Minggu, 30 Desember 2012

takut en damai (selamat natal selamat tahoen baroe)

Dear Sahabat Blogger,

Satu hari menjelang berakhirnya si 2012 akhirnya terbitnya juga semangat untuk melakukan posting baru. Bukan karena apa bukan karena sesiapa tetapi kesibukan yang luar biasa menyebabkan celah waktu yang seharusnya bisa dipakai untuk memposting sesuatu malah teralihkan untuk istirahat dan atau aktivitas lain menjelang akhir tahun anggaran dan atau menjelang Natal dan Tahun Baru. Lalu tentang dua hal ikhwal terakhir inilah, Natal dan tahun Baru, saya memposting. Saya ingin mempercakapkan sesuatu dan hal itu adalah ini: 

Di tengah kesibukan yang luar biasa, tepatnya di saat menunggu keberangkatan menuju Kupang  dari Bandara Soekarno-Hatta, saya tercenung. Untuk apa semua capai lelah ini? Mengapa di saat sanak-saudara di Kupang tengah menyiapkan hati untuk merayakan Natal, saya masih harus antri check-in di sini (Bandara Soetta). Sesuatu yang hampir menjadi rutin setiap minggu sekali dalam 2 3 bulan terakhir? Saya menyimpulkan sendiri bahwa saya ada di sini karena takut. Lha koq takut? Ada geranga apa dengan takut? Mengapa takut?  Berdasarkan defenisi, takut adalah suatu mekanisme pertahanan hidup dasar yang terjadi sebagai respons terhadap suatu stimulus tertentu seperti rasa sakit atau ancaman bahaya. Pakar psikologi juga menjelaskan bahwa manusia senantiasa akan selalu takut terhadap hal yang tidak diketahuinya. Dengan begitu, takut adalah salah satu dari emosi dasar manusia, selain kebahagiaan, kesedihan, dan kemarahan. Jelaslah, bahwasanya saya takut adalah normal. Manusiawi saja. Sepanjang saya manusia normal maka takut dan lain sebagainya pasti akan timbul entah dimana dan dalam waktu apa. Maka, berhati-hatilah bagi anda yang suka sok jago lalu bilang...."weeeeiiiii saya ini tidak punya rasa takut"....hhhmmmmmmm, awaslah, jangan-jang anda bukan orang tetapi alien....ckckckckck......

Kembali kepada situasi saya, apa yang membuat saya takut? Jujur saja adalah ini: saya takut tidak punya cukup uang untuk mengurusi keluarga saya. Lalu dengan itu saya menerima tawaran kerja dari mana mana, utara-selatan, barat-timur, barat daya, timur tak berlaut, dari segala penjuru mata angin lalu....wwwhhaaaszzzzz....wwwhheesszzzzz....whhiissszzzzz....whuszzzzz....terbanglah saya kesana kemari. Bekerja. Pidato ..... abla abla abla bla bla bleeehhh...lalu ...sreseetttttt, tanda tangan, honorpun penuh di kantung kanan dan kiri.  Karena saya takut tidak bisa eksis sebagai ilmuwan maka ...teliti sana sini, presentasi sini sana dan lalu ...sreeeessseeetttttttt ...... tanda tangan lagi, uang lagi. Cukup? tidak. Masih saja takut lalu hidup gampang sakit, gampang tersinggung, mudah ngambek dan berasa tak punya apa-apa di antara banyak apa-apa. Iya benarlah sudah, saya kehilangan damai sejahtera. Itulah situasi akhir saya. Semua agenda terpenuhi, sibuk, eksis, punya uang tetapi saya seperti kehilangan diri sendiri.

Damai adalah situasi aman tenteram (noun), menenangkan (verba) dan atau tenteram, tenang dan tidak ada permusuhan (adjektiva). Damai adalah afeksi positif. Lalu, apa itu sejahtera? adalah ini: aman, sentausa, makmur dan selamat (adjective) dan atau hal dalam keadaan selamat, aman, atau sejahtera (noun). Sejahterapun ternyata afeksi positif. Perhatikanlah sekarang, tagal takut (afeksi negatif) maka hasilnya adalah tidak damai dan tidak sejahtera (afeksi negatif). Sebenarnya salahkan saya menjadi takut? Jika merujuk pada teori psikologi seperti yang saya kutip di atas maka sebenarnya tidak ada salah-salah amat. Menurut teori eko-fisiologi, setiap makhluk hidup memiliki mekanisme internal dalam menghadapi cekaman (stress).  Ketika stresor itu datang maka makhluk hidup akan bereaksi dalam 3 cara, yaitu menghindar (avoidance), merubah diri (ameliorasi) dan beradaptasi total (total adaptation). Jangan berjalan di gelap jika anda takut kegelapan (avoidance), karena tubuh anda tidak bisa mengeluarkan sinar pakailah senter ketika melewati kegelapan dengan resiko tangan anda repot memegang senter (ameliorasi) dan akhirnya tetaplah bernafas dan bergerak kendati gelap (adaptasi total). Kata kuncinya adalah menyesuaikan dan itu berarti dinamis atau berubah. Kata yang disukai banyak orang terutama memasuki tahun baru atau ulang tahun. Berubah. Di kandang domba mengembiklah. Di kandang macan mengaumlah dikau. Dansalah dengan gangnam style jangan menari cerana kalau tidak ingin terlihat kampungan. Pakailah CU (celana umpan - kata anak kupang untuk celana yang sangat pendek dan ketat sehingga ketika adipakai rasanya seluruh paha dan pangkal paha bisa dilihat banyak orang) karena hal itu moderen. Baik? Oh ya sudah barang tentu baik tetapi (nah kembali ada tetapinya), teori Darwin mengatakan bahwa yang makhluk bio yang bertahan eksis adalah yang paling sesuai. Sesuaikanlah dirimu begitu rupa bila perlu kau tidak tampak seperti dirimu sendiri. Jangan cuma mengembik tetapi jika memang supaya selamat jadilah kau kambing maka jadilah begitu. Tagal itu,  konon begitulah logika Darwin, manusia adalah monyet yang berubah. Monyet hilang menjadi manusia. Lha, kalau manusia ketakutan dan secara perlahan berubah, lalu menjadi apa dia? Di titik inilah ketercenungan saya di bandara Soetta itu bermakna. Setelah semua yang saya peroleh, apakah semua masih akan berlanjut di masa depan? Apakah saya masih adalah saya seperti biasanya? jangan-jangan saya adalah alien hasil mutasi gen dari yang bermasalalukan dosen, suami, bapak, ketua forum DAS NTT dan.....ahaaa, jangan-jangan......begitu banyak jangan-jangan-nya lalu kembalilah saya pada siklus ketakutan.......

Dan, pas sudah, datanglah berita Natal....."hoooooiiiiiiiii jangan kamu takut, sebab bagimu sudah ada Damai Sejahtera yang tinggal bersamamu"......wow, saya tersentak girang dan sambil begitu saya koprol 5 kali. Saya sungguh memerlukan kepastian itu terutama karena, kendati cuma persepsi manusia, tahun 2013 menjelang. Satu masa baru akan datang. Apakah di tahun yang baru ini saya akan cukup punya uang? Apakah akan punya kesempatan eksis? Apakah saya masih akan menjadi sekertaris lemlit? Apakah, apakah, dan apakah......Ada banyak ketidak pastian. Ada jutaan kecemasan. lalu, ada milyaran ketakutan. Ampun deh, saya tak mau ketakutan secara kontinyu lalu kehilangan damai sejahtera dan lalu ..... menjadi alien. So help me God. Jawabnya ya itu tadi di atas..."jangan takut, karena damai sejahtera sudah tinggal bersamamu"....ahaaaaaaa......tapi bagaimana saya memahami dan belajar tentang rasa takut itu? Saya belajar dari orang kecil berikut ini:

Adalah seorang yang bernama Dessy. Seorang pekerja di sektor informal. Pembantu rumah tangga, kata mudahnya. Asisten kata kerennya. Orangnya baik, rata-rata. Kendalanya cuma 1, yaitu soal kepandaian. Nah untuk yang satu ini saya punya banyak persoalan. Si Dessy, ampun-ampun, di suruh bikin A dia kerjakan B. Diminta tolong membuatkan teh, memang dia bikin tehnya tetapi lalu diminumnya sendiri. Pernah sekali waktu saya panggil dia, .."Dessy...kau tolong ke apotik ya, eh kau tau apotik tidak?". Dessy menjawab dengan tegas: .."tau bapak, itu yang di depan rumah tempat jual ikan tu"...wkwkwkwkwkw, kacau sekali......Isteri saya suka kehilangan kesabaran dan lalu bersuara keras. Saya cuma kasi ingat dia bahwa .."weits, kalo dia pintar-pintar amat maka yang jadi boss adalah si Dessy, kita berdua adalah pembantunya". Manjur, biasanya isteri saya lalu tertawa. Lain kali kalau saya yang hilang sabar, isteri saya mengingatkan kembali apa kata saya itu. Tapi sungguh mati, ada yang asik dari nona Dessy kita ini, yaitu dicomelin seperti apapun dia tenang-tenang saja. Seolah tidak ada apa-apa lalu ...... kucluk, kucluk, kueeecccllluuukkkk...terus bekerja. Entah beres entah tidak. Saban kali ditegur dia diam dan kelihatan cemas tetapi itu cuma semenit dua. Sejurus kemudian dia sudah tertawa kembali. Melanjutkan bekerja, ramah kembali dan..."bapa, mau angkat tas pigi oto ko???", tanya Dessy sambil senyam senyum. Lalu, lihatlah kamar saya makin hari makin lebih bersih dan rapih ditata oleh Dessy...wooooooiiiiiiiii, Tuhan eeeee........menurut saya inilah orang yang punya takut tetapi lebih banyak rasa damai dan rasa sejahteranya. Entah di masa depan tetapi, sungguh mantri nama dokter, per hari ini Dessy-lah petunjuk dari Allah bagi saya tentang bagaimana hidup yang lebih memperbanyak rasa damai sejahtera ketimbang melebih-lebihkan rasa takut. Saya dipaksa belajar dari hidup orang-orang kecil seperti Dessy: punya sedikit ketakutan, punya banyak damai sejahtera dan perlahan dia berubah bukan dalam hal fisik melainkan dia mau sedikit belajar dari kesalahan. Berubahlah karena pembaruan budi-mu.....

Dan, begitulah sobat blogger, apa yang saya mau bilang bahwa dalam waktu-waktu menjelang akhir 2012 ini saya punya banyak peristiwa membahagiakan: kesibukan sebagai orang yang sedikit paham tentang Pengelolaan DAS, terbitnya buku karya saya, Otep berulang tahun, Dolly berulang tahun, Hari Natal dan persiapan Tahun Baru. Akan tetapi di balik semua hal gemilang itu selalu muncul rasa takut: apakah semua itu akan begitu di tahun depan? saya tak tahu. Semua masih gelap tetapi saya mau takut sedikit saja. Damai sejahtera lebih banyak. Saya kepingin perubahan karena budi pekerti yang dibarui. Itu saya. Bagaimana anda, sahabat blogger ku? SELAMAT NATAL bagi yang merayakan dan SELAMAT TAHUN BARU bagi semuanya. Tuhan Memberkati....

The Times They Are A-Changin' - Bob Dylan


Tabe Tuan Tabe Puan

Sabtu, 06 Oktober 2012

maunya manusia ya selamat

Dear Sahabat Kristiani,

Bagi anda dan saya dan juga mereka yang tinggal di Indonesia, besok adalah hari Mingu. Oleh karena itu, sudah barang tentu, hari ini adalah hari Sabtu. Dalam tradisi Yahudi, Sabtu atau Sabat adalah hari ke tujuh yang diistimewakan. Seorang sahabat buku muka (FB) saya yang bernama "mister anu" rajin mengirimkan kepada saya inbox yang menyatakan betapa pentingnya hari Sabtu ketimbang hari lain dalam 1 minggu. Namanya juga keyakinan ya saya persilakan saja sahabat saya itu meyakini apa yang diyakini. Saya lalu merelakan inbox saya diisi dengan keyakinannya itu. Tak saya tolak tak saya hapus. Biar saja begitu, tidak saya komentari, kendati saya punya pendapat lain. Pendapat saya yang berbeda itupun saya pikir tidak harus saya konfirmasikan kepada dia karena saya menghormati sahabat saya itu.. Sebaliknya, saya berharap si sahabat juga menaruh hormat terhadap pilihan saya untuk berbeda dari dia. Apakah tentang masalah hari Sabat isi posting ini? Tidak. Bukan itu melainkan ini.

Salah satu alasan orang bergirang hati saban kali bertemu dengan hari Sabtu adalah peluang untuk memilih tidak repot bekerja keras....heeeeiiiii, it is saturday, the day of weekend.....lalu bersenang-senanglah kita sepanjang hari lalu disambung besok, hari minggu.......badan dan pikiran kita diistirahatkan dari rutinitas kerja keras sepanjang minggu. Badan perlu itu, pikiran juga. Benar bukan? Benar belaka. Tetapi di titik ini saya bertanya, apakah benar itu kebutuhan kita? Tentang hal ini saya ingin memndiskripsikan paling kurang 2 teori tentang kebutuhan dasar manusia:
  1. Teori Maslow yang dengan piramidanya menguraikan kebutuhan manusia mulai dari yang paling mendasar sampai ke kebutuhan tertinggi. Urutannya adalah kebutuhan fisiologi, kebutuhan keselamatan dan keamanan, kebutuhan cinta kasih dan memiliki, kebutuhan harga diri serta kebutuhan aktualisasi diri. Silakan anda dan saya merenungkan baik-baik teori ini dan kita akan sepakat bahwa Maslow benar belaka;
  2. Teori Jean Watson yang mendeskripsikan bahwa kebutuhan manusia terdiri atas kebutuhan biofisikal (makan, minum, eliminasi dan ventilasi), kebutuhan psikofisikal (aktivitas, istirahat dan seksual), kebutuhan psikososial (berprestasi dan berorganisasi) dan kebutuhan intra-inter personal (aktualisasi diri). Lagi-lagi, jika direnungkan benar maka sulit untuk menolak teori ini.
Tetapi ijinkan saya untuk menyampaikan barang sedikit kebutuhan mendasar manusia dilihat dari perspektif Kristiani atau, secara lebih khusus dalam perspektif "Doa Bapa Kami". 
  1. Bapa kami yang di Surga : naluri dasar manusia adalah bertahan hidup dan manusia yang bernaluri untuk mencari aman dan selamat akan memerlukan kepastian, penyertaan dan cinta. Manusia membutuhkan Tuhan sebagai sesuatu yang lebih besar darinya di alam semestaraya ini. Dirinya selalu cemas jika merasa sendiri di semesta yang dinamis, berubah dan tidak pasti ini. Adalah Tuhan sang pasti menjadi pemberi ketenteraman dan cinta kasih. Manusia memerlukan Tuhan. Selanjutnya, Kata "kami" mengindikasikan  bahwa manusia memerlukan orang lain. Dia memerlukan sesama sebagai rekan senasib seperjuangan di dunia yang fana ini. Selain cinta dari Allah dia juga memerlukan cinta dari sesama. Manusia memang makhluk relijius dan sosial sekaligus;
  2. Dikuduskanlah nama-Mu : manusia memerlukan relasi yang damai. Di dalam relasi yang damai manusia dapat mengaktualisasikan dirinya sepuasnya. Manusia si fakir di depan Sang Maha Pengada perlu diberi jaminan keselamatan dan keamanan. Hanya Maha Kuasa yang penuh kasih yang mampu menyediakan itu. Manusia juga sadar bahwa antara dia dan sesama bisa terjadi sesuatu yang dapat bersifat destruktif dan hal ini mengancam persaaan aman dan pasti. Karena itu, antara dia dan si sesama perlu ada yang lain yang kudus dan disegani atau ditakuti bersama. Itu adalah Tuhan. Ya, Tuhanlah yang menghubungkan manusia dengan sesama. Tagal dua perkara ini maka manusia akan berseru "kuduslah nama-Mu" yang oleh karenanya dia selamat;
  3. Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di Sorga : manusia  beranekaragam itu memerlukan suatu desain atau perencanaan tentang bagaimana dia harus  hidup. kemarin adalah kepastian, hari ini adalah perjuangan dan besok sama sekali gelap gulita. Di atas ketidakpastian, manusia sangatlah gemetar maka dia memerlukan rencana sebagai pelita menuju gelapnya besok. Rencananya sendiri tidak paten karena belum tentu disetujui sesamanya apatah lagi sang Mahakuasa. Karena itu supaya aman si manusia butuh untuk berseru...."ya Allah, biarkan aku menjadi bagian di dalam rencana-Mu itu";
  4. Berilah kami makanan kami yang secukupnya : manusia adalah makhluk material dan sebagai itu dia mempunyai kebutuhan mendasar sebagai makhluk fisik dan biokimia. Energi harus ada materi harus berputar supaya sel-sel manjadi hidup dan menjalankan jutaan proses bikoima. Setiap hari. Setiap saat. Dan hal itu dimungkinkan jika ada transformasi energi yang dialami oleh manusia sebagai makanan. Bahkan sebenarnya makanan hanyalah ikon bagi kata yang lebih besar, yaitu rejeki : pangan, sandang dan papan serta atribut material lainnya;
  5. Ampunilah kami seperti kami juga mengampuni: manusia memerlukan hidup bebas bahkan kebebasan ini menjadi hakekat manusia sebagai anugerah Tuhan. Dengan kehendak bebas manusia dapat hidup sebagaimana layaknya makhluk yang dapat tunduk dan mengatasi hukum-hukum alam. Jika ini bisa didapat maka harga diri dan aktualisasi diri diperolehnya. Bahkan kehendak bebas ini dikaruniakan juga kepada manusia untuk apakah percaya atau tidak percaya kepada DIA. Kebebasan hanya ada jika manusia terbebas dari tekanan dan hukuman. Kehendak bebas hanya akan ada jika ada pengampunan. Ya, pengampunan adalah kebutuhan  manusia;
  6. Janganlah membawa kami ke dalam pencobaan melainkan lepaskanlah kami dari yang jahat : secara probabilita kesenangan dan penderitaan dapat menghampiri manusia silih berganti. Hal ini merupakan konsekuensi logis manusia sebagai makhluk biologi yang memiliki kehendak bebas. Bahkan dalam kemewahan kehendak bebas itu manusia masih juga cemas..."kalau boleh jauhkan saya dari cawan pahit dan dekatkan saya pada cawan anggur yang manis". Ternyata manusia membutuhkan kesenangan yang mengatasi penderitaan;
  7. Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan, Kuasa dan Kemuliaan : manusia yang makhluk ego dan alter ego ternyata memiliki kebutuhan akan kerendahatian. Tanpa sifat rendah hati keselamatan dan keamanan tidak pernah bisa dijamin. Sikap tinggi hati akan memancing bahaya. Bahaya berati tidak aman dan hal ini tidaklah manusiawi. Dari dirinya sendiri, kerendahatian adalah barang mewah yang sulit. Dari Allah dimintanya kerendahan hati itu. Semua yang aku punya sebenarnya punya DIKAU-lah itu
Jika kita tidak menolak teori Maslow dan Jean Watson maka bahagialah kita. Akan tetapi jika kedua teori itu digunakan untuk melengkapi teori Doa Bapa Kami maka menuju selamatlah kita. Anda, saya dan kita semua sungguh memerlukan keselamatan, tanpa kecuali. Percayalah. Happy Sunday, JBU.


Tabe Puan Tabe Tuan

Rabu, 15 Agustus 2012

from savu with love: to indonesia

Dear Sahabat Blogger,

Agustus datang kembali dan itu berarti, bagi orang Indonesia, adalah bulannya Hari Kemerdekaan Republik Indonesia terkasih. Kendati banyak diperbincangkan secara kurang baik (kerajaan korupsi-lah, negara gagal-lah, negara-nya para cicak dan buaya-lah, negaranya para preman ber-ayat-lah serta masih banyak sebutan sinis lainnya) tapi toh di negara inilah saya dilahirkan. Sampai hari ini masih menjadi warga negara yang sah - dan akan terus begitu, dan di sinilah saya akan menua dan lalu menghilang. Mau kemana? Mau bagaimana lagi? Inilah negara saya (dan anda juga). sudah garis tangan. So, terima saja dengan penuh syukur. Karena itu pada tempat pertama ini saya ingin mengucapkan DIRGAHAYU INDONESIA. JAYALAH KAMU SELAMANYA. TUHAN MEMBERKATI. Tetapi bagaimana memberikan makna kepada Hari Raya nasional ini supaya dia tidak berlalu begitu saja tanpa kesan? Ijinkanlah saya untuk menceriterakan Indonesia dari perspektif negeri liliput di bagian selatan Indonesia, di antara samudera raya Pasifik dan Hindia, tempat nenek moyang dari garis ayah saya berasal: Sabu.

Negeri Sabu, biar kecil, tetapi adalah bagian sah dari NKRI. Sabu adalah salah satu kabupaten di propinsi NTT. Ada apa dengan suku bangsa ini sehingga tentang Indonesia perlu diberikan perspektif Sabu? Apa hebatnya? Menurut saya tidak ada yang terlalu hebat. Biasa saja. Apalagi ukuran pulaunya juga tergolong kecil saja. Lalu apa? Ini jawaban saya: Indonesia hari ini tidak lengkap jika 1 saja pulau di antara ratusan ribu buah pulaunya hilang. Dengan perkataan lain, tanpa Sabu maka Indonesia yang ada bukanlah Indonesia yang seperti hari ini. Titik. Anda setuju atau tidak, saya memaksa untuk setuju karena aturan silogismenya memang sudah seperti itu. Lha, apa itu silogisme? Gak urusan, pokoknya saya sudah bilang begitu ya begitulah .... ha ha ha ha.....Lalu, apa prespektif Sabu yang saya sebut-sebutkan tadi yang dapat digunakan untuk meneropong Indonesia hari ini? Pada bagian pertama ini adalah yang berkaitan dengan asal-usul Orang Sabu.

Dari mana asal-usul orang Sabu? Saya mengutuip dari tulisan Riwu Kaho yang lebih senior dari saya, yaitu Robert Riwu Kaho (almarhum ayahanda) dalam bukunya "Orang sabu dan Budayanya" (2005). Pada pengetahuan tradisi yang umum dipercaya di Sabu, nenek moyang Oran Sabu berasal dari suatu negeri di bagian barat dari Pulau Sabu. Entah dimana pastinya karena tabu bagi orang Sabu untuk menyebutkan daerah asal nenek moyang mereka. Namun demikian, jika merujuk kepada kepercayaan bahwa leluhur I orang sabu adalah seseorang yang bernama Kika Ga yang berasal dari ufuk barat Pulau Sabu, yaitu negeri yang bernama Jawa Ae (India Selatan) maka asal usul dimaksud lebih bisa diperkirakan. Konon, Kika Ga berasal dari wilayah Hurat, Kerajaan Gujarat, India bagian selatan. Jika kita membaca di peta India bagian selatan maka kita akan bertemu dengan kota Surat yang terletak di sebelah utara kota Bombay di teluk Cambay. Tanpa bermaksud untuk mengatakan bahwa identifikasi ini 100% pasti begitu tetapi ijinkan saya mengajukan 1 fakta lain yang diungkapkan juga oleh Ayahanda Robert.

Di katakan oleh para tetua di Pulau Sabu, yang adalah folklore turun temurun, bahwa ciri-ciri fisik orang Sabu yang mula-mula adalah ba'bae kae, meddi kuri, keporo rukettu, bella dillu, bella ka'bajela, nga bella ta'be yang artinya berukuran tubuh pendek, berkulit hitam, rambut keriting, telinga lebar, telapak kaki lebar dan juga berdahi lebar. Jika benar demikian maka terdapat paradoks di antara kedua pendapat di atas. Ciri-ciri fisik yang disebut belakangan ini bukan merupakan gambaran orang-orang yang berasal dari India yang umumnya tinggi besar melainkan merupakan gambaran orang dari manusia awal Indonesia seperti Meganthropus atau Pithecanthropus atau Homo sapiens sapiens (manusia moderen). Apakah kelompok ini berasal dari Afrika selatan (out of Africa) atau asli Indonesia (orang Wajak, Trinil dan Solo) atau bahkan asli manusia purba di sabu kita tidak tahu pasti tetapi jika benar bahwa tetua di Sabu memastikan bahwa orang awal di Sabu berciri fisik seperti di atas lalu 2 opsi tentang orang Sabu asli adalah apakah manusia purba ataukah pendatang Homo sapiens sapiens yang datang dari daerah lain maka mereka pasti tidak sekelompok dengan Kika Ga yang beriasal dari India. Apapun juga, dalam ceritera para tetua di Sabu, penduduk asli Pulau Sabu ini menghilang ketika datang orang-orang melayu yang berasal dari Indochina terus ke Malaka dan terus menelusuri Jawa, Bali, NTB, Ende, Flores Timur dan Timor.

Pergerakan migrasi orang-orang Melayu yang berasal dari Indochina memasuki daerah-daerah di Nusantara (Olson, 1996 dan Dahler, 2000) sebenarnya merupakan gambaran pergerakan gelombang II migrasi bangsa-bangsa manusia yang bersebaran di Nusantara lalu tiba di Pulau Sabu. Ditulis oleh Robert "Ayahanda" Riwu Kaho bahwa sekitar 500 tahun SM datanglah orang-orang yang berasal dari daerah Yunan dan wilayah Indochina, yang berhenti sementara di daerah Malaka dengan membawa Budaya Dongson yang mendominasi Indonesia sampai hari ini. Kelmpok ini sangat dominan di Nusantara sekarang yang berasal dari ras Mongoloid. Donselaar (1872) dan beberapa penulis yang jauh lebih ke belakang seperti Bere Talo yang mengutip Lubis menguraikan bahwa sekelompok Melayu (Hindia Muka) berlayar dari negeri Cina putih Malaka (Sina Mutin Malaka) mengarungi laut Jawa menyinggahi P. Ninobe, Kusu, Kae, Api, LoE dan Larantuka Baboe. Dari persinggahan terakhir ini sebagian kelompok terus berlayar sampai ke Pulau Timor di satu tempat yang bernama Halileon Lumamar di muara Sungai Loes, Timor Timur. Sebagian tinggal dan mengisi Pulau Timor ke arah Barat dan sebagian terus berlayar menuju Rote dan menetap di Thie. Dari Thie, sebagian lagi berlayar terus dan tiba di Pulau Sabu. Kisah berpisahnya orang-orang Timor, Thie dan Sabu di Pulau Timor bagian Timur ini menghasilkan kisah legendaris tentang Belu Mau, Thie Mau dan Sabu Mau yang masih diyakin hingga hari ini. Orang-orang Melayu ini memiliki keterampuilan bertani yang memadai dan tanda-tanda ini begitu kuat melekat di orang-oran Sabu sampai hari ini. Dipercaya bahwa sebagain terbesar orang Sabu sekarang adalah keturunan mereka yang berasal dari gelombang migrasi ke II. Jika ini benar demikian maka kelompok yang berperawakan sedang ini (kebanyak orang Sabu berperawakan seperti ini) pastilah bukan sekelompok dengan Kika Ga yang, sekali lagi konon, berasal dari India.

Lalu dari mana datangnya Kika Ga? Seperti yang telah dikatakan tadi bahwa Kika Ga diyakini berasal dari Gujarat, India selatan. Oleh karena itu, kemungkinan besar Kika Ga dan kelompoknya (sebab hampir tidak mungkin terjadi pelayaran seorang diri dalam persebaran manusia) berasal dari gelombang migrasui ke III yang memasuki Nusantara dan tiba di Sabu. Berawal dari pertikaian antar kerajaan di India antara abad 2 dan 3 Masehi amaka banyak kelompok di bagian Selatan yang ditaklukan oleh kerajaan besar di India Utara terpaksa berlayar meninggalakan negeri mereka menuju tempat baru. Orang-orang Keling dengan perawakan yang besar dan berhidung mancung ini dalam pelayarannya singgah diberbagai tempat di Nusantara dan salah satunya tiba dan menetap di Sabu. Akan tetapi perlu diingat bahwa kedatanagn mereka tidaklah tiba di pulau yang kosong melainkan sudah berpenduduk. Dapat dibayangkan bahwa kemungkinan besar penduduk Sabu ketika itu adalah keturunan dari mereka yang datang pada gelombang migrasi II (siapa tahu bercampur pula dengan gelombang migrasi I atau orang asli Sabu - Sabunensis). Lalu mengapa kendati para tetua Sabu mengakui adanya beberapa gelombang migrasi orang-orang ke Sabu tetapi yang diakui sebagai leluhur orang Sabu adalah Kika Ga yang berasal dari gelombang ke III migrasi?

Dalam hipotesis saya, pengakuan tentang Kika Ga sebagai leluhur orang Sabu terutama disebabkan faktor bahwa dia dan kelompoknyalah yang pada akhirnya berkuasa atas teritori Sabu. Saya menduga demikian karena orang-orang India Selatan sudah memiliki budaya kerajaan, yaitu entitas yang tersusun atas kekuasaan. Pada lapisan paling atas struktur sosial kerajaan adalah "raja". Seperti biasa, pemenang adalah penulis sejarah atau sejarah ditentukan oleh pemenang. Dugaan ini semakin kuat mengingat latar belakang orang-orang India selatan itu keluar dari negeri mereka lalu tiba di Sabu, yaitu peperangan. Setibanya di Sabu, ada kemungkinan mereka menaklukan para penduduk Sabu yang datang dari gelombang migrasi sebelumnya, entah lewat perang atau negosiasi. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa para pendatang di sabu yang berasal daro gelombang migrasi II umumnya berbudaya petani dan hidup tanpa struktur sosial yang tersusun atas derajat kekuasaaan teritori kecuali, mungkin, pemukiman dan ladang. Di kalangan tetua di Sabu sering beredar ceritera turun temurun tentang watak pemberani leluhur mereka yang merupakan ciri khas para panglima perang atau paling kurang serdadu tentara. Hal ini merupakan verifikasi terhadap dugaan bahwa paling kurang penduduk yang berasal dari migrasi II rela dipimpin oleh mereka yang lebih kuat dan terstruktur yang berasal dari India Selatan. Sampai hari ini mitos tentang elite pula Sabu yang selalu dikaitkan dengan daya kesaktian dan kedigdayaan bukan merupakan hal aneh sebagai simbol kepemimpinan dan kekuasaan. Saya tidak bisa memastikan bahwa hipotesis saya ini benar tetapi demikianlah yang saya ajukan.

Sampai di sini, saya ingin menghentikan ceritera dan dugaan tentang kisah perjalanan berbagai-bagai gelombang para leluhur orang Sabu yang ada di Pulau Sabu. Saya ingin membuat perspektif dari kisah saya di atas. Terdapat paling kurang 3 pelajaran yang bisa saya petik dari kisah-kisah di atas, yaitu:
  1. Klaim sebagai orang asli dan tidak asli di Sabu dan juga di Nusantara sebenarnya sangat relatif. Karena itu, kesenangan melakukan klaim bahwa Sabu atau Indonesia adalah milik orang asli atau anak daerah setempat kurang patut. Kita semua adalah pendatang, minimal adalah pendatang yang "dikirim Tuhan dari Surga" lewat aneka rupa kemungkinan hukum biologis, sejarah dan lain sebagainya. Karena itu, aforisme bahwa Presiden harus orang asli atau Gubernur dan Bupati harus anak daerah adalah melawan sejarah. Jas merah kata Bung Karno sang proklamator NKRI.
  2. Namun demikian, kita harus maklum jika klaim-klaim seperti itu sangat mungkin terjadi manakala "realm"-nya adalah elit. Sudah dari sono-nya elite terbiasa "membajak" fakta. Maka, kendati menjengkelkan, kita terpaksa harus memahami klaim seperti yang dilakukan oleh mister Rhoma Irama tentang Gubenur DKI Jakarta. Tetapi harap dicatat bahwa memahami tidak identik dengan membenarkan tetapi belajar memahami adalah pelajarn kedua. Selanjutnya, pelajaran ke tiga yang saya petik adalah ini:
  3. Sebenarnya semua yang dikisahkan di atas adalah hipotesis di atas aneka ragam probabilita yang sebagian kebenarannya masih tersembunyi dan harus terus menerus dikaji sampai akhirnya mendekati kebenaran. Apa pelajaran ke tiga itu? belajar.
Singkatnya, Sabu dan Indonesia adalah milik kita semua, asli maupun tidak asli. Mayoritas ataupun minoritas. Indonesia adalah milik beragam-ragam kita semua yang adalah satu bangsa satu negara satu Ibu Pertiwi. Bhineka Tunggal Ika. Dalam sintesa hidup berkeragaman bersama sudah pasti akan ada timbul aneka problem. Mana ada hidup tanpa problema? Cara mengatasi problema bukan dengan bertengkar, berkelahi atau tawuran barbar melainkan belajar saling menerima. Filsafat manusia mengajarkan bahwa "I'm called to realized my self in the world, but for you". Saya berarti jika itu terkait anda. Filsafat Orang Sabu mengajarkan bahwa "ie tallo wewini do me mu'de pa dara jarru" yang berarti "jika banyak sahabatmu maka hidupmu pasti lebih mudah". Sahabat Indonesia, tentang apa semua ini? CINTA. Teruslah berlajar saling mengasihi agar hidup berkebangsaan makin baik, hari demi hari. DIRGAHAYU INDONESIA. MERDEKA.

Nyanyian TANAH MERDEKA -Leo Kristi


Tabe Tua Tabe Puan

Jumat, 01 Juni 2012

unhappiness di negeri pancasila

Dear Sahabat Blogger,

Sembari menyiapkan satu makalah untuk suatu pertemuan ilmiah saya membuka daftar HDI (human development index) tahun 2011 yang dirilis oleh UNDP pada tahun 2012. HDI adalah alat ukur untuk menilai derajat kesejahteraan suatu wilayah berdasarkan variabel pendapatan, pendidikan dan kesehatan. Cepat sekali mata saya tertuju pada negara-negara yang berada pada urutan 10 besar. Dan, seperti biasa, saya tak menemukan nama negara terkasih saya, NKRI, di dalam daftar urutan atas itu. Negara-negara yang berada pada urutan 10 besar adalah sebagai berikut:
  1. Norwegia, HDI 0.943
  2. Australia, HDI 0.929
  3. Belanda, HDI 0.910
  4. Amerika Serikat, HDI 0.910
  5. Selandia Baru, HDI 0.908
  6. Kanada, HDI 0.908
  7. Irlandia, HDI 0.908
  8. Lichtenstein, HDI 0.905
  9. Jerman, HDI 0.905
  10. Swedia, HDI 0.904
OK lah kalau begitu but, where's my beloved country position in that list? naik turun jari telunjuk saya mencari di daftar dan akhirnya ketemu juga....astagaaaaaaaa....ada di nomor urut ke 124 dengan HDI sebesar 0.617 yang setara dengan negara vanuatu, sebuah negeri liliput di Asia Pasific dengan angka HDI yang sama. Demi alasan harga diri saya mencoba mencari dimana posisi negeri tetangga terdekat yang satu lagi, karena Australia sudah ada di urutan atas, Singapura juga demikian, - ya anda benar, saya mencari posisi negara Timor Leste, ....naaaahhhhh...dia ada di posisi 147, tidak jauh-jauh amat dari Indonesia tetapi lumayanlah, Indonesia masih di atas.

Masih penasaran dengana daftar HDI, saya menelusuri daftar lain tentang negara-negara paling bahagia di dunia yang disusun oleh pakar ekonomi Jeffry Sachs dkk. (2012) dengan variabel pendidikan, kesehatan, pendapatan, tenaga kerja, harapan hidup dan jumlah jam lembur. Makin sedikit lembur, tetapi pekerjaan selesai, maka makin bahagia. Di daftar ini saya menemukan data 10 negara paling bahagia, yaitu:
  1. Denmark dengan indeks kepuasan (IK) 7.8
  2. Norwegia dengan IK 7.6
  3. Belanda, IK 7.5
  4. Swiss, IK 7.5
  5. Austria, K 7.5
  6. Finlandia, IK 7.4
  7. Australia, IK 7.4
  8. Kanada, IK 7,3
  9. Swedia, IK 7.3
  10. Irlandia, IK 7.2

lhhhoooooo....koq ga ada Indonesia di daftar itu? Saya segera coba mencari daftar lengkapnya di www.latimes.com dan ...hmmmmm....eurekaaaa, ini dia ....syyyuuuuuuttttttt.....nangkring di urutan 83.....kesal bercampur tersipu tapi agak lega karena posisi ini jauh di atas sang juru kunci, yaitu Togo yang berada di urutan 156. Lagi-lagi mencoba menghibur diri.

Setelah menaruh data-data di atas dalam makalah dan bahan presentasi yang sedang saya kerjakan, pikiran saya berhamburan kemana-mana. Salah satu hal yang akhirnya saya sadari adalah hari ini tepat 1 Juni. Hari lahirnya Pancasila. Mengapa tepat dihari besar rekipliek ini koq ya data yang saya dapat sangat mengganngu perasaan? Mengapa seolah-0lah Pancasila yang keren itu amat berjarak dengan fakta kehidupan sehari-hari di Indonesia. Bagaimana mungkin negara yang orang-orangnya sejak bangun bagi sudah basah kuyup disirami rohani-nya oleh kuliah-kuliah subuh di hampir semua stasiun televisi adalah negeri yang kurang bahagia? bagaimana bisa di negara yang para orang hebatnya sangat yakin akan kesucian negaranya lalu menolak kedatangan Lady Gaga berkonser di Indonesia nasibnya apes begini? Jangan-jangan kita memang negeri yang tidak suci seperti dugaan elite hebat tersebut? Entahlah. Saya cuma ingin merenungkan masalah ini mulai dari titik dimana Pancasila disebut sebagai filsafat bangsa dan negara. Konon, filsafat Pancasila ini digali dari puncak-puncak budaya adiluhung bangsa Indonesia. Benarkah Pancaasila itu filsafat?

Secara etimologis kata ”filsafat“ (Inggris - philosophy) berasal dari bahasa Yunani “philosophia” yang dimengerti sebagai “cinta kearifan”. “Philos” artinya cinta dan “sophia” artinya kearifan. Maka, filsafat adalah cinta kearifan, “wisdom” atau kebijaksanaan. Dalam terang defenisi ini maka pencarian orang Indonesia akan Tuhan yang esa, kemanusiaan, persatuan, bermusyawarah dan keadilan genap memenuhi defenisi filsafat. Ya, orang Indonesia mengidealkan dalam hidupnya mencari kearifan atau kebijaknsanaan. Mencari hikmat. Untuk membuktikan kebenaran pernyataan ini maka saya mengutip Hegel yang menyatakan bahwa pada hakikatnya filsafatnya ialah suatu sintese pikiran yang lahir dari antitese pikiran. Dari pertentangan pikiran lahirlah paduan pendapat yang harmonis. Inilah yang disebut Hegel sebagai dialektika berpikir.

Kalimat pertama dan Mukadimah UUD Republik Indonesia 1945 berbunyi "bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa. Oleh sebab itu penjajahan harus dihapusakan karena bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan". Perhatikanlah bahwa kalimat pertama dari pernyataan di atas adalah sintesa antara penjajahan dan perikemanusiaan dan perikeadilan. Pada saat sintese menghilang akan lahir kemerdekaan.Hal inipun dengan amat jelas dikemukakan dalam Mukadimah Konstitusi R.I. 1950 itu yang berbunyi "maka dengan ini kami menyusun kemerdekaan kami itu, dalam suatu Piagam Negara yang berbentuk Republik Kesatuan berdasarkan ajaran Pancasila". Dalam dokumen ini, pancasila merupakan cara untuk mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan dan perdamaian dunia serta kemerdekaan. Kalimat ini memperlihatkan dengan jelas terang benderang frasa antitesa dalam dialektika bangsa Indonesia dalam bernegara. Terbukti sah bahwa memang Pancasila adalah filsafat bangsa Indonesia untuk hidup bahagia. Bahagiakah kita hari ini?

Data menunjukan bahwa bangsa-bangsa yang tidak punya pancasila malah hidupnya lebih bahagia ketimbang kita? Kita yang memiliki Pancasila malah kurang beruntung. Apa yang salah. Ada apa denganmu? Jangan-jangan dialektika kita hanyalah hasil olah pikir para founding fathers belaka dan tidak berakar secara nyata dalam memori kolektif kita? Jangan-jangan pancasila hanyalah wacana tanpa bentuk dan ketika ingin diberi bentuk malah terjadi pembelokan kemana-mana. Ada demokrasi terpimpin nan Pancasila ala penggali Pancasila itu sendiri, yaitu Bung Karno. Si Bung Besar. Ada demokrasi Pancasila ala Pak Harto. Bapak Pembangunan. Semua upaya ini, sayang-nya berakhir dalam tragedi. Lalu dimana letak masalahnya? Socrates sang filsuf besar Yunani itu mengatakan bahwa "jika kita mengetahui apa itu kebaikan maka kita harus mengerjakannya". Seorang Filsuf Agung, Yoshua Hamasia, mengatakan bahwa "isi doa-mu harus terlihat di dalam kerjamu". Terlihat sudah bahwa antara pikiran dan perkataan serta perbuatan bisa tidak sejalan. Belum tentu yang bisa dipikirkan akan berhasil dikerjakan. Nah, supaya pikiran baik dapat dikerjakan juga dengan baik, kita memerlukan 1 alat. Alat itu adalah pengetahuan empiris tentang fakta-fakta yang relevan lalu membuat prediksi berdasarkan pemahaman terhadap fakta tersebut (Ewing, 2010). Inilah yang disebut sebagai belajar, Belajar secara sistematis adalah proses dalam sistem ilmu pengetahuan. Orang yang berbahagia adalah orang yang mampu mengerjakan pikiran baiknya. Orang yang cuma mampu omdo (omongan doang) adalah orang-orang cilaka nan murung. Maka, relasi antara indeks HDI dan derajat kebahagiaan bangsa dapat dipahami. Mengertilah kita bahwa dengan HDI yang rendah, pantaslah Indonesia kurang bahagia hidupnya. Bagaimana memahaminya secara gampang? Begini bro en sista....

Di Indonesia Raya ini, mulut kita bilang Tuhan Yang Maha Esa tetapi yang kita kerjakan adalah men-tuhankan materi, kekayaan, kemolekan, ketersohoran dan seterusnya. Di mulut kita bilang kemanusiaan tetapi hanya karena kita tidak setuju dengan ajaran Ahmadiyah, membunuhlah yang dilakukan. Di mulut kita bilang. Di mulut kita bilang persatuan Indonesia, yang kita lakukan adalah pemekaran daerah nyaris tanpa batas berbasis etnis, suku, dan kepentingan elit. Di mulut kita bilang demokrasi musyawarah yang kita buat adalah meneriakan kata "bangsat" di dalam sidang DPR kepada lawan politik. Di mulut kita bilang keadilan sosial bagi semua tetapi yang kita lakukan adalah bagi-bagi apel malang dan apel washington di antara orang separtai, satu korps, satu grup bermain golf dan seterusnya. Di mulut bilang filosofia tetapi kaki dan tangan kita mengerjakan kejahatan. Maka, mengkuti logika Yoshua Hamasia, haruslah kita duga: ada tipu di antara doa dan perbuatan kita. Maka sial sudah kita seumur-umur. Unhappiness. Tragedi 1948 terjadi, diulang di tahun 1965, diulang lagi di tahun malari 1973, terjadi lagi di tahun 1998, terjadi lagi ratusan dan mungkin ribuan kali perkelahian dan perbunuhan sesama anak bangsa karena beda agama, beda suku dan beda kepentingan. Kita tidak pernah belajar dari pengalaman empirik kita. Tak heran, sudah lebih 60 tahun kita merdeka tetapi perilaku kita tetap sama seperti pola pikir orang-orang yang satu jaman dengan Ken Arok. jauh sudah perjalanan kebangsaan kita tetapi tampaknya kita tidak kemana-mana. Kita seperti terbenam dalam lubang dan tak bisa (atau tak mau) keluar. TRAGIS. Kata orang tua "keledai tidak jatuh dalam lubang yang sama 2 kali". Kita jatuh ribuan kali dalam comberan yang sama. Maka, ketimbang keledai, kita ini lebih......(anda lanjutkan saja saudara ku sebangsa dan setanah air). HIDUP PANCASILA. MERDEKA!!!!!

Bee Gees - tragedy

Tabe Tuan Tabe Puan

Minggu, 22 April 2012

our mother

"The 23rd Psalm"

(bobby mcferrin version)


The Lord is my Shepherd, I have all I need,
She makes me lie down in green meadows,
Beside the still waters, She will lead.

She restores my soul, She rights my wrongs,
She leads me in a path of good things,
And fills my heart with songs.

Even though I walk, through a dark & dreary land,
There is nothing that can shake me,
She has said She won't forsake me,
I'm in her hand.

She sets a table before me, in the presence of my foes,

She anoints my head with oil,
And my cup overflows.

Surely, surely goodness & kindness will follow me,
All the days of my life,
And I will live in her house,
Forever, forever & ever.

Glory be to our Mother, & Daughter,
And to the Holy of Holies,
As it was in the beginning, is now & ever shall be,
World, without end. Amen

(untuk mama tien dan bapa robert, ibu se indonesia dan ibu bumi-mother's earth day)

Psalm 23 - Bobby McFerrin


Tabe Tuan
Tabe puan

(medan, 22 april 2012)

Sabtu, 24 Maret 2012

kasih yang tak bertepi, DIA-lah itu

Dear Sahabat Blogger,

Selamat hari baru. Selamat menikmati berkat baru pada hari ini. Sesuai janji saya, dan saya ingin memenuhi janji itu, maka hari ini saya haturkan sebuah posting baru. Tak perduli kualitasnya seperti apa yang penting dia hadir. Pokoknya, saya ada apa adanya dan tidak mengada-ada supaya ada tanda bahwa saya ada. Semoga anda sepakat dengan saya mengenai hal ikhwal ini.

Posting ini dibikin dalam suasana hingar bingar yang amat riuh. Seminggu lagi, kalau semuanya lancar, harga bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia akan dinaikan. Sialnya, sebelum kenaikan harga BBM dimaksud resmi diumumkan sudah banyak perkara yang terjadi. Saban hari kita di Indonesia, sukur anda yang tinggal di luar negeri, disuguhkan dengan berbagai keributan tagal perkara yang bertalian dengan kenaikan harga BBM. Demonstrasi terjadi dimana-mana dengan skala yang makin lama makin masif. Jikalau cuma sekedar demonstrasi ya tak apalah tetapi hampir semua demonstrasi berakhir ricuh. Mahasiswa sulit dibedakan dengan provokator. Provokator tampil layaknya mahasiswa. Aparat Kepolisian didesak dan digebug lalu balas mendesak dan menggebuk. Berita terkini, aparat TNI akan keluar barak untuk menghadapi. Siapa yang dihadapi? Rakyat Indonesia itu sendiri karena diduga akan terjadi demonstrasi massal dan masif lalu mengancam obyek-obeyk vital milik negara. Para pengamat berbeda pendapat lalu tawuran kata-kata, di televisi, di radio maupun di surat kabar. Sebagian pro kenaikan BBM. Sebagian lagi bilang..."bohong lu...BBM tak perlu naik". Para politisi lintang pukang. PDIP dan yang sepikiran menolak (tapi Gubernur NTT yang ketua DPD PDIP NTT malah menyatakan setuju kenaikan BBM). Demokrat cs so pasti pro kenaikan tapi...heeiitttt, nanti dulu.....ada PKS yang kompanyonnya Demokrat menolak kenaikan BM. "Koalisi ikan teri" kata Sutan Bathoegana dari Demokrat. Rektor-rektor dikumpulkan di Jakarta supaya memahami mengapa BBM perlu naik. Di koran lokal, konon, Rektor Undana bilang: ..."mahasiswa di larang demo"...(entah dianya bilang begitu ato hasil penafsiran para juru berita). Sebagian aktivis mahasiwa dikirim plesir ke negeri China (kendati ada yang menolak). Entah apa maksudnya tapi isu terlanjur berkembang "mulut mereka sedang disuruh diam karena disuap nikmatnya plesiran"...walllaaahhhh... Di tengah isu yang berloncatan tidak keruan itu muncul lagi isu serangan hama "tomcat" di pulau Jawa. Mister Dahlan Iskan mengamuk di pintu tol Semanggi, Jakarta karena kerja Jasa Marga yang amburadul. Datang pula berita bahwa 5 teroris ditembak mati di Denpasar. PSSI berubah menjadi kembar. Versi pohon "djohar" dan versi api yang bernyala "La Nyalla". .... "wooooiiiiittttt, pengalihan isu...pengalihan isuuuuu". Gaduh. Ribut. Riuh......itulah Indonesia tanah air beta....

Di tengah hingar bingar yang amat gaduh dan riuh itu hadirlah perayaan Nyepi yang dirayakan para sahabat yang beragama Hindu Bali. Suasana mendadak hening sejenak dan terasa lumayan sejuknya Indonesia 1 hari itu. Happy Nyepi bagi sahabat Hindu. Jadi teringat syair lagu Ebiet G. Ade, saksikan bahwa sepi,berikut ini:

Dengarlah suara gemercik air
di balik rumpun bambu di sudut dusun
Lihatlah pancuran berdansa riang
Menyapa batuan, menjemput bulan
...
Ada perempuan renta menimba
Terbungkuk namun sempat senandungkan tembang
...
saksikan bahwa sepi lebih berarti dari keriuhan
....
Indah bukan? menurut hemat saya, tidak sekedar indah syairnya tetapi ada kebenaran di dalam syair itu. Ketika semua hal rasanya harus dibicarakan lalu diributkan dan dikacaukan maka menepi untuk menyepi rasanya sebuah opsi yang berharga. Mengapa? Karena dalam diam dan dalam sepi, terbuka peluang bagi "hati yang berbicara". Leahy (1989) menjelaskan bahwa ketika manusia perlu sekali waktu melepaskan diri dari kekakuan, kecongkakan dan prasangka-prasangka yang merupakan resultante dari proses bertanya, berbicara dan mendengar suara sendiri. Dengan melepaskan itu semua maka manusia akan dituntun pada kemurahan hati yang lebih luhur. makin dekat kearah cinta kasih yang adiluhung. Itulah yang akan dicapai ketika manusia memasuki suasana suci (sacrum facere). Ketika memasuki sacrum facere inilah manusia akan memiliki cinta murni yang tidak mengambil untung bagi diri sendiri. Cinta yang berbelas kasihan dan menghidupkan. Saya, yang berlatar belakang Kristiani, punya 1 contoh tentang hal ini, yaitu ketika Yesus merasa perlu berdoa sendirian di Taman Getsemani menjelang penangkapan-NYA. Apa hasilnya? adalah ini: keteguhan hati dan kerelaan yang luar biasa untuk memenuhi "panggilan" dari sang Ilahi. Pertanyaannya adalah: apakah sacrum facere dapat dicapai dalam keriuhan? jawab saya tegas: tidak. Hanya dalam sepi dan hening suara hati nurani anda akan bergema keras dan menuntun anda menuju sacrum facere. Frans Suseno mengatakan bahwa Tuhan bekerja di dalam hati nurani manusia.

Saya teringat sebuah tulisan yang pernah saya baca yang dikisahkan oleh Sindhunata, seorang imam Katolik yang bertugas di lereng Gunung Merapi. Dalam bukunya "mata air bulan" Sindhunata menceriterakan pengalaman seorang perempuan tua, miskin dan cacat buta. Mbok Tukinem dia punya nama. Tukinem miskin sejak dilahirkan. Ayahnya buruh tani. Ibunya bakul gerabah. Pada usia 7 tahun, Tukinem kecil tiba-tiba buta. Pada umur 10 tahun dibaptis menjadi Katolik. Biar buta, dia harus membantu ibunya mencari nafkah. Jogja - Semarang ditempuh dengan berjalan kaki sambil memanggul gerabah. Bisa 1 bulan mereka, ibu dan anak, ada di jalanan. Ketika dewasa, Tukinem menikah dengan seorang yang juga buta dan memperoleh anak 3 orang. Tetapi semuanya meninggal. Belakangan suaminya terkena kanker ganas dan tak bisa apa-apa lagi. Mbok Tukinem hanya bisa mendampingi dan merawat sang suami sambil terus berdoa dan bertasbih. Lalu Imam Sindhunata bertanya bagaimana mungkin Si Mbok bisa begitu tahan menderita. Di masa muda susah, di masa tua tetap saja menderita. Sindhunata tertegun ketika hal ini ditanyakan kepada si Mbok Tukinem dan dijawab "sakersanipun Gusti, kula nampi mawon", yang artinya "terserah Tuhan, saya hanya menerima". Mamma Miiiiaaaaa..... tak ada perlawanan sama sekali kendati kesusahan terus mendera. Tak mengeluh sembari terus mengabdi pada hidup dan Tuhannya. Si Mbok Tukinem ada dalam situasi sacrum facere. Dia mampu mengasihi dalam penderitannya sendiri.

Anda mungkin akan berpikir bahwa sacrum facere sepenuhnya hanya dapat dilakukan oleh yang Ilahiat. Anda benar karena KASIH adalah kuasa Ilahiat tetapi justru karena kuasa itulah maka sang Ilahi berkenan agar sifat ini dimiliki oleh manusia. Seumpama presiden Obama punya USAF One sebagai pesawat kepresidenan di AS tetapi dia berkehendak agar semua rakyat AS memilikinya juga. Persoalannya adalah apakah mereka itu mau atau tidak? demikian pula KASIH. Sang Ilahi mau kita memilikinya. Saban kali diulang-ulangnya keinginanNYA itu. Sayangnya, sabankali pula manusia menolak memiliki kasih. Kalaupun dimilikinya maka itu cuma sekedar lips service. Mengapa demikian? ternyata manusia tak mau membayar harganya kendati mampu. Ya benar belaka bahwa untuk memiliki KASIH ada bea-nya, yaitu mengalahkan diri kita. Menyangkal kehendak diri sendiri. Mencopot kecongkakan dan rasa utama diri sendiri. Dapatkah kita? Saya ragu kita mau karena adanya kecenderungan ke-aku-an yang tinggi pada diri setiap manusia. Perhatikan jalannya diskusi di TV-TV kita. Si Poltak bicara A, Si Anu menimpali dengan sangat keras lalu saling memaki. Kebenaran lalu ditentukan oleh kemahiran bersilat lidah. Kebenaran juga kerap ditentukan oleh kerasnya suara dan makian massa pendukung. dapat dimengerti sekarang, mengapa para demonstran perlu membawa pelantang suara dengan kekuatan yang berlipat-lipat dan dengan jumlah massa yang tak kalah berlipat-lipatnya? Supaya gema suaranya makin besar dan makin besar dan mengalahkan suara yang lain. Supaya anda mudah kali dikalahkan karena kalah jumlah. Maka tak heran, ketika mister SBY bicara naik BBM, Si Fulan menimpalinya dengan ancaman. Mister SBY curhat. Dibalas dengan tertawaan. Dan akhirnya mister SBY mememerintahkan: tentara siap keluar barak......nah lu.....Mereka semua, mungkin termasuk saudara dan saya, tak mau menyangkal keinginan kita sendiri.

Kemana arah posting ini? Apakah saya pro kenaikan BBM, lalu menyuarakan penerimaan ikhlas tanpa reserve kepada keinginan pemerintah? Apakah saya anti kenaikan BBM? Tidak begitu sob. Saya bukan siapa-siapa yang suaranya patut didengar. Sudah terlalu biasa suara orang seperti kami-kami ini diabaikan. Diberi harga kalo situ punya mau. Di anggap angin lalu kalo ga cocok sama situ punya kehendak. Karenanya, saya memilih untuk bersikap seperti Mbok Tukinem, yaitu menyerahkan kepada sang Ilahi (ingat bukan menyerahkan kepada SBY) ...."sakersanipun Gusti, kula nampi mawon". Mau kau naikkan itu harga BBM, apa boleh buat. Mau kau batalkan, ya monggo. Ya, kepada Tuhan sajalah saya mengadu. Jika DIA berkenan maka tak naiklah harga BBM itu. Tetapi jika DIA tak menghalang-halangi ya silakan saja naik itu harga BBM (dan semua harga-harga lainnya). Saya cuma ingin memiliki 1 kekuatan seperti yang dimiliki Mbok Tukinem kendati saya tahu itu amat sulit. Dalam diri saya selalu kuat semangat memikirkan diri sendiri. Ya, saya ingin terus berjuang agar memiliki cinta yang tak bertepi. Cinta yang sepenuhnya datang dari diri saya lurus terarah ke luar mengalahkan semua keinginan-keinginan pribadi. Cinta yang menghidupkan. Cinta yang hanya dimiliki DIA tetapi DIA mau saya, anda, kita semua memilikinya juga. Jika untuk mendapatkan kemampuan mengasihi dalam sacrum facere lalu menepi dan menyepi (agar dapat memahami rancangan DIA) adalah harga yang harus dibayar: saya bersedia dan mau. BBM: benar-benar mau?

Endless Love - Lionel Richie feat Shania Twain

Tabe Puan Tabe Tuan

Rabu, 29 Februari 2012

28 atau 29 tetaplah hari tetaplah waktu

Dear Sahabat Blogger,

Ketemu lagi kita di hari Rabu tanggal 29 Februari tahun 2012. Tanggal yang tidak diketemukan saban tahun karena fenomena tahun kabisat. Tentang hal ini saya kutipkan dari wikipedia: .... "29 Februari adalah hari ekstra yang ditambahkan pada akhir bulan Februari pada setiap tahun kabisat, yang merupakan hari ke-60 pada tahun kabisat dalam kalender Gregorian. Tanggal ini hanya ada pada tahun yang angkanya habis dibagi 4 seperti 1992, 1996, 2004, 2008, 2012, serta pada tahun abad (kelipatan 100) yang angkanya habis dibagi 400 seperti 1600 dan 2000. Tahun 1800 dan 1900 bukan tahun kabisat karena walaupun angkanya habis dibagi 4 namun merupakan tahun abad yang tidak habis dibagi 400". ... Begitulah sahabat, hari ini memang unik. Tetapi sesungguhnya mana ada hari yang tidak unik? Apakah ada hari yang sama persis? Jika jawaban anda tidak ada maka memang betul setiap hari sesungguhnya memang unik. Kalau begitu bagaimana dengan tanggal 29 Fabruari? Ya kita bilang saja unik pangkat 2. Beres.

Tetapi bukan hal ini benar yang ingin saya renungkan. Saya hanya ingin bermenung tentang bagaimana seharusnya kita berdiri di hadapan waktu yang kita beri tanda dalam satuan detik, menit, jam, hari, bulan tahun dan seterusnya. Saya mau mulai dari pertanyaan ini: apakah ada pengaruh panjangng tanggalan sebulan yang 28 hari atau 29 hari atau 30 hari atau 31 hari bagi kehidupan saya, anda, mereka dan kita semua? Anda pasti punya perspektif tersendiri tetapi bagi saya koq ya tidak signifikan selain bahwa kalau bulan dengan hari makin sedikit maka tempo mendapatkan gaji makin cepat. Sebaliknya jika bulan dengan hari yang banyak maka tempo mendapat gaji terasa sangat lama. Bikin susah. Maklum orang upahan rekipliek...ha ha ha ha....Dengan demikian kerumitan hitung-hitungan waktu dalam kalender Masehi baik baik Julian maupun Gregorian atau siapa tahu akan ada sistem baru lagi di masa depan bagi saya tidak begitu penting. Bukankah tanggal seperti sekarang akan datang lagi di masa depan seperti juga dia sudah pernah ada di masa lalu? Maka, hal terpenting adalah bagaimana mengisi waktu dengan berbuat ini dan itu atau itu dan ini. Mengisi waktu?

Di sinilah persoalannya, yaitu apakah waktu bisa diisi? Kalau begitu, apakah waktu itu? Benda apa itu: padat, cair ataukah gas? Pengertian umum memberi petunjuk bahwa waktu memilik 3 dimensi, yaitu masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang. Akan tetapi perhatikan defenisi waktu menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia yang menyatakan bahwa waktu adalah seluruh rangkaian saat ketika proses perbuatan atau keadaan berlangsung atau berada. Menurut defenisi tersebut, waktu adalah masa sekarang dan tidak berkaitan dengan masa lalu atau masa yang akan datang. Hal ini cocok dengan pendalapat fisikawan Australia, Paul Davies, bahwa waktu adalah keadaan sekarang. Kemarin dan besok hanyalah perspektif. Perasaan kita. Besok adalah sekarang yang belum terjadi. Kemarin adalah sekarang yang sudah terjadi. Jika waktu bagi kalangan awam adalah fenomena siklik yang bergerak dan berulang maka dalam konsep fisika, waktu sebenarnya statis. Ya, waktu tak pernah berubah dan kitalah yang berputar-putar mengelilingi waktu yang tetap itu. Tiap kali berputar mengelilingi waktu kita akan mengitung 1, 2, ..12...24, .. 28, 29 dan seterusnya. Bukan waktu yang baru melainkan kitalah. Bingung? Ya, antara ia dan tidak tetapi begitulah kebenaran menurut matematika dan fisika. Benar -benar begitu?

Ya, terserah andalah mau menerima konsep fisika waktu seperti itu atau tidak. Bagi kita, malam adalah waktu tidur. Besok pagi adalah saatnya untuk bangun dan bekerja. Telat masuk kantor maka hukuman atasan menunggu kita. Telat pulang rumah, isteri anda sudah menanti dengan wajah hitam merah ungu tak karuan. Kemarin dan hari ini Angelina Sondakh (kita duga) adalah "saksi dusta" siapa tahu besok dia kembali menjadi malaikat persis seperti namanya. Siapa yang perduli tentang filsafat waktu? Tak usah pusing bahwa 28 hari + 1 = hari ke - 29. Yang terpenting adalah bagaimana bersikap terhadap kenyataan waktu. Yang paling penting adalah teruslah bekerja di hadapan waktu. Bekerjalah sekarang agar bahagia hidupmu. Berbuatlah sesuatu supaya besok tidak perlu akan ada penyesalan dan kemarin adalah ceritera yang membanggakan. Bagaimana Boeng en Zoes?????


Tabe Puan Tabe Tuan

Jumat, 13 Januari 2012

bagaikan sandal kiri sandal kanan

Dear Sahabat Blogger,

Lama tidak ngeposting ternyata menimbulkan kerinduan untuk menulis. Apakah selama 2 bulan tidak menulis bahan posting baru sama artinya dengan saya tidak menulis sama sekali? Oh ya tidak begitu. Ada saja pekerjaan yang harus dilaporkan dalam bentuk tulisan panjang bahkan berhalaman-halaman. Semua saya kerjakan dalam "scientific realm". Sangat ilmiah: data, analisis, tafisr, bahas, simpulan, saran dan lalu, implikasi. Begitulah, berulang-ulang. Tagal tulis-menulis seperti ini bukan saja kapasitas akademisi dan keilmuan saya tetap tetapi dengan itu saya juga bisa melanglang buana ke sana kemari. Kemari kesana (bahkan sampai terkatung-katung beberapa hari di bandara Juanda, Surabaya). Tagal perkara ini pula saya bisa punya sedikit rejeki akhir tahun yang cukup untuk mengasapi dapur rumah. Cukupkah? Puaskah? Sejujurnya: tidak. Ada sisi lain dalam hati dan pikiran yang rindu untuk menulis sesuatu yang tak perlu ilmiah-ilmiah banget. Sesuatu yang ringan-ringan saja. Sesuatu yang bermula dari khlayalan dan lamunan semata lalu...whhuzzzz ...sreeeettt esret esret criiiing....jadilah sebuah tulisan sebagai bahan berbagi lewat posting di blogger.com ini. So, kedua naluri tersebut, yaitu untuk menulis ilmiah dan tidak ilmiah, tumbuh bersama dan bersisian. Tak ada yang lebih penting. Semua equal. Sejajar. Keduanya datang dari subyek yang sama. Orang yang sama (ya, saya inilah). Keduanya diperlukan. Dan, begitulah: jadilah tulisan ini

Di pagi hari ini, saya membuka hari dengan menulis 1 buah naskah untuk tujuan legislasi tatakelola tanaman cendana (Santalum album) di NTT. Sebuah naskah akademik. Saya menuliskan antara lain begini:

"....di masa lalu cendana dikelola sangat eksklusif, baik sejak masa abad I Masehi, masa penjajajahan, masa orde baru, bahkan sampai masa orde reformasi. Rakyat kehilangan hak atas cendana, bahkan yang tumbuh di lahan miliknya sendiri. Hasilnya adalah menghilangnya cendana dari lahan-lahan milik negara. Cendana diklaim hampir musnah. Dalam red list IUCN, sejak tahun 2006, cendana dikelompokkan sebagai jenis yang terancam punah. Cendana tidak lagi vital. Lalu apa solusinya? Berdasarkan hasil studi tahun 2010 dan 2011, cendana memerlukan sinergi antara pemerintah, swasta dan masyarakat supaya dia kembali vital. Mengapa semua pihak itu perlu terlibat? Jawabannya adalah karena kita memang memerlukan semuanya...."

Akan tetapi pagi ini juga, saya menyempatkan diri untuk menulis sesuatu di wall FB-nya Dolly Ballo, isteri saya, sehubungan dengan HUT perkawinan kami yang ke 26. Tepat hari ini. Tulisan itu sangat tidak ilmiah dan bunyinya begini:

Isteriku sayang, pernikahan kita ibarat sandal atau sepatu. Engkau bagian kiri (atau kanan), aku bagian kanan (atau kiri)-nya. Sebagai bagian kanan, engkau cenderung bergerak ke kanan. Sebagai bagian kiri, aku cenderung ke kiri. Kita ternyata tidak sama. Ketidaksamaan yang tidak mungkin di satukan bahkan oleh apapun dan siapapun juga. Bahkan oleh Penciptanya, kita berdua memang sudah dibikin secara terpisah. Engkau adalah sandal (atau sepatu) kiri (atau kanan) sedangkan aku adalah sandal (atau sepatu) yang kanan (atau kiri). Kita nyata-nyata berbeda. Mungkin itu sebabnya dalam namaku yang Riwu Kaho kita sering Ribut Kacau. Engkau adalah Ballo yang bisa dibaca sebagai Balau. Jika digabungkan maka nama kita berdua adalah Ribut Kacau Balau. Aneh dan memang kacau.....tetapi, hmmmm...nanti dulu...bukankah setiap pabrik akan memproduksikan sandal (atau sepatu) memang harus berbeda antara kiri dan kanan? Pabrik yang bikin hanya kiri atau kanan saja pastilah pabrik yang didirikan hanya untuk ditutup kembali karena merugi. Siapa mau beli hanya bagian kiri atau kanan saja? Bukankah setiap pemakai sandal (atau sepatu) selalu memakai sekaligus sepasang sandal kan? Yang kiri di kaki kiri dan yang kanan di kaki yang kanan. Mana ada pemakai sandal (atau sepatu) yang memakai salah satu saja karena pasti akan dianggap gila. Bukankah setiap pemakai sandal (atau sepatu) akan memakai sandal kiri dan sandal bersama-sama kan? Mana bisa orang pakai sandal hanya untuk kaki yang satu saja? Dia akan dianggap bodoh. Lalu, bukankah setiap pemakai sandal (atau sepatu) akan menggunakannya menuju satu tujuan tertentu? Ke kantor, ke pasar, dan kemana saja, bahkan bisa saja tanpa arah tertentu. Sandal dipakai bisa untuk melindungi kaki dan bisa pula sebagai aksesori penarik perhatian. Maka....lihatlah di Kaki Pemilik-Nya, kita berdua yang berbeda dipakai sepasang. Engkau di kaki-Nya yang satu, aku di kaki-NYA yang lain. Di Kaki Sang Pemilik, secara kompak, kita berdua selalu digerakan secara bersama-sama ...srok srok tok tok...menuju Tujuan-NYA...srok sroookkk tok toookkkk. Kita memang berbeda tetapi sudah ditakdirkan untuk dipasangkan secara bersama-sama. Hari ini, kita diingatkan bahwa sudah 26 tahun kita dipasangkan dan dipakai-NYA untuk mewujudkan Tujuan-NYA....bersukurlah wahai sandal (atau sepatu) kanan (atau kiri)....terima kasih karena 26 tahun sudah kita bergerak berpasangan sama-sama.....Terima Kasih kepada-NYA karena kita dipasangkan.....teruslah melangkah ke depan kendati ribut kacau balau...srok sroookkk tok tookkk.....

Begitulah sahabatku sekalian yang budiman dan budiwati. Saya sudah menulis 2 perkara yang berbeda dengan pendekatan yang berbeda. Tetapi, seperti umpama tentang sandal dalam kutipan saya yang kedua di atas, saya memerlukan keduanya. Jikalau begitu maka saya ingin berbagi lebih lanjut. Ringkas saja:

Saya memilih untuk mengucapkan selamat Natal 2011 dan Tahun Baru 2012 bagi semua yang merayakanya menurut keyakinan dan kesukaan masing-masing. Saya memilih untuk berucap telat karena saya memang ingin berbeda. Lho kok harus berbeda? ya tidak apa karena keinginan untuk berperilaku normal rerata dan ingin eksis eksentrik sama-sama ada dalam diri saya. Saya memerlukan keduanya. Tidak mungkin saya berangkat bertugas sebagai Majelis di Gereja memaka celana pendek. Gila itu namanya. Tetapi tahun lalu saya mempersentasikan sesuatu di antara deretan para petinggi Kementerian Kehutanan dan pakar-pakar pengelolaan DAS di Indonesia (yang tampil wangi, berdasi dan ber-jas) cukup dengan memakai jeans, jacket + topi kupluk. Saya disiuti dan ditertawakan oleh para hadirin dengan memanggil saya dukun atau preman. Saya cengar cengir saja dan tertawa saya semakin lebar ketika di akhir sesi adalah kesimpulan saya yang dipakai sebagai kesimpulan utama forum tersebut. Saya ternyata suka kedua-duanya. Yang rapih dan sekaligus agak urakan.

Mengawali tahun baru 2012, saya demam sakit panas tinggi. Lalu terdengar kabar seorang kerabat, Pak John Manulangga (salah seorang saksi pernikahan saya) berpulang pada tanggal 31 Desember 2011. Pada tanggal 1 Januari 2012 juga berpulang sahabat saya sekantor, Dr. Vincentius Tarus dan Dr. Jeremias Bunganaen (yang ini juga pernah menjadi dosen saya semasa S1 tahun 1981 yang mengajar matakuliah Fisika). Sebelumnya pada tanggal Pada tanggal 11 Desember 2011, rekan dosen saya Ibu Merry Kondi, MP berpulang. Kemudian, pada tanggal 11 Januari kemarin, pagi-pagi benar, saya mendapat sms dari Om saya (Stef Ratoe Oedjoe) yang mengabarkan bahwa seorang Tante saya, tante Mada Ratoe Oedjoe, berpulang. Tak lama kemudian datang pula sms dari sahabat saya di fakultas peternakan memberitakan bahwa sudah berpulang rekan dosen Ella Herewila Likadja, M.Sc. Waduh, semuanya berita buruk serta mendukakan dan menggetarkan hati. Tetapi pagi ini saya dibangunkan isteri saya untuk mengingatkan bahwa..."heiiii, ini hari HUT perkawinan kita". Perkara menggembirakan bukan? Lalu, apa yang bisa saya hindari dari barang perkara yang silih berganti seperti itu? Tidak ada dan tidak bisa menghindar. Saya harus menerima fakta bahwa kematian adalah resiko kalau mau hidup. Jika kematian adalah berita duka maka hidup adalah berita bahagia. Saya memang harus hidup bersisian dengan baik dan buruk. Sebuah lagu Kidung Jemaat berkata "..suka duka dipakai-NYA untuk kebaikanku....".....

Seorang sahabat saya menulis begini di e-mail saya "...jangan anda memaksakan sesuatu yang tidak nyata sebagai kebenenaran, anda mengkhianati nilai-nilai kebenaran ilmiah...". Oh rupanya dia keberatan dengan posting saya sebelumnya. Bagi teman ini, agama tidak rasional. Tuhan tidak ada. Saya teringat 2 tokoh besar dalam ilmu fisika, yaitu Albert Einstein dan Stephen Hawking. Einstein menemukan teori relativitas yang salah satu implikasinya adalah pernyataan bahwa ruang dan waktu itu relatif. Paul Davies, seorang fisikawan Australia, yang mendasarkan diri pada teori Eisntein menyatakan bahwa waktu tidak pernah bergerak melainkan obyek seperti kita. Waktu hanyalah persepsi dan imajinasi manusia. Maka Tuhan yang berbuat baik dan kekal selama-lamanya, dan itu pastilah Tuhan yang temporal, sulit diterima. Mula-mula, Hawking menulis dalam bukunya "a brief history of time" bahwa masih ada ruang bagi kemungkinan adanya sang pencipta. Belakangan, dalam buku mutakhirnya, yaitu "grand design", dia menegaskan bahwa tidak diperlukan tuhan sebagai pencipta karena semesta terbentuk karena peluang. Semesta hanyalah soal kerumitan probability fisika yang dapat dibuktikan melalui penelitian-penelitian di laboratorium dan pengamatan ruang angkasa dengan teleskop yang makin lama makin canggih. Einstein sendiri menjadi penganut agama kosmis yang menolak agama tradisi dan histori tetapi meyakini adanya "tuhan yang tidak pernah bermain dadu". Hawking murni atheis dan Davies kerjanya berusaha membuktikan bahwa Tuhan tidak ada (atau ada) dengan pendekatan fisika baru.

Masalah terbesar dari pendekatan induktif matematika dan fisika dalam berusaha "membuktikan" ada dan tidak ada Tuhan adalah fakta empirik. Ilmu pengetahun berkembang dengan 2 jalan sekaligus, yaitu deduktif dan induktif. Hal-hal besar diturunkan menjadi kesimpulan kecil dan dalam arah yang berbeda perkara-perkara kecil dipakai untuk menggeneralisasi perkara-perkara. Dengan perkataan lain, ilmu pengetahuan berkembang karena ada teori yang diverifikasi oleh pengamatan dan hasil pengamatan yang dikembangkan menjadi teori. Dalam pendekatan deduktif (jenis pengetahuan empiris - sesuatu benar karena teramat berulang-ulang), Tuhan akan dikatakan tidak terbukti ada karena tidak pernah terverifikasi melalui pengamatan. Tidak ada orang yang pernah melihat Tuhan. Seorang atheis pernah menyatakan bahwa "pizza yang lezat ini dapat saya ketemukan pembuatnya tetapi semesta yang diciptakan tuhan sulit diterima karena saya tidak pernah menemukan tuhan". Perhatikanlah bahwa dengan demikian hasil pengamatan adalah hasil "perabaan" panca indra dan panca indra adalah hal ichwal yang nyata-nyata ada. Bisa dilihat atau diraba atau diukur. Sementara itu dalam pendekatan induktif (pola berpikir a priori) adalah ilmu berkembang karena sekedar berpikir, membuat model atau rumus atau formula dan mengajukan hipotesis. Matematika adalah contoh terbaik pendekatan induktif yang tidak memerlukan bukti apa-apa. Nah, dalam kerumitan perhitungan matematika dan fisika, tidak ada sama sekali faktor Tuhan. Semua hal ada karena memang itulah yang bisa dipikirkan dan dirumuskan. Singkat kata, "karena Tuhan tidak dapat di rumuskan maka Dia tidak ada". Begitulah "nasib" Tuhan di tangan ilmu pengetahuan. Sudah tak bisa dirumuskan, tak bisa pula diverifikasi melalui pengamatan. DIA tidak ada. Betulkah?

Kaum atheis jangan senang dahulu karena saya ingin mengutip ucapan Stephen Hawking (SH) menyikapi kondisi sakitnya bertahun-tahun .... "Saya sangat beruntung, kondisi saya berlanjut lebih lambat dari kasus yang biasa terjadi. Tapi (situasi) ini juga menunjukkan bahwa orang tidak boleh cepat hilang harapan.".... Jikalau kata beruntung merujuk kepada probability (dan hal ini sesuai teori beliau) maka bagaimana dengan kata "harapan"?. Terbuat dari zat apa lalu terverifikasi dengan jalan apa sesuatu yang disebut "harapan"?. Dalam pernyataan beliau ketika berulang tahun ke 70, SH mengatakan bahwa "saya senang karena keluar sebagai pemenang dalam situasi saya". Hal yang sama ingin saya tanyakan: "senang" itu bahan yang terbuat dari apa? berapa berat, massa, kadar, CC, tinggi dll dll...???? Jikalau dikatakan bahwa umur alam semesta sekitar 14 milyar tahun yang ditandai dengan peritiwa "the big bang", maka apakah SH dan fisikawan hadir pada saat kelahiran semesta supaya benar-benar kesimpulan bahwa ada atau tidak adanya Tuhan datang dari pengamatan panca indra yang sah dan terpercaya. Jika dikatakan bahwa pola-pola bekerjanya alam semesta dapat diterangkan melalui "teori segala sesuatu" maka apakah di dalam kerumitan rumus-rumus matematika dan fisika yang digunakan sama sekali tidak terdapat asumsi? Harap tahu saja bahwa sejatinya matematika itu adalah hasil imajinasi manusia untuk merumuskan fakta-fakta. Bahkan senadaninyapun tidak ada fakta sepanjang bisa dirumuskan maka imajinasi adalah benar. Pertanyaananya adalah apakah imajinasi dan asumsi itu bebas dari bias? Bagaimana dengan formulasi bahwa setiap data rasio harus memiliki tingkat kepercayaan tertentu dan pada setiap tingkat kepercayaan selalu diamanatkan adanya batas-batas toleransi?

Jika banyak pengamatan kosmologi di dasarkan atas hasil penelitian kecil yang dapat dibandingan (seperti mencobakan obat untuk manusia kepada tikus terlebih dahulu) maka hampir pasti validitas dan reabilitasnya tergantung pada keyakinan. Mengapa demikian? Ya karena sesungguhnya dalam perspektif statistika inferensia (ilmu yang menyandarkan diri pada probabilitas) tidak ada data yang bebas bias. Selalu saja ada 1 - 5% yang kebenaran datanya tidak dapat ditentukan. Artinya, selalu ada kemungkinan 5 - 1% data itu salah kendati di lain pihak 95-99%nya diyakini pasti benar. Contoh, berdasarkan perhitungan Einstein dapatlah diciptakan mesin waktu yang dapat dipakai manusia untuk berselancar dalam ruang dan waktu. Sepanjgan anda dapat menemukan mesin yang mampu bergerak secepat kecepatan cahaya maka anda bisa pesiar ke masa lampau atau ke masa depan. Pembuat film di Hollywood pernah membius dunia dengan film yang berjudul "back to the future". Ternyata sampai hari ini mesin waktu itu belum dapat diciptakan. Kata pemuja ilmu pengetahuan yang atheis, aaaahhhh... itu soal waktu saja. Tentang ini, Stephen Hawking pernah menyatakan bahwa "jika perjalanan mengarungi waktu dapat dilakukan maka mengapa kita tidak pernah bertemu dengan orang-orang yang berasal dari 1 milyar tahun yang akan datang". SH berasumsi bahwa di masa depan mesin yang bergerak dalam kecepatan cahaya sudah dapat dibuat. Kita pun menjadi tahu, kisah-kisah tantang adanya perjalanan waktu hanya signifikan di layar film. Tidak di dunia nyata. Demikian pula dengan ceritera tentang bertemunya orang-orang dengan makhluk alien atau UFO. Kebanyakan adalah dongeng yang dijual di layar bikinan aktor hollywood. Ajaibnya, banyak orang masih saja percaya bahwa semua hanya soal waktu. Jika belum ditemukan hari ini ya pasti besoknya besok besok besok besok. Yakin. Hakkul Yakkin. Ternyata ilmu pengetahuan mengandalkan diri juga pada kaya "keyakinan" yang tidak lain dan tidak bukan adalah kata standard kaum teistik dalam memahami adanya Tuhan. Agar sampai pada keyakinan maka yang diperlukan adalah imajinasi. Dalam ilmu pengetahuan imajinasi itu doformulasikan dalam angka-angka. Angka adalah simbol. Dalam religiusitas, imajinasi itu dirumuskan ke dalam ideal-ideal lalu ideal-ideal tersebut disimbolkan dalam kata-kata atau gambar-gambar. Harap diingat bahwa angka, kata dan gambar adalah datum atau data, yang artinya adalah informasi. Angka adalah data kuantitatif. Informasi adalah data kualitatif. Dalam hidup anda tidak mungkin hanya memilih 1 saja informasi. Menyenangkan jika anda tahu bahwa anda memiliki anak sebanyak 5 orang tetapi sangat membahagiakan ketika ke 5 orang itu adalah anak yang taat dan dengar-dengaran terhadap perintah anda. Lima orang menunjuk kepada aspek kuantitatif sedangkan taat adalah perkara kualitatif. Tak layak anda mempertantangkan hal tersebut karena setiap hari anda pasti berurusan dengan hal-hal kualitatif dan kuantitatif sekaligus. Mengutamakan yang satu sambil meremehkan yang lain berarti anda tidak utuh sebagai manusia. Anda hanya setengah manusia. Setengahnya? Jawab sendiri. Lalu, katakanlah kepadaku wahai sahabat terkasih, di antara ilmu pengetahuan dan religiusitas, siapa yang mengkhianati siapa? Siapa menghujat siapa? Siapa menertawakan siapa?

Maka, sekarang kita menjadi tahu bahwa dalam diri saya, anda, dan semua manusia hidup akan selalu ada secara bersisian hal-hal yang bersifat imanen (akal budi - filsafat kritis) dan trasendens (metafisika - filsafat spekulasi). Yang berpikir dan bernalar jangan menghina yang trasendens. Sebaliknya yang beriman dan berkeyakinan jangan merendahkan akal budi atau perkara-perkara imanen. Semuanya ada dalam diri kita kendati kedua hal itu berbeda bagai bumi dan langit. Seperti juga sandal yang kiri dan kanan yang dibikin bersamaan supaya dipakai secara serasi maka gunakanlah naluri imanen dan trasendens ada secara serasi. Itu manusiawi namanya karena manusia adalah makhluk paradoks yang tak sampai-sampai. Dia selalu ingin memahami sesuatu dengan semua potensi yang ada dalam dirinya, yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Manusia suka berkhayal tetapi juga suka mengukur dan atau menimbang. Manusia bisa memahami dengan melihat dan meraba tetapi bisa juga tanpa melihat. Manusia bisa tertawa ketika melihat dan mendengar Sule beraksi di acara OVJ. Tetapi saya bisa tertawa hanya dengan membayangkan wajah "rada blo'on"nya pelawak Kadir. Saya menggunakan daya lihat dan daya dengar tetapi saya juga menggunakan daya berkhayal untuk mencapai tujuan tertawa senang. Persis seperti tamsil sepasang sandal, kiri dan kanan yang dipakai berpasangan oleh pemiliknya ke mana-mana. Sebuah Kitab Tua di dalamnya dapat dibaca begini "...kasihilah Tuhanmu dengan segenap hati dan segenap akal budi...". Itu keyakinan saya. Bagaimana anda? Ya terserah kamulah Boeng dan Zoes......

Tabe Puan Tabe Tuan