Kamis, 10 Juni 2010

tri bajik eka cita: the last

Dear Sahabat Blogger,

Sampailah saya pada bagian akhir posting tentang "tri bajik eka cita" yang merupakan falsafah hidup Ayahanda saya almarhum (Robert "SGT" Riwu Kaho) dalam bekerja. Bahkan lebih dari itu, jika diteliti lebih saksama, akan terlihat bahwa sebenarnya falsafah "tri bajik eka cita" adalah falsafah hidup Robert. Cara pandang dia tentang bagaimana hidup itu harus dijalani. Kamudian barulah prinsip ini diekstrapolasikan oleh Ayahanda ke dalam dunia pengabdiannya, yaitu dunia pendidikan.

Menyadari bahwa "tri bajik eka cita" adalah prinsip hidup Ayahanda almarhum membuat saya menjadi tidak mudah begitu saja menulisnya. Dia menjadi sulit bukan karena substansinya tetapi karena konsekuensinya. Maksud saya begini, jika di antara pengagum almarhum Bung Karno terjadi silang sengkrut pengertian antara "anak biologis" dan "anak ideologis" maka bagi saya pertanyaannya adalah, apakah cukup bagi saya mengatakan kepada dunia bahwa .. "hei saya ini adalah anak Robert Riwu Kaho" .. dan apakah juga cukup saya mengatakan bahwa ... "hei saya tahu apa prinsip hidup Robert". ...cukupkah itu? TIDAK. Mengapa demikian? Saya masih harus bisa membuktikan bahwa "menjadi anak Robert" berarti harus memenuhi 2 prasyarat, yaitu principe d'etre-nya dan apa la condition humaine-nya? Opo maning? Leahy menyatakan bahwa principe d'etre manusia selalu dua sisi, yaitu siapa dirimu dan untuk apa dirimu. Sisi pertama menunjukkan identitas diri yang khas dan unik. Sisi lainnya menunjukkan keberartian seseorang bagi sesamanya dalam arti yang amat luas. Inilah yang disebut sebagai la condition humaine-nya. Ayahanda adalah pribadi yang unik. Dia pendidik, pengurus Gereja puluhan tahun, penghusada tradisional, bagian dari klan Mone Ama dari Namata, Sabu dan lain-lain. Cuma 1 dia. Tak ada yang lain. Di lain pihak, jejak hidupnya menjadi panutan banyak orang karena budi pekertinya yang masuk di dalam norma umum manusia yang baik. Dia amat berbudaya.

Saya selalu bertanya, sudahkah saya menemukan jalan untuk dikenal sebagai anak Robert dalam identitas yang berbeda tetapi memiliki budi pekerti yang setara? Saya harus unik dan khas. Bukan fotocopy semata dari Robert. Akan tetapi sekaligus dengan itu saya dituntut paling kurang menapaki jalan hidupnya yang amat berguna bagi sesama. Hidup yang tidak memusatkan perhatian pada kepentingan diri sendiri. Secara kasat mata, academic achievement menunjukkan bahwa saya berhasil "keluar" dari bayang-bayang identitas Ayahanda. Kami memang sama-sama berprofesi Guru tetapi saya Guru di bidang Ilmu Kehutanan. Beliau pernah menjadi Kakanwil tetapi saya Ketua Umum ForDAS NTT. Robert unik sayapun unik. Masalahnya adalah, apakah saya sudah memiliki budi pekerti yang setara dia? Jawaban saya, belum.

Jika begitu maka apa untungnya menulis tentang "tri bajik eka cita", yang adalah falsafah hidup Ayahanda, jika tidak mampu melakukannya? Pandai berteori tetapi tak satupun tamak dalam perilaku hidup setiap hari. Bukankah itu sama artinya dengan fenomena ironis di negara kita tercinta? Mengaku wakil rakyat-nya tetapi nasib rakyat hanya urusan sekunder. Rajin beribadah tetapi amat gemar menista orang lain. Mengaku menghafal Pancasila tetapi perilaku amat primodial. Lalu saya berketetapan hati bahwa dari pada tidak lebih baik jika saya menuntaskan saja tulisan tentang "tri bajik eka cita". Bukan untuk apa-apa melainkan justru yang oleh karenanya, principe d'etre, saya harus terus belajar, dengan pertolongan Tuhan, supaya saya tidak memalukan sebagai anak Robert Riwu Kaho. Lalu apa itu "tri bajik eka cita"?.

Secara etimologi, Robert memberi makna bahwa tri berarti tiga, bajik berarti perbuatan baik yang mendatangkan keselamatan, eka artinya satu atau tunggal dan cita adalah cita-cita, yaitu tujuan yang luhur, mulia dan sempurna yang harus dikejar. Lalu, tri bajik eka cita adalah tiga perbuatan baik yang mendatangkan keberuntungan dan keselamatan yang harus dilaksanakan untuk mencapai satu tujuan yang sempurna. Dari pengertian ini saja kita bisa belajar bahwa setiap hidup harus memiliki tujuan yang baik. Pernah menonton film Rambo II? Di akhir ceritera John Rambo menjawab pertanyaan Trautman, mantan bossnya tentang "bagimana kau hidup", dengan mengatakan begini "i'm living day by day". Hidup ala John Rambo tidak sesuai dengan prinsip Robert. Hidup harus memiliki tujuan dan tujuan itu harus yang bersifat mulia. Lalu, apa eka cita itu? Adalah: BERKAT. Robert memberikan defenisi bagi tujuan hidupnya, yaitu menjadi berkat bagi sesama. Dengan cara itulah dia akan layak mengaku sebagai ciptaan sang Pengada yang Maha Baik. Bagimana Robert dapat mencapai cita-citanya itu? Adalah dengan melakukan 3 perkara, yang disebut sebagai tri bajik, yaitu BERDOA, BEKERJA DAN BERBUAH. Jelas dan clear bukan? Jangan buru-buru. Mari kita perhatikan uraian Robert lebih terperinci.

  1. Berdoa adalah berkomunikasi dengan Tuhan Maha Kuasa yag berlandaskan Iman. Di dalam doa, anda harus melakukan 3 hal terpenting, yaitu mengaku berdosa dan memohon pengampunan, mengucap syukur atas semua yang sudah diterima dan memohon anugerah kekuatan, kesehatan, hikmat dan apa saja yang baik sebagai modal bekerja. Jadi, si sombong yang merasa selalu benar, pendendam, dan tukang komplain atas apa yang ada padanya adalah orang yang tidak berdoa. Berdoa dilakukan setiap saat. Dengan berdoa, menurut pengalaman Robert, orang akan mampu menghargai orang lain sebagai sesama ciptaan, tidak melakukan diskriminasi, gemar menolong mereka yang lemah terutama anak didik, peka terhadap penderitaan orang lain dan mampu melayani.
  2. Bekerja adalah adalah esensi hidup itu sendiri. Karena itu bagi Robert kaum pemalas dan tukang berharap gampang dalam hidup bukanlah seorang pekerja. Bekerja juga merupakan panggilan hidup sebagai manifestasi iman. Oleh karena itu hal yang dikerjakan haruslah yang bersifat baik. Mencuri dan menipu bukanlah bekerja karena dalam Iman tidak pernah boleh ada bekerja yang sifatnya jahat. Bekerja yang baik, bagi Robert adalah, bekerja secara tekun, setia, tak mudah menyerah dan produktif dari waktu ke waktu.
  3. Berbuah adalah adalah kepastian bahwa semua yang didoakan dan dikerjakan harus benar-benar halal. Tak boleh anda mengorbankan orang lain dalam bekerja. Tak boleh anda mendoakan celaka bagi orang lain. Harta yang kamu miliki benar-benar harus merupakan keringatmu sendiri dan tidak merampas hak-hak orang lain.
Akhirnya, resultante dari tiga kebajikan itu adalah akan datangnya tujuan luhur dari hidup, yaitu berkat. Bagaimana ciri hidup yang penuh berkat itu? Robert merincinya ke dalam 10 indikator, yaitu iman baik, punya harga diri, selalu ingin maju, etos kerja yang tinggi dan berdisiplin, bekerja berorientasi pada prestasi, jujur, secara individu harus pandai, terampil dan kreatif, memiliki rasa tanggungjawab yang tinggi dan tegas, mampu berkomunikasi dengan orang lain tetapi berdikari dan rendah hati.

Begitulah gambaran ringkas tentang "tri bajik eka cita" itu. Melihat deskripsinya, saya menjadi miris sendiri. Dapatkah saya mencapai derajat budi pekerti seperti itu? Saya tak begitu yakin tetapi .... hei sabar dahulu .... dengan mata kepala sendiri saya menjadi saksi bahwa Ayahanda almarhum mampu melaksanakan semua yang telah didefenisikannya itu. Ayahanda tidak sedang berhipotesis melainkan menuliskan pengalaman empirik hidupnya sebagai suatu hipotesis bagi banyak orang. Dalam mempraktekkan teorinya, dia amat berhasil. Prestasinya sebagai pendidik menjadi saksi. Maka, kalau dia bisa mengapa saya tidak? Bukankah saya memiliki DNA yang sama dengan dia? Kalaupun tidak sama-sama amat, paling kurang saya bisa belajar untuk mulai melakukannya. Hari ini lebih baik dari kemarin. Besok lebih baik dari hari ini. Makin lama makin baik. Saya cukupkan tulisan ini sampai di sini. Lalu, apakah anda terilhami oleh cara hidup Robert Riwu Kaho?.

Untuk semua Guru yang baik di mana saja anda berada, saya kirimkan lagu Oemar Bakri dari Iwan Falz. Bapak dan Ibu, dedikasi anda di catat di Surga.


Tabe Tuan Tabe Puan