Jumat, 28 Oktober 2011

entropi yang meningkat, ALLAH yang kekal

Dear Sahabat Kristiani,

Berkegiatan bersama komunitas masyarakat dan organisasi masyarakat non-pemerintah perduli bencana selama 2 hari terakhir (25-26 Oktober 2011) di Hotel Kristal, Kupang memberikan pengalaman tersendiri. Bukan karena sebelumnya tidak pernah berbicara dalam topik pengurangan resiko bencana seperti itu....bukan.....sudah sering gitu-gitu......tetapi ada hal yang menggelitik terkait 2 pernyataan dalam acara tersebut:

.... "bencana selalu ada, kita harus waspada, seperti kami di Noebesa tahun ini kurang sekali panen karena terlalu kering. Dahulu waktu bencana banjir bah di jaman Perjanjian Lama, untung ada Nabi Noh yang bikin kapal besar. Itu bukti bahwa pengurangan resiko bencana sudah ada dari dulu" .... (mantan kepala desa Noebesa, TTS yang desanya terancam longsor) ...

... "ada berita orang di Noebesa mati karena kelaparan, tapi waktu pak Gubernur dan kami berkunjung ke sana ternyata biar masyarakat mengalami kekeringan tetapi mereka masih bisa kasi kita makan ubi yang mereka simpan" ... (pejabat badan penanggulangan bencana daerah, NTT) ...

Di mana menariknya? Pertama-tama, tampaknya terjadi 2 tolok ukur atau variabel indikator bencana. Masyarakat desa menanggap bahwa dengan kegagalan panen mereka terancam lapar sementara bapak pejabat berpikir bahwa selama masih ada yang dimakan maka belum terjadi kelaparan. Supaya lebih jernih maka saya ingin memberikan 2 pertanyaan kepada masing-masing tokoh tersebut. Kepada bapak mantan kades Noebesa saya akan bertanya: "mengapa harus merasa terancam jika nyatanya masih ada ubi untuk dimakan?". Kepada bapak pejabat daerah saya akan bertanya: "apakah bapak bisa memastikan ubi yang dimakan oleh bapak gubernur dan rombongan bukan ubi terakhir yang mereka punya?". Saya sendiri, dalam acara itu, lalu memberikan jawaban sebaik-baiknya menurut perspektif ilmiah tentang resiko bencana, kerentanan, kapasitas, adaptasi, mitigasi dan cara menilai suatu ekosistem. Tapi posting saya kali ini bukan tentang jawaban-jawaban saya seperti yang dimaksud tadi. Saya ingin berbicara hal yang lain. Sama sekali tidak ada hubungan dengan percakapan 2 orang di atas? Ada. Sedikit. Sadiiikiiiii sa. Sapo'ong, kata anak Kupang. Bagaimana ini? ya beginilah:

Pak mantan kades sudah berbicara tentang keadaan dahulu dan sekarang yang tetap saja sama. "Ada ancaman tetapi ada tindakan berjaga-jaga". Bapak pejabat daerah juga berbicara tetang sesuatu yang menunjuk suatu situasi "ada ancaman tetapi jangan kuatir karena dari dulu sudah biasa begitu". Kedua orang itu telah bericara tentang sesuatu yang sifatnya tetap. Sambil menunggu sesi berikutnya, saya melamunkan satu hal, yaitu hukum kekekalan energi dan entropi sistem. Hukum I dan II thermodinamika. Hukum bak Abang dan adik.

Tentang kekekalan energi, hukum yang mengaturnya dikenal sebagai hukum I thermodinamika. Bunyi hukum tersebut adalah sebagai berikut: "Perubahan energi internal dari suatu sistem termodinamika tertutup sama dengan perbedaan antara panas dipasok ke sistem dan jumlah kerja yang dilakukan oleh sistem pada sekitarnya". Ruwet? mungkin tidak tetapi biasanya hukum ini akan dibaca juga sebagai energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan hanya dapat ditransformasikan. Energi dari radiasi matahari diubah menjadi energi biokimia di dalam tubuh tumbuhan yang berfotositesis. Makhluk hidup yang memamakan tumbuhan akan mentransformasikan senergi di tumbuhan menjadi dalam tubuhnya maisng-masing. Energi yang terbuang karena panas misalnya akan ditransformasikan menjadi energi lingkungan. Inilah kekekalan energi. Hukum ini, pada awalnya sangat ditentang oleh gereja di masa pencerahan sebab jika benar demikian maka tidak akan ada kiamat. Dan hal ini bertentangn dengan ajaran gereja. Belakangan, kelompok ateis menggunakan juga hukum ini untuk menolak adanya penciptaan karena energi bersifat kekal maka tidak diperlukan pencipta. Semesta raya dan energinya sudah ada dan akan selalu ada. Waduuuuhhh.......

Datanglah kemudian hukum II thermodinamika yang mengatakan bahwa "Panas tidak dapat secara spontan mengalir dari lokasi yang lebih dingin ke lokasi lebih panas". Maksudnya apa nih? Jika anda punya 1 buah benda yang panas dan 1 buah benda yang dingin, misalkan anda punya 1 gelas berisi air panas dan 1 gelas lainnya berisi air dingin. Jika anda campurkan air di gelas-gelas itu maka anda tak lagi memiliki air panas dan air dingin. Air yang panas kehilangan sebagian panasnya karena ditransformasikan ke dalam air yang dingin. Lalu, air yang dingin mendapatkan kenaikan suhu akibat transformasi itu. Mereka bertemu pada satu titik suhu rata-rata yang tidak panas tetapi juga tidak dingin. Hangat (kalau pesan minuman di warung selalu saya bilang ....."teh hangat 1"... wkwkwk). Mengapa demikian? Efek perataan. Apakah suhu hangat air tadi sudah merupakan suhu panas + suhu dingin dibagi 2? Tidak begitu. Ada panas yang hilang karena menguap selama proses pencampuran. Inilah yang, dimaksudkan dengan, kurang lebih, entropi. Bagaimana membayangkan yang dimaksudkan dengan entropi? Jika kedua gelas tadi anda letakkan berjauhan maka kemungkinan hanya sedikit panas yang berpindah dari gelas berair panas ke gelas berair dingin karenan sebagian besar akan diuapkan menuju lingkungan. Akibatnya, hanya sedikit panas yang tersedia di gelas-gelas itu. Maka, dikatakan bahwa sistem panas di gelas-gelas tadi dalam keadaan kacau (entropi) karena tidak lagi panas. Semakin anda menjauhkan gelas-gelas itu (mengisolirnya) maka makin sedikit panas yang tersedia. Dapat dikatakan juga entropi dikedua gelas tadi meningkat menuju maksimal. Implikasi hukum II thermodinamika cukup menyenangkan bagi kaum teistik karena memberikan pintu kemungkinan adanya kiamat (kalo Ki Amat sih banyak di Bogor dan sekitarnya.....ha ha ha).

Bagaimana hubungan di antara hukum I dan II thermodinamika? Menurut info yang saya peroleh, hubungan keduanya baik-baik saja (kemarin keduanya terlihat sedang ngobrol minum kopi bareng dech...wkwkwk...). Jika diperhatikan baik-baik, tetapi salah dalam mengintepretasikannya, kita mungkin akan mengatakan bahwa keduanya saling bertolak belakang. Hukum I mengatakan bahwa energi itu kekal lha mengapa kok adiknya, si hukum II, berani-beraninya memberikan petunjuk bahwa energi bisa hilang....nakal banget kamu itu ya.... Betul begitu? Sebenarnya tidak. Posisinya tetap, yaitu energi itu kekal adanya (hukum I) tetapi preferensinya adalah aliran energi itu menuju 1 arah dan tidak bisa kembola-kembali (irreversible). Sepeda motor anda ketika dijalankan harus diisi energi (bensin) kan? Di dalam mesin motor anda, bensin tadi diubah (dikonversi) menjadi tenaga (kenceng dah jalannya motor anda itu) dan juga .... asap. Nah, dititik ini hukum II thermodinamika berperan, yaitu bahwa tenaga motor dan asap tidak bisa diubah kembali menjadi bensin (saya tantang Deddy Corbuzier untuk mengubahnya secara hitam putih kalo dia bisa....wheeeeaaaa ha ha ha...). Makin kenceng dan makin berasap maka bensin makin cepat habis. Entropi meningkat. Jika tidak ada penambahan energi maka mesin motor anda akan mati. Rencana menjemput pacar kocar-kacir sudah tuh. Entropi maksimal.

Lalu apakah tentang entropi ini adalah maksud posting ini? Tidak persis begitu. Yang ingin saya katakan adalah berikut ini. Perhatikan baik-baik ya sobat.....kesan bahwa hukum I dan II thermodinamika saling bertentangan sebenarnya karena disebabkan kesalahan dalam memberikan intepretasi. Hukum I thermodinamika sering disebut sebagai energi itu kekal, tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan. Padalah yang dimaksudkan sebenarnya adalah sekali energi itu diciptakan maka, menurut pengamatan, energi aktual itu konstan. Mengapa dikatakan demikian? karena ilmu pengetahuan selalu harus bertumpu pada pengamatan sedangkan pengamatan belum sama sekali membuktikan kata "tidak dapat" dan atau sebaliknya, "dapat". Dengan demikian sejatinya tidak ada kekekalan dalam pengertian akan selalu ada selama-lamanya (itu sebabnya ilmuwan memprediksikan bahwa mungkin sekitar 8 - 10 milyar tahun lagi matahari akan kehabisan energinya dan pada saat itu tamatlah galaksi bima sakti kita). Kalau begitu konstruksi permasalahannya maka hukum II thermodinamika, si adik, terhubung dengan hukum I, si abang. Energi potensial yang konstan itu akan dikonversi menjadi aneka rupa energi kinetik tetapi di dalam proses konversinya selalu akan terbentuk energi yang tidak bisa dimanfaatkan lagi. Karena itu pemakaian energi akan menyebabkan kekurangan energi dalam bentuk yang bisa dipakai dan anda akan mengalami "kekacauan sistem" kecuali anda menciptakan energi baru. Anda, saya dan kita semua selalu membutuhkan penciptaan energi.

Jika konstruksi tadi dapat diterima maka pertanyaannya adalah siapakah pencipta energi? Teistik maupun ateistik bisa berdebat tetapi 1 hal yang disepakati adalah selalu diperlukan energi yang konstan. Dan selama ini diakui bahwa tidak ada 1 pun mesin yang bisa bekerja secara konstan dan efisien KECUALI adanya sesuatu yang MISTERI yang berfungsi sebagai PENGADA (the first uncaused cause - Bertrand Russel). Dalam perspektif kaum teistik, kita akan menyapa Sang Maha Pengada itu sebagai TUHAN yang tidak memerlukan pengada lainnya. Saya membaca kesaksian di dalam Alkitab bahwa:
Even before the mountains came into existence, 1 or you brought the world into being, you were the eternal God (Psalm 90:2 - Nett Bible)

Sebelum gunung-gunung dilahirkan, dan bumi dan dunia diperanakkan, bahkan dari selama-lamanya sampai selama-lamanya Engkaulah Allah (Mazmur 90:2 - Alkitab, TB, LAI, 1974)

Sadèrèngipun redi-redi katitahaken, inggih sadèrèngipun Paduka ngawontenaken bumi lan alam jembar, wiwit kelanggengan dumugi kelanggengan, Paduka jumeneng Allah (Mazmur 90:2, Injil Bahasa Jawa, 1994)

Happy Sunday. God bless you all,


Tabe Tuan Tabe Puan

Minggu, 02 Oktober 2011

tentang pancasila (1 x lagi)

Dear Sahabat Blogger,

Berikut ini kutipan berita dari HU Timor Express, Kupang (merupakan anak perusahaan Jawa Pos Grup) yang terbit pada hari Minggu tanggal 02 Oktober 2011.

Sehari jelang penutupan Sidang Sinode GMIT XXXII suasana sidang cukup memanas begitu memasuki agenda pemilihan Kertua Majelis Sinode (MS) GMIT. Lewat proses pemilihan yang cukup demokratis akhirnya Pendeta Robert Stevanus Litelnoni yang akrab disapa Bobby Litelnoni unggul atas dua calon Ketua Sinode GMIT lainnya, Pendeta Merry Kolimon dan Pendeta Mesakh Dethan. Pendeta Bobby meraup 155 suara, Pendeta Merry 97 suara dan Pendeta Mesakh Dethan 22 suara. Jumlah pemilih yang menyalurkan hak pilihnya sebanyak 274 pemilih, terdiri atas 261 dari jemaat-jemaat dan sisanya dari Majelis Sinode GMIT dan BPPPS. Selain ketua, untuk posisi wakil ketua, adalah pendeta Welmintje Kameli-Maleng, Sekretaris Pendeta Benyamin Naralulu, Wakil sekretaris Ince Ay-Touselak dan Bendahara Wem Nunuhitu. Sementara anggota-anggota adalah Bidang Pendidikan Ayub Titu Eki, Bidang Hukum Inche Sayuna, Bidang Ekonomi Sofia Malelak-de Haan, dan Bidang Politik Paul Liyanto.

Apa yang istimewa dari berita itu sehingga dijadikan sebagai pembuka posting? Sebenarnya tidak istimewa amat kecuali bahwa berita itu berkaitan dengan Sidang Sinode GMIT ke 32 yang diselenggarakan setiap 4 tahun sekali. Banyak agenda, ini dan itu, salah satunya tentang Rencana Induk Pengembangan (RIP) GMIT periode 2011 - 2020 dan Haluan Kebijakan Umum Pelayanan (HKUP) GMIT 2011 - 2015. Kedua dokumen ini adalah dokumen perencanaan, yaitu yang berjangka panjang (RIP) dan berjangka menengan (HKUP). Saya sebagai warga GMIT yang baik, terlibat sangat aktif pada perkara RIP dan HKUP tersebut. Saya adalah koordinator tim penulis draft kedua dokumen itu - harap maklum, koordinator artinya "jongos" paling besar. Jika untuk menulis naskah seperti itu pada urusan "sekuler" saya dibayar ber-jut-jut maka tidak untuk RIP dan HKUP GMIT. Itulah perpuluhan saya untuk GMIT. Semua demi Tuhan dan Jemaat-NYA. Oh, ya tentang dokumen perencanaan ini tidak banyak perdebatan. Pleno untuk pembahasannya cuma memerlukan waktu sekitar 30 menit. Saya mencatat reaksi seorang peserta sidang ..."dokumen yang berat dan bikin kepala sakit, karena itu tidak usah lama-lama dibahas, terima saja"....whussszzzz....itukah istimewanya berita dalam TIMEX di atas? TIDAK. Bukan itu melainkan ini.

Perhatian saya ada pada komposisi para petinggi GMIT yang terpilih. Ketua MS GMIT adalah seorang warga GMIT keturunan Tiongkok. Demikian juga untuk nama Inche Sayuna dan Paul Liyanto. GMIT adalah gereja yang tidak punya persoalan dalam urusan pembauran. Semua yang ada adalah milik Sang Kepala Gereja, Tuhan Yesus Kristus. Tak perduli dari mana engkau berasal. Selanjutnya dalam susunan di atas terdapat 3 orang dari suku Rote (Messakh Dethan , Ince Ay-Touselak dan Sofian de Haan), 1 orang bersuku Timor (Ayub Titu Eki), 1 orang bersuku Sabu (Benyamin Naralulu), 1 orang bersuku Alor (Welimince Kameli - Maleng) dan 1 orang campuran Sabu + Rote (Wem Nunuhitu). Komposisi di atas mewakili kelompok etnolingusitik yang berbeda yang merupakan mayoritas anggota GMIT. Mantap dan asik. Indonesia banget. Indonesia? Ya iya memang begitu. Agama, dalam hal GMIT adalah Kristen Protestan, terbukti mampu menyatukan keberagaman menjadi 1. Bhineka Tunggal Ika. Jayalah Indonesia. Jayalah Pancasila. Benar begitu? Jangan terburu-buru. Perhatikan yang berikut ini.

Di Kupang, pada November 1998 pernah pecah kerusuhan yang bernuansa agama dan etnik sealigus. Agak aneh ketika itu karena kendati mereka yang menjadi sasaran amarah massa memang adalah kelompok beragama yang berbeda dari mayoritas penduduk Kupang tetapi yang tergolong kaum pendatang yang berbeda etnik. Hampir tidak serangan massa kepada mereka yang beragama berbeda tetapi dari kelompok etnik yang sama. Kesannya ketika itu adalah anti Bugis dan Jawa. Di Makassar nyaris saban bulan kita membaca dan melihat siaran televisi bahwa mahasiswanya gemar berpukul-pukulan hanya karena beda fakultas padahal dalam suku yang kemungkinan besr sama dan agama yang juga kemungkinan besar sama. Di Papua, saban tahun kita mendengar dan melihat orang dari suku yang berbeda pada agama yang sama saling berperang sedemikian rupa sehingga baru akan berhenti jika jumlah yang mati berimbang antar 2 kubu. Selesai berperang, batu dibakar untuk perdamaian. Dua atau tiga tahun kemuduan ehh.....berperang kembali. Bakar batu lagi. Kasihan si batu, dibakar-bakar. Di Jakarta, orang yang tinggal bersebelahan kampung pada kelompok yang mungkin berlatar belakang etnik yang sama atau berbeda tetapi pada agama yang kemungkinan besar bisa tawuran secara berkala bertahun-tahun lamanya. Di Jakarta orang pada kelompok etnik betawi yang sama dan agama yang hampir pasti sama bisa saling tawuran hanya gara-gara berebutan "lahan garapan". Di Ambon, kerusuhan antar orang-orang dari kelompok agama yang berbeda kumat kembali dan nyaris membesar. Di Cikeusik, perbedaan keyakinan menyebabkan orang bisa membunuh sesamanya pada kelompok etnik yang sama. Di Bogor, walikotanya sama sekali tidak takut akan pelanggaran hukum dan HAM karena dia berbeda keyakinan dengan orang-orang yang bergereja di GKI Yasmin. Di Solo, sebuah gereja kesusupan orang yang lalu meledakan bom bunuh diri dimana orang ini jelas-jelas mengusung faham radikal dari agama yang berbeda dari jemaat yang beribadah di GBIS, Solo. ... silakan perpanjang daftar yang saya buat....kita akan tercengang dan tidak bisa mengerti bahwa di negeri yang berpancasila ini semua tindakan fasis seperti itu bisa terjadi.

Maka, maaf saja, Bung Karno dan para founding fathers republik ini masih tidak bisa tenteram di negeri atas angin karena Pancasila dan aforisme Bhineka Tunggal Ika-nya itu dikuyo-kuyo nyaris setiap seolah-olah negara tidak ada. Bahkan ketika sekelompok orang yang menamakan gerakan tertentu rajin melakukan pawai massal sambil menerikan slogan "ganti pancasila dengan prinsip negara khalafah", negara cuma bisa diam. Ketika sekelompok orang rajin melakukan sweeping dan kekersan atas nama syariah tertentu, negara juga diam tak banyak ambil tindakan. Presiden SBY mengancam membubarkan tetapi Kapolri dan Mendagri malah bertetangan dengan presidennya. Pancasila kelihatannya kurang sakti lagi belakangan ini. Mengapa demikian?

Saya menawarkan 3 faktor penyebab yang saling bertaut sebagai hipotesis: 1) materialisme dan materialistik telah menggurita di negara pancasila ini sehingga tak ada cukup ruang bernafas bagi perkara-perkara spiritualitas seperti pancasila. Kehormatan, keterkenalan, kekayaan dan kekuasaan yag bersifat money oriented telah menggerus semangat pancasila dari pikiran warga bangsa; 2) Demokrasi transaksional telah memberikan ruang yang besar bagi perilaku materialistik. Di mulut dan slogan para elit berteriak tentang idealisme karena nilai agama, nilai budaya dan demokrasi itu sendiri tetapi perilakunya adalah hedonis sejati. Mana ada partai yang bebas korupsi dewasa ini?; 3) Politik aliran simpang siur yang akhirnya menyimpang terlalu jauh dari mainstream jiwa politik pancasila yang diusung negara. Adalah wajar jika dalam dunia perpolitikan terdapat 3 aliran besar, yaitu politik garis kiri, politik garis tengah dan politik garis kanan. Tetapi dalam praktek sebenarnya semua aliran politik akan bergerak mendekat ke arah tengah sesuai dengan ideologi negara. Tetapi tidak di Indonesia, mereka yang mengaku kiri tiba-tiba berada di tengah sembari mencuri. Lihat saja tokoh-tokoh yang di awal reformasi mengaku kiri nyatanya sekarang bergabung ke pusat kekuasaan dan akhirnya mencuri. Lihat pula mereka yang katanya di kanan tetapi tiba-tiba bergabung bersama yang di tengah. Mencuri juga akhirnya. Lantas, bagaimana dengan mereka yang di tengah? Sami mawon mencurinya. Lalu semua mereka itu, guna mencari muka ke konstituennya, pura-puralah menutup mata ketika tuntutan aneh-aneh dari konstituennya merebak di ruang publik. Inilah politik aliran simpang siur tidak keruan dan melemahkan negara. Elitnya lebih sibuk memikirkan koalisi strategis dan melupakan Pancasila. Saya melihat di televisi dengan amat sedih ketika baik masyarakat umum maupun para pejabat serta selebritas sampai berlepotan mulut ketika diminta untuk menghafalkan rumusan pancasila. Amburadul. Pathing kranthil. Tidak keruan. Kacau. Rotsooi segh. Overdomez....ha ha ha.....

Saya tiba-tiba kembali terkenang almahum Franky Sahilatua yang berpulang beberapa bulan yang lewat. Dia menuliskan sebuah lagu dengan judul "Pancasila Rumah Kita". Beberapa waktu yang lalu saya sudah menyertakan lagu ini dalam posting saya. Sekarang, tanpa ragu sedikitpun, saya mempostingnya kembali. Denagn begitu saya mengingatkan diri saya sendiri dan lalu juga kepada sahabat semua bahwa Pancasila masih amat perlu bagi kita di Indonesia. Pancasila adalah nilai dasar bagi Indonesia. Tanpa pancasila maka kita bukan lagi Indonesia. Percayalah Bung en Zoes.

Sekarang nikmatilah lagu "Pancasila Rumah Kita" karya Franky Sahilatua tetapi dinyanyikan oleh kelompok banyak orang dari Jakarta dan Jogjakarta (terima kasih banyak untuk malasbanget.com yag membuat video ini).

Pancasila Rumah Kita - Versi Kolosal #17an


Tabe Tuan Tabe Puan