Dua tahun lalu persis, di bulan Juli 2008 Mister Norman berangkat menuju Jogjakarta. Dia ingin melanjutkan sekolah ke tingat pascasarjana dalam bidang ilmu Kehutanan. Waktu itu, beramai-ramai kami mengantarnya. Di antara para pengantarnya adalah Oma Tien tercinta. Tahun ini di bulan yang sama, tepatnya tanggal 28 Juli, dia akan diwisuda karena urusan sekolah S2-nya kelar sudah. Cita-cita Opa dan Omanya, sebagian, tercapai sudah. Sayang, sekarang Oma dan Opa Robert-nya tak ada lagi untuk melihat Norman secara kasat mata. Berdua, mereka sudah berbahagia di "negeri seberang sana". Oh, ya masih ingat Norman? Ya anda betul, dia adalah penerus DNA saya yang sulung. Dan ini adalah tulisan hasil olah pikirnya. Dan jika saya mempostinnya maka ini adalah kado wisuda dari saya. Selamat membaca dan berkomentar.
Howdy Bung en Soes pembaca blog
Apabila biasanya saya menulis dengan tema lingkungan di blog ini, maka kali ini sedikit berbeda, saya kali ini ingin menulis mengenai tanah kelahiran saya, Nusa Tenggara Timur. Sebelum memulai isi tulisan ini, ijinkan saya untuk sedikit bercerita latar belakang mengapa saya memilih tema ini. Begini ceritanya, pada jaman dahulu kala di suatu kerajaan hiduplah seorang putri yang cantik jelita...... Ups.... Maaf saya barusan salah bercerita. Cerita barusan biasanya saya dongengkan untuk anak saya. HiHiHi. Begini cerita yang sebenarnya Bung en Soes, ilham dalam menulis bagi saya itu bisa datang darimana saja. Kebanyakan dari membaca atau mengamati kejadian sekitar. Tulisan ini dibuat segera setelah saya membaca tulisan pada salah satu koran harian terkemuka, Kompas edisi kamis, 8 Juli 2010. Tulisan pada koran ini sebenarnya tidak spesifik mengenai NTT, bahkan hanyalah tulisan kecil hasil opini pembaca, tetapi saya menangkap inti tulisan tersebut cukup menohok dan menggelitik pikiran saya mengenai yang terjadi di NTT. Apa itu? Nanti akan kita simak dalam tulisan ini lebih lanjut.
NTT = Nusa Tenggara Timur. Itu singkatan resminya. Namun ada pula anekdot yang mengatakan NTT adalah singkatan dari Nasib Tak Tentu, Nanti Tuhan Tolong, de es be. Anekdot ini sebenarnya bukan tanpa alasan ataupun muncul secara tiba-tiba, namun bisa pula berangkat dari kejadian faktual di NTT sendiri. Kita sudah mengenal NTT bukanlah daerah yang berlimpah – meminjam judul lagu Koes Plus - kolam susu. Bukan daerah yang subur. Bahkan karena sifat klimatik, maka fenomena kekeringan bukanlah suatu hal yang baru. Semua tahu itu. Mungkin pula dari situ muncul anekdot mengenai singkatan NTT tadi. Mungkin. Tetapi apa relevansi ini dengan judul yang saya pilih? Begini Bung en Soes, NTT saya beri lagi satu singkatan baru yaitu Nusa Tabolak Tabalek atau dalam bahasa Indonesianya adalah nusa terbolak-balik. Jangan marah dulu apabila saya memberi satu singkatan baru ini karena seperti apa yang saya katakan bahwa ini berangkat dari apa yang terjadi di NTT sendiri. Apa yang terbolak-balik di NTT? Saya akan menerangkan dengan menggunakan beberapa contoh berikut. Tanah di NTT pada umumnya kurang subur, topografi yang berbukit-bukit ditambah dengan ariditas iklim sehingga hasil tanaman pangan kita tidak melimpah laiknya di daerah lain. Itu tak bisa dipungkiri, tetapi apa anda bisa memungkiri bahwa NTT di saat yang sama juga memiliki lahan penggembalaan yang luas di Indonesia sehingga sangat potensial sebagai gudang ternak? Namun apakah produksi ternak di NTT berbanding lurus dengan luas lahan penggembalaan tersebut? Kita sering atau bahkan teramat sering mendengar berita kekeringan melanda NTT sehingga hasil pangan menurun, tetapi di saat yang sama kita melupakan fakta bahwa sebenarnya NTT memiliki laut yang luas dengan potensi hasil bahari yang menjanjikan. Namun apa yang terjadi? Kita tidak menjadi tuan di tanah sendiri. Tolong koreksi apabila saya salah, tetapi pernahkan pemerintah daerah kita membuat suatu program untuk lebih memanfaatkan hasil laut kita selain gemala (gerakan masuk laut) yang nyatanya tidak efektif? Coba bayangkan saja luas daratan NTT yang begitu kecil, yakni 47.349,9 km2 atau 23,7 persen jika dibandingkan luas lautan yang mencapai 200.000 km2. Di sisi lain pemanfaatan sumberdaya ikan laut hanya sekitar 30% dan budidaya laut hanya 8,74%. Yang ada dan terdengar selama ini hanya program intensifikasi dan ekstensifikasi jagung, tanaman pangan, de el el yang notabene ada di darat, tetapi laut yang luas dan di depan mata malah terlupakan. Program-program pemanfaatan hasil laut biasanya hanya ada saat kampanye-kampanye, namun ketika terpilih maka “janji tinggal janji” begitu syair lagu. Atau mau contoh lain, silahkan lihat kejadiaan “nahas” yang menimpa tanaman cendana (sandalwood). Meski ada yang mengatakan cendana berasal dari Gujarat, India, namun beberapa sumber dengan jelas mengatakan cendana berasal dari NTT. Tetapi apa yang terjadi? Produksi cendana di NTT dewasa ini tidak bisa dikatakan mencerminkan sebagai asal tanaman itu sendiri. Tidak percaya? Bisa anda tanyakan langsung pada pemilik blog ini selaku konsultan ITTO yang saat ini sedang gencar-gencarnya ingin menghidupkan kembali NTT sebagai gudang cendana. Satu pertanyaan menggelitik adalah selama ini pemerintah daerah NTT buat apa saja? Semoga tidak ada lagi kebijakan fatal seperti tahun 70-an sehingga cendana dijuluki sebagai kayu setan atau kayu milik pemerintah oleh masyarakat sebagai dampak kebijakan yang tidak berpihak tersebut. Semoga.
Saya memiliki pengalaman menarik ketika kuliah di Fakultas Kehutanan UGM beberapa waktu lalu. Ketika membahas mengenai luasan hutan, maka teman-teman dari jawa, Sumatera, Kalimantan atau Papua amat sangat “digdaya”. Yah tentu saja, daerah mereka memiliki luas hutan yang lebih daripada NTT. Namun ketika membahas mengenai luas kawasan penggembalaan, maka maaf-maaf saja teman, saya serta merta membusungkan dada. Ya iyalah.... NTT memiliki luas lahan penggembalaan sekitar 653.983 ha. Angka tersebut yang tercatat resmi, tapi dalam kenyataannya di lapangan, savana yang merupakan tipe formasi dominan di NTT biasanya juga digunakan sebagai kawasan penggembalaan. Kemudian bila mempertimbangkan kebiasaan masyarakat dalam melepas ternak dalam kawasan hutan dalam sistem agrosilvopastoral, maka kawasan hutan bisa juga dapat juga dihitung sebagai kawasan penggembalaan. Coba hitung saja berapa total semuanya? Cukup fantastis bukan? Sombong juga rasanya saya saat itu. Namun apa yang terjadi kemudian? Ketika dosen saya mengatakan bahwa meski NTT memiliki lahan penggembalaan yang luas, namun di saat yang sama produksi ternak justru menurun dari tahun ke tahun. Oh.... Betapa malunya. Kepala yang tadinya terangkat gagah menjadi tertunduk malu. Lahan penggembalaan luas tetapi produksi ternak menurun. Paradoks bukan? Terbolak-balik bukan? Bagi saya pribadi beberapa contoh di atas membuktikan bahwa pemerintah daerah kita cenderung tidak belajar dari pengalaman terdahulu. Setiap pergantian tampuk kepemimpinan, maka ganti pula program-program dengan yang baru. Tapi apa bisa dikatakan berhasil? Tergantung dari sisi mana kita melihat. Kalau saya melihat dari sisi output yang dihasilkan seperti beberapa contoh di atas, maka bagi saya pemerintah daerah NTT bisa saya katakan gagal. Contoh lain datang dari dunia pendidikan. Beberapa tahun terakhir tahun NTT selalu menduduki rangking satu atau dua dalam hal kelulusan siswa. Rangking satu atau dua dari belakang maksudnya. Itu berarti setiap tahun selalu terulang, terulang dan terulang lagi. Orang boleh baru, Gurbenur sebagai top manager boleh baru, kepala dinas boleh baru, dan program boleh baru tetapi hasil akhirnya yah itu-itu juga. Sami mawon. Sama saja. Seorang teman saya yang berprofesi sebagai guru di Sumba mengatakan program pendidikan boleh banyak, tetapi eksekusi di lapangan sangat lemah. Wah NAPO juga nih namanya. No Action Programs Only. Dalam beberapa tulisan terdahulu dalam blog ini sedikit banyak telah menyiratkan apa yang saya katakan tersebut. Sedari tadi kelihatannya saya hanya menyalahkan pemerintah, oleh karena itu, pertanyaan yang penting sekarang adalah apakah yang salah hanya pemerintah? Yang salah hanya si pemimpin saja? Ataukah semua stakeholder yang berarti mereka dan kita, anda dan saya? Bisa anda membantu saya menjawab pertanyaan tersebut? Saya hanya ingin agar semua menjadi obyektif. Jangan sampai terjadi satu jari menunjuk orang lain, tetapi tanpa kita sadari jemari yang lain sedang menunjuk ke arah kita sendiri. Kalau itu yang terjadi artinya saya dan anda juga memiliki andil dalam membuat NTT sebagai Nusa Tabolak Tabalek dong? Wagat eh.... gawat maksudnya.
Saya cukupkan tulisan ini sampai disini dengan maksud agar Bung en Soes semua mau melengkapinya apa yang kurang. Menambahkan apa yang belum saya sampaikan. Atau malah mau mengoreksi tulisan ini. Monggo. Silahkan. Karena saya juga masih perlu banyak belajar. Namun tolong jangan salah artikan isi tulisan ini karena saya juga tidak bermaksud menjelek-jelekan NTT karena sesungguhnya saya amat sangat mencintai tanah kelahiran saya ini. Tetapi apakah cinta mesti diartikan diam saja melihat sesuatu yang salah terjadi di sekitar kita? Tidak. Bagi saya kritik bisa berarti ungkapan cinta saya bagi NTT. Tulisan ini bukti saya mencintai NTT. Jadi apabila saya ditanya setuju NTT adalah Nusa Tabolak Tabalek? Sambil bersenandung saya akan menjawab “tanyakan saja pada rumput yang bergoyang”.
Tabe Puan Tabe Tuan