Kamis, 16 April 2015

selamat jalan, it is

Dear Sahabat Blogger,

Hari ini saya mendapat kabar 2 orang yang saya tahu, yaitu Om Rudolf Nggai di Kupang dan Kang Danny Meong di Bandung meninggal dunia. Kata saya sederhana: RIP, rest in peace. Dimana mereka beristirahat. Alam Barzah dan atau di Surga. Di mana itu? Saya yakin jawabannya tak akan yang tunggal. Berbeda menurut perspektif yang berpendapat. Karena itu saya memilih ucapan yang glain, turut berduka cita. Lha, mengapa harus berduka cita? Bukankah ramai berpendapat bahwa yang meninggaal itu sudah enak hidupnya. Bebas dari duka dunia. Duka yang mana Dunia yang mana? Jawabannya bisa kembali ramai. Bagaimana kalau saya mengucapkan begini: Selamat Jalan. Lha, memangnya mau kemana? Ke tempat pemakamanpun daya sudah tak ada. Jalan apanya?

Kemarin sore saya mengunjungi kompleks pemakaman keluarga berkaitan dengan peringatan 30 tahun berpulangnya kakek saya dari ayahanda, yaitu michael riwu kaho dan 28 tahun kepergian nenek saya dari ibunda, yaitu sudjiati sudarjat. Saya teringat 2 tahun lalu, ketika kami melakukan renovasi kompleks pemakaman dan dilakukan penggalian kembali makam-makam tua itu dan dibenahi tata letaknya. Apa yang kami dapati Tak ada apa-apa kecuali sedikit serpihan tulang tua dan 95% tanah. Itulah yang kami lihat. Lalu dimana jiwa-jiwa yang katanya masih terus hidup itu yang kepadanya kami terus saja sayang?

Sebenarnya pernyataan di atas di dasarkan atas kebutuhan akan jawaba ilmiah, sains. Labih khusus sains dalam pengertian moderen, yaitu ilmu pengetahuan berbasis metode empiris. Dikatakan pula sebagai metodologi scientific insight. Saya lihat, saya mengamati, saya uji dan saya percaya pada taraf uji tertentu dengan menggunakan metode empirik tertentu. Mereka yang berpendapat bahwa kenyataan itu tidak lain dan tidak bukan adalah semata-mata bisa teramati kita sebut sebagai saintisme. Kenyataan, dengan begitu, bersifat hanya one dimensional. Benarkan? tak begitu. Mengapa hidup ini bersifat multidimensional. Tanpa harus berpanjang kata, cobalah direnungkan apakah setiap hari hidup kita hanya bersifat 1 dimensi. Tak mungkin.

Oleh karena itu, karena hidup bersifat multidimensional maka ada hal-hal yang bersifat philosopical insight. Kenyataan harus logis tetapi harus bersifat menyeluruh. Sifat keseluruha ini tak memadai jika kenyataan hanya didasarkan atas apa yang dilihat di depan mata (empirikal) melainkan juga apa yang bisa dijangkau oleh penghayatan. Kata pakar filsafat Snijders, metafisika didasarkan atas pertanyaan yang paling luas dan paling mendalam, yaitu it is. Inilah yang selalu ditanayakan manusia sejak lahir sampai mati sebagai what it is. Dan jawabannya selalu adalah it is. Sheed mengatakan bahwa it is adalah kata yang paling kaya dan paling dinamis dari seluruh kata dan "inilah kata yang mewakili nama Tuhan itu sendiri"(F.J Sheed, Theology and Society, 1978). Nah, Aku ada yang Aku ada, it is what it is.

So, selamat jalanlah semua yang terkasih. kemana jalan mereka itu? It is ....

Tabe Tuan Tabe Puan

Rabu, 15 April 2015

Tuhan maha tahu, mengapa bertanya "di manakah engkau?"

Tetapi TUHAN Allah memanggil manusia itu dan berfirman kepadanya: "Di manakah engkau?" (Kejadian 3:9)

Dear Sahabat Blogger,

Barusan pagi ini, rabu 15 April 2015, menyelesaikan tugas menguji proposal penelitian seorang mahasiswa. Dalam diskusi tadi, saya bicara bahwa penelitian ilmiah, dan bahkan penelitian biasa, selalu dimulai dengan pertanyaan. Tak ada penelitian tanpa pertanyaan yang mendahuluinya. Mengapa demikian? Bartanya adalah naluri dasar manusia. Dalam filsafat,  manusia adalah makhluk yang bertanya. Tidak ada jawaban apapun yang mampu menghentikan manusia untuk bertanya. Karena itu, filsuf seperti Magnis Suseno maupun Snejiders, manusia disebut sebagai makhluk tak sampai. Satu pertanyaan terjawab, muncul pertanyaan baru. Tak selesai-selesai. Rocky sang penerus DNA saya yang berumur 5 tahun bertanya amat banyak sehingga saya kehabisan kata-kata untuk menjelaskannya dengan bahasa yang sederhana. Kenapa "adik mea" (janin) ada di dalam perut bukan di dalam mulut, begitu seterusnya. Isteri saya, yang sudah paruh baya, tadi pagi masih bertanya "ini siang mau makan apa"? Jikalau saya balik kantor kerumah melewati jam normal, pertanyaan isteri saya bisa sangat penjang dan  amat membahayakan.

Mengapa manusia bertanya? karena manusia memerlukan pengetahuan. Mengapa manusia perlu pengetahuan? Pertama, karena manusia perlu dasar bagi tindakannya. Dikarenakan tindakan manusia itu bermacam-macam alasan untuk pemenuhan kebutuhannya yang juga bermacvam-macam maka tak heran pertanyaannya juga bisa berjuta macamnya. Kedua, manusia perlu tahu yang lebih banyak lagi. Pengetahuan manusia itu selalu terbatas tetapi wawasannya bisa tak terbatas. Karena itu, untuk sebuah jawaban selalu ada jawaban baru guna mengejar ketertinggalan pengetahuan dibandingkan dengan wawasannya. Seseorang yang melihat dari kejauhan adanya awan di puncak gunung tetapi tak tahu persis bagaimana si awan bisa bertengger di puncak gunung sementara dalam cakrawalanya si manusia berpikir bahwa alangkah nikmatnya berumah di atas awan. Singkat kata, bertanya itu  manusiawi. Beres? Belum....

Jika benar, bertanya adalah sifat manusiawi, bagaimana dengan Tuhan. Bolehkah Allah bertanya? Mari kita berspekulasi di titik ini. Allah tidak bertanya karena itu bukan sifat Allah. Dia maha tahu karena itu tak memerlukan pengetahuan. Dia maha tahu maka tak ada distansi antara pengetahua dan cakrawala-NYA. Jika begitu maka kita perlu bertanya, apakah Allah akan kehilangan sifat ke-Ilahi-annya jika DIA bertanya? Jika kita bersifat begitu maka tanpa sadar kita telah memberikan batas kepada Allah. Bisakah manusia yang fana memberi batasan pada yang maha mutlak? Atau, jangan-jangan kita harus setuju dengan Nietzsche bahwa Tuhan sudah mati karena itu tak usah rewel tentang DIA. Atau kita setuju dengan Feuerbach bahwa Tuhan itu cuma khayalan, manusialah yang nyata dan karena itu agama hanyalah hasil proyeksi manusia terhadap dirinya sendiri. Ataukah kita harus bilang seperti filsafat Agnostik Imanuel Kant bahwa Tuhan berada di luar jangkauan obyek inderawi manusia, karena itu DIA tak terjangkau akal. Begitulah, filsafat yang ingin bernalar tentang Tuhan berujung pada aneka konklusi yang saling bertentangan. Jadi bagaimana?

Mungkin Teologi memberikan jawaban (dalam hal ini saya merujuk kepada Teologi Kristiani) dengan resiko akan ditentang mati-matian oleh aliran pro-empirisme yang berpendapat bahwa metafisika sudah selesai. Apakah Allah boleh bertanya? Saya tak bilang ia atau tidak tetapi (kecuali ada kesalahan dalam transrip Alkitab) maka Kitab Kejadian 3:9 memberi petunjuk bahwa Allah memang bertanya ketika DIA mencari-cari Adam dan Hawa yang barusan saja makan buah terlarang di Eden...."Di manakah engkau?". Apakah Allah kehilangan sifat Ilahinya? (tanpa perlu merujuk kepada kisah hidup-mati-bangkit Jesus) Saya harus bilang bahwa kita tak bisa membatasi Allah kecuali DIA sendiri. Jika DIA ingin bertanya, siapa mau melarang. Bagaimana mungkin yang relatif  mampu menghalangi yang mutlak?. Allah berdaulat dan saya tak mau berspekulasi tentang itu. Referensi pada Kitab Ulangan 29:29 membantu menopang pendapat saya itu, begini bunyinya...."Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi TUHAN, Allah kita, tetapi hal-hal yang dinyatakan ialah bagi kita dan bagi anak-anak kita sampai selama-lamanya...". Jadi bagi saya, cukuplah saya tahu bahwa Allah bertanya, bukan karena DIA butuh pengetahuan. Siapa tahu dengan cara ini DIA mau menilik saya. Hidup saya harus benar supaya jika saatntya datang penghakiman saya bisa menjawab apa yang saya kerjakan (bukankah hakim juga kerjanya bertanya-tanya?). Ini akan saya ajarkan juga bagi anak-cucu saya turun temurun. Lalu, apakah dengan bertanya, DIA tak lagi Tuhan, biarlah itu rahasia-NYA. Jika saya menyelidiki apa-apa yang dikatyakan dan yang tak dikatakan, itu bukan karena saya ingin melawan kedaulatannya tetapi saya memang ingin berpikir tentang Tuhan. Salahkah? Ayat berikut ini membantu saya ...."Kasihilah Tuhan, Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu" (Markus 12:30). Apakah menggunaka akal mendatangkan dosa? Tidak dan itulah alasan saya mengapa saya sering melakukan silogisme tentang DIA. Ketika akal saya tak mampu menjelaskan DIA berdasarkan pengamatan empirik maka biarkan pengamatan metafisika menuntun saya berjumpa secara intelektual dengan DIA. Lho, bukankah positivistik menolak metafisika? EGP, emang gue pikirin. Adalah kehendak bebas saya yang mau begitu, yang lain tak bisa melarang saya. Sekian....

Berikut adalah sebuah lagu bagus nan abadi karya si Raja musik Folk-Country Bob Dylan yang dinyanyikan kembali oleh Stevie Wonder. Kita, manusia, adalah penanya sepanjang masa. Please listen carefully (begitu kata ibu guru bahasa inggris saya ketika di SMP)

Stevie Wonder - Blowin' in the Wind Bob Dylan 

Tabe Tuan Tabe Puan