Minggu, 24 Agustus 2008

Allah...... Ada...tIAda... atau antara Ada dan tiaDa?

Dear sahabat bloggers,

Mudah-mudahan anda masih mengingat dengan baik-baik bahwa salah satu sahabat kita di Kafe Permenungan ini, sahabat yang banyak maunya, adalah NK atawa Nyong Kupang. Setelah satu dan lain hal yang menyebabkan saya terpaksa memainkan fungsi moderasi, tampaknya saudara NK merasa kurang nyaman. Lantas .....bbbbbuuuusssszzzzzzz.......dia menghilang bagai ditelan bumi. Akan tetapi meski yang bersangkutan mengaku demikian saya tetap merasa bahwa NK sebenarnya tidak kemana-mana. Dia tetap berada di dalam blog ini sambil bermalih rupa he he he he. Lama-kelamaan dia tidak betah bersembunyi dan ....saya benar.....akhirnya dia muncul kembali sambil tergopoh-gopoh menyerahkan tulisan.....boszzzzz naskah ini mutunya jempolan punya....pasti top markotop ...... harap dimuat sebelum artikel lain....... (agak memaksa juga). Maka, meskipun sebelumnya sudah ada 1 berkas bakal artikel lainnya yang siap untuk diposting, terpaksa saya mendahulukan permintaan NK. Bukan apa-apa, saya takut dia menghilang, malih rupa lagi, nongol lagi, menghilang lagi dan...ahhhh...mondar-mandir. Bikin repot saja ha ha ha ha. Nah berikut adalah posting lengkapnya yang judul maupun isinya tidak saya ubah apapun kecuali tanda-tanda baca yang saya sesuaikan plus insert gambar. Selamat membaca dan selamat berdiskusi.

Dalam posting berjudul “Que Sera Sera: Bapa yang Berdaulat” (2008 Juli 26) terjadi debat menarik antara @bonggo, @DoSa, @proxy73 @wilmana dan saya. Menarik karena debat kami adalah debat tua, teramat tua, dari abad medieval (pertengahan), tentang classical theism. Silahkan anda baca http://www.blogger.com/%3C/span%3E%3Ca%20href=“>disini! Debat kami berhenti pada pertanyaan ini: Apakah Allah adalah sebuah realitas atau sekedar konsep manusia? Pada titik ini, @bm turun gunung membawa wejangan: “Perkemban gan diskusi dalam topik Bapa dan Que sera sera bagi saya telah mencapai suatu tahap yang berbahaya…” Debat melelahkan? Ya! Tidak ada gunanya? Siapa bilang! Berbahaya? Hhmmm… saya kurang mengerti dimana letak bahayanya. Mungkin, I could be wrong, berbahaya dalam ‘gaya’ masyarakat Indonesia mengimani keberadaan Sang Pencipta, membunuh sesamanya, jika perlu, yang meragukan/menyangkal keberadaan Sang Khalik atau menyakini Allah yang berbeda.

Beberapa waktu yang lalu saya bertemu http://blogberita.net/2008/06/25/dua-pertanyaan-tanpa-jawaban-soal-tuhan/"> sebuah tulisan blog yang mengajukan pertanyaan ini: Dari mana asal Tuhan, apakah Dia tiba-tiba ada? Dalam kolom komentar, ada 165 komentar, jumlah yang 'luar biasa' untuk ukuran blog Indonesia. Komentar amat beragam. Ada yang sekedar mengutip ujaran kata musisi terkenal John Lenon, "God is a concep," sedang kebanyakan berada pada posisi ekstrim, minjem istilah @bm, PERCAYA. Simak ini!

"...pikiran kita manusia, tidak akan mampu menilai Dzat yang memiliki maha kekuasaan di dalamnya."

"Ngapain sampe nanya darimana asal usul Tuhan. Pokoknya Tuhan itu Ada dan Maha segal-galanya, yang menciptakan isi Langit dan Bumi..."

"... Untuk mengenal Tuhan, janganlah kita memakai logika atau pemikiran manusia. Tuhan adalah Tuhan dan manusia adalah manusia. Tuhan adalah Roh sedangkan manusia adalah daging. Oleh karena itu, agar bisa mengenal Tuhan, maka kita harus terlebih dahulu diurapi dengan Roh Kudus."

Lets go back to the question for a bit, apakah mempertanyakan keberadaan Allah sama dengan menyangkal keberadaanNya? Meyimak reaksi pembaca diatas, amat terkesan sikap percaya mengorbankan akal budi. Dalam sikap percaya yang 'buta' seperti ini, tidak heran, reaksi yang melulu muncul adalah 'pokoknya.' Pokoknya harus begini, begitu. Pokoknya harus beriman. Pokoknya jangan pakai logika. Pokoknya... pokoknya... TITIK! @bm benar, debat tentang konsep/realitas Allah dalam sikap ekstrim ini berbahaya.

Bagaimana dengan sikap lainya, menurut @bm, PERAGU? Yang pasti dalam budaya peragu di mana saya ada, dunia menjadi lebih 'nyaman.' Mengapa? Karena, "... metode kerja dalam filsafat adalah ragukan segala sesuatu. Menempel kepada sifat filsafat ini maka ilmu pengetahuan bekerja... maka ditemukanlah kapal uap, lampu pijar, kapal terbang, pesawat luar angkasa, telefon selular..." (@bm, Minggu, 03 Agustus, 2008). Tapi, lebih lanjut @bm katakan, dalam tradisi ini, muncul sikap ekstrim lainnya yang ditunjukan manusia durjana seperti Feuerbach, Freud, Nietzsche, Sartre. Mereka katakan Tuhan sudah mati. Tuhan adalah pikiranmu sendiri. Manusia menciptakan Tuhan. Fisafat mereka kemudian 'melahirkan' manusia paling jahat dalam sejarah manusia, Stalin (Uni Soviet), Mao Zedong (Cina) dan Hitler (Jerman). Tiga manusia jahat ini saja bertanggungjawab atas 100an juta nyawa manusia. Belum lagi rejim jahat lainnya, Nicolae Ceauşescu (Romania), Enver Hoxha (Albania), Kim Jong Il (Korea Utara), Pol Pot (Kambodia), Fidel Castro (Cuba) dll. Menyikapi 2 posisi ekstrim ini, dimanakah saya? Begini.

Saya adalah ORANG PERCAYA yang mengimani hukum ini: "Cintailah Tuhan Allahmu dengan sepenuh hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan seluruh akalmu. Itulah perintah yang terutama dan terpenting!" (Matius 22: 37 - 28). Artinya apa? Artinya, buat saya, realitas Sang Pencipta tidak saya imani hanya dengan sepenuh hati dan segenap jiwa tetapi juga akal. Artinya lagi, saya harus bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang 'berbau' filsafat seperti, 'Siapa yang menciptakan Allah?' Kalau tidak cilaka 12 karena kaum peragu gemar membuat kita kedengeran seperti orang tolol tidak berotak dan hanya punya blind faith.

Salah satu argumen yang paling kesohor tentang realitas Allah adalah argumen menurut Thomas Aquinas (1224 - 74), lainnya adalah Anselm of Canterbury (1033 - 1109). Aquinas memulai argumennya dengan memberi 2 hukum dasar ilmu pengetahuan yang berlaku hingga sekarang, "Sebab-Akibat." Hukum sebab-akibat memberikan suatu pengertian atas timbulnya suatu kejadian berdasarkan sebab sebelumnya. Silahkan kroscek ama @bm, seorang ilmuan besar di kampungnya!

Untuk menjelaskan ini, mari kita sederhanakan seperti ini: @bm ada didunia ini karena ada Sang Guru Tua (SGT), panggilan ayahandanya. SGT ada karena karena ada kakeknya @bm, sedang kakeknya @bm ada karena ada kakek buyutnya, terus-menerus seperti itu. Atau yang ini: Katakanlah A ada karena B, sedang B tidak muncul tiba-tiba, ia ada karena C dan seterusnya. Tapi, ada tapinya, menurut Aquinas, mencari sebab sebelumnya tidak mungkin indefinite, tanpa batas. Dus, perlu ada YANG AWAL yang menjadi sebab atas rantai 'causation of existence.' Aaaaaah betul sekali sahabat blogger, YANG AWAL itu saya panggil Bapa, Allah, yang berfirman, "Semuanya telah terjadi. Aku adalah Alfa dan Omega, Yang Awal dan Yang Akhir (Wahyu 21 :6). Tanpa Yang Awal, Nothing would have come into existence. Bagaimana, sudah mengertikah anda? Baiklah, mari kita sederhanakan lagi dengan contoh berikut ini.

Kali ini saya minjam 'cerita' sederhana karangan sejarahwan Thomas Woods. Suatu hari anda pergi ke kantor polisi untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM). Anda lalu disuruh untuk mengambil nomor tes. Saat hendak mengambil nomor, anda disuruh pergi loket sebelumnya untuk mengambil sebuah nomor. Anda pergi ke loket yang dimaksud, tapi disana, anda disuruh pergi ke loket sebelumnya lagi untuk mengambil sebuah nomor. Anda menjadi berang karena untuk mendapatkan nomor tes, anda harus ke loket sebelumnya, begitu terus. Anda merasa dimainkan oleh sebuh proses tanpa ujung. Anda putus asa dan memutuskan untuk pulang tapi pada saat itu anda melihat seseorang keluar dari kantor polisi memegang SIM baru. Anda pasti teramat lega karena terbukti bahwa proses mendapatkan nomor tes TIDAK MUNKIN go on and on and on, indefinitely.

Teori filsafat memang asyik, brain teaser, tapi seringkali hanya valid dalam ruang kuliah dan 'gatot' alias gagal total dalam realitas. Eksistensi @bigmike, saya dan anda serta jagat raya ini membuktikan realitas YANG AWAL, Sang ALFA yang berada diluar rantai causation of existence. Kita memang tidak mampu berkata banyak tentang Sang Alfa, tapi sudah bisa menetapkan Dia sebagai Yang Awal. Karena tanpa Dia, none of its effects -kita semua dan alam semesta- would be here.

Begitulah sahabat blogger, akhirnya kita sampai pada ini, apa yang ditakutkan @bm, bahwa kita memerlukan sekitar 120an komentar baru untuk menemukan bahwa kita tetap memerlukan 120an komentar baru lainnya, tidak perlu terjadi. Allah adalah sebuah realitas. Kalau anda meragukan realitas Dia, Sang Alfa itu, hakekatnya anda meragukan realitas anda sendiri. Karena tanpa Yang Awal -the First cause- anda tidak ada didunia ini.

Allah yang saya sembah adalah Allah yang Maha Besar. Allahu Akbar. Tapi Dia juga adalah Allah Maha Rasional. Sebagai mahluk ciptaanNya, saya diberi akal agar mampu, walau tidak sempurna, mengerti dan menyembahNya. Sebelum saya pamit, mungkin ada yang berminat menjawab ini: Mampukah Tuhan menciptakan sebuah benda yang sangat berat yang Dia sendiri tidak sanggup mengangkatnya?

Salam damai!

Senin, 18 Agustus 2008

saya, AyahaNDA & INDONESIA

Dear sahabat blogger,

Hari ini, satu hari pasca kemeriahan memperingati HUT Proklamasi Bangsa Indonesia. Secara sengaja, saya menahan diri 1 hari sebelum memposting artikel untuk memperingati Hari Kemerdekaan ini. Untuk apa? Tidak untuk apa, sebenarnya. Hanya sekedar merenung bahwa apa pantas saya memberi ucapan selamat kepada negara saya setelah apa yang saya lakukan selama ini. Di blog ini, berkali-kali saya mengecam Indonesia sebagai INDONESIA. Indonesia adalah negara gagal. Saya sudah menulis bangsa kuli dan lain sebagainya. Dan lain sebagainya. Ya, setelah beribu umpatan seperti itu, saya membatin: apa masih pantas saya mengucapkan selamat HUT? Dalam kegamangan mengambil sikap, saya teringat ayahanda saya almarhum.

Ayahanda saya. Manusia seperti apa dia? Anda yang mengikuti serangkain elegi saya tentang "kepergiannya" di blog ini pasti punya kesan yang teramat kuat bahwa dia adalah manusia istimewa yang sangat saya cintai. Manusia nyaris sempurna yang kepergiannya meninggalkan luka hati yang mendalam. Jika itu yang anda pikir maka saya harus mengatakan bahwa: anda benar. Anda tidak keliru. Betapa tidak. Dialah yang mengukir hidup saya. Ketika saya masih kecil, lemah dan tak berdaya, dialah yang memberi saya makan dan minum. Semua kebutuhan saya untuk bertumbuh dan berkembang sebagaimana layaknya manusia yang baik, disediakannya. Tidak kurang. Tuntas. Tanpa hutang. Guratan jejak kariernya yang dibangunnya bertahun-tahun, sebagain sudah diwariskannya kepada saya. Ya, anda kembali betul: ayahandalah peletak dasar pola-pola berpikir dan bertindak saya sekarang ini.

Lalu, itukah beliau seluruhnya bagi saya? Maaf, kali ini anda keliru. Ada 4 peristiwa, yang mungkin baru pertama kali saya ceriterakannya kepada orang lain. Sebelum ini, semua saya simpan sendiri. Tidak kepada ibunda. Tidak juga kepada saudara-saudara saya. Apatah lagi orang kepada "orang asing" seperti anda semua, sahabat blogger terkasih. Ada 4 peristiwa yang amat membekas dan harus saya ungkapkan untuk memberi tahu bahwa, ayahanda saya sesungguhnya tidak selamanya memberikan gambar positif bagi saya. Beliau memiliki banyak sisi positif yang menghidupkan dan mewarnai hidup saya. Itu pasti. Akan tetapi sama pastinya dengan itu, adalah adanya sisi negatif dari beliau. Sisi negatif ini, di masanya, begitu menyakitkan dan diam-diam membuat saya menimbun marah kepadanya. Anda tidak percaya? Saya harus membuat penegasan bahwa di suatu masa dan di suatu waktu, saya pernah begitu tersinggung, marah, dan diam-diam, (ampunkan saya TUHANKU), ada dendam yang tertimbun kepada ayahanda.

Pertama, itu terjadi di tahun 1981. Setamatnya saya dari bangku pendidikan SMA, saya dikirim oleh ayahanda ke Jogjakarta untuk mencoba mengikuti testing masuk di Universitas Gadjah Mada. Dasar bodoh: saya gagal. Beliau bisa menerima kegagalan saya itu meskipun saya tahu, beliau kecewa. Ayahanda lalu memerintahkan saya untuk segera mendaftar ke bimbingan-bimbingan testing yang menjamur ketika itu untuk belajar lagi setahun dan mencoba mengikuti testing di UGM lagi pada tahun berikutnya. Saya tidak mau karena enggan "menganggur" setahun lamanya. Diam-diam, tanpa dikonsultasikan kepada beliau, saya pulang balik ke Kupang. Beliau marah. Amat marah. Memang beliau tetap memfasilitasi saya untuk mengikuti perkuliahan di Fakultas Peternakan di Undana Kupang, tetapi saya nyaris tidak ditegur hampir 3 bulan lamanya. Beliau berusaha menghindari mengobrol apapun dengan saya. Hanya bertegur sapa jika perlu. Sisanya, saya dicuekin. Dan puncaknya adalah, beliau memutuskan untuk mengirimkan salah seorang adik saya yang baru menamatkan pendidikan di bangku SMP untuk segera bersekolah ke Jakarta. Dan alasannya itu lhooo...yang membuat saya sakit hati berkepanjangan;......Kata beliau kepada adik saya.....heeeiiii pergilah kau bersekolah di Jakarta supaya jangan meniru kakakmu yang penakut, pecundang, tidak tahan menderita, tidak tahan lapar dan hanya bisa hidup di bawah himpitan ketiak orang tua....bllllllaaaaammm....ssssrrrrr.....saya malu dan marah terhadap stigma yang diberikan beliau itu.

Kedua, terjadi di tahun 1985. Ketika itu saya sudah menamatkan pendidikan sarjana. Saya sudah bergelar tukang Insinyur tetapi belum bekerja. Bukan karena tidak mau bekerja melainkan, ketika itu, saya adalah sorang penerima beasiswa TID (tunjangan ikatan dinas), yaitu beasiswa Republik Indonesia yang diberikan kepada mahasiswa yang dipersiapkan sebagai tenaga pengajar (dosen) perguruan tinggi pemerintah. Nah, setelah lulus sarjana, kami harus meninggu SK pengangkatan dan penempatan kami di mana saja sesuai kebutuhan pemerintah. Dalam masa 1 tahun menunggu, saya tampak seperti manusia jobless. Sementara, saya sudah memiliki tanggungan lain, yaitu seorang isteri dan 2 orang anak yang ada gara-gara "kelakuan "saya sendiri yang sudah menikah ketika berusia masih sangat muda. Mungkin didorong oleh "kedongkolan" terhadap kelakuan saya dan melihat saya setiap hari hanya bekerja di PT PAL, yaitu PT Pal pi Pal datang ( he he he ...saya harus menerangkan bahwa PT ini sangat terkenal dikalangan pengangguran di Kupang, yang maksudnya adalah orang-orang yang pekerjaannya hanya luntang lantung tak karuan - pal pi pal datang - tanpa pekerjaan yang jelas), sekali waktu marahlah beliau (oh, ya ayahanda saya tergolong orang yang mudah marah dan naik pitam - lebih celaka lagi mudah pula "naik tangan" memberikan sejurus dua jurus kung fu panda). Tanpa hujan tiada angin beliau menghardik saya dengan sangat keras. Katanya: .....heeeiiii.....kamu sadar atau tidak? Kamu adalah orang yang tidak punya pekerjaan di rumah ini. Kerja mu hanya luntang lantung menjadi parasit bagi orang tua dan saudara-saudaramu......blllaaammm.....sssrrrrrr.... Saya malu. Saya marah. Saya dendam terhadap stigma yang dikenakan ayahanda kepada saya.

Ketiga, di tahun 2002. Ayahanda sangat berharap, dan terutama karena saya sendiri yang berjanji, agar saya segera mengikuti pendidikan pada tingkat Doktoral. Sesuatu yang sudah saya tunda-tunda sejak tahun 1996 ketika kesempatan pertama itu datang. Karena perkembangan kesehatan saya yang sempat amat buruk di tahun 2000, saya berketetapan hati untuk tidak mau lagi mengikuti pendidikan doktoral. Magister cukuplah sudah. Akan tetapi, karena enggan berterus terang kepada ayahanda, maka jika setiap kali saya ditanya oleh beliau: kapan S3? jawab saya: nanti semester depan. Rupa-rupanya kesal mendengar "janji-janji kosong" saya maka di suatu pagi hari ketika saya mengunjunginya di rumahnya, saya dihardik dan diusir keluar dari rumahnya. ........Pergi kamu dari rumah saya dan jangan lagi menginjakan kakimu di rumah saya. Kamu adalah penipu besar dan tidak punya harga diri. Kamu penakut. Kamu hanya boleh kembali kerumah saya jika sudah menunjukkan tiket keberangkatan kamu bersekolah........... Dan....pintu itu.......pintu kamarnya tidurnya dibanting keras sekali. Amat keras ....brrrraaaakkkggghh..... persis di depan hidung saya......Betapa kalang kabutnya saya ketika itu. Dan betapa terhinanya saya ketika itu. Sakitnya saya tidak lagi diperdulikannya (hal yang belakangan diakuinya ketika saya sudah menyelesaikan sekolah). Sepertinya beliau tidak bisa lagi memahami bahwa untuk bersekolah ada banyak persyaratan yang harus diurus. Namun, hanya agar supaya kemarahan ayahanda dapat diredam maka berangkatlah saya dan lalu, sengsara di Negeri orang.

Keempat, di tahun 2008. Kesehatan ayahanda sudah tidak lagi prima. Saya meminta beliau untuk memeriksa kesehatannya ke dokter. Beliau tidak mau. Sayapun tidak memaksanya. Dan, hari itu, saya harus menerima fakta....ayahanda "pergi" tanpa sempat berpesan apa-apa. Saya marah. AMAT MARAH, Lalu, kesedihan yang bercampur dengan kemarahan karena ditinggal pergi begitu saja inilah yang menjebak saya dalam kesedihan berkepanjangan seperti saat ini. Sampai hari ini. Bahkan ketika mengetik artikel ini. Ya, saya mengganggap bahwa ketika hampir semua keinginannya sudah saya penuhi...ehhhh.....malah begitu saja saya ditinggalkannya pergi. Jauh. Amat jauh. Saya sakit hati.

Lalu, kembali ke pertanyaan awal. Manusia macam apa ayah saya itu? Dia baik. Itu benar belaka. Dia mengagumkan. Itupun benar belaka, Tetapi, sekiranya ayahanda berada di suatu spektrum gelombang energi tertentu di universe ini dan bisa membaca tulisan ini, saya harus juga mengatakan, dan meminta beliau untuk mengakuinya juga, bahwa menurut indikator sebuah Kitab Tua (yang meminta agar semua Ayah jangan pernah membuat tawar hati anak-anak mereka) maka beliau bukan sosok yang amat ideal. Ayahanda orang baik tetapi ayahanda juga pernah menyakiti hati saya. Seperti saya juga, seringkali menyakiti hatinya. Jadi, bagaimana persisnya sikap saya terhadap ayahanda? Ya, dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada padanya, saya harus mengatakan bahwa dia memang eksklusif bagi saya. Ayahanda saya ya cuma satu itu. Dia dan memang hanya dia. Tidak yang lain. Dengan begitu maka jika rumus dalam sebuah Kitab Tua harus menjadi pedoman: .....hormatilah ayahmu dan ibumu agar panjang usiamu di negeri yang dijanjikan......Maka, pilihan saya menjadi hanya 1, saya harus mencintainya. Tanpa menghitung plusnya. Tanpa menghitung minusnya. Apa adanya.

Bagaimana meletakkan ini semua dalam perspektif ke Indonesiaan?. Ya, Indonesia bukan negara dan bangsa yang Ideal. Dalam banyak hal, Indonesia telah menyakiti hati warga bangsanya sendiri. Sepertihalnya juga warga bangsa ini yang tidak jarang menancapkan pisau ke jantung Indonesia. Dan melukainya. Tetapi, di dunia yang fana ini: apakah ada yang ideal? Siapakah yang sempurna? Jika ketidak sempurnaan itu adalah niscaya maka memang hanya ada 1 pilihan kita, yaitu cintailah Indonesia. Tanpa menghitung plusnya. Tidak pula minusnya. Apa adanya. Jika ini sudah benar maka pilihan saya di hari perayaan hari merdeka ini ya cuma 1, yaitu saya ingin berbisik ...Merdekalah Indonesiaku. Berbisik? Mungkin itu yang terbaik yang dapat saya lakukan sekarang.

Akan tetapi ijinkanlah saya mengambil sikap lebih optimis. Di sini saya lahir. Di sini pula pada akhirnya saya akan menutup mata. Dum Spiro, Spero. Selama saya masih bernapas, saya tetap berharap. Lalu, berbekal keyakinan bahwa dengan kebaikan, persahabatan dan kasih sayang: saya, anda dan kita semua bisa mengusahakan Indonesia yang lebih baik, maka saya juga ingin memekik: MERDEKA bung. MERDEKA sus. MERDEKA INDONESIA.

Minggu, 17 Agustus 2008

Selamat Berjumpa Lagi. sENanG

Dear sahabat blogger,

Senang bisa kembali ke Kupang setelah perjalanan ke Jogjakarta untuk beberapa urusan. Satu, dua, tiga urusan lewat tetapi, sudah barang tentu masih ada urusan empat, lima dan seterusnya yang menunggu. Itulah hidup. Nikmati saja. Carpe Diem. Senang bertemu sahabat-sahabat lagi.

Selama tidak berada di Kupang, saya tidak berkesempatan menengok blog. Mohon dimaafkan untuk hal yang satu itu. Sekali lagi; MAAFKAN SAYA. Ketika malam hari ini saya membuka blog, wwwaaaaahhh...yaaaaaa aaaammmppppuuuunnnnn.....beberapa hal mengejutkan. Ternyata, selama saya tidak menungguin blog, ada perkembangan yang amat progresif. Ketika itu, komentar pada posting terakhir berjumlah 60-an buah. Sekembalinya saya, komentar sudah menjadi 121 buah komentar. Jumlah hits, ketika itu, masih sekitar 6800-an sekarang sudah 7200-an ...hmmmmhhh...luar biasaaaaaaa.....

Bagimana dengan "isi" dari progres ini...wel wel leeh leh leh...weleh weleh weleh ...he he he he...lama kelamaan saya mulai bisa memahami perilaku pembaca blog. Ada yang tenang teduh, ada yang agak "nakal dan urakan", ada pula yang mudah naik pitam,....macam-macamlah...tetapi......setelah saya periksa baik-baik dna secara saksama maka komentar saya adalah satu hal berikut ini: ANDA SEMUA, SAHABAT BLOGGER YANG TERKASIH, lama-kelamaan mulai mampu mengatasi keadaan sendiri tanpa perlu saya terlalu sibuk mengatur-ngaturnya. Ada api pertengkaran yang hiruk pikuk tetapi seketika ada upaya dari sahabat sekalian sendiri untuk memadamkan api itu sehingga tidak berkembang meliar dan menghanguskan. I'm verry verry happy with that situation. Thanx for all. Thanx God for that kind blessing for all bloggers here...

Dengan demikian, tidak berlebihan jika saya mengambil kesimpulan begini: BENIH-BENIH KEBAIKAN, PERSAHABATAN DAN KASIH yang saya niatkan untuk ditabur ketika memulai blog ini mulai menampakkan pertumbuhannya.

So, sahabat sekalian: saya akan terus menabur benih kebaikan, persahabatan dan kasih. Tidak akan bosan. Tidak akan pernah menyerah. Anda sahabat-sahabatku yang baik, saya ajak untuk mau bergabung menjadi penabur-penabur seperti saya. Hanya dengan cara ini, saya berharap, INDONESIA bisa lebih baik. MERDEKA bung. MERDEKA sus.

Minggu, 03 Agustus 2008

De Indonesien alleen is noit zijn heer (apaaaaannn tuuhhhhh?)

Sahabat blogger terkasih,

De Indonesien alleen is noit zijn heer. Kalimat ini saya peroleh dari suatu tulisan lama yang dibikin oleh DR. Abu Hanifah dalam polemiknya dengan Mochtar Lubis pada tahun 1977. Dua orang ini sudah lama dipanggil Tuhan tetapi jejak pikirannya akan saya tulis kembali pada malam ini. Besar harapan saya bahwa di sini. Di tulisan ini, kita bisa berkaca seperti apa wajah kita. Seperti apa wajah Indonesia. Wajah di tahun 2008 ketika kita sudah berada di tahun yang ke 63 pascakemerdekaan.

Data pada bulan Desembar tahun 2006 (kalau anda punya data terbaru harap diberikan di kolom komentar) menunjukkan bahwa angka hutang luar negeri Indonesia mencapai US$ 125,25 miliar. Mengapa kita berhutang? Ya karena kita tidak mampu membiayai belanja kita sendiri. Mengapa kita tidak mampu membiayai belanja kita sendiri? Ya karena kita miskin. Jumlah penduduk miskin di Indonesia yang diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Juli 2008 turun menjadi 34,96 juta orang atau 15,42 persen dari total penduduk Indonesia. Baguskah? Ah, nanti dulu. Data itu ternyata belum menghitung, atau sengaja tidak memperhitungkan, dampak kenaikan harga BBM yang baru lalu. Seorang peneliti senior di LIPI, Hari Susanto, menghitung bahwa dengan kenaikan harga BBM menjadi 28.7% maka jumlah penduduk miskin akan mencapai 40 juta jiwa atau 18,04% dari jumlah penduduk di Indonesia. Angka lebih mengerikan diberikan oleh hasil analisis Bank Dunia. Dengan menggunakan standard internasional pengukuran tingkat kemiskinan yaitu PPP (purchasing power parity) 2 USD maka angka penduduk miskin di Indonesia mencapai 49% dari total penduduk. Berapa angka rilnya? Jika penduduk Indonesia per Juli 2008 sekitar 225 juta jiwa maka jumlah orang miskin di Indonesia adalah.......engggg...........iiiing...............eenggggg......110.25 juta jiwa....wwwwoooooowwwww........mammaaaaaa mia let me go.......Cukup? ya, cukup dulu. Tapi apa hubungannya dengan judul posting ini?

De Indonesien alleen is noit zijn heer berasal dari penggalan sebuah puisi yang dibuat oleh orang-orang Belanda pada tahun 1927 yang menyitir sebuah syair kuno, VETH, guna mengolok-olok gerakan kebangsaan mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Negeri Belanda. Bunyi penggalan syair tersebut kurang lebih begini:

Di pantai-pantai Jawa, bangsa-bangsa berdesak-desak.
Mereka berganti-ganti seperti awan-awan di langit.
Terus menerus mereka berdatangan dari seberang lautan
Hanya orang Indonesia yang tidak pernah menjadi tuan di rumah mereka sendiri
(de Indonesien alleen is noit zijn heer)

(kata Indonesia sengaja saya ubah dari kata aslinya, yaitu Javaan)

Menyakitkan? Bagi yang mempunyai sedikit saja perasaan nasionalisme pasti akan merasa sakit hati dengan tudingan orang-orang Belanda tempoe doeloe itu. Apakah sekarang ini keadaan lebih baik? Jangan buru-buru menilai. Mari kita lihat beberapa fenomena di sekitar kita. Pemain sepakbola yang berasal dari luar negeri adalah tuan besar di Indonesia. Pemain Indonesia dibayar begitu murahnya sementara si pemain asing hidup bagaikan raja-raja kecil di liga sepak bola nasional. Dunia persinetronan kita dibanjiri oleh puluhan artis-artis berwajah Indo yang berkewarganegaraan Jerman, Amerika, Australia, Malaysia, Singapura dan lain sebagainya. Di klub-klub malam di Jakarta, konon sudah lama wajah "ayam kampung" menghilang digantikan oleh wajah-wajah ayu bermata sipit dari negeri China. Dewi Persik, artis dewek, dilarang-larang ketika ingin menyanyi di beberapa daerah tetapi betapa bangganya kita menyaksikan Maria Carrey menyanyi nyaris telanjang di Indonesia. Artis-artis Malaysia berseliweran di Indonesia sambil mengencani dan memacari artis-artis dalam negeri tetapi kita diam ketika Inul Daratista diperlakukan bagaikan monyet di Malaysia. Orang di Arab dan Malaysia memperlakukan jongos-jongos-nya yang berasal Indonesia nyaris tanpa peri kemanusian sedangkan kelakuan sebagian warga bangsa kita lebih Arab dari orang Arab itu sendiri. Kita bangga menyebut PRT-PRT itu sebagai pahlawan devisa. Tetapi ironisnya, ketika sang pahlawan devisa itu pulang kembali ke tanah air, mereka dirampok habis-habisan di Cengkareng oleh agen atau orang-orang kita sendiri tanpa rasa malu. Di pusat-pusat bisnis di Indonesia, cobalah anda mengamati di sana, banyak sekali konsultan-konsultan asing dengan gaya "dandy" ber- cas cis cus bersama-sama beberapa wajah melayu Indonesia yang bekerja dengan mereka. Orang-orang asing ini menjadi penentu sementara wajah melayu Indonesia itu adalah tukang-tukangnya. Cilakanya, "para tukang" itu hobi banget pamer gaya bisa bekerja bareng bule ketika mereka menghadapi orang negerinya sendiri. Gue kerja bareng Amrik lhoooo....Gue dibayar pake' dollar lhooo......Beranikah anda bertanya, berapa gaji si orang asing dan berapakah gaji si orang Indonesia?

Saya pernah punya 2 kali pengalaman. Pertama kali di tahun 1980-an akhir ketika saya masih seorang dosen muda yang "bangga" bisa bekerja sama dengan orang-orang asing di suatu proyek di kampung nun jauh di pedalaman Timor. Berapa honor saya per bulan? Rp. 50.000,- untuk bekerja dari pagi sampai sore di padang penggembalaan. Berapa honor orang asing itu? ribuan dollar bung, hanya untuk memerintah ini-itu yang saya sendiri sudah tahu karena ada dalam buku yang saya baca sendiri. Kali kedua, di tahun 2006 ketika bekerja dengan orang-orang asing untuk suatu analisis kemiskinan masyarakat desa hutan di Indonesia. Saya menjadi koordinator daerah Nusa Tenggara yang meliputi NTB dan NTT. Setelah rampung pekerjaan lapangan maka kami diinstruksikan untuk berkumpul di sebuah hotel mewah di kawasan Senayan, Jakarta. Makan enak.Tidurpun enak. Tetapi kami bekerja berhari-hari dengan semua daya kami hanya untuk mendapatkan biaya ganti tiket pesawat dan lumpsum ala kadarnya. Beruntunglah ketika itu, pikiran saya tidak tertuju kepada uang. Saya ingin mendapatkan pengalaman baru. Tetapi, belakangan baru saya sadari bahwa dalam laporan mereka, justru pola pikir dan metode yang saya kembangkan yang dipakai mereka. Mammmaaaaaaa mmiaaaaaaa let me go...sampai sekarang bukti tiket masih ada di tangan saya dan saya tidak berniat untuk meminta ganti biaya tiket. Biarkan menjadi doea tanda mata bagi saya karena memang ada 2 buah tiket yang seharusnya bisa saya klaim. Masih ada contoh lain? silakan anda kumpulkan sendiri. Silakan pula jika anda menilai........heeeiiiiii.........si BM sedang cengeng padahal itukan salah dia sendiri.......ya saya mempersilakan anda menafasir. Tetapi, mari kita catat fenomena berikut ini......jelas-jelas saya dan beberapa teman adalah orang Indonesia asli tetapi...betapa bangganya kita jika dalam berbicara dan atau menulis bisa mencampur adukkan, bagai kol and his gang, antara bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya (judul posting inipun ditulis dalam bahasa asing hi hi hi).

Begitulah, sidang pembaca. Bung Besar kita, Soekarno, beribu-ribu kali mengingatkan bahwa bangsa Indonesia jangan mau menjadi bangsa kuli dan menjadi kuli bangsa-bangsa lain. Namun, ketika memberikan amanat pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 1965 di Istana Negara, Soekarno justru pesimistis bahwa bangsa Indonesia telah menjadi bangsa yang dikhawatirkannya itu. The Indonesian people have become a nation of coolies and a coolie amongst nations. Soekarno mengatakan, ia mencupliknya dari seorang sarjana Belanda. Kemungkinan besar sarjana Belanda dimaksud adalah orang Jerman yang bernama Emil dan Theodore Helfferich yang pada tahun 1900-an awal datang ke Pulau Jawa dan membeli tanah seluas 900 ha di daerah Cipoko, Boogor dan menjadikannya sebagai kebun teh. Mereka mengatakan bahwa eine Nation von Kuli und Kuli unter den nationen.....Mammmmmaaaaaaa mmmmiaaaaaaa let me goooooo.....

Sekarang kita sudah berada di dua minggu menjelang perayaan hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 63. Cobalah kita menepi barang satu atau dua dikit dan tanyalah kepada diri kita sendiri. Benarkah kita bukan bangsa kuli? Benarkah kita sudah menjadi tuan atas negeri kita sendiri? Saya bingung untuk berkata apa. Anda mungkin tidak, Tetapi ijinkan saya untuk mengucapkan begini:

Di sini di tanah ini, jiwaku bangun,
Ragaku akan tegak sebagai pandu bagi ibu Pertiwi.
Pandu yang siap untuk menjadi tuan di rumah kami sendiri
(tidakkah hal ini agak berlebihan?????????)

MERDEKA PUAN. MERDEKA TUAN

Jumat, 01 Agustus 2008

Morning has Broken. Jordan aNd Norman will fly high away through days

Sahabat blogger terkasih,

Saat mengetik artikel pada posting ini adalah pukul 00.48 menit waktu Kupang atau Waktu Indonesia Bagian Tengah. Larut. Sudah larut. Mengapa selarut ini? Ada satu perkara, yaitu saya dipaksa oleh Jordan, salah satu penerus DNA saya, untuk membuka situs http://www.snmptn.ac.id/. Situs apa ini? Oh, anda benar. Inilah situs tentang Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri. Dan, anda kembali benar. Jordan memaksa saya untuk bisa melihat apakah dia diterima berkuliah di Perguruan Tinggi Negeri.

Untuk memenuhi permintaan Jordan maka saya mulai dengan membuka situsnya. Lalu, saya memasukkan nomor tanda peserta SNMPTN si Jordan, yaitu 3087900610. Setelah itu saya memasukkan juga nomer kode rahasia pembuka page pengumuman, yaitu 4JVL dan......yyyyuuuuuppppssssssss........munculah kata-kata berikut ini:

Nama Anda : JORDAN LPN RI U KAHO
Nomor Peserta: 3087900610

Selamat Anda diterima di:

Nutrisi dan Makanan Ternak Univ. Nusa Cendana

Saya segera bangkit dari duduk dan memeluk Jordan sambil berkata: Selamat Menjadi Mahasiswa. Jordan tertawa riang. Jelas terlihat kelegaan yang luar biasa terpancar dari dua buah matanya yang bening. Dua buah mata yang mengingatkan saya akan......diri saya sendiri tepat 27 tahun yang lalu. Ketika itu, tahun 1981, saya memasuki dunia baru. Dunia Pendidikan Tinggi. Di Perguruan Tinggi yang sama dengan Jordan. Di Fakultas yang sama. Dan di Jurusan yang sama. Ahhhh....Tuhanku...adakah ini suatu kebetulan? tidak juga. Apakah ini suatu yang sudah direncanakan jauh hari sebelumnya. Tidak juga karena Jordan mulanya tidak berpikir untuk mengikuti perkuliahan di Fakultas Peternakan. Sangat tidak ingin. Nah, lalu????? Mungkin inilah salah satu bukti bahwa, JIKA BAPA SUDAH BERKEHENDAK maka.....apa daya kita? Paling cuma bisa berbisik lirih: CARPE DIEM. Terimalah. Terimalah apa yang diberikan-NYA pada hari ini. Maka, saya dan Jordan menerima fakta ini. Jordan bukan saja memiripi saya secara fisik tetapi juga mengikuti langkah saya, bahkan tepat di belakang saya, dalam memasuki gerbang Pendidikan Tinggi. Dan apakah ini berarti Jordan akan......?????? aaacccchhhh.......saya, dan Jordan, punya rencana tetapi biarkan TUHAN yang menetapkan.

Lalu, teringatlah saya akan sebuah lagu hymne Gereja Inggris yang ditulis oleh Eleanor Farjeon pada tahun 1922. Lagu ini kemudian dibikin dalam vesi populer pada tahun 1972 oleh suatu tim kerja kolaborasi yang terdiri atas Rick Wakeman, keyboardist dari Super Group Art Rock YES dan Cat Steven. Lagu ini, yang semula dinyanyikan dalam pola Bunessan, yaitu melodi tradisional Scottlndia (Scottish Gaelic traditional melody) berubah menjadi paduan struktur melodi yang sangat indah dan legendaris antara denting piano Wakeman dan suara folk liris Cat Steven. Maka meledaklah lagu ini mencapai tangga ke #6 US Pop Chart dan #1 pada Adult Contemporary Chart US. Popularitas lagu ini jauh melebihi apa yang pernah dikerjakan oleh Group Floyd Crammer's pada tahun 1961 pada lagu yang sama dalam album Last Date. Lalu, bermacam-macam artis merekam lagu ini. Lagi. Dan lagi. Tercatat, antara lain, Judy Collins, Neil Diamond, Art Garfunkel, Kenny Rogers, Nana Muskouri, Aaron Neville, Ronan Keating dan lain-lainnya. Di Gereja-Gereja Protestan yang menggunakan kitab Nyanyian Kidung Baru, lagu ini masih terus dinyanyikan. Terus dan terus. Apa yang menarik? Apa kaitannya dengan Si Jordan? Apa kaitannya dengan Saya? Tetapi sebelum saya menjelaskannya, ijinkanlah saya menyebutkan judul lagu ini: MORNING HAS BROKEN.

Setiap hari Tuhan berkenan memberikan kepada kita berbagai karunia. Setiap hari. Dalam lagu Morning has Broken terdapat lirik yang berbunyi begini: morning has broken....praise with elation...praise every morning......God's recreation of the new day. Ya, setelah selesai satu hari maka TUHAN akan menciptakan satu hari baru bagi kita. Maka, hari baru telah tiba bagi Jordan. Dia akan segera menapaki jejak yang pernah saya torehkan. Dalam beberapa hari ke depan Norman, kakak si Jordan, juga akan menapaki salah satu torehan langkah yang pernah saya tempuh pada tingkat pendidikan strata 2. Norman akan segera terbang tinggi menuju cakrawala. Cakrawala ilmu pengetahuan. Mereka berdua akan memasuki hari baru bagi mereka. Sayapun akan memasuki 1 hari baru. Ada pengalaman baru, yaitu menjadi ayah dari semua anak yang sudah mengenyam pendidikan tinggi.

Setiap hari baru, sudah barang tentu, selalu memberikan tantangan baru. Selalu ada kerja keras yang baru. Selalu ada ketidakpastian yang baru. Mau jadi apa saya, Jordan dan Norman di hari yang baru ini. Ada banyak angin di cakrawala itu yang kadang-kadang bisa menghempaskan cita-cita ke titik nadir. Menghadapi ketidakpastian ini, secara manusiawi, saya cemas. Saya takut. Saya gentar. Tetapi beruntunglah, saya diingatkan bahwa meski ada banyak tantangan dan ketidakpastian tetapi bukankah setiap hari baru itu adalah pemberian TUHAN?. Kalau demikian, apakah saya harus terus takut. Harus selalu cemas. Saya harus senantiasa takut? Tampaknya TIDAK. Yang harus saya, Jordan dan Norman lakukan adalah bekerja. Ya, bekerja sebagai bentuk syukur dan pujian kepada Tuhan yang telah memberikan hari baru. Peluang baru. Berkat yang baru. God Recreation of the new day. Amin

Morning Has Broken
Lyrics by Eleanor Farjeon

Morning has broken, like the first morning
Blackbird has spoken, like the first bird
Praise for the singing, praise for the morning
Praise for the springing fresh from the word
 Sweet the rain's new fall, sunlit from heaven
Like the first dewfall, on the first grass
Praise for the sweetness of the wet garden
Sprung in completeness where his feet pass
 Mine is the sunlight, mine is the morning
Born of the one light, Eden saw play
Praise with elation, praise every morning
God's recreation of the new day