Kamis, 10 April 2008

Kedahsyatan-Mu Menggetarkan Hati...Ya Allah....Ya Akbar....

Siapa di Indonesia yang bisa berceritera tentang kedahsyatan Allah, seru sekalian alam, sebaik kawan-kawan di Aceh? Dalam berita, dalam ceritera, dan dalam bayangan, kita semua pada dasarnya dapat bersaksi tentang Allah yang Akbar itu. Akan tetapi saya yakin pengalaman kita tidak semasif apa yang dapat diceriterakan oleh kawan-kawan di Aceh.

Setelah episode ayam tangkap berlalu, dan ternyata cita rasa sang ayam terbukti maak nyuus, saya dan mas Edo meneruskan perjalanan masuk kota Banda Aceh. Di sana kami ditempatkan di hotel Madinna. Tepat di depan Rumah Sakit Umum Banda Aceh. Dekat kantor Balee Panda, yaitu kantor WWF Aceh sang pengundang. Sebelum masuk ke dalam hotel, saya dibisiki oleh mas Edo bahwa kamar kami berada di lantai 4 (rupanya saya akan sekamar bersama mas Edo). Saya menengok ke atas sambil membatin: cukup tinggi. Tampaknya mas Edo dapat membaca pikiran saya (mungkin mas Edo masih ada hubungannya dengan mama Lauren yang pandai membaca pikiran orang itu ha ha ha), sekonyong-konyong beliau berucap: "waktu tsunami tahun 2004 terjadi di tempat ini, ada mobil yang nyangkut di atas tiang listrik ini" (sambil tangannya menunjuk tiang listrik yang berada di dekat kami bediri di pelataran Hotel). Ah, saya agak bergidik karena terbayang tingginya hempasan gelombang tsunami yang mencapai hampir ke lantai 4 hotel ini. Lalu, sambungnya, "jika terjadi sesuatu ya sebaiknya kita tidak usah turun ke bawah, tetap di atas saja". Neeehhhh, busyyeetttt daaaahhh ni orang Mataram. Mau masuk hotel malah ditakut-takuti. Anyway, busway, menengwae, saya tenang saja. Tidak memperlihatkan rasa was-was saya pada mas Edo. Masak AM (anak mataram) lebih berani ketimbang AK (anak kupang) sih.... Bisa malu kita sama AA. bukan AA Gym melainkan anak aceh.

Siang berlalu menuju petang. Dan sekitar jam 5 petang, kami diberi tahu petugas lobby hotel bahwa ada tamu dari WWF Aceh menunggu kami untuk mengajak kami round-round kota Banda Aceh. Lalu, kami pun mendapati mereka. Satu orang bernama Pak Sukri. Saya pikir orang keturunan India. Tampangnya mirip Inspektur Raj dalam filem-filem India yang nehi-nehi itu. Mas Edo terlihat langsung akrab dengan Pak Sukri. Saya pikir mereka pasti sudah lama sohib-an. Pak Sukri memang orang baik. Yang satu lagi bernama Edo. Yang ini saya pikir orang Aceh keturunan keling juga. Supaya bisa dibedakan dari Edo mataram maka saya menyapa Edo Aceh ini sebagai Teuku Edo zonder pake' nunggu persetujuan yang bersangkutan. Teuku Edo-pun terlihat sangat bersahabat. Tagal sikap kedua sahabat baru itu maka hanya dalam hitungan menit kami langsung bisa akrab. Mobil perlahan meninggalkan hotel. Percakapan ini-itu. Ngalor-ngidul. Dan, tibalah kami ke bagian kota yang dikomentari oleh Pak Sukri sebagai "daerah yang ini dahulu hancur habis diterjang Tsunami". Ah, rasa was-was yang tadi siang sempat meredup kini timbul kembali. Hmhhhh.....

Lalu, kami di antarkan oleh dua sahabat baru itu ke satu tempat yang bernama PLTD Apung, yaitu pusat tenaga listrik yang berada di atas sebuah kapal. Dahulu, sebelum Tsunami, kapal ini konon sedang berlabuh di laut tetapi oleh gelombang dahsyat itu, lalu dia berpindah ke tempatnya yang sekarang. Luar Biasa. Bagaimana mungkin benda seberat puluhan ton ini bisa dipindahkan 3 km dari daerah pantai (offshore) ke arah daratan jika gelombang yang datang hanya biasa-biasa saja. Jika kapal sebesar ini saja bisa dipindahkan maka bagaimana dengan orang-orang yang mungkin akan terlihat seperti kertas kering yang dibanting dan dihanyutkan kesana-kemari tak berdaya. Oh my God. Terbayang betapa mengerikannya kedahsyatan gelombang tsunami ketika itu. Kami mengambil beberapa gambar di sana dan amboooiiii....ternyata posisi duduknya kapal itu tepat di atas beberapa buah rumah penduduk yang sudah remuk tidak kelihatan bentuknya lagi. Entah ada berapa banyak jiwa yang meregang karena ditimpa oleh kapal seberat itu. Saya tidak tahu apa yang dirasakan oleh teman-teman lain tetapi diam-diam saya mulai dirambati.....ngeri dan ketakutan.

Selepas PLTD apung, kami lalu meneruskan wisata kelam kami menuju pantai Ulee Lheu (maaf Teuku Edo, kalau saya keliru melafalkannya). Tempat ini disebut Teuku Edo sebagai titik 0 Tsunami. Di sepanjang perjalan menuju pantai tersebut kami melihat hamparan bekas-bekas kehancuran yang ditimbulkan oleh bencana maha dahsyat itu. Di sana ada runtuhan rumah. Di sini ada kuburan masal. Rumah siapa? Kuburan siapa? Hanya Allah yang tahu. Saya menjadi ciut nyali. Lalu, sampailah kami ke tempat yang disebut sebagai titik 0 Tsunami. Alllaaaaammmmaaaaaaakkkkkk, jika sebelumnya saya membayangkan aroma kengerian maka yang terjadi adalah sebaliknya. Di depan mata kami terpampang.....keindahan. Mengapa? karena ketika itu hari sudah rembang petang dan dari kaki langit merayap panorama sunset. Luar biasa indah. Terbayangkah kengerian? Mula-mula tidak.

Kembali dari pantai Ulee Lheu, kami lalu dibawa menuju ke suatu tempat yang saya tidak begitu ingat persis namanya tetapi yang pasti tempat itu berada tepat di tepi sungai yang disebut oleh Pak Sukri sebagai Krueng Aceh. Airnya mengalir bagus dan lancar. Ah, saya membatin: nah, untuk urusan ini saya datang ke Aceh. Ya, krueng artinya sungai dan sekarang saya berada di tepi Daerah Aliran Sungai (DAS) Aceh. Oh ya, tempat yang kami singgahi ini tampaknya semacam tempat hang out anak-anak muda Aceh (dibandingkan dengan SBY sih kamipun masih pantas disebut anak muda ...ehhmm...). Kami singgah di sini karena pak Sukri mengajak kami minum kopi sekalian makan malam. Oh iya, kopi Aceh memang enaknya melegenda. Saya bersaksi untuk itu. Ok, sambil menghirup kopi panas, kami memesan makan malam. Saya mengorder mie Aceh, siapa tahu berasa khas Aceh. Ternyata rasanya harus diakui.....tetap berasa mie seperti hal-nya mie di mana saja. Sambil bergurau bersama Teuku Edo, kami menamakan mie yang saya makan bukan sebagai mie Aceh tetapi makan mie di Aceh. Ya sudahlah, si Edo gila, saya juga enggak kalah gilanya. Sambil makan, rombongan kami meneruskan perbincangan ke sana-kemari mulai dari persoalan politik di Aceh kontemporer sampai masalah-masalah seputar Daerah Aliran Sungai di Aceh.

Sementara hari terus merambat malam dan panorama pemadangan dari tempat duduk kami ke arah Krueng Aceh dan jembatan-nya semakin eksotik saja. Saya nyatakan itu kepada Teuku Edo dan dia setuju. Tetapi ada komentarnya yang membuat saya tercekat: ”ketika Tsunami dahulu, di sungai ini mayat mengambang seperti menutupi permukaan sungai. Waalllaaahhhh.....Mie Aceh yang saya telan seperti tersedak di tenggorokan. Sayapun berjalan mendekati tepi sungai dan berusaha mengambil potretnya. Setelah itu..... Di tepi Krueng itu.... Ya, Krueng Aceh.... kengerian mulai merambat.....terbayang mayat-mayat yang mengambang di situ. Susah saya mencerna dengan baik, bagaimanakah mungkin di balik keindahannya, alam ternyata menyimpan misteri kengerian yang menyeringai, mengancam dan membunuh? Ya Allah....tadi di titik 0 Tsunami, Engkau menyajikan pemandangan pantai Ulee Lheu menjelang sun set yang luar biasa permai. Di tepi Krueng Aceh ini, Dikau menghadiahkan kami pemandangan yang sangat eksotik. Cantik. Akan tetapi di balik semua keindahan itu ternyata pernah ada kengerian yang luar biasa pekatnya. Dari titik 0 yang indah itu pernah datang gelombang Tsunami setinggi gunung Seulawah dan menghancurkan apa saja yang dilandanya, termasuk kehidupan. Dan, di Krueng Aceh yang eksotik ini, semua yang terlanda tadi mengambang menutupi permukaan airnya. Tubuh-tubuh tanpa nyawa itu, ya Allah. Misteri Apa ini?

Inilah pelajaran dari sang Maha Pencipta yang diajarkan-Nya tepat di hari pertama saya tiba di Aceh. Ada banyak kebanggaan dan keangkuhan ketika tiba di Aceh. Tetapi di tepi Krueng Aceh itu, saya membayangkan Allah yang maha Rahim itu berbisik dalam hembusan angin semilir: ”Kamu kecil di depan-Ku wahai manusia. Kamu tidak ada apa-apanya. Ketika kamu tekebur, Aku menguburkan engkau. Ketika kamu congkak, Aku akan mencangkok-kanmu ke dalam tubir kegelapan. Bahkan ketika engkau sedang tidak berbuat apapun Aku sanggup membuat engkau seperti apapun yang Aku mau......Keringat dingin diam-diam mengalir disekujur tubuh.

Saya ingin segera kembali ke kamar hotel. Saya ingin mengucap doa: Ya Allah, Ya Akbar, terima kasih atas pelajaran-Mu hari ini. Karuniakanlah kepada hamba-Mu ini hati yang rendah. Dan, jadilah segala sesuatu seperti apa yang Engkau kehendaki......

Tabik Puan, Tabik Tuan........

Keterangan Gambar (atas-bawah; Riwu Kaho, 2008):

  1. Pemandangan dari kamar hotel Madina, lantai 4. Tiang listrik yang "menakutkan" itu ada pada pojok kiri bawah;
  2. Sahabat-sahabat: Pak Sukri (kiri/kaus merah), Teuku Edo (tengah/kaus kuning) dan Mas Edo (kanan);
  3. Pak Sukri dan Mas Edo di samping PLTD Apung;
  4. Bekas rumah yang hancur diterjang tsunami 26 Desember 2004;
  5. Kuburan masal dekat Pantai Ulee Lheu;
  6. Titik 0 tsunami 26 Desember 2004 di pantai Ulee Lheu (panorama menjelang sunset);
  7. Krueng Aceh menjelang magrib;
  8. Krueng Aceh di temaram malam.

14 komentar:

Anonim mengatakan...

sungguh, sayapun tergetar membaca tulisan ini

Anonim mengatakan...

Pesan moral yang menggetarkan. Pak Mike, tetaplah bersikap rendah hati supaya Tuhan tetap memberkati pak Mike sehingga dapat terus menulis. Kamipun harus juga rendah hati.

(Yes, BTN)

Anonim mengatakan...

Ama tana, apakah NTT akan mendapat giliran dihukum Tuhan karena korupsinya yang keterlaluan padahal masyarakatnya sedang mengalami busung lapar?
(Savunese)

Anonim mengatakan...

Memang benar. Allah sungguh berdaulat dan mampu berbuat apa saja yang Dia mau. Oleh karena itu, jangan main-main dengan Dia. Sembah dan takutlah akan Dia. Salut pak Mike

Anonim mengatakan...

tidak dapat diragukan lagi...kun fayakun..jadilah maka jjadilah...apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi...seperti yang terjadi pada family kita Yeni F. Nomeni...

Anonim mengatakan...

Yu, aku setuju sama ente kali ini. Cuma, soal keterlambatan memasukan proposal saya enggak setuju sama mas Bayu. Eh, selamat bertugas kawan. Pulang bawa sisa SPJ dan kita pesta di Markas ForDAS yang baru ha ha ha ha (MikeRK)

Anonim mengatakan...

Baru ni' hari aqu liat blogger ini. Mula-mula gue pikir enteng tetapi pas mbaca' artikel ini gue terharu dan nangis inget korban-korban Tsunami. Ada keluargaku yang ikut jadi korban. Bigmike, teruslah menulis dengan hati seperti ini. Bisa jadi semacam Ayat-Ayat Kedamaian nih...

Anonim mengatakan...

Oh iya, qt beda keyakinan, aqu Muslim, tapi salam persahabatan untuk Bigmike

Anonim mengatakan...

Agama yg berbeda tidak berarti bahwa kita spesies yang berbeda. Bahkan jikalapun kita merupakan spesies yang berbeda kita punya lingkar energi dan materi yg itu-itu juga. Lalu, untuk apa berkelahi? ah, damai-damai sajalah. Peace BosZ (mikerk)

Anonim mengatakan...

Setuju Mike. Cuma saja saya ingin bertanya, siapakah Allah yang bisa manis tetapi bisa tampak kejam?

Anonim mengatakan...

Big Mike, salut atas tulisan-tulisan anda. Coba dipublikasikan lagi karena saya yakin akan mendatangkan manfaat bagi banyak orang. Saya Hindu tetapi tergetar juga dengan tulisan Anda. Pertahankan Ideologi Ke-Indonesiaan-mu. (Salam dari Denpasar)

Anonim mengatakan...

Halou Bigmike. Kok Tulisan tentang kisah perjalanan ke Aceh adi mandeg? Udahan dong berkabungnya

Anonim mengatakan...

Saya masih ingin menulis bagian akhir dari kisah perjalanan saya ke Aceh tetapi ada yang "menghambat"nya. Hal itu, ada kaitannya dengan apa yang akan saya bahas. Setelah sesuatu itu dapat saya ungkapkan maka, insya Allah, bagian terkahir kisah perjalanan saya ke Aceh akan saya tuntaskan. Harap maklum, harap bersabar dan mohon dukungan doa. (mikerk)

Anonim mengatakan...

Bigmike, tuntaskan kisah perjalanan ke Aceh. Qt nunggu nich