Jumat, 24 Desember 2010

nyeri punggung dan natal

Dear Sahabat Blogger,

Artikel ini saya tulis di malam natal. Saya di rumah saja. Nyeri di punggung saya sakitnya tidak tertahankan dan ini yang menyebabkan saya memutuskan tidak ikut bersama anak-anak ke Gereja. Saya berpikir, ketimbang kesakitan selama kebaktian lalu kebaktian tidak menjadi berkat tetapi sesuatu yang menyiksa dan menimbulkan gerutuan, lebih baik diam di rumah saja. Mengapa demikian? Biasanya di malam istimewa seperti ini, ada saja liturgi yang dibikin-bikin - yang niat awalnya sih memuji YESUS tetapi nyatanya seringkali berbelok menjadi cara mematut-matut diri sendiri. Narsis. Capek deh - lalu waktunya molor berpanjang-panjang dan membosankan.

Sidang pembaca yang budiman, paragraf di atas memang saya akui terasa agak sinis dan terkesan mencari-cari justifikasi alasan pembenaran tidak ke Gereja, bersekutu bersama seluruh jemaat di malam Natal. Entahlah. Sayapun tak tahu dari mana "sinisme" ini mucul. Dia datang begitu saja. Sama misteriusnya dengan sebab-musabab datangnya nyeri dahsyat di punggung yang menyebabkan saya kesakitan. Entah dari mana rasa nyeri itu datang. Gejala menua? Gejala penyakit tertentu? Bisa saja begitu. Bisa pula tidak. Apapun saya memang sakit, di rumah saja dan tidak ke Gereja. Titik.

Begitu sajakah? Oh, tentu tidak. Saya ingin memulainya dari frasa ini "entah dari mana nyeri itu datang". Ya, benar. Tanpa saya minta nyeri itu datang dan saya serasa lumpuh. Menunduk salah. Berdiri salah. Berbaring tak benar. Semua terasa sakit. Kalau tak tahu dari mana datangnya neri itu lalu bagaimana bisa menghalaunya? Saya menjadi tidak punya pilihan lain kecuali memang harus menerima dan lalu berusaha "menjinakkan" sakit nyeri itu. Nyeri itu terasa amat sepihak. Zonder permisi dia datang menyelonong dan hadir dan menjadi bahagian integral dalam keberadaan saya saat ini.

Demikianlah sebenarnya Natal itu. Begitulah sebenarnya kehadiran Bayi Natal itu. Yesus Kristus. Natal itu datang tanpa diminta manusia. Dia terjadi begitu saja. Karena itu, anda suka atau tidak, DIA hadir. Imanuel. Teolog Eka Darmaputera almarhum menyatakan bahwa "Natal sepenuhnya adalah tindakan sepihak Allah untuk menolong manusia dari kematian yang total." Mengapa manusia perlu ditolong? Kedosaan manusia telah menjebaknya habis-habisan dalam lubang tanpa dasar. Hanya ada kelam. Cuma ada gelap. Mengapa manusia tak mampu menolong dirinya sendiri? Manusia itu terbatas. Dan, karena keterbatasannya itulah dia memerlukan penolong. Manusia bagaikan penumpang kapal Titanic yang karam dan tak mampu lagi menolong dirinya sendiri. Mengapa harus Allah yang menolong? Mengapa bukan yang lain? Jawabnya: mau siapa lagi? Berharap si A yang teman dekat, dia sudah dalam keadaan yang sama sekaratnya. Berseru kepada si B yang rekanan bisnis, eh dia pun sedang megap-megap sekarat. Ketika semua manusia dalam keadaan beyond help alias gak ketulungan ketika itulah kita menjadi tahu bahwa cuma ada 1 pihak, yaitu si DIA yang maha bebas, yang mampu menolong. Mengapa harus DIA yag maha bebas? ya sudah tentu dong. Jika si DIA tidak bebas pastilah si DIA juga sedang terancam tenggelam bukan? Mana mungkin menolong. Maka, hhuuuupppp....secara sepihak DIA melemparkan pelampung. Lantas, DIA berenang menuju kita. Dirangkulnya kita. Diangkatnya kita ke alam kapal besarNYA. Di situ DIA mengobati kita, memulihkan dan bahkan menjamu kita dengan makan yang sehat. Supaya apa saudaraku? Supaya kita bebas dari ancaman maut. Ancaman tenggelam di dasar samudera dosa. Begitulah saudaraku, jelas sudah bahwa NATAL adalah tindakan sepihak ALLAH untuk menolong kita.

Beberapa hari lalu, saya diminta untuk menjadi MC dalam acara syukuran seorang senior saya yang dikukuhkan sebagai Professor di kampus saya, Undana, Kupang. Dalam acara ibadat syukuran adalah sang Pendeta menyebutkan bahwa "menjadi Professor adalah panggilan". Saya setuju dengan si Pendeta. Lalu kalimat itu saya gunakan sebagai bahan omongan MC. Saya bilang begini, "tahulah saya bahwa mengapa ada begitu banyak dosen tetapi amat sedikit yang berhasil menjadi Professor". Saya menyambung bahwa "jawaban atas pertanyaan itu adalah keterpanggilan atau keterpilihan". Menjadi Professor adalah panggilan. Adalah tawaran. Demikianlah pula, Allah memanggil. Allah menawawkan kesempatan. Allah memilih. "Bukan kamu yang memilih AKU tetapi AKULAH yang memilih kamu" (Yoh. 15:16). Jelas sekali bahwa tindakan memanggil atau memilih adalah tindakan sepihak ALLAH. DIA berdaulat untuk melakukan itu. Apakah DIA sewenang-wenang dan pilih kasih dalam memanggil? TIDAK.

Dalam lanjutan ulasan saya sebagai MC, saya mengatakan begini "semua dosen, termasuk saya, dipanggil. Semua dosen di -call oleh ALLAH agar menjadi Professor tetapi sayang sekali sebagian besar memilih untuk membiarkan panggilan itu menjadi hanya sebuah miscall. Tidak jarang malah kita me-reject panggilan Allah itu". "Mengapa orang tidak menjawab panggilan ALLAH? Karena mereka tahu konsekuensi menjawab adalah bertindak dan bekerja". "Banyak yang malas bertindak dan bekerja". Saya ingat betul, atas ucapan saya itu, para hadirin bertepuk riuh rendah. Saya bangga karena menurut hemat saya benarlah apa yang saya ucapkan tetapi sekaligus dengan itu saya menjadi malu karena saya termasuk yang membiarkan panggilan Allah hanya lewat begitu saja. Panggilan ALLAH sudah saya biarkan cuma sekedar sebuah miscall.

Dear Sahabat, kisah saya sebagai MC membantu memperjelas makna sebenarnya dari peristiwa Natal, yaitu bahwa NATAL adalah ketika ALLAH bertindak secara sepihak untuk menolong manusia. Mengapa begitu? "Karena begitu besar KASIH ALLAH akan isi dunia ini (Yoh 3:16)". Ya karena KASIH. Apakah karena sepihak maka ALLAH lalu dapat kita menafsirkannya sebagai Allah telah bertindak sewenang-wenang? So pasti nyanda begitu jo. Perhatikan kelanjutan Yoh 3:16 "supaya barang siapa yang percaya". Nah, lihatlah. Penyelamatan atau panggilan atau keterpilihan itu hanya akan terjadi jika yang dipanggil untuk diselamatkan mau bertindak aktif dengan menyatakan percaya. Dalam Matius 9:6, yaitu ketika YESUS menyembuhkan orang yang sakit lumpuh, YESUS berkata begini "bangunlah, angkat tikarmu dan pulanglah ke rumah". Lalu itulah yang dikerjakan si lumpuh, yaitu bangun, merapikan tikar dan diangkat lalu berjalanlah pulang dia ke rumah. Sembuhlah dia. Anda lihat, apakah YESUS memaksa? TIDAK. Dengan menggunakan nalar saya coba membayangankan apa yang terjadi dengan si lumpuh seandainya, setelah menerima ucapan YESUS, dia tetap saja tidur malas-malasan, tak mau mengangkat tikar dan lebih memilih tinggal di tempat. Tak mau pulang. Apakah dia akan sembuh. Saya rasa koq ya tidak. Jadi, ALLAH sebenarnya memberikan pilihan "jika mau percaya selamat, jika tidak ya reffffoot bung". "Jika mau bangun dan merapikan tikar ya jalanlah, jika mau tidur terus malas-malasan ya sontoloyo amat dikau". Ah, ternyata Allah memberikan kita kebebasan untuk berkehendak. Singkat kata, DIA memanggil dan kita bebas memilih untuk menjawab ya atau tidak. Bekerja atau tidur terus. Dengan bekerja anda selamat. Dengan berdiam diri anda menuju lembah kelam. Is that clear my friends?.

Dengan demikian, jelas konstruksi masalah NATAL ini. NATAL adalah kado atau hadiah dari ALLAH yang diberikan tanpa anda memintanya. Kado itu adalah pelampung penyelamat yang bernama YESUS KRISTUS. Kado itu ditawarkan kepada siapa saja. Saya, anda, dia, kita dan mereka. Semuanya saja. Masalahnya, ada yang percaya dan ada yang tidak. Ada yang mau menerima dan yang lainnya emoh. Ada yang setelah menerima lalu mau bangun dan bertindak. Ada yang menerima kado lalu diam saja tak berbuat apa-apa. Lha, jikalau begitu refoooottttt dong Bung dan Zoes. Bagaimana jika anda mengeraskan hati lalu tidak mau bertindak apa-apa yang berakibat maut? Jikalau Allah itu Pencipta yang Maha Tahu maka mengapa Allah harus membentuk hati yang keras dan kepala yang membatu dan karena itu menolak atau menyia-nyiakan kado pelampung keselamatan? Apakah ALLAH tak mampu berbuat apa-apa bagi si keras hati berkepala batu? Lha kalo begitu caranya maka benar dong anekdot di kalangan kaum atheis bahwa "ALLAH begitu berkuasanya sehingga diciptakannya batu yang amat berat sehingga ALLAH sendiri tak bisa mengangkat batu itu" .... wuuueeeeeee.....Ya, gawat dong...Ribet juga ya NATAL itu? Ah, nggak gitu-gitu amat sih Bung en Zoes, emangnya Allah itu cuma sekedar buruh pembuat jalan raya yang kerja ngangket batu.....ga gitu kaleeeee......

Kebenarannya adalah: ALLAH itu baik. Dia tidak menciptakan hati yang membatu. Kitalah yang membatukan hati. Di dalam Alkitab dikatakan bahwa "pada akhirnya yang tinggal adalah Iman, Harap dan Kasih dan yang terbesar di antaranya adalah KASIH". Ehm, dahsyatnya ALLAH ya di situ itu. Sudah repot-repot memanggil...eeehhh... yang dipanggil diam saja menuju binasa.....tapi heeeiii lihatlah...ALLAH melompat menceburkan diri ke dalam air laut yang mengamuk lalu memeluk kita, merengkuh kita dan menyelamatkan kita. Dibawa-NYA kita ke kapal induk-NYA yang besar, diberinya kita obat dan makanan sampai kita sehat. KASIHNYA amat menyelamatkan. Dan lalu, ehm...jangan marah ya...."wahai si kepala batu, sini Gue jewer lu dikit deh biar nyaho", ...... "laen kali jangan kepala batu lah yauw. OK?"

Eh omong, omong bagaimana dengan sakit nyeri saya. Apakah lalu saya tetap tidak pergi ke Gereja. Jawabnya adalah ia. Saya masih sakit dan tetap tidak bisa ke gereja...lagian....hhhmmm.. malas ah ke Gereja, pendetanya suka aneh-aneh sih ...wkwkwkwkwk..(ketahuan juga bawa saya memang tergolong si keras kepala ya...). Dear All, NATAL adalah Kado atau Hadiah atau Gift yang diberikan ALLAh bagi kita tanpa kita memintanya. Nyeri punggungpun mungkin merupakan "kado" dari Tuhan. Peringatan dari ALLAH secara sepihak, dan karena itu saya tak tahu kenapa harus sakit. Dengan begitu saya wajib berwaspada. Sebuah warning dari YESUS, hei jangan lupus (lupa usia). Kali ini panggilan YESUS tidak saya biarkan lagi hanya tinggal sebuah miscall. Sekarang saya mau ke apotik mencari obat. Tabe!!!!!

The Greatest Gift Of All (kenny rogers & dolly parton)


SELAMAT NATAL TUAN SELAMAT NATAL PUAN

Jumat, 03 Desember 2010

bangsa apa ini, koq lidahnya meleleh? (part III)

Dear Sahabat Blogger,
Tuamese dekat Atambua, Laut luas ada di sana
Lama kita tidak bersua, Kesibukan jadi sebab jua
Kota Kupang panas udaranya, Tidur malam berkipas-kipas
Kalau bicara tentang bicara, mulut lidah diulas-ulas
Filsafat manusia mengajarkan kepada kita bahwa adalah berbicara yang menjadi salah satu fenomen manusia berbeda dengan, misalnya, monyet. Dengan berbicara manusia bertanya. Dengan bertanya manusia menemukan pengetahuan. Dengan pengetahuan manusia berbudaya dan dengan cara itu manusia menemukan ilmu. Akhirnya, ilmu pengetahuan membuat kita bisa terhubung seperti ini. Dimanapun anda berada di ujung bumi saat ini. Ada laptop. Ada internet. Jika anda perlu bepergian jauh, don't worry, tingal beli tiket dan lalu ...weeeerrrrrr...."burung besi" menerbangkan anda. Ingin pegang uang, segar? Tinggal menggenggam selembar tipis kartu plastik yang namanya kartu ATM lalu...weeerrresekesekiskrrrrgggg....keluarlah uang dari kotak besi yang kita sebut sebagai mesin ATM. Pokoknya, ilmu pengetahuan sudah membawa kita dalam situasi hari ini. Dan harap ingat, semua kemajuan ini berawal dari "bicara". Tahukah anda bagaimana proses fisiologis bicara itu? (berikut saya kutipkan sebuah artikel dari dunia maya, di http://luv2dentisha.wordpress.com/).

Percakapan digunakan untuk berkomunikasi antar individu. Proses bicara melibatkan beberapa sistem dan fungsi tubuh, melibatkan sistem pernapasan, pusat khusus pengatur bicara di otak dalam korteks serebri, pusat respirasi di dalam batang otak dan struktur artikulasi, resonansi dari mulut.

Nah, lalu tentang proses yang terjadi di mulut dsk...dan sekitarnya.... yang dikategorikan sebagai bagian dari organ artikulasi, dalam artikel ini terbaca sebagai berikut:

Organ artikulasi tersusun atas bibir dengan fungsi untuk membendung udara pada pembentukan suara letup. palatum mole-durum yang merupakan permukaan sensitif bagi lidah untuk mengawasi proses artikulasi, menghalangi dan membentukaliran udara turbulen dan sebagai kompas bagi lidah bahwa suara terbaik sudah dihasilkan, lidah berfungsi membentuk suara dengan mengangkat, menarik, menyempit, menipis, melengkung, menonjol, atau mendatar, pipi membendung udara di bagian bukal, gigi berfungsi menahan aliran udara dalam membentuk konsonan labio-dental dan apiko-alveolar dan akhirnya, mandibula yang membuka dan menutup waktu bicara. Selanjutnya dikatakan bahwa ketika suara dasar dihasilkan oleh vocal tract, suara tersebut dimodifikasi untuk menghasilkan suara yang jelas dengan proses artikulasi dan resonansi. Suara yang penting terbentuk adalah pengucapan konsonan, yang ditekankan sebagai iringan suara oleh gesekan bunyi. Konsonan dibentuk dari gelombang udara yang berkontak dari arah yang berlawanan. Misalnya pada kontak antara dua bibir saat pengucapan huruf “p” dan “b”. Contoh lainnya juga pada lidah yang menyentuh gigi dan palatum saat pengucapan huruf “t” dan “d”.

Rumitkah kutipan di atas? Bisa jadi begitu tapi untuk mudahnya begini: lidah adalah bagian penting dari proses berbicara karena membentuk konsonan, yaitu bunyi-ujaran yang terjadi karena udara yang keluar dari paru-paru mendapat halangan. Dapat dikatakan bahwa tanpa lidah tidak ada bicara. Tapi lidah yang bagaimana? apakah lidah yang kaku atau lidah yang lentur? Penjelasannya adalah bahwa organ artikulasi harus cukup lentur karena dalam fungsi penghalangan lidah harus bergerak dengan cara menyentuh organ lainnya, berputar, mengaduk, menggeser dan lain sebagainya. Karena itu, dari lidah yang kaku akan dihasilkan suara yang monoton dan bisa kehilangan arti. Cobalah anda mengucapkan dua kata berturutan "titik" dan "didih" dengan mengencangkan dan mengkakukan lidah. Bisa? Saya tidak yakin.

Jelas sudah bahwa lidah yang berfungsi baik adalah lidah yang lentur. Tidak boleh kaku. Tak boleh ada tulang. Dalam dunia nyatapun kata-kata yang dikeluarkan dari rongga mulut, yang di dalamnya terdapat si lidah, ternyata harus lentur dan fleksibel. Apa lagi di negeri tercinta Indonesia Raya. Saking lenturnya lidah tak jarang makna asli suatu kata bisa hilang tak tentu rimba. Contoh, tidak ada jaksa yang korupsi tapi oknum. Bukan polisi yang menembak demonstran melainkan oknum. Kalau begitu di Indonesia, penjahat itu bernama sama, yaitu oknum. Salah satu prestasi terbesar orde baru adalah tidak pernah menaikkan harga BBM karena yang terjadi adalah penyesuaian harga BBM. Mungkin karena itu pernah diusulkan untuk tidak lagi menggunakan istilah kenaikan kelas melainkan penyesuaian kelas. Menyesuaikan diri dengan mobil bukan menaiki mobil. Meniru Orde Baru, kabinetnya Mister SBY mulai mengupayakan istilah "pembatasan pemakaian BBM bersubsidi" sebagai bentuk "lidah lentur" dari menaikkan istilah "menaikkan harga BBM". Maka di masa Orde Reformasi ini para suami dan isteri harus mulai melakukan "pembatasan pemakaian waktu yang berlebihan" sebagai ganti istilah "kumpul-kumpul bikin anak" (ha ha ha...istilah inipun susdah merupakan hasil lidah entur dari penulis). Apakah lebih mudah memahami istilah hasil pelenturan lidah?

Apapun juga, ternyata pelenturan lidah atau disebut juga gejala eufemisme dalam berbahasa komunikasi, menghasilkan ketidak mengertian baru. Atau paling kurang diperlukan "kejeniusan lebih" untuk memahami maksud kata yang asli. Lalu mungkin karena "kelebihan kejeniusan" atau sebaliknya "kekurangan kejeniusan" atau keduanya terjadi sekaligus maka "kelenturan lidah" lalu lebih mirip "putar lidah" yang sering memancing "silat lidah". Dalam bentuk perkataan lain "kelenturan lidah" sering berubah menjadi "putar balik" yang memancing "kekacauan, kerusuhan, dan tawuran". Anda tidak percaya? Mari kita lihat kasus mutakhir, yaitu Jogja, Sultan, Monarki, Demokrasi, SBY dan seterusnya.

Tanggal 26-11-2010, tak dinyana SBY berbicara tiga hal substansial, yaitu 1) Reformasi mengharuskan demokrasi, hal ini diatur di dalam konstitusi; 2) Jogja memiliki peran sejarah dan oleh karenanya dia istimewa, hal ini juga diatur di dalam kosntitusi; 3) Sistem monarki di Jogjakarta bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi (democratic values). Gara-gara "lidah lentur" ini maka orang Jogja tersinggung lalu marah. Mereka paham betul maksud kata-kata SBY yang menurut mereka "menghina" nilai-nilai kearifan budaya orang Jawa Jogja. Akibatnya wong Jogja marah...."referendum"...teriak mereka...."bambu runcing kami siapkan" ...kata mereka dengan mata merah berkilat dan nafas dengus amarah.....Menter Dalam Negeri bolak-balik mengatakan bahwa Jogja istimewa tapi untuk urusan menjadi gubernur sebaiknya Sultan tak perlulah menjadi, "pararadhya" sajalah. Ruhut Sitompul menambah tidak jelas masalahnya dalam wawancara di TV. Dan orang Jogja tetap marah. Lalu, kamis 2-12-2010, SBY berpidato ... "isi pidato saya pada tanggal 26 November digeser", "2 kali Sultan mengatakan tidak mau lagi menjadi Gubernur", Saya sangat menghormati Sultan", "untuk 5 tahun ke depan Sultan akan tetap jadi Gubernur, "urusan keistimewaan Jogja selanjutnya menjadi urusan DPR".....Hwwwwaaaaaa......

Presiden SBY ternyata telah menggeser substansi pidatonya sendiri yang diucapkan pada tanggal 26 November. Bahkan perhatikan baik-baik petikan kutipan pernyatan SBY berikut ini yang saya kutip dari Vivanews.com:

"Saya berpendapat, apa pun model dan opsi yang dipilih, jangan lupa memberikan hak dan peran pada para pewaris Kesultanan dan Pakualaman. Sejarah mengatakan, keistimewaan Yogyakarta bisa ditarik dari sisi itu," kata SBY. Karena itu, Presiden menyatakan Pemerintah memperhatikan pandangan dan masukan dari berbagai pihak di negeri ini. "Baik dari saudara kita di Yogya atau pun saudara kita bangsa Indonesia secara keseluruhan," katanya. "Tentu Pemerintah akan memperhatikan ini semua untuk diajukan ke DPR untuk dilakukan pembahasan bersama. Pada akhirnya nanti, apa pun yang menjadi kesepakatan bersama, Pemerintah akan tunduk, akan menjalankannya," kata SBY.

Luar biasa hasil "kelenturan lidah" Pak SBY kali ini. Pertama, beliau tidak sadar atau pura-pura tidak sadar bahwa kemarahan orang tertuju pada frasa ke tiga yang mengatakan bahwa monarki Jogja bertentangan dengan demokrasi. Kedua, ketika beliau mengatakan bahwa "pemerintah memperhatikan pandangan dan masukan dari berbagai pihak di negeri ini, baik dari saudara kita di Yogya atau pun saudara kita bangsa Indonesia secara keseluruhan" maka dalam kepala saya berpikir dan bertanya, kapan beliau melakukan jajak pendapat terhadap seluruh rakyat Indonesia sebelum tanggal 26 November? Bagaimana hasilnya? Apakah atas nama seluruh rakyat Indonesia itulah beliau berpidato pada tanggal 26? Apakah dengan kata-kata itu maka rakyat Indonesia perlu diminta pendapat oleh pemerintah dan DPR ketika membahas RUUK Jogja? Mengapa proses yang sama tidak dikatakan oleh Pak SBY pada kasus Aceh, DKI, dan Papua?. Ketiga, sadarkah bahwa masyarakat timur kita yang penuh dengan "timbang rasa" merasa terluka karena bukankah orang Jogja masih shock dengan bencana merapi? Di mana empati? .... wooowwww.... lidah memang tidak bertulang. Lidah memang lentur. Tetapi sekarang kita tahu bahwa dalam kebanyak kasus, lidah bukan saja bisa lentur tetapi bisa juga lebih gawat dari itu. Tagal terlalu sering ditekuk dan dilenturkan maka lidah bisa meleleh.

Apakah dengan ini saya ingin mengatakan bahwa "lidah meleleh" monopoli milik petinggi Republik Indonesia? Saya tegaskan tidak begitu. Menurut hemat saya kita semua adalah pelaku lidah lentur, lidah berputar, lidah bersilat, dan ya itu tadi...lidah meleleh.....lihat saja aktor-aktor seputar kasus Gayus, ingat saja kasus bank century, jangan lupa kasus Susno Duadji, lihat saja diskusi di TV, lihat saja ketua PSSI Nurdin Halid, lihat saja janji kampanye pemilihan umum di segala level, lihat saja perdebatan di DPR dan DPRD, lihat saja kelakuan para "bonek" sepak bola, perhatikan ulah mereka yang menduduki tanah milik negara dan membangunnya dengan bangunan kumuh tetapi selalu minta ganti rugi jika kena gusuran dan masih banyak lagi. Di negeri ini, saudaraku sebangsa dan setanah air, lidah memang lentur. Amat lentur lalu meleleh. Selaku anak bangsa, saya pribadi mengaku bahwa kerap lidah saya juga bertekak-tekuk. Dan bagi kawan-kawan yang merasa tidak tergolong lidah meleleh maka silakan unjuk rasa...eh...unjuk tangan ke udara. Sobat terkasih, jadi, bangsa apa kita ini? So pasti, bangsa yang lidahnya meleleh.....

"He's a Liar" - Bee Gees


Tabe Puan Tabe Tuan

Selasa, 02 November 2010

bangsa apa ini? negeri bencana negara letoy lebay

Dear Sahabat Blogger,

Dalam memori kolektif orang-orang tempoe doeloe yang tinggal di Kupang, bulan Oktober disebut sebagai bulan "panas". Ada dua makna, yaitu suhu atmosfir Kupang di bulan oktober adalah yang terpanas dalam setahun. Beberapa data menunjukkan suhu ambient rata-rata Kota Kupang sekitar 34.7oC. Jika suhu diukur pada areal jalan raya maka angka tersebut bisa melonjak mencapai 40-42oC......wwwaaaallllaaaahhh...panas amat. Makna kedua, mungkin karena pengaruh suhu udara yang panas, kasus-kasus rumah tangga yang bercerai mencapai jumlah terbesar dalam setahun. Sebagai kontras, bulan Juli adalah bulan terdingin di Kupang dan lalu di bulan itulah statistik jumlah pasangan menikah yang tercatat di Kantor Catatan Sipil selalu yang tertinggi. Ujar-ujaran orang Kupang doeloe lalu menjadi ... bulan Juli menikah bulan Oktober bercerai.....benar begitu? tak pasti juga tetapi demikianlah mitos dalam memori kolektif orang Kupang. Pokoknya, jika bulan Oktober maka heeeiiii...hati-hati...bakal ada kejadian memilukan. Dan tahun ini, mitos seperti itu menjadi nyata. Bukan di Kupang tetapi di Indonesia. Gerangan apakah?

Pagi hari masih baru, banjir bandang menyapu Kota Wasior. Luluh lantak. Hancur lebur. 29 orang mati 103 lainnya hilang. Harta benda lenyap disapu air.... Air yang amat banyak termasuk air mata. Tetapi .... amboooiiii .... lihatlah, Pemda Kab. Manokwari bingung, Pemda Papua Barat tak tau mau bikin apa dan pemerintah pusat malah sibuk mengurusi isu....siapa yang mau menggulingkan SBY...korban tak tertangani dengan baik berjam-jam lamanya. Lalu menteri kehutanan berteriak ... "wooooiii illegal logging tuh" ...eh belakangan diralat... "eeehhhmmmm...maaf ya, itu bukan illegal logging tetapi karena daerah aliran sungai (DAS) yang tidak dikelola dengan baik" . Mana yang benar bapak????? Karena berlarut-larut maka isunya menjadi tidak karuan dan yang bikin malu adalah ini....wah korban Wasior kurang diangani dengan baik karena kebanyakan mereka bukan penduduk asli....wuuuueeehehhh, gila... gilaaaa .... gilaaaaaaaa.....negeri apa ini?

Luka di Wasior belum kering benar ketika kita dikagetkan oleh bencana tsunami di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat pada tanggal 26 Oktober 2010. Menyusul gempa bumi berkekuatan 7 SR, gelombang tsunami setinggi 8 m menyapu Mentawai ...lintang pukang ..... remuk redam....hancur lebur....berita terkini (02-11-2010), 450 meninggal 200-an hilang. Apakah penanganan bencana lebih baik? Ga juga bro. Bayangkan, setelah kejadian, dengan alasan tengah malam dan komunikasi buruk, status peluang tsunami tidak lagi disebarkan. Setelah tsunami terjadi, barulah 12 jam kemudian penanganan dilakukan...terlanjur mati-lah mereka yang keleleran tapi mungkin masih bernyawa. Setelah 4 hari kemudian barulah helikopter 4 biji dipindahkan dari padang ke Muko-Muko yang lebih dekat ke Mentawai. Hermawan Sulistyo dalam wanacara di Metro TV mengherankan begitu lambatnya penanganan. Beliau juga merasa heran karena kesiap-siagaan di Padang, mungkin belajar dari gempa setahun silam, amat baik. Tapi mengapa tidak di Mentawai? SBY datang dari luar negeri menengok sebentaran ke Mentawai, bertangis-tangisan lalu...eh, kembali ke Vietnam. Pertemuan ASEAN. Dan selama ketidak hadirannya itulah penanganan begitu buruk. Kasihan Mentawai. Mereka ada tetapi seolah-olah tiada. Lalu merebak isu...Ah Mentawai kan berbeda dari rata-rata oran Sumatera Barat....mammmma miiiiia...gelo.....gilaaa.....maczhammm mannnaaaa negeri kita ini?

Masih terbengong-bengong dengan apa yang terjadi di Mentawai, kita kembali tertunduk merunduk sakit...amat sakit bung en zoes......merapi mengamuk di tanah Jawa. Wedhus gembel mengudara lalu mencari mangsa dan...23 orang meninggal termasuk mbah "rosa" Marijan yang setia, jantan, pemberani, tegar hati dan penuh komitmet tetapi sayang terlalu berkubang dalam sindrom inertia. Merapi ternyata sudah berubah. Dia tidak lagi bisa diprediksi seperti yang dipotret oleh pengetahuan lokal. Ilmu pengetahuan seharusnya tidak di tolak begitu saja karena alasan tradisi. Tetapi duka adalah duka, Jangan diperdebatkan. Karena itu, banyak pejabat berseliweran ke Merapi. Ebiet G. Ade menyanyi langsung di tenda duka. Kali ini tanpa isu gawat kecuali penangannya yang tetap saja tidak karuan. Bahwa masyarakat lebih mengkuatirkan khewan peliharaanya ketimabng nyawa sendiri adalah pertanda bahwa negara tidak berfungsi dengan benar. Bukankah di tangan negara diberi mandat untuk "memaksa"? Tetapi baiklah, di luar perkara itu ada satu peristiwa di Merapi yang mungkin akan menolong kita membebaskan diri dari prasangaka buruk seperti yang terjadi di Wasior dan Mentawai. Apa itu?

Jenazah Mbah Marijan ditemukan dalam keadaan bersujud menunaikan kewajiban agama yang diyakininya. Kita menjadi tahu bahwa orang tua yang satu ini adalah seorang Muslim yang baik dan taat, Tahniah untuk itu. Selamat. Tetapi tidak kurang mengharukan adalah seorang wartawan Vivanews.com, yaitu almarhum Yuniawan "Wawan" Wahyu Nugroho. Berikut saya kutipkan berita dari Vivanews.com:

Sebenarnya, Wawan--nama sapaan Yuniawan--dan Tutur, sudah sempat mengungsi dari Kinahrejo, bersama Agus Wiyarto (asisten dan kerabat Mbah Maridjan), anggota keluarga si Mbah, dan beberapa penduduk desa. Akan tetapi, sesampainya di pengungsian Umbulharjo, dengan mengendarai minibus Suzuki APV, Tutur dan Wawan berkeras kembali untuk menjemput Mbah Maridjan yang memilih bertahan di rumahnya. Di tengah hari yang mulai gelap, mereka tanpa ampun disergap bara wedhus gembel.

Kita tahu kini bahwa Wawan akhirnya "menjadi korban dari kebaikan hatinya sendiri". Apakah dia bersalah? Kita juga tidak tahu persis apakah sikap etis Mbah Marijan dengan bertahan di kampungnya lalu dengan itu seolah-olah mengajak yang lainnya ikut tewas bersama-sama adalah suatu kesalahan yang lain. Tuhan seru semesta alam yang maha mengetahui tetapi kita bisa belajar bahwa begitulah bentuk cinta kasih. Mbah Marijan mencintai Merapi dan tugasnya. Dan, mati karena keyakinan akan tanggung jawab sembari menjalankan tugas adalah pameran tentang 1 kata dan perbuatan. Wawan mau berkorban untuk orang lain. Nyawa taruhannya. Orang lain cuma bisa bicara Wawan melakukannya.....luar biasa. Dan inilah dia jasa 2 orang itu secara bersama-sama, si Mbah dan Wawan, yaitu mereka membebaskan kita dari kepicikan berpikir lalu menuding dan akhirnya menyebar gosip. Kita tahu dari gambar televisi ketika pemakaman Wawan. Ternyata dia Kristani. Anda bayangkan Si Mbah yang Muslim baik ingin ditolong oleh Wawan yang Kristiani. Perbedaan ternyata tidak menghalangi kasih sayang. Maka, hentikanlah omong kosong di Wasior dan Mentawai. Jangan lagi tega hati menambah susah Ibu Pertiwi yang ketika sedang tertimpa bencana masih juga dikuyo-kuyo isu perpecahan, Nurani Mbah Marijan dan Wawan memberikan petunjuk telak bahwa anak Bangsa ini tahu menempatkan diri. Masalah persatuan dan kesatuan di tingkat akar rumput ternyata bukan problem yang terlalu besar. Lalu, di mana letak masalahnya?

Masalah negeri ini ada pada elite yang tak tahu mengelola negara. Suka plesir ke mana-mana. Gubernur Sumatera Barat, Iwan Prayitno, malah memilih berkunjung ke Jerman ketika penanganan Mentawai masih amburadul. Politisi kita amat gemar berdebat berpanjang-panjang di TV pamer ilmu akal-akalan zonder ada tindakan nyata. Lalu ada si Marzuki Ali yang ketua DPR yang malah tega "mengata-ngatai" orang Mentawai bahwa "sudah tahu kepulauan Mentawai berisiko bencana kok orang Mentawai masih mau tinggal di sana". Lho, kalo mereka gak tinggal di Mentawainya lalu apa dong nama etnolinguistik mereka? Waduuuhhh...saya pikir, Marzuki lebih baik diam saja ketimbang ketahuan bodohnya. Pemimpin bangsa ini sibuk ja'im alias jega image. Negeri ini juga adalah negerinya para para pemain sandiwara berkelas penghargaan citra. Tak heran jika pencitraan menjadi model impian pemimpin kita dewasa ini. Berita kemarin adalah petugas sibuk mencopoti spanduk para pemberi bantuan di Merapi karena umbul-umbul itu menghalangi kelancaran gerak mobli ambulans. Umbul-umbul itu juga berisikan aneka iklan produk jasa dan kelompok partai. Kemalangan dikapitalisasi secara berlebihan.

Negeri dikepung oleh 4 lempeng bumi yang bergerak-gerak dan berpotensi menyebabkan bencana. Negeri ini terletak pada barisan "ring of fire" volcano yang siap meletus dan menghancurkan. Sebagian besar wilayah negeri ini ada di daerah tropika basah yang berpotensi menerima hujan dalam jumlah yang luar bisa besar dan mebawa banjir bandang. Semenjak tsunami Aceh, sudah banyak bencana berskala mega terjadi terjadi susul menyusul di Negeri ini. Undang-undang dan aneka aturan telah dibuat tetapi mengapa penanganan bencana selalu saja buruk. Semua berjalan seolah tanpa perencanaan. Kita tidak pernah serius belajar dari pengalaman. Bangsa dan negeri ini, ternyata, dikelola dengan amat tidak pantas. Kita letoy dalam aksi nyata tetapi sangat lebay dalam perkara pasang aksi kucing via sandiwara pencitraan. Mau jadi apa kita ini? Bangsa apa kita ini? Kesian .... eeehhh ... Sekian.

BERITA KEPADA KAWAN/EBIET G.ADE

Tabe Puan Tabe Tuan

Kamis, 30 September 2010

bangsa apa ini? (part I)

Dear Sahabat Blogger,

Dulu kala, ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, saya diajarkan oleh bapak/ibu guru untuk bersikap bangga sebagai bangsa Indonesia. Kita, Bangsa Indonesia terkenal sampai ke seluru penjuru mata angin sebagai bangsa yang sangat santun, ramah, suka membantu, pandai membawa diri dan sangat bermartabat. Kata bapak/ibu guru, tagal perkara keramahannya ini maka orang-orang luar negeri sangat gemar berkunjung ke Indonesia. Para wisatwawan manca negara sangat sengan karen di mana-mana mereka akan disambut dengan senyum manis penuh persahabata. Dan benar saja, dahulu ketika kecil, setiap bertemu orang asing berkulit putih, saya dan juga kawan-kawan sebaya akan berteriak-teriak mengucapkan selamat...hei mester...selamat pagi/siang/sore....si orag asing tertawa, kami juga tertawa kembali, riuh rendah.

Tetapi cobalah diperhatikan kisah-kisah di seputar peristiwa G 30 S. Jenderal dan prajurut dibunuh. Lalu Indonesia seperti masuk dalam gerbang neraka pertumpahan darah. Sebagian sumber mencatat bahwa diperkirakan 1 juta orang mati sia-sia pasca G 30 S. Sumber lain mencatat sekitar 500.000 jiwa meregang. Lihatlah pula kasus tanjung priok di tahun 1980-an. "Petrus" yang membunuh para penjahat "gal" sonder pake permisi. Pertumpahan darah di Aceh. Kerusuhan Mei 1998. Kerusuhan di Ketapang Jakarta tahun 1998. Kerusuhan di Kupang, di Ambon, dan di Poso. Bom Bali I dan II. Bom di Kedubes Australia 2004. Di hotel JW Marriot 2009. Penatua HKBP yang ditikam. Kerusuhan di Sampit, Kalimantan. Kerusuhan di Tarakan Kalimantan. Keributan di Jalan Ampera Jakarta Selatan. Jangan lupa pula, ada si msiter Ryan si jagal van jombang yang sendirian menhbisi belasan nyawa. Ada mister babe yang mensodomi dan menebas habis tubuh anak-anak kecil geandangan kota. Suadaraku, genangan darah...darah ...dan, ... darah ..... membajiri dan menggenangi tanah republik ini...

Sahabat terkasih,

Untuk apa semua itu? Atas nama apa darah itu ditumpahkan? Atas nama perut lapar. Atas nama dorongan sexual. Atas nama kelompok primordial tertentu. Atas nama keadilan. Dan, yang paling gila...atas nama TUHAN...(entah Tuhan yang mana yang gemar melihat darah yang bertumpahan) ....Lalu, masih berapa banyak lagi darah yang harus ditumpahkan? Masihkah kita dengan bangga menyebut diri kita sebagai bangsa yang ramah dan sopan? Sekolah SD - perguruan tinggi dibangun di mana-mana. Gedung-gedung ibadah dibangun dimana-mana. Kelompok-kelompok keagamaan berkembang berlipat-lipat. Sejak subuh, telinga dan mata kita sudah dipenuhi dengan siaran penuntun jiwa di layar-layar TV. Tetapi mengapa perilaku barbar masih gemar dipertontonkan tanpa segan dan tanpa rasa malu. Ada apa ini? Maaf saudara, dalam posting kali ini, saya hanya mau mengungkakan fakta dan bertanya. Cuma itu yang bisa saya lakukan saat ini. Bertanya dan merenung....bangsa apa ini?

Tabe Tuan Tabe Puan

Senin, 13 September 2010

antara jakarta dan bekasi

Dear Sahabat Blogger,

Dua bulan "menghilang" dan baru hari ini kembali. Ada yang protes. Ada yang biasa-biasa saja. Apapun, maafkan saya. Tetapi jeda dua bulan ini, bagi saya pribadi, memang perlu. Saya jenuh dan hilang rasa kepingin menulis. Kenapa jenuh? Lelah karena terlalu banyak janji pekerjaan yang harus saya tunaikan. Semoga dipahami. Semoga dimengerti. Kita masih sahabat-kan?

Hari ini saya memutuskan untuk kembali menulis. Pertama-tama karena saya merindukannya .... ya untuk menulis itulah...tetapi hal berikutnya adalah, ada sesuatu yang mengganggu pikiran saya...apa itu? antara jakarta dan bekasi...wheeeladhalalllahhh...apa-apaan nih? dulu chairil anwar menulis tentang antara krawang dan bekasi...apakah ada kaitannya dengan hal ichwal itu? bisa saja begitu kendati lain nuansanya...bagaimana???? begini ...

Di hari Lebaran I 2010, terbetik berita .... Johny Malela, pengemis buta yang mengangsurkan dirinya di Istana Negara, Jakarta, berharap rejeki Lebaran diberitakan rebah berkalang bumi .... mengenaskan, sangat mengenaskan ... bayangkan, belum lama ini diberitakan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia sudah menurun ... keberhasilan SBY, katanya tetapi Johni dan banyak yang lainnya yang berdiri di antrean para peminta sedekah rela mati hanya demi serupiah dua rupiah ... jikalau kemiskinan di hitung berdasarkan pengeluaran per hari 10.000 rupiah...maka Johni dan kawan-kawan itu apa namanya???? Pertanyaan lain adalah, Johni mati karena apa? Terinjak-injak. Oleh siapa? Sesama pengharap sedekah....ternyata orang miskin mati terinjak mereka yang juga miskin. Di mana mereka yang berpunya? Dalam setiap berita seperti itu, tak pernah dinyatakan bahwa si pemberi sedekah mati terinjak-injak...si kaya ternyata punya keistimewaan, yaitu amat kecil peluang untuk mati terinja-injak si miskin....hati-hati dengan si miskin karena mereka adalah pembunuh sekaligus korbannya .... mammma miaaaaaaa.....

Di hari kedua Lebaran 2010, kita mendengar berita lain yang tak kalah tragis .... di bekasi, kota di sebelahnya Jakarta, seorang Jemaat HKBP ditusuk seorang durjana dan kawaan-kawannya. Tertembus perutnya sampai mencapai organ hati. Lalu, setelah jatuh rebah ke tanah, si Asia, begitu si tertusuk hendak ditolong seorang polisi dan seorang pendeta perempuan. Baru beberapa meter berjalan si pendeta dihajar menggunakan sebatang kayu papan...praaaaaakkkkggghhhhh gedubraghhhhh...roboh juga si ibu Pendeta .... aaahhhh kasihaaaaaannn...tagal perkara apa ini? Oh, ternyata ada kaitannya dengan tak bisanya Si Asia dkk. Jemaat Gereja HKBP beribadah secara leluasa.... ooohhhhh .... di mana kejadiannya??? Di bekasi. Di Negara manakah kota bekasi itu berada? Di Indonesia. Negara Pancasila katanya. Siapa pelakunya? "Masih dicari", kata pak Polisi kendati gambar video kekerasan di tempat yang sama yang dilakukan oleh yang bersangkutan pada tanggal 18 Agustus sudah ada di tangan Pak the Police. Ooooaaaalaaaahhhh....hati-hati menjadi orang seperti si Asia di Negeri Pancasila ini karena di mana dan kapan saja anda bisa ditusuk karena anda berbeda dari dari mayoritas lainnya ...

Tapi, kegelisahan saya berakar bukan pada hal-hal yang sangat kentara seperti itu ttapi lebih mendasar lagi, yaitu .... DI PANDANG SEBAGAI APA ORANG SEPERTI JOHNI MALELA DAN ASIA + IBU PENDETA BAGI SI PEMBERI SEDEKAH, SI PENGINJAK DAN SI PENUSUK DAN BAHKAN BAGI ANDA DAN SAYA? Sesama manusiakah atau cuma sekedar seonggok barang?

Saya lalu teringat 3 jenis relasi yang bisa terjadi di antara orang-orang atawa manusia, yaitu relasi "aku-itu", "aku-dia" dan "aku-engkau". Dalam pola relasi "aku-itu" sesama adalah obyek. Sesama dipandang dari segi pragmatis. "Si itu saya perlu sepanjang dia ada gunanya, uangnya banyak, kedudukannya tinggi, atau wajahnya cantik". Jika semua yang saya perlukan sudah tak ada lagi maka tamatlah si itu bagi saya Mati sajalah. Sartre mengatakan bahwa relasi "aku-itu" adalah kebencian. "Bencilah semua orang maka kau akan hidup. Bencilah Tuhan supaya kau jadi Tuhan", begitu amanat Sartre si Ateis besar. Maukah anda sepaham dengan Sartre? Apakah si penusuk Asia bukan golongan ini?

Pola relasi berikutnya adalah "aku-dia". Dalam pola ini, sesama bukan obyek tetapi subyek. "Saya subyek dia juga subyek". "Sesama bus kita jangan saling mendahului". " Sesama subye tak perlu salig mengobyekan". "Urusanmu adalah urusanmu sendiri". "Kau mau mati, mau hidup, mau sakit, mau bahagia, adalah urusanmu sendiri". "Jangan dekati aku karena aku tak mendekati anda". Aku dan dia netral. Acuh tak acuh. Sidang pembaca, andakah golongan itu? Jangan-jangan Johni Malela dkk. ada di kelompok ini.

Pola relasi yang satunya lagi adalah "aku-engkau". "Aku ini unik, engkau juga unik jikalau dua keunikan digabung dan ber-koeksistensi damai maka dunia punya dua makhluk unik dan membawa bahagia". "Ini kelebihanku dan di sana kelemahanku, manfaatkanlah kelebihanku dan tutupilah kelemahanku dengan kelebihanmu, maka indahlah hidup". Relasi ini adalah relasi sosial antara manusia.

Bagaimana anda melihat hubungan antara anda dengan sesamamu yang se kampung, se Gereja, se Mesjid, se Pura, satu nusa, satu bangsa? Yang mana di antara 3 pola relasi yang saya uraikan yang benar-benar sedang anda jalani. Jika anda, dan juga saya, adalah si pembenci dan si acuh tak acuh maka .... ke laut saja loe karena loe bukan orang tapi, mungkin, .... monyet .... ya, kera yang berpendar antara jakarta dan bekasi lalu ke segala penjuru mata angin sambil menebar kebencian. Tanpa malu.

Cuma itu, sidang pembaca yang budiman. Cuma itu yang bisa saya tulis kali ini


Tabe Tuan Tabe Puan

Minggu, 18 Juli 2010

norman tulis tulis tentang "NUSA TABOLAk taBALEK"

Dear Sahabat Blogger,

Dua tahun lalu persis, di bulan Juli 2008 Mister Norman berangkat  menuju Jogjakarta. Dia ingin melanjutkan sekolah ke tingat pascasarjana dalam bidang ilmu Kehutanan. Waktu itu, beramai-ramai kami mengantarnya. Di antara para pengantarnya adalah Oma Tien tercinta. Tahun  ini di bulan yang sama, tepatnya tanggal 28 Juli, dia akan diwisuda karena urusan sekolah S2-nya  kelar sudah.  Cita-cita Opa dan Omanya, sebagian, tercapai sudah.  Sayang, sekarang Oma dan Opa Robert-nya tak ada lagi untuk melihat Norman secara kasat mata. Berdua, mereka sudah berbahagia di "negeri seberang sana". Oh, ya masih ingat Norman? Ya anda betul, dia adalah penerus DNA saya yang sulung. Dan ini adalah tulisan hasil olah pikirnya. Dan jika saya mempostinnya maka ini adalah kado wisuda dari saya. Selamat membaca dan berkomentar. 

Howdy Bung en Soes pembaca blog 

Apabila biasanya saya menulis dengan tema lingkungan di blog ini, maka kali ini sedikit berbeda, saya kali ini ingin menulis mengenai tanah kelahiran saya, Nusa Tenggara Timur. Sebelum memulai isi tulisan ini, ijinkan saya untuk sedikit bercerita latar belakang mengapa saya memilih tema ini. Begini ceritanya, pada jaman dahulu kala di suatu kerajaan hiduplah seorang putri yang cantik jelita...... Ups.... Maaf saya barusan salah bercerita. Cerita barusan biasanya saya dongengkan untuk anak saya. HiHiHi. Begini cerita yang sebenarnya Bung en Soes, ilham dalam menulis bagi saya itu bisa datang darimana saja. Kebanyakan dari membaca atau mengamati kejadian sekitar. Tulisan ini dibuat segera setelah saya membaca tulisan pada salah satu koran harian terkemuka, Kompas edisi kamis, 8 Juli 2010. Tulisan pada koran ini sebenarnya tidak spesifik mengenai NTT, bahkan hanyalah tulisan kecil hasil opini pembaca, tetapi saya menangkap inti tulisan tersebut cukup menohok dan menggelitik pikiran saya mengenai yang terjadi di NTT. Apa itu? Nanti akan kita simak dalam tulisan ini lebih lanjut.

NTT = Nusa Tenggara Timur. Itu singkatan resminya. Namun ada pula anekdot yang mengatakan NTT adalah singkatan dari Nasib Tak Tentu, Nanti Tuhan Tolong, de es be. Anekdot ini sebenarnya bukan tanpa alasan ataupun muncul secara tiba-tiba, namun bisa pula berangkat dari kejadian faktual di NTT sendiri. Kita sudah mengenal NTT bukanlah daerah yang berlimpah – meminjam judul lagu Koes Plus - kolam susu. Bukan daerah yang subur. Bahkan karena sifat klimatik, maka fenomena kekeringan bukanlah suatu hal yang baru. Semua tahu itu. Mungkin pula dari situ muncul anekdot mengenai singkatan NTT tadi. Mungkin. Tetapi apa relevansi ini dengan judul yang saya pilih? Begini Bung en Soes, NTT saya beri lagi satu singkatan baru yaitu Nusa Tabolak Tabalek atau dalam bahasa Indonesianya adalah nusa terbolak-balik. Jangan marah dulu apabila saya memberi satu singkatan baru ini karena seperti apa yang saya katakan bahwa ini berangkat dari apa yang terjadi di NTT sendiri. Apa yang terbolak-balik di NTT? Saya akan menerangkan dengan menggunakan beberapa contoh berikut. Tanah di NTT pada umumnya kurang subur, topografi yang berbukit-bukit ditambah dengan ariditas iklim sehingga hasil tanaman pangan kita tidak melimpah laiknya di daerah lain. Itu tak bisa dipungkiri, tetapi apa anda bisa memungkiri bahwa NTT di saat yang sama juga memiliki lahan penggembalaan yang luas di Indonesia sehingga sangat potensial sebagai gudang ternak? Namun apakah produksi ternak di NTT berbanding lurus dengan luas lahan penggembalaan tersebut? Kita sering atau bahkan teramat sering mendengar berita kekeringan melanda NTT sehingga hasil pangan menurun, tetapi di saat yang sama kita melupakan fakta bahwa sebenarnya NTT memiliki laut yang luas dengan potensi hasil bahari yang menjanjikan. Namun apa yang terjadi? Kita tidak menjadi tuan di tanah sendiri. Tolong koreksi apabila saya salah, tetapi pernahkan pemerintah daerah kita membuat suatu program untuk lebih memanfaatkan hasil laut kita selain gemala (gerakan masuk laut) yang nyatanya tidak efektif? Coba bayangkan saja luas daratan NTT yang begitu kecil, yakni 47.349,9 km2 atau 23,7 persen jika dibandingkan luas lautan yang mencapai 200.000 km2. Di sisi lain pemanfaatan sumberdaya ikan laut hanya sekitar 30% dan budidaya laut hanya 8,74%. Yang ada dan terdengar selama ini hanya program intensifikasi dan ekstensifikasi jagung, tanaman pangan, de el el yang notabene ada di darat, tetapi laut yang luas dan di depan mata malah terlupakan. Program-program pemanfaatan hasil laut biasanya hanya ada saat kampanye-kampanye, namun ketika terpilih maka “janji tinggal janji” begitu syair lagu. Atau mau contoh lain, silahkan lihat kejadiaan “nahas” yang menimpa tanaman cendana (sandalwood). Meski ada yang mengatakan cendana berasal dari Gujarat, India, namun beberapa sumber dengan jelas mengatakan cendana berasal dari NTT. Tetapi apa yang terjadi? Produksi cendana di NTT dewasa ini tidak bisa dikatakan mencerminkan sebagai asal tanaman itu sendiri. Tidak percaya? Bisa anda tanyakan langsung pada pemilik blog ini selaku konsultan ITTO yang saat ini sedang gencar-gencarnya ingin menghidupkan kembali NTT sebagai gudang cendana. Satu pertanyaan menggelitik adalah selama ini pemerintah daerah NTT buat apa saja? Semoga tidak ada lagi kebijakan fatal seperti tahun 70-an sehingga cendana dijuluki sebagai kayu setan atau kayu milik pemerintah oleh masyarakat sebagai dampak kebijakan yang tidak berpihak tersebut. Semoga.

Saya memiliki pengalaman menarik ketika kuliah di Fakultas Kehutanan UGM beberapa waktu lalu. Ketika membahas mengenai luasan hutan, maka teman-teman dari jawa, Sumatera, Kalimantan atau Papua amat sangat “digdaya”. Yah tentu saja, daerah mereka memiliki luas hutan yang lebih daripada NTT. Namun ketika membahas mengenai luas kawasan penggembalaan, maka maaf-maaf saja teman, saya serta merta membusungkan dada. Ya iyalah.... NTT memiliki luas lahan penggembalaan sekitar 653.983 ha. Angka tersebut yang tercatat resmi, tapi dalam kenyataannya di lapangan, savana yang merupakan tipe formasi dominan di NTT biasanya juga digunakan sebagai kawasan penggembalaan. Kemudian bila mempertimbangkan kebiasaan masyarakat dalam melepas ternak dalam kawasan hutan dalam sistem agrosilvopastoral, maka kawasan hutan bisa juga dapat juga dihitung sebagai kawasan penggembalaan. Coba hitung saja berapa total semuanya? Cukup fantastis bukan? Sombong juga rasanya saya saat itu. Namun apa yang terjadi kemudian? Ketika dosen saya mengatakan bahwa meski NTT memiliki lahan penggembalaan yang luas, namun di saat yang sama produksi ternak justru menurun dari tahun ke tahun. Oh.... Betapa malunya. Kepala yang tadinya terangkat gagah menjadi tertunduk malu. Lahan penggembalaan luas tetapi produksi ternak menurun. Paradoks bukan? Terbolak-balik bukan? Bagi saya pribadi beberapa contoh di atas membuktikan bahwa pemerintah daerah kita cenderung tidak belajar dari pengalaman terdahulu. Setiap pergantian tampuk kepemimpinan, maka ganti pula program-program dengan yang baru. Tapi apa bisa dikatakan berhasil? Tergantung dari sisi mana kita melihat. Kalau saya melihat dari sisi output yang dihasilkan seperti beberapa contoh di atas, maka bagi saya pemerintah daerah NTT bisa saya katakan gagal. Contoh lain datang dari dunia pendidikan. Beberapa tahun terakhir tahun NTT selalu menduduki rangking satu atau dua dalam hal kelulusan siswa. Rangking satu atau dua dari belakang maksudnya. Itu berarti setiap tahun selalu terulang, terulang dan terulang lagi. Orang boleh baru, Gurbenur sebagai top manager boleh baru, kepala dinas boleh baru, dan program boleh baru tetapi hasil akhirnya yah itu-itu juga. Sami mawon. Sama saja. Seorang teman saya yang berprofesi sebagai guru di Sumba mengatakan program pendidikan boleh banyak, tetapi eksekusi di lapangan sangat lemah. Wah NAPO juga nih namanya. No Action Programs Only. Dalam beberapa tulisan terdahulu dalam blog ini sedikit banyak telah menyiratkan apa yang saya katakan tersebut. Sedari tadi kelihatannya saya hanya menyalahkan pemerintah, oleh karena itu, pertanyaan yang penting sekarang adalah apakah yang salah hanya pemerintah? Yang salah hanya si pemimpin saja? Ataukah semua stakeholder yang berarti mereka dan kita, anda dan saya? Bisa anda membantu saya menjawab pertanyaan tersebut? Saya hanya ingin agar semua menjadi obyektif. Jangan sampai terjadi satu jari menunjuk orang lain, tetapi tanpa kita sadari jemari yang lain sedang menunjuk ke arah kita sendiri. Kalau itu yang terjadi artinya saya dan anda juga memiliki andil dalam membuat NTT sebagai Nusa Tabolak Tabalek dong? Wagat eh.... gawat maksudnya.

Saya cukupkan tulisan ini sampai disini dengan maksud agar Bung en Soes semua mau melengkapinya apa yang kurang. Menambahkan apa yang belum saya sampaikan. Atau malah mau mengoreksi tulisan ini. Monggo. Silahkan. Karena saya juga masih perlu banyak belajar. Namun tolong jangan salah artikan isi tulisan ini karena saya juga tidak bermaksud menjelek-jelekan NTT karena sesungguhnya saya amat sangat mencintai tanah kelahiran saya ini. Tetapi apakah cinta mesti diartikan diam saja melihat sesuatu yang salah terjadi di sekitar kita? Tidak. Bagi saya kritik bisa berarti ungkapan cinta saya bagi NTT. Tulisan ini bukti saya mencintai NTT. Jadi apabila saya ditanya setuju NTT adalah Nusa Tabolak Tabalek? Sambil bersenandung saya akan menjawab “tanyakan saja pada rumput yang bergoyang”.
Tabe Puan Tabe Tuan 

Selasa, 06 Juli 2010

ijinkan saya mendongeng tentang bola yang disepak kian kemari

Dear Sahabat Blogger,

Semua penggemar sepak bola dunia pasti menikmati betul pertandingan sepak bola Piala Dunia 2010 di Negeri "Waka-Waka" Afrika Selatan. Negerinya Paman Mandela. Satu bulan lamanya penggemar soccer dimanja habis-habisan. Tapi lihatlah, kendati semuanya menggemari sepak bola yang sama tetapi reaksi orang-orang itu bisa berbeda-beda terhadap tayangan yang sama. Apa yang membedakan mereka? Ada banyak alasan tetapi saya ingin melihat dari 1 sudut, yaitu tergantung siapa kesebelasan favorit mereka atau siapa pemain favoritnya.


Bagi penggemar kesebelasan Belanda maka sampai posting ini diturunkan pastilah sedang bersukacita abis. Sebaliknya bagi penggemar berat kesebelasan Brazil atau Inggris, Piala Dunia mungkin tinggal sekedar tontonan yang tak punya impresi apa-apa lagi. Konon, di Nerete, Haiti, seorang penggemar kesebelasan Brazil, pemuda 18 tahun, bunuh diri setelah Brazil dikalahkan Belanda 1 - 2. Kendati tak setragis itu tetapi seorang adik saya harus menghabiskan nyaris 5 pak kertas tisu untuk membersihkan airmatanya setelah Kesebelasan favoritnya, Argentina, dikalahkan Jerman 0 - 4. Saya malah sempat menawarinya, jika persediaan tisu di kios sekitar rumahnya habis, saya bersedia mengirimkan bagia dia barang 1-2 pak tambahan. Seorang adik yang lainnnya, kebetulan penggemar berat kesebelasan Jerman, berbeda lagi kelakuannya. Ketika saya menelefon dia malam-malam setelah selesai pertandingan Argentina VS Jerman, hampir 2 menit saya tidak mendengar suara apa-apa selain suara tawa girangnya yang teramat keras....waaaaalllaaaaahhh .... "kasihan juga adik saya itu. Barusan dilantik jadi pejabat kok malah jadi gila gara-gara sepak bola". Begitulah sahabat, Lalu bagaimana dengan anda? Bagaimana dengan saya? Nah ini.

Seperti juga posting saya 2 tahun lalu ketika kesebelasan Jerman dikalahkan Spanyol 0-1 pada Piala Eropa, saya secara tradisional adalah penggemar Kesebelasan Jerman. Mula-mula alasanya adalah sangat tidak masuk akal, yaitu karena Jerman, ketika itu Jerman Barat, adalah negeri asal Marten Luther sang Reformator Gereja. Belakangan baru saya bisa bersikap lebih rasional. yaitu saya menyukai Jerman karena semangat juang dan ketertiban organisasi permainannya. Mereka tidak selalu bagus, bahkan cenderung tampil menjemukan, tetapi begitu memasuki sebuah turnamen, mereka dapat sangat berbahaya. Saya menemukan "wajah" saya dalam kesebelasan Jerman. Bukan yang terbaik tetapi mati-matian berusaha menjadi baik. Berhasil sukur. Gagal ya dicoba lagi lain kali. Bagaimana reaksi saya dengan hasil-hasil yang dicapai kesebelasan Jerman? Jika menang maka saya akan mencari semua koran yang memberitakan itu lalu saya baca habis semuanya. Bagaimana jikalau kalah? Biasa saja. Paling-paling saya tidak lagi mau menonton kelanjutan turnamen. Bahkan anak-anak saya sering saya usir agar supaya tidak membuka televisi dan menonton pertandingan sepak bola lanjutan turnamen.... ha ha ha ha...(ternyata saya juga tak kalah irrasionalnya dengan adik-adik saya itu tadi ya???? ...ha ha ha ha). Tapi itu dulu. Sekarang tak lagi begitu. Jika Jerman menang OK. Kalah? Ya tidak apa. Lain kali Jerman akan mencoba dan bagus lagi.

Siapa pemain kesukaan saya? Dahulu kala, bagi saya pemain terhebat di dunia adalah Franz Beckenbauer dan Gerd Muller. Pertama-tama karena mereka adalah pemain kesebelasan Jerman (Barat). Kedua, tidak ada pemain lain di dunia yang bisa menciptakan 1 posisi yang khas dan lalu ditiru oleh banyak kesebelasan lain selain Franz. Posisi itu adalah Libero, yaitu pemain bebas di jantung bertahanan yang dapat berfungsi sebagai back bahkan sweeper, gelandang bertahan dan gelandang menyerang sekaligus. Saat-saat tertentu, sang Libero dapat bergerak naik menusuk sampai ke jantung pertahanan lawan dan membuat gol. Adalah olah pikir Franz bersama pelatih Jerman (Barat) ketika itu, Helmut Schoen, yang menghasilkan posisi unik itu. Franz juga memiliki semangat juang khas Jerman. Dalam salah satu pertandingan di Piala Dunia tahun 1970, dia tetap bermain sampai selesai pertandingan kendati harus dengan kondisi cedera berat. Salah satu tangannya patah setelah bertabrakan dengan pemain lawan dan harus yang diikat dengan badannya. Cedera dan kesakitan tetapi tak mau diganti. Terus bermain. Jantan. Lalu, Gerd Muller adala bomber Jerman yang pendek dan gempal. Bantet kata anak Jakarta. Ukuran kakinya aneh karena kaki kirinya lebih kecil dibandingkan kaki kanannya. Kaki yang tidak normal. Tetapi, coba cari pemain lain yang ketika membela tim nasional, mencetak gol lebih banyak dari jumlah pertandingan yang dimainkannya. Gerdhard tampil di Timnas Jerman Barat sebanyak 62 kali dan mencetak gol sebanyak 69 buah. Sampai sekarang belum ada pemain seperti dia. Dia bomber oportunis sejati. Dia punya killer instinck yang teramat hebat di kota penalti.

Belakangan saya menjadi lebih terbuka menerima kesebelasan lain di luar kesebelasan Jerman dan pemain terbaik lain di luar pemain-pemain yang berasal dari Jerman. Saya juga menyukai Brazil karena merekalah kumpulan seniman sepakbola sejati. Jujur saja, nyaris tak ada kesebelasan lain yang dapat tampil seindah Brazil, kecuali mungkin kesebelasan Belanda jika mereka memainkan total football. Dengan bagitu anda menjadi tahu bahwa sayapun menyukai kesebelasan Belanda. Total football adalah konsep permainan sepakbola paling jenius yang bisa dipikirkan oleh manusia. Semua bergerak untuk semua posisi. Rinus Mitchel menemukan dan Johan Cruyff mempraktekannya dengan sangat elegan. Saya sudah menyebutkan nama meneer Johan Cruyff, yang lentur bak penari balet di lapangan hijau, oleh karena itu saya juga akan menyebutkan pemain-pemain lain yang saya sukai. Pertama adalah Pele. Penari sepak bola sejati yang santun dan rendah hati. Pele telah mengemas 1281 gol dalam 1363 pertandingan. Tidak ada pemain yang melebihi rekor ini. Saya juga menyukai Maradonna. Visi permainan dan dribllingnya nyaris seng ada lawang. Sendirian, pertahanan lawan bisa dibuat pontang panting tak keruan. Kesebelasan Inggris merasakan betul hal itu pada Piala Dunia di Mexico tahun 1986. Umpan-umpannya ..alaaaamaaaaakk.... jitu alis natok (kata anak Kupang). Kakinya seperti punya mata. Dia jenius. Saking jeniusnya dia telah memaksa orang sedunia setuju dengan dia bahwa gol yang dibuatnya dengan menggunakan tangan ke gawang Peter Shilton (Inggris) 1986, Mexico adalah gol tangan tuhan (hands of god goal). Padahal kita tahu itu adalah perbuatan curang. Culas. Tapi itulah Maradonna. Dia juga adalah biang kerok dan biang onar dengan tingkah lakunya. Lantas, heeiii, lihatlah orang-orang Inggriss itu, kendati dicurangi oleh Maradona (dan Argentina) tetapi mereka menerima kekalahan itu dengan lapang dada. Wow, mereka sangat gentlemen. Dan, saya juga suka kesebelasan Inggris, selain gentlemen, karena bermain bola gaya Inggirs bola di lapangan dialirkan secara sangat cepat bak bajir bandang di sungai Benenain, Timor Barat yang suka bajir mendadak itu. Sedap dipandang. Dan akhirnya, saya jatuh suka berat sama Lionell Messi. Dia adalah murni titisan Maradonna. Dia juga adalah penari sepak bola sejati. Liukan dan dribllingnya persis sama dengan Maradonna. Tembakan membuat goalnya luar biasa. Hal yang membedakan Messi dan Maradonna adalah Messi santun dan rendah hati. Sayang sekali di PD Afsel, Messi tak mendapat pelatih sehebat Pep Guadiola di Barcelola, sehingga Argentina gagal. Melihat Maradonna menangis ketika dikalahkan Jerman di PD tahun 1990 di Italia yang timbul adalah perasaan ...rasain loe....tetapi melihat Messi keluar lapangan dan menangis setelah dikalahkan Jerman di Afsel 2010, hati saya jatuh. Tak tega. Ikut sedih. Lalu, mengapa saya bersikap ambigu? Suka Jerman tetapi sedih melihat Messi menangis? Jawabannya adalah ini.

Sepakbola, pertama-tama, adalah hasil olahan individu-individu. Makin pandai kamu mengolah bola dan mengarahkannya ke gawang lawan maka kamu adalah pesepakbola ulung. Tetapi pada akhirnya sepakbola adalah permainan hasil olahan individu-individu yang hadir bersama dalam ruang dan waktu yang sama. Anda tidak boleh bermain untuk kepentingan anda semata. Di dapan, di belakang, di samping dan nun jauh di ujung lapang sana ada orang lain yang harus anda perdulikan. Anda harus bekerjasama dengan orang lain itu demi tercapainya tujuan bersama. Pertanyaannya adalah lebih penting mana di antara individu dan teamwork di dalam sepakbola? Jawabannya adalah jadilah dirimu sendiri tetapi kesejatian dirimu itu hanya dapat kamu temukan di dalam sesamamu. Dalam filsafat manusia disebutkan bahwa manusia adalah makhluk eksentrik yang artinya adalah makhluk yang terarah dan mencari eksistensinya ke arah luar (eks artinya terarah keluar). "Aku menemukan diriku hadir di dunia ini dan diriku ini terarah kepada sesama". "Tidak ada aku tanpa dunia dan tidak ada aku tanpa sesama". Manusia yang eksis adalah manusia yang berelasi. Supaya aku dan sesamaku dapat berelasi dan lalu eksis demi kebaikan bersama maka ada 1 prasyarat yang harus kami penuhi, yaitu ketertiban. Saya suka Messi karena dia adalah gambaran eksistensi diriku individual yang terampil tetapi saya suka Jerman karena menggambarkan ketertiban hubungan dengan sesama. Jadi, individu dan kebersamaan adalah perlu tetapi kebersamaan yang tertib adalah yang paling perlu. Setuju?

Sambil merenungkan dongeng saya di atas, silakan menikmati permainan gitar yang dimainkan oleh salah sau master gitar ternama Joe Striani yang beriksah tentang makna persahabatan. Manusia hanya bermakna ketika dia bersahabat dengan sesama. Yeeeaaaaacchhh.....


Tabe Tuan Tabe Puan

Kamis, 10 Juni 2010

tri bajik eka cita: the last

Dear Sahabat Blogger,

Sampailah saya pada bagian akhir posting tentang "tri bajik eka cita" yang merupakan falsafah hidup Ayahanda saya almarhum (Robert "SGT" Riwu Kaho) dalam bekerja. Bahkan lebih dari itu, jika diteliti lebih saksama, akan terlihat bahwa sebenarnya falsafah "tri bajik eka cita" adalah falsafah hidup Robert. Cara pandang dia tentang bagaimana hidup itu harus dijalani. Kamudian barulah prinsip ini diekstrapolasikan oleh Ayahanda ke dalam dunia pengabdiannya, yaitu dunia pendidikan.

Menyadari bahwa "tri bajik eka cita" adalah prinsip hidup Ayahanda almarhum membuat saya menjadi tidak mudah begitu saja menulisnya. Dia menjadi sulit bukan karena substansinya tetapi karena konsekuensinya. Maksud saya begini, jika di antara pengagum almarhum Bung Karno terjadi silang sengkrut pengertian antara "anak biologis" dan "anak ideologis" maka bagi saya pertanyaannya adalah, apakah cukup bagi saya mengatakan kepada dunia bahwa .. "hei saya ini adalah anak Robert Riwu Kaho" .. dan apakah juga cukup saya mengatakan bahwa ... "hei saya tahu apa prinsip hidup Robert". ...cukupkah itu? TIDAK. Mengapa demikian? Saya masih harus bisa membuktikan bahwa "menjadi anak Robert" berarti harus memenuhi 2 prasyarat, yaitu principe d'etre-nya dan apa la condition humaine-nya? Opo maning? Leahy menyatakan bahwa principe d'etre manusia selalu dua sisi, yaitu siapa dirimu dan untuk apa dirimu. Sisi pertama menunjukkan identitas diri yang khas dan unik. Sisi lainnya menunjukkan keberartian seseorang bagi sesamanya dalam arti yang amat luas. Inilah yang disebut sebagai la condition humaine-nya. Ayahanda adalah pribadi yang unik. Dia pendidik, pengurus Gereja puluhan tahun, penghusada tradisional, bagian dari klan Mone Ama dari Namata, Sabu dan lain-lain. Cuma 1 dia. Tak ada yang lain. Di lain pihak, jejak hidupnya menjadi panutan banyak orang karena budi pekertinya yang masuk di dalam norma umum manusia yang baik. Dia amat berbudaya.

Saya selalu bertanya, sudahkah saya menemukan jalan untuk dikenal sebagai anak Robert dalam identitas yang berbeda tetapi memiliki budi pekerti yang setara? Saya harus unik dan khas. Bukan fotocopy semata dari Robert. Akan tetapi sekaligus dengan itu saya dituntut paling kurang menapaki jalan hidupnya yang amat berguna bagi sesama. Hidup yang tidak memusatkan perhatian pada kepentingan diri sendiri. Secara kasat mata, academic achievement menunjukkan bahwa saya berhasil "keluar" dari bayang-bayang identitas Ayahanda. Kami memang sama-sama berprofesi Guru tetapi saya Guru di bidang Ilmu Kehutanan. Beliau pernah menjadi Kakanwil tetapi saya Ketua Umum ForDAS NTT. Robert unik sayapun unik. Masalahnya adalah, apakah saya sudah memiliki budi pekerti yang setara dia? Jawaban saya, belum.

Jika begitu maka apa untungnya menulis tentang "tri bajik eka cita", yang adalah falsafah hidup Ayahanda, jika tidak mampu melakukannya? Pandai berteori tetapi tak satupun tamak dalam perilaku hidup setiap hari. Bukankah itu sama artinya dengan fenomena ironis di negara kita tercinta? Mengaku wakil rakyat-nya tetapi nasib rakyat hanya urusan sekunder. Rajin beribadah tetapi amat gemar menista orang lain. Mengaku menghafal Pancasila tetapi perilaku amat primodial. Lalu saya berketetapan hati bahwa dari pada tidak lebih baik jika saya menuntaskan saja tulisan tentang "tri bajik eka cita". Bukan untuk apa-apa melainkan justru yang oleh karenanya, principe d'etre, saya harus terus belajar, dengan pertolongan Tuhan, supaya saya tidak memalukan sebagai anak Robert Riwu Kaho. Lalu apa itu "tri bajik eka cita"?.

Secara etimologi, Robert memberi makna bahwa tri berarti tiga, bajik berarti perbuatan baik yang mendatangkan keselamatan, eka artinya satu atau tunggal dan cita adalah cita-cita, yaitu tujuan yang luhur, mulia dan sempurna yang harus dikejar. Lalu, tri bajik eka cita adalah tiga perbuatan baik yang mendatangkan keberuntungan dan keselamatan yang harus dilaksanakan untuk mencapai satu tujuan yang sempurna. Dari pengertian ini saja kita bisa belajar bahwa setiap hidup harus memiliki tujuan yang baik. Pernah menonton film Rambo II? Di akhir ceritera John Rambo menjawab pertanyaan Trautman, mantan bossnya tentang "bagimana kau hidup", dengan mengatakan begini "i'm living day by day". Hidup ala John Rambo tidak sesuai dengan prinsip Robert. Hidup harus memiliki tujuan dan tujuan itu harus yang bersifat mulia. Lalu, apa eka cita itu? Adalah: BERKAT. Robert memberikan defenisi bagi tujuan hidupnya, yaitu menjadi berkat bagi sesama. Dengan cara itulah dia akan layak mengaku sebagai ciptaan sang Pengada yang Maha Baik. Bagimana Robert dapat mencapai cita-citanya itu? Adalah dengan melakukan 3 perkara, yang disebut sebagai tri bajik, yaitu BERDOA, BEKERJA DAN BERBUAH. Jelas dan clear bukan? Jangan buru-buru. Mari kita perhatikan uraian Robert lebih terperinci.

  1. Berdoa adalah berkomunikasi dengan Tuhan Maha Kuasa yag berlandaskan Iman. Di dalam doa, anda harus melakukan 3 hal terpenting, yaitu mengaku berdosa dan memohon pengampunan, mengucap syukur atas semua yang sudah diterima dan memohon anugerah kekuatan, kesehatan, hikmat dan apa saja yang baik sebagai modal bekerja. Jadi, si sombong yang merasa selalu benar, pendendam, dan tukang komplain atas apa yang ada padanya adalah orang yang tidak berdoa. Berdoa dilakukan setiap saat. Dengan berdoa, menurut pengalaman Robert, orang akan mampu menghargai orang lain sebagai sesama ciptaan, tidak melakukan diskriminasi, gemar menolong mereka yang lemah terutama anak didik, peka terhadap penderitaan orang lain dan mampu melayani.
  2. Bekerja adalah adalah esensi hidup itu sendiri. Karena itu bagi Robert kaum pemalas dan tukang berharap gampang dalam hidup bukanlah seorang pekerja. Bekerja juga merupakan panggilan hidup sebagai manifestasi iman. Oleh karena itu hal yang dikerjakan haruslah yang bersifat baik. Mencuri dan menipu bukanlah bekerja karena dalam Iman tidak pernah boleh ada bekerja yang sifatnya jahat. Bekerja yang baik, bagi Robert adalah, bekerja secara tekun, setia, tak mudah menyerah dan produktif dari waktu ke waktu.
  3. Berbuah adalah adalah kepastian bahwa semua yang didoakan dan dikerjakan harus benar-benar halal. Tak boleh anda mengorbankan orang lain dalam bekerja. Tak boleh anda mendoakan celaka bagi orang lain. Harta yang kamu miliki benar-benar harus merupakan keringatmu sendiri dan tidak merampas hak-hak orang lain.
Akhirnya, resultante dari tiga kebajikan itu adalah akan datangnya tujuan luhur dari hidup, yaitu berkat. Bagaimana ciri hidup yang penuh berkat itu? Robert merincinya ke dalam 10 indikator, yaitu iman baik, punya harga diri, selalu ingin maju, etos kerja yang tinggi dan berdisiplin, bekerja berorientasi pada prestasi, jujur, secara individu harus pandai, terampil dan kreatif, memiliki rasa tanggungjawab yang tinggi dan tegas, mampu berkomunikasi dengan orang lain tetapi berdikari dan rendah hati.

Begitulah gambaran ringkas tentang "tri bajik eka cita" itu. Melihat deskripsinya, saya menjadi miris sendiri. Dapatkah saya mencapai derajat budi pekerti seperti itu? Saya tak begitu yakin tetapi .... hei sabar dahulu .... dengan mata kepala sendiri saya menjadi saksi bahwa Ayahanda almarhum mampu melaksanakan semua yang telah didefenisikannya itu. Ayahanda tidak sedang berhipotesis melainkan menuliskan pengalaman empirik hidupnya sebagai suatu hipotesis bagi banyak orang. Dalam mempraktekkan teorinya, dia amat berhasil. Prestasinya sebagai pendidik menjadi saksi. Maka, kalau dia bisa mengapa saya tidak? Bukankah saya memiliki DNA yang sama dengan dia? Kalaupun tidak sama-sama amat, paling kurang saya bisa belajar untuk mulai melakukannya. Hari ini lebih baik dari kemarin. Besok lebih baik dari hari ini. Makin lama makin baik. Saya cukupkan tulisan ini sampai di sini. Lalu, apakah anda terilhami oleh cara hidup Robert Riwu Kaho?.

Untuk semua Guru yang baik di mana saja anda berada, saya kirimkan lagu Oemar Bakri dari Iwan Falz. Bapak dan Ibu, dedikasi anda di catat di Surga.


Tabe Tuan Tabe Puan

Kamis, 13 Mei 2010

gagasan toean robert: tri bajik eka cita, sebuah preambule (2)

Dear Sahabat Blogger,

Sedih membaca dan mendengar hasil Ujian Nasional (UN) yang dicapai oleh sekolah-sekolah menengah di Propinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2010. Tingkat kelulusan UN di NTT untuk "putaran pertama" sangat memprihatinkan. Cobalah berita di bawah ini (www.tempointeraktif.com Senin, 26 April 2010) disimak baik-baik:

Persentase kelulusan ujian nasional (UN) di Nusa Tenggara Timur (NTT) hanya mencapai 47,92 persen dan berada pada peringkat terakhir angka kelulusan dari 33 provinsi di Indonesia. "Kita memang berada pada peringkat terakhir prosentase kelulusan ujian nasional tahun 2010 ini," kata Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahrga (PPO), Thobias Uly di Kupang, Senin (26/4). Jika dibandingkan dengan 2009 yang persentase kelulusannya mencapai 69,23 persen, maka persentase kelulusan tahun ini mengalami penurunan sebesar 21,31 persen.

Ketika giliran pengumuman hasil UN SMTP, berita yang saya kutip dari www.ujiannasional.org adalah sebagai berikut:

Hasil ujian nasional (UN) pada 10 dari 691 SLTP di Nusa Tenggara Timur (NTT) amat memprihatinkan karena mencapai nol persen. Kenyataan itu diungkapkan Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (PPO) Nusa Tenggara Timur (NTT), Thobias Uly di Kupang.

Dalam situasi seperti itu, saya teringat ayahanda saya almarhum, Robert "SGT" Riwu Kaho. Pengalaman dan pengabdiannya bagi dunia pendidikan di NTT, nyaris paripurna. Beliau pernah menjadi orang nomor 1 di NTT dalam urusan Pendidikan di NTT, khususnya Pendidikan Dasar, Menengah, Luar Sekolah dan Kepemudaan. Dedikasinya diakui banyak orang. Seluruh karier PNS-nya dihabiskan dalam urusan Pendidikan di NTT. Beberapa kali beliau diminta untuk pindah bekerja dan dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi ke Jakarta (1977), ke Jogjakarta (1980), dan Ke Papua - Irian Jaya ketika itu - (1987), beliau selalu menolaknya. Katanya: "jika semua orang NTT pindah ke luar NTT lalu siapa yang akan membangun NTT?". Bahkan, pada tahun 1968, beliau pernah ditawari oleh Gubernur NTT agar bersedia menjadi Bupati di Alor. Beliau menolaknya. Pada tahu 1971 beliau terpilih sebagai anggota DPR Pusat hasil pemilu 1971 dari Partai Kristen Indonesia (Parkindo), beliau malah meminta kawan lain untuk menggantikannya. Katanya: "dunia pendidikan adalah panggilan hidup".

Setelah menamatkan pendidikan di UGM, Jogjakarta tahun 1959, pada tahun 1960 Robert Riwu Kaho diangkat sebagai seorang Guru di SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas). Tahun 1963 ditarik sebagai Pjs. Inspektorat Daerah Pendidikan Ekonomi (IDPE) yang mengurusi SMEP (Skolah Menengah Ekonomi Pertama). Pada tahun 1970 terjadi perubahan struktur kantor dan IDPE berubah nama menjadi Kantor Pembinaan (Kabin) Pendidikan Ekonomi. Ayahanda menjadi Kepalanya. Pada tahun 1975 kembali terjadi perubahan struktur Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional mengakibatkan semua pendidikan yang bersifat Kejuruan seperti, SMEP, SMEA, SKKP, SKKA, STP dan STM digabungkan menjadi Pendidikan Menengah Kejuruan (Dikmenjur). Robert ditugaskan sebagai Kepala Bidang itu.

Pada tahun 1973, Robert yang memiliki bakat khusus di dalam hal perencanaan pendidikan, diminta oleh atasannya untuk mengembangkan unit perencanaan pendidikan di Kantornya dan lalu ditunjuk untuk memimpin unit dimaksud. Mungkin karena melihat kinerjanya amat baik dalam urusan perencanaan tersebut maka pada tahun 1974 itu, ketika unit perencanaan ditingkatkan menjadi Bagian Perencanaan, beliau ditugaskan merangkap jabatan. Selain sebagai Kabid Dikmenjur juga sekaligus Kepala Bagian Perencanaan (Kabagren). Lebih luar biasa lagi, karena tertarik dengan kinerja sistem perencanaan pendidikan di Kantor Perwakilan P dan K NTT, Rektor Universitas Nusa Cendana merekrut Robert Riwu Kaho, seijin atasannya, dan diminta untuk mengembangkan Badan Perencanaan dan Pengembangan Undana (BPPU). Robert menerima tantangan itu, mendirikan BPPU dan mengepalainya selama jak tahun 1975 - 1987. Salah satu karya BPPU yang monumental adalah berdirinya kompleks kampus baru Undana yang megah sekarang ini. Setiap saya berdiri mengagumi lanskap Undana yang memilik view yang indah ke arah Teluk Kupang, saya pasti teringat ayahanda. Kampus itu merupakan buah tangannya.

Pada tahun 1987, beliau diangkat sebagai Koordinator urusan Administrasi (Kormin) di Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan, NTT. Jabatan yang sering disebut sebagai orang nomor 2 di kantor itu. Pada saat itu, Kepala Kantornya adalah Drs. Piet Syauta. Hanya beberapa bulan menjabat sebagai Kormin, Robert ditunjuk oleh Menteri P dan K untuk melaksanakan tugas Kepala Kantor karena Drs. Syauta mengalami sakit keras dan akhirnya meninggal dunia pada tahun 1989. Tak lama kemudian di tahun 1989 itulah Robert resmi ditetapkan sebagai Kepala Kantor Wilayah Pendidikan dan Kebudayaan NTT. Robertlah orang nomor 1 di lingkup pekerjaan yang amat dicintanya itu. Gara-gara kesibukannya di Kanwil P dan K NTT itulah yang menyebabkan Robert mengajukan pengunduran diri sebagai Pejabat Kepala BPP Undana pada tahun 1987.

Bagaimana situasi pendidikan di NTT kala itu? Tidak jauh berbeda dari situasi sekarang ini, level pendidikan NTT ketika itu amatlah memprihatinkan. Mutu pendidikan NTT, yang diukur berdasarkan angka NEM (nilai ebta murni) hasil ujian, berada di urutan 26 di Indonesia. Pendidikan NTT hanya lebih baik dari Timtim sebagai Propinsi termuda di Indonesia kala itu. Ketika menduduki jabatan Kakanwil P dan K NTT, bahkan sudah dimulai semenjak beliau masih menjadi Plt. Kakanwil P dan K NTT, Robert meluncurkan program "Peningkatan Mutu Pendidikan di NTT". Berbekal keterampilannya di bidang perencanaan maka semua Program di rancang matang dan konsep perencanaan tersebut dituangkan ke dalam berbagai buku pedoman yang disebutnya sebagai "buku biru" dan "buku kuning". Dalam implementasinya, Robert meluncurkan program supervisi yang dipimpinnya secara langsung. Hampir semua kecamatan di NTT telah dikunjunginya dalam rangka itu guna memastikan bahwa semua tahap perencanaan telah diselenggarakan oleh seluruh jajaran pendidikan NTT. Semua hal dinilai mulai dari kurikulum sampai proses belajar mengajar. Kunjunganya di kelas-kelas sekolah sampai di pelosok-pelosok NTT dilakukan bukan sekedar simbolis tetapi adalah sebuah sampling dalam supervisi. Tak ada jajaran P dan K di NTT yang tidak gentar dengan langkah Robert ini karean dia terkenal dengan kekerasan prinsipnya. Kesalahan akan langsung dikoreksi secara lugas di lapangan. Teguran, bentakan dan bahlan tamparan bukan hal yang aneh di masa itu.

Hasilnya adalah semua jajaran pendidikan di NTT mulai dari pejabat sampai Guru dan Murid bekerja keras untuk memenuhi target-target yang telah ditetapkan di dalam dokumen perencanaan. Semua bergairah dan bersemangat. Pada tahun 1989/1990 peringkat pendidikan NTT berdasarkan NEM SMTA berada pada urutan 18, pada tahun 1991/1992 berada pada urutan 14 dan pada tahun 1993, beberapa bulan menjelang Robert "SGT" pensiun, kami membaca berita di beberapa koran Nasional ketika itu yang memberitakan bahwa tingkat pendidikan NTT berada pada urutan nomor 7 untuk bidang IPA dan nomor 11 13 di bidang IPS. Secara keseluruhan, peringkat NEM NTT berada pada urutan nomor 8 di antara 27 Propinsi di Indonesia. Prestasi yang membanggakan karena sesudah masa itu, sesudah Robert pensiun pada Desember 1993, prestasi itu tak pernah terulang kembali. Secara pasti pendidikan NTT kembali terdegradasi menuju posisinya yang sekarang, yaitu yang terbaik dalam hal mutu rendah di Indonesia. Dengan pekataan lain, mutu pendidikan NTT adalah yang terendah di Indonesia seperti yang sudah dikutipkan di awal posting ini.

Apa rahasia sukses seorang Robert "SGT" Riwu Kaho? Dalam buku Biografinya yang ditulis pada tahun 2003 Robert menguraikan kunci suksesnya. Banyak hal tetapi saya peras menjadi 3 hal terpenting, yaitu:

  1. Bekerja dan jabatan adalah "calling" atau "panggilan dari Tuhan" yang harus dijawab dengar bekerja keras. Bekerja adalah panggilan Ilahi dan kita harus menjawab ia lalu setia di dalam bekerja;
  2. Bekerja keras sebagai wujud jawaban terhadap "calling Ilahiat" yang diterima adalah bekerja secara terstruktur, sistmatis dan strategis. Bekerja yang terencana;
  3. Bekerja yang terstruktur haruslah merupakan pekerjaan yang melibatkan banyak orang atau stakeholder. Oleh karena itu memelihara persatuan dan kesatuan guna team work yang produktif merupakan keharusan.

Dalam pola pikir alur "logical frame work", mengapa 3 hal ini harus ditempuh oleh Robert dan faktanya memang demikian, dan fakta lain lagi menunjukkan bahwa dia berhasil? Jawabannya adalah: Robert menginginkan agar hidup dan pekerjaanya menghasilkan buah. Sahabat terkasih, lagi-lagi kita melihat bahwa Robert bekerja dalam pola "jalankanlah 3 macam kebajikan guna mencapai 1 tujuan akhir yang baik". Hal ini membentuk pola seperti apa yang disebut di judul posting ini, yaitu "tri bajik eka cita". Robert Riwu Kaho akan dikenang oleh masyarakat pendidikan di NTT sebagai pengingat falsafah tersebut.

Apakah tentang semua itu karya Robert tentang "tri bajik eka cita". Ya untuk sebagian tetapi belum seluruhnya. Semua yang saya tulis ini baru preambule-nya. Pembukaannya saja. Dalam serial terakhir "tri bajik eka cita" akan saya ulas tuntas tentang barang perkara itu. Sabarlah Tuan. Sabarlah Puan.

Tabe Tuan Tabe Puan

Jumat, 23 April 2010

3 bajik 1 cita (part I): doea tahoen soeda dia pergi

Dear Sahabat Blogger,

Tepat hari ini dua tahun lalu, saya dan 9 orang saudara - laki dan perempuan - tiba-tiba menjadi anak-anak Yatim. Bapak Robert "SGT" Riwu Kaho pergi sudah ke "negeri seberang sana". Saya masih ingat betul kenangan 1-2 hari sebelumnya.

Tanggal 20 April 2008 pagi-pagi saya, berdua besama isteri, berangkat ke Gereja untuk beribadah karena hari itu adalah hari minggu. Seusai kebaktian, sambil berjalan menuju mobil, saya berkata pada isteri saya : "saya kepingin membeli mobil baru yang lebih layak pakai, mudah-mudahan dalam tahun ini juga". Isteri saya tampak diam saja tetapi saya lirik ada binar senang di matanya. Lantas, dari gedung Gereja saya singgah sebentar ke "rumah induk". yaitu rumah kediaman bapa Robert dan mama Tien. Setibanya di sana, Ayahanda Robert sedang berbaring di tempat tidur sambil membaca Alkitab. Lalu, seperti umumnya orang Sabu yang bertemu saya melakukan ritual "Ciom Sabu" kepada Ayahanda. Oh ya, sudah pasti ritual itu di sambutnya dengan hangat. Lantas, kami terlibat percakaan yang pada awalnya ringan-ringan-ringan saja tetapi berkembang ke arah yang amat serius. Ayahanda berceritera panjang lebar tentang kisah hidupnya yang pernah amat menderita. Menurut beliau, hidupnya bisa membawa guna bagi banyak orang semata-mata hanya karena TUHAN. Beliau juga kembali memberi catatan panjang tentang hidup dalam ikatan keluarga besar yang memerlukan banyak pengorbanan. Saya ingat betul kata-kata berikut ini:

Dalam hidup berkeluarga jangan lu hitung untung rugi secara material karena kalo lu bekin begitu lu akan liat lebe banyak ruginya. Karena itu yang harus lu lihat adalah kebahagiaan dari hidup dalam keluarga yang rukun,. Tidak ada uang untuk membeli kerukunan.

Kemudian, Ayahanda mulai mengeluarkan beberapa catatan tentang kami ber-10, anak-anaknya. Satu-satu dibahas. Ada kegetiran tertentu. Tetapi ada juga kebahagiaannya. Hampir 2 jam kami berdiskusi, akhirnya saya mohon permisi untuk kembali ke rumah. Di akhir percakapan kami adalah tukar kata seperti ini:

Saya: ini bapa hari mau pi mana, beta siang nanti mau pi berenang di pantai
Ayahanda: eh, bapa ikot pi pantai eeee tapi abis acara paguyuban Bagelen Purworejo
Saya: Bapa, beta ada rencana beli mobil ni, karmana eeeee....
Ayahanda: Eh, sonde usah. Pake bapa punya saja Kalo bapa mati sapa yang urus bapa punya mobil...hemat-hemat .... rasa-rasa kalo mau mengeluarkan uang...hitung baik-baik ....

Akhirnya, saya ke pantai. Lalu, tunggu punya tunggu Ayahanda tidak datang juga bergabung bersama saya di pantai. Sayapun menelepon Ayahanda:

Saya: bapa di mana ni? jadi berenang ko sonde?
Ayahanda: eh, kelar acara paguyuban,sopir minta ijin ada acara. Bapa juga merasa cape' ni...bapa istirahat saja dahulu ya.....

Malam itu, saya membuat 1 buah posting di blog tentang "mother earth" menjelang peringatan hari bumi. Di dalam posting itu, antara lain saya menulis sebagai berikut:

Bumi adalah pemberi hidup. Tempat kita berlindung. Tempat kita berteduh. Tempat kita menimba air. Tempat kita mengambil makanan. Tempat kita berbaring dan dipangku. Bahkan, pada hari ketika nyawa pergi dari badan maka bumilah yang akan memeluk jasad kita. Selamanya.

Hari senin tangal 21 April 2008, saya amat sibuk dengan berbagai urusan pekerjaan dan tidak sempat menengok Ayahanda dan Ibunda.

Hari selasa, 22 April 2008, sejak pagi sampai sore saya juga amat sibuk dan tidak sempat menengok atau mengontak Ayahanda dan Ibunda. Akan tetapi sekitar pukul 7 malam, tepat setelah saya selsai melantunkan doa safaat pada Ibadat di Rayon, saya dijemput Norman, anak sulung saya, yang menyampaikan pesan Ibunda agar saya segera pergi ke rumah sakit menegok Ayahanda. Dia baru saja jatuh pingsan di dalam rapat Yayasan Pendidikan milik GMIT dan dirawat di RSU dalam keadaan koma...."waduh TUHAN, gawat nih"....dan benar saja, setibanya saya di rumah sakit, Ayahanda sudah tidak bisa apa-apa lagi.

Tanggal 23 April Malam hari. Setelah 1 hari dirawat tanpa kemajuan apa-apa, akhirnya malam hari itu juga .....TUHAN menjemput Ayahanda kembali ke rumah asalnya, yaitu RUMAH BAPA DI SURGA ..... Saya, dan kami semua, tak lagi punya bapak di muka bumi ini. Kami Yatim. Delapan bulan kemudian, Ibunda "pergi juga menyusul Ayahanda". Kami Yatim Piatu..

Sahabat terkasih, tentang Ayahanda saya tidak ingin mengulang-ulang hal-hal lama yang pernah saya tulis di blog ini tetapi ijinkan saya untuk mengenang bahwa "sebenarnya" apa yang akan saya alami pada tanggal 23 April 2008, yaitu "kepergian" Ayahanda, sudah ada tanda-tanda sebelumnya. Mengapa dia harus berbicara panjang dan lebar tentang kisah hidupnya dan kebahagiaan serta kegetiran di saat-saat akhir hidupnya?. Mengapa dia harus berpesan bahwa di dalam hidup, pengunaan rasio tak kalah penting dibandingan dengan perasaan?. Mengapa dia menyampaian pesan yang amat jelas bahwa ada batas kekuatan manusia dan di batas itu dia perlu beristirahat?. Mengapa saya harus menulis bahwa adalah "mother earth" yang akan memeluk anak-anaknya di dalam dekapanya di akhir setiap kehidupan jasmani?

Di dalam ilmu filsafat dikenal 3 jenis obyek kajian, yaitu apa hakikat kenyataan, bagaimana kita dapat mengetahui kenyataan dan apa yang harus kita lakukan di dalam kenyataan. Lalu untuk apa semua hal itu dikaji? Jawabannya cuma 1, yaitu menemukan kebahagiaan. Sekarang, perhatikanlah 3 episode terakhir pertautan saya dengan Ayahanda almarhum di saat-saat terakhir hidupnya:

  1. Ketika Ayahanda berusaha menguraikan kisah hidupnya, yang terjadi adalah dia berusaha mencari makna atau hakekat dari kenyataan hidupnya.
  2. Ketika Ayahanda berusaha memperingatkan saya agar berhitung dalam pengeluaran, yang terjadi adalah dia sedang berusaha menjelaskan tentang penggunaan akal dan rasa dalam upaya mengetahui kenyataan
  3. Ketika Ayahanda mengabarkan bahwa dia tak bisa ikut berenang dan harus beristirahat, yang terjadi adalah dia sedang mengatakan bahwa hanya dengan mengenali batas-batas diri, kita akan mengetahui apa-apa yang dapat kita lakukan dalam hidup

Pada saat masih aktif sebagai Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di antara tahun 1987 - 1993, Ayahanda pernah menulis sebuah buku yang berjudul "tri bajik eka cita" atau 3 tindakan baik guna 1 tujuan. Tentang buku ini akan saya ulas pada seri kedua tulisan ini. Tetapi apa yang dilakukan di saat terakhir hidupnya ternyata adalah bahwa beliau kembali menulis 1 buah buka, khusus dipersembahkan kepada saya, yang berisi pesan bahwa "pahamilah hidupmu, gunakanlah rasa dan akal dalam menjalni hidupmu serta capailah kesadaran diri supaya dapatlah kita menjadi berarti di dalam hidup". "Dengan semua itu kamu akan berbahagia". Ya, Ayahanda Robert "SGT" Riwu Kaho telah menyelesaikan karya terakhirnya, yaitu 3 bajik 1 cita. Terima kasih Ayahanda Tercinta. Damailah kamu bersama Ibunda di dekat TUHAN.

Terima Kasih TUHAN karena di satu masa ENGKAU pernah mengirimkan seseorang yang begitu hebat guna bertindak sebagai Ayahanda bagi saya. Amin.

Tabe Tuan Tabe Puan