancung ini dalam pelayarannya singgah diberbagai tempat di Nusantara dan salah satunya tiba dan menetap di Sabu. Akan tetapi perlu diingat bahwa kedatanagn mereka tidaklah tiba di pulau yang kosong melainkan sudah berpenduduk. Dapat dibayangkan bahwa kemungkinan besar penduduk Sabu ketika itu adalah keturunan dari mereka yang datang pada gelombang migrasi II (siapa tahu bercampur pula dengan gelombang migrasi I atau orang asli Sabu - Sabunensis). Lalu mengapa kendati para tetua Sabu mengakui adanya beberapa gelombang migrasi orang-orang ke Sabu tetapi yang diakui sebagai leluhur orang Sabu adalah Kika Ga yang berasal dari gelombang ke III migrasi?

Dalam hipotesis saya, pengakuan tentang Kika Ga sebagai leluhur orang Sabu terutama disebabkan faktor bahwa dia dan kelompoknyalah yang pada akhirnya berkuasa atas teritori Sabu. Saya menduga demikian karena orang-orang India Selatan sudah memiliki budaya kerajaan, yaitu entitas yang tersusun atas kekuasaan. Pada lapisan paling atas struktur sosial kerajaan adalah "raja". Seperti biasa, pemenang adalah penulis sejarah atau sejarah ditentukan oleh pemenang. Dugaan ini semakin kuat mengingat latar belakang orang-orang India selatan itu keluar dari negeri mereka lalu tiba di Sabu, yaitu peperangan. Setibanya di Sabu, ada kemungkinan mereka menaklukan para penduduk Sabu yang datang dari gelombang migrasi sebelumnya, entah lewat perang atau negosiasi. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa para pendatang di sabu yang berasal daro gelombang migrasi II umumnya berbudaya petani dan hidup tanpa struktur sosial yang tersusun atas derajat kekuasaaan teritori kecuali, mungkin, pemukiman dan ladang. Di kalangan tetua di Sabu sering beredar ceritera turun temurun tentang watak pemberani leluhur mereka yang merupakan ciri khas para panglima perang atau paling kurang serdadu tentara. Hal ini merupakan verifikasi terhadap dugaan bahwa paling kurang penduduk yang berasal dari migrasi II rela dipimpin oleh mereka yang lebih kuat dan terstruktur yang berasal dari India Selatan. Sampai hari ini mitos tentang elite pula Sabu yang selalu dikaitkan dengan daya kesaktian dan kedigdayaan bukan merupakan hal aneh sebagai simbol kepemimpinan dan kekuasaan. Saya tidak bisa memastikan bahwa hipotesis saya ini benar tetapi demikianlah yang saya ajukan.

Sampai di sini, saya ingin menghentikan ceritera dan dugaan tentang kisah perjalanan berbagai-bagai gelombang para leluhur orang Sabu yang ada di Pulau Sabu. Saya ingin membuat perspektif dari kisah saya di atas. Terdapat paling kurang 3 pelajaran yang bisa saya petik dari kisah-kisah di atas, yaitu:
  1. Klaim sebagai orang asli dan tidak asli di Sabu dan juga di Nusantara sebenarnya sangat relatif. Karena itu, kesenangan melakukan klaim bahwa Sabu atau Indonesia adalah milik orang asli atau anak daerah setempat kurang patut. Kita semua adalah pendatang, minimal adalah pendatang yang "dikirim Tuhan dari Surga" lewat aneka rupa kemungkinan hukum biologis, sejarah dan lain sebagainya. Karena itu, aforisme bahwa Presiden harus orang asli atau Gubernur dan Bupati harus anak daerah adalah melawan sejarah. Jas merah kata Bung Karno sang proklamator NKRI.
  2. Namun demikian, kita harus maklum jika klaim-klaim seperti itu sangat mungkin terjadi manakala "realm"-nya adalah elit. Sudah dari sono-nya elite terbiasa "membajak" fakta. Maka, kendati menjengkelkan, kita terpaksa harus memahami klaim seperti yang dilakukan oleh mister Rhoma Irama tentang Gubenur DKI Jakarta. Tetapi harap dicatat bahwa memahami tidak identik dengan membenarkan tetapi belajar memahami adalah pelajarn kedua. Selanjutnya, pelajaran ke tiga yang saya petik adalah ini:
  3. Sebenarnya semua yang dikisahkan di atas adalah hipotesis di atas aneka ragam probabilita yang sebagian kebenarannya masih tersembunyi dan harus terus menerus dikaji sampai akhirnya mendekati kebenaran. Apa pelajaran ke tiga itu? belajar.
Singkatnya, Sabu dan Indonesia adalah milik kita semua, asli maupun tidak asli. Mayoritas ataupun minoritas. Indonesia adalah milik beragam-ragam kita semua yang adalah satu bangsa satu negara satu Ibu Pertiwi. Bhineka Tunggal Ika. Dalam sintesa hidup berkeragaman bersama sudah pasti akan ada timbul aneka problem. Mana ada hidup tanpa problema? Cara mengatasi problema bukan dengan bertengkar, berkelahi atau tawuran barbar melainkan belajar saling menerima. Filsafat manusia mengajarkan bahwa "I'm called to realized my self in the world, but for you". Saya berarti jika itu terkait anda. Filsafat Orang Sabu mengajarkan bahwa "ie tallo wewini do me mu'de pa dara jarru" yang berarti "jika banyak sahabatmu maka hidupmu pasti lebih mudah". Sahabat Indonesia, tentang apa semua ini? CINTA. Teruslah berlajar saling mengasihi agar hidup berkebangsaan makin baik, hari demi hari. DIRGAHAYU INDONESIA. MERDEKA.

Nyanyian TANAH MERDEKA -Leo Kristi


Tabe Tua Tabe Puan