Rabu, 02 April 2008

Sudahkah ayam milikmu ditangkap? Mei bi yes! Mei bi no!

Akhirnya, at last, eventually, hari yang ditunggu itupun tiba sudah. Hari sabtu tanggal 22 Maret 2008 berangkatlah saya meninggalkan kota Kupang dengan menumpang pesawat Mandala Air. Tiket pesawat PP (no pulang pergi but pergi pleasure ‘’’peesiiiaarrr…) sudah disiapkan oleh Mas Edo WWF Mataram. Bahkan, tiket Jakarta-Aceh PP (no pulang pergi but putat-putar) sudah pula disiapkan oleh beliau itu. Asyiikkk.

Perjalanan Kupang Jakarta memakan waktu sekitar 3 jam, yaitu 1 jam 40 menit untuk Kupang-Surabaya, 20 menit transit di Surabaya dan selanjutnya sekitar 1 jam 5 menit adalah waktu tempuh Surabaya-Jakarta. Ketika berangkat dari Kupang saya menengok jam di tangan kiri saya, pukul (atau jam sih ya???) 13.05. Ketika tiba di Jakarta, saya menengok jam di bandara, pukul (ehmm…pukul atau jam ya?) 15.20. Eh, itu khan artinya penerbangan Kupang-Jakarta cuma makan waktu 2 jam (ihihkkhhihhikkhh…doktor kok ya goblok..). Saking gobloknya, saya agak lupa, ketika itu si waktu dimakan dalam bentuk waktu goreng atau waktu rebus. Sekali lagi, sorry. Lupa. Soalnya, para pramugari di Mandala Air hampir sepanjang perjalanan terlihat sibuk berlalu-lalang menjajakan makanan pengganjal perut penumpang. Mereka lalu lebih mirip sales girl ketimbang berfungsi dalam tugas asli mereka dalam hal stewardessness, yang berarti penata layanan. Dunia penerbangan di Indonesia memang ganjil. Jangan-jangan orang Indonesia memang suka yang ganjil bin aneh bin atang. Mungkin ini yang membuat saya menjadi grogi, lalu lupa, lalu jadi goblok. Omongan saya yang ngalor-ngidul tentang perjalanan Kupang-Jakarta ini sebenarnya cuma bermakna 1 hal: enggak ada yang perlu diceriterakan kecuali keisengan. Paham? Kalau enggak paham maksud saya, mungkin anda yang sekarang sedang grogi ha ha ha….

Di Jakarta, kami, saya dan mas Edo, menginap di hotel Maharani di daerah Mampang Raya. Di sinipun tidak ada yang istimewa untuk diceritakan (dan saya tidak kepengen iseng seperti pada paragraf di atas) meskipun harus juga diceriterakan bahwa ada pertemuan khusus selama ± 1 jam antara saya dan mas Edo. Inti percakapan adalah rencana pembagian peran ketika di Aceh. Beliau sudah mempersiapkan materi pengalaman penyusunan konsep PDAS terpadu Benenain-Noelmina, NTT tetapi lalu meminta saya untuk total mempresentasikan materi itu. Mas Edo sendiri berencana untuk berperan sebagai fasilitator kegiatan. Saya sih ok-ok saja karena selain materi saya sendiri berlimpah, tinggal dicopy-paste, juga saya tahu persis bahwa kawan-kawan NGO seperti mas Edo amat jago menjadi fasilitator. Saking jagonya, kadang-kadang ada sebagian kalangan menganggap bahwa NGO adalah golongan Prof. Bukan profesional tetapi provokator. Setelah berdiskusi kesana-kemari, saya kemudian diberikan tiket Jakarta-Medan-Aceh dengan menumpang Lion Air. Mas Edo sendiri menggunakan maskapai penerbangan Garuda. Lalu, saya kembali ke kamar saya untuk: TIDUR. Seperti juga halnya penerbangan Jakarta-Aceh, tidurpun kami tidak kompak. Edo di kamar satu, saya di kamar lainnya. Tetapi bayaran hotelnya kami kompak. Sangat kompak, yaitu semua dibayar Edo. Kompak kan? Nah, kompak model begini gua demeeennnn bhuuaannggeettsss.

Keesokan paginya, sayapun menuju bandara Sokarno-Hatta guna berangkat ke Aceh. Jadi, hari itu, tahun ini, sebagai Kristiani saya merayakan hari Raya Paskah (Easter Day) di atas pesawat terbang. Di atas ketinggian 33 ribu kaki. Sekiranya surga itu letaknya di atas maka sebenarnya cukup membahagiakan hati saya karena tahun ini saya merayakan Paskah dekat Surga. Oh my God. Sayapun diam-diam menaikkan doa syukur untuk apa yang sudah terjadi sampai saat itu. Tetapi, keheningan dan kekhusukan saya berdoa sedikit terganggu karena duduk di kursi (seat) no. 21 D sungguh tidak nyaman. Bagian alasnya tidak rata dan seperti memiliki gundukan. Saya teringat berita di Metro TV bahwa banyak maskapai penerbangan melakukan maintenanace dengan cara membeli barang-barang bekas. Hah, jangan-jangan kursi itu didapat dari hasil memulung!!! Ada-ada saja. Setelah memakan waktu sekitar 3 jam maka sekitar pukul 1 siang WIB, saya mendarat di Bandar Udara Sultan Iskandar Muda, Aceh. Dalam hati saya membatin, Tuhan terima kasih karena hari ini saya sudah menginjakkan kaki di daerah paling barat Indonesia sedangkan saya datang dari daerah paling selatan di Indonesia. Thanx God. Apa kesan awal saya tentang Aceh? Indah. Dari pesawatpun sudah terlihat hal itu. Ada lagi? Ada, yaitu panas. Ada lagi? Nah ini dia. Jam 1 siang adalah waktu makan bagi saya karena jam biologis saya adalah jam 2. Antara Aceh dan Kupang ada perbedaan waktu 1 jam. Kupang 1 jam mendahului Aceh. Oleh karena itu, kepada mas Edo dan 1 orang dari WWF Aceh yang menjemput saya di bandara, namanya bang Zul, saya mengutarakan isi hati saya (isi hati atau isi perut ya???) bahwa: I’m hungry. Mas Edo juga tampak lapar. Wajahnya terlihat sudah berwarna hijau-keunguan (warna orang lapar ya ha ha ha) dan oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi dirinya: setuju segera makan. Maka kepada bang Zul, kami minta dibawa ke tempat warung makan yang menyediakan makanan khas Aceh. Lalu, dibawanya kami ke satu warung makan yang sesuai dengan permintaan kami dan ….allaaamaaaakkkkk…..makanan yang dibawa oleh orang warung bhuaaanyyyyaak banget. Berderet-deret. Lebih banyak kebanding deretan makanan di warung Padang. Lalu, saya tanyakan ke bang Zul, apa makanan yang sangat khas Aceh karena yang saya lihat adalah udang, ikan, cumi-cumi, sambal dan lain sebagainya yang mudah kami jumpai di mana-mana. Maka, mata sayapun tertumbuk pada timbunan besar sayuran yang bermacam-macam dan kelihatannya kering digoreng. Saya tanyakan lagi ke bang Zul: apa namanya nih. Jawabnya: ayam tangkap. Hhhhaaaahhhh????????? Aaaayyyyaaaaammmm taaaanngggkkaapppp??????? Kok ayam sih, padahal yang terlihat cuma gunungan-timbunan sayur goreng kering? Lalu, di mana ayamnya????? Apakah makanan ini disebut ayam tangkap karena kita diharuskan makan sayur sambil mengingat dan berpikir tentang ayam yang masih akan ditangkap. Lalu, kapan ditangkapnya? Ya, mungkin kapan-kapan. So, bang Zul, sudahkah ayamnya ditangkap? Mei bi yes, mei bi no. Paham dengan maksud kisah saya ini? Mei bi yes mei bi no. Masih bingung? Mei bi yes mei bi no. Ok, kalau begitu lebih baik kita dengar dulu lagu dari mei yang lain, yaitu Mei Chan-Maia:…..waktu mau makan, ku ingat ayam, waktu mau minum, ku ingat ayam, ooohh mengapaaaaaa …aku serba salah…..dasar ayam ….sudahkah dikau ditangkap? mei bi yes mei be no.

Permisi….tanpa basa-basi...... besok kita sambung lagi karena saya mau segera pergi menangkap ayam. Betulkah? Mei bi yes, mei bi no……..Tabik Tuan. Tabik Puan.....
Keterangan gambar: pemadangan Aceh di Bandara SIM ketika pertama kali mendarat (22/03/2008) (atas) dan Bang Zul (bawah). Salam hangat buat bang Ijul/Zul yang sudah mengantar kami ke mana-mana. Tuhan Memberkati anda, Bang.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Aduh si boss, makin enak azza artikelnya. Tetapi masih belum jelas tuh apa maksudnya ayam tangkap. Di jelasin ya supaya yang paham enggak hanya kawan-kawan di Aceh tapi qt2 juga, Bravo big mike

Anonim mengatakan...

Ah si boss. Capek ya? Sakit ya? Kehabisan ide ya? sudah 2 hari tidak ada posting baru....penggemarmu kecewa...ayo semangat bung...