Aksi menimbulkan reaksi. Dan sebagai bentuk reaksi atas semakin menguatnya fenomena sekularisme, muncullah di mana-mana gerakan anti-sekularisme. Gerakan anti sekularisme ini, cilakanya pada waktu belakangan telah menghasilkan kaum fundamentalis yang sempit dan picik yang tidak jarang menempatkan akal sehat sampai ke titik nadir. Tidak heran, jika kedua kelompok ini lalu terlibat dalam pertempuran yang aneh. Jika kelompok pro-sekularisme berpendapat bahwa harus ada pemisahan yang final antara agama dan negara sehingga tidak terjadi pemaksaan terhadap nilai-nilai religius ke dalam domain kebijakan publik maka kaum fundamentalis berpendapat bahwa religiusitas niscaya dan harus niscaya untuk masuk di dalam proses-proses politik dan mempengaruhi proses pengambilan keputusan terhadap kebijakan-kebijakan publik.

Lalu, keduanya terjebak di dalam penyakit (patologi) yang sama, yaitu absolutisme pikiran sendiri dimana pikiran atau konsep dari pribadi atau kelompok partikularistik dijadikan ilah-ilah baru. Absolutisme sekularisme menghasilkan semangat intoleransi terhadap hadirnya pemikiran religius di ruang publik padahal publik umumnya masih menggunakan standard-standard moral religius dalam kehidupan sehari-harinya di ruang publik itu. Selain itu, menisbikan Tuhan dalam ruang publik memunculkan gejala menyimpang, yaitu manusia mengambil peran sebagai Tuhan lalu menghancurkan kehidupan dengan ilmu dan teknologi yang dimilikinya. Di lain pihak, absolutisme religius dalam ruang publik menghasilkan munculnya kaum fundamentalisme yang sempit dan picik yang memaksakan formalisasi norma religius dalam ruang publik. Absolutisme formalisasi religius dalam ruang publik ini adalah politisasi agama yang malah membuka peluang terjadinya delegitimai nilai-nilai moral yang inheren dalam agama. Alhasil, timbul pula hal yang sama dengan gerakan pro-sekularisme, yaitu adanya pribadi atau sekelompok orang yang berperan menggantikan Tuhan di ruang publik. Kelompok religius tertentu lalu bersikap intoleran terhadap kelompok lainnya. Lalu, mengambil peran Tuhan dan menampilkan wajah Tuhan yang intoleran dan kejam. Atas nama Tuhan, perbedaan berusaha ditumpas secara bengis. Pada titik ini, anehnya, hubungan di antara sekluarisme dan fundamentalisme sempit tampak seperti bersaudara sepupu. Bersaudara dalam rumpun keluarga yang bernama: absolutisme bin intoleransi.

Bagaimana kita mengayuh biduk sejarah di antara dua karang ini? Dalam prakteknya sekarang, alih-alih memilih satu di antara dua ekstrim tersebut di atas, kita malah sering bersikap layaknya kaum oportunis. Sekali waktu berseru kepada Tuhan, atau mengatasnamakan-Nya, terutama ketika kita terjatuh dalam kesulitan hidup atau berusaha mengejar tujuan-tujuan hidup tertentu. Di lain waktu, kita tidak segan-segan menggadaikan semua apa yang kita punyai termasuk iman kepercayaan kepada produk-produk sekuler demi mengejar kesempatan. Perilaku korup, manipulatif, hedonisme jika ada sempat, dan permisif jika tidak ditegur adalah beberapa contoh dari ekspresi sikap oportunis dimaksud. Mungkin inilah yang menjelaskan mengapa perilaku hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia sering tidak berkorelasi positif dengan perilaku religius kita. Sebagian kita diam-diam mengidap perliaku pribadi terbelah (split personality). Rajin mengunjungi seremonial keagamaan akan tetapi angka korupsi, kemiskinan, ketidak adilan, ketidakperdulian dan ketidak taatan terhadap hukum membumbung tinggi. Coba bayangkan, di tengah kesulitan masyarakat karena menghilangnya minyak tanah, membumbung tingginya harga sembako dan meningkatnya jumlah anak penderita busung lapar malah ada petugas adyaksa yang ditangkap karena menerima suap. Belum hilang kekagetan kita, ada lagi anggota DPR, yang berlagak bak selebritis, tertangkap tangan menerima suap. Mungkin inilah yang disebut sebagai dampak dari ketegangan di antara sekularisme dan iman religius. Alih-alih memilih satu di antara keduanya, kita malah memeluk erat-erat keduanya sekaligus dengan mesra. Tanpa malu. Tanpa merasa bersalah. Tragis.

Keterangan gambar (sumber: Google Image Search):
  1. Sekularisme yang menguasai dan meracuni dunia (atas);
  2. Saudara sepupunya sekularisme, yaitu absolutisme yang melarang segala sesuatu kecuali larangan itu sendiri (bawah).