sebuah tulisan lama, tahun 2005, yang membuat saya merenung pagi ini. Seberapa kayakah saya? Hal ini karena saya aharus menjawab seorang teman yang mengira saya hidup berkelimpahan dan memiliki sumberdaya tak tanpa batas. Di balik semua yang terlihat ternyata anugerah Tuhan perlahan mencukupi saya. Amin
Pornografi
Kemiskinan? So What Gitu Loh
Di bawah judul berita: Marak Penjiplakan Penelitian di NTT (Timex, 26 Juli 2005) terbaca uneg-uneg Bapak Gubernur NTT tercinta tentang gejala dalam dunia penelitian di NTT. Banyak hal yang dapat dikemonetari dari pernyataan Mo Mone Ru Ketu Pudi (sabu = baitua berambut putih) tetapi hal yang paling menarik perhatian penulis adalah pernyataan tentang PORNOGRAFI KEMISKINAN. Dalam konteks acara ketika sambutan tersebut disampaikan, dapatlah diperkirakan bahwa beliau sedang gusar. Perhatikan pilihan kata pornografi. Suatu pilihan kata yang bernuansa sangat muram. Entah mengapa beliau marah. Mungkin karena beliau merasa ada semacam dramatisasi data tentang kemiskinan di NTT. Entah pihak mana yang tega-teganya merndramatisasi kemiskinan NTT tersebut. Karena tanpa klarifikasi lebih lanjut, maka biarlah penulis menduga bahwa dramatisasi data kondisi kemiskinan di NTT terhadap data-data kemiskinan di NTT yang dihasilkan oleh peneliti-peneliti. Data tersebut kemudian dikutip oleh pengguna menurut selera masing-masing. Dugaan ini sudah barang tentu karena momentum pernyataan beliau adalah pada saat kegiatan yang berkaiatan dengan penelitian. Sebagai dugaan maka peluang benar 50% dan peluang salah 50% juga. Biarkan saja. Peluang benar akan mendekati 100% jika pernyataan di atas bersifat lengkap dan tidak menyisakan ruang bagi penafsiran-penafsiran yang bisa berkembang meliar. Apapun, Pak Gubernur kurang senang. Mungkin, banyak penelitian yang kelewatan mengekspos kemiskinan masyarakat di NTT sedemikian rupa sehingga kata NTT identik dengan kemiskinan. Rakyatnya miskin. Gubernurnya miskin. Bupatinya miskin. Walikotanya miskin. Kepala Dinas Pendidikan Nasional miskin. Murid lama dan baru miskin. Orang tua murid miskin. Pemilik Mall Flobamora miskin. Boss LSM PIAR miskin. Wartawan Timor Express miskin. Rektor Undana miskin. Anggota senat Undana miskin. Dr. Yusuf L. Henukh miskin. Rektor Universitas PGRI, Universitas Kristen Artha Wacana miskin. Eh iya, supaya adil, penulis artikel ini juga miskin. Pokoknya miskiiiinnnn. Lalu, NTT adalah akronim dari Nusa Tenggara Termiskin. Kaciaaaannn deeeh luuuu. Sampai di point ini, mungkin ada sidang pembaca yang ingin mengajukan protes, terminologi apa-apaan nih. Jadi orang kok ya suka aneh-aneh. Jawab saya: sonde boleh aneh-aneh ko?. Pak Gub sa boleh aneh kok. Mau bukti? Silakan periksa di kamus-kamus, sampe bongkok enggak bakalan ketemu dengan istilah pornografi kemiskinan. Pornografi ada artinya. Kemiskinan ada artinya. Pornografi kemiskinan?. Lantas, pertanyaannya adalah: so what gitu loh? Atau kalau meminjam ungkapan syair lagu group band anak muda Peter Pan yang kondang amat akhir-akhir ini: ada apa dengan mu. So what gitu loh adalah ungkapan aneh anak muda ibukota Jakarta, yang biasanya kemudian menyebar keseluruh penjuru Indonesia, yang kira-kira maksudnya adalah: kalau begitu mau apa lu. Sedangkan judul lagu Peter Pan kurang lebih sama maknanya dengan: akurang ini orang satu ni. Dalam konteks pernyataan Gubernur NTT, ke dua idiomatik anak muda ini diletakan sebagai berikut. Kalau penelitian membuktikan bahwa NTT miskin maka so what gitu loh. Apa sih masalahnya? Lantas, jikalau Gubernur NTT marah karena ada hasil penelitian yang demikian, dan itu dinyataan sebagai pornografi kemiskinan maka ada apa dengan mu Pak Gub? Ada apa dengan mu wahai peneliti. Dan akhirnya, ada apa dengan mu wahai kemiskinan.
Hal
pertama yang harus dipertanyakan adalah penelitian seperti apa yang membuat Pak Gub marah. Bagimana kerangka
pikir penelitian tersebut. Bagaimana perumusan dan pernyataan masalahnya.
Bagaimana hipotesis kerjanya. Bagaimana metode penelitiannya. Apa parameternya.
Bagaimanan defenisi kerja dari peubah-peubah yang diukur. Bagaimana cara
pengamatan respondennya. Sensus atau sampling. Jikalau data didapat melalui sampling maka bagaimana metoda
samplingnya. Cukupkah ukuran populasi sampling. Bagaimana pengolahan datanya dan seberapa
signifikan angka-angka hasil penelitian tersebut. Jawaban yang jelas tentang
rangkaian pertanyaan di atas akan merupakan cara menjawab yang baik terhadap
pertanyaan: so
what gitu loh dan ada
apa dengan mu tadi. Sayang sekali, dalam berita di timex tidak ada elaborasi sama
sekali tentang hal itu sehingga sidang pembaca dibiarkan sesuka hati menafsir
berita yang tersaji. Dalam tafsiran sesuka hati, biasanya dan sekaligus
jeleknya, tidak bisa dibedakan mana yang fakta dan mana yang imaji. Hal ini jelas menyesatkan. Harus selalu diingat bahwa penelitian dapat
dikerjakan oleh banya orang tetapi penelitian ilmiah yang taat asas metode
keilmuan hanya dapat dikerjakan oleh mereka yang betul-betul ahli.
---***---
Hal
berikut, adalah tentang kemiskinan itu sendiri.
Apa dan bagaimana kemiskinan itu. Suatu kata yang mudah diucapkan tetapi
ketika diukur menimbulkan perdebatan yang panjang. Mirip kata cantik. Ada cantik wajah, kebanyakan artis dan
selebritis memenuhi persyaratan ini. Ada
pula cantik hati. Nah, yang ini belum tentu.
Demikian halnya dengan miskin. Ada yang miskin harta tetapi kaya
rohani. Sebaliknya, ada orang yang kaya
harta benda tetapi miskin rohani. Penah anda mengenal kata Raskin. Iya, itu sudah, beras untuk orang miskin, Berasnya yang miskin atau orang miskin yang
perlu beras? Jika ada raskin maka apakah ada Rasya (beras untuk
orang kaya?). Sesudah membongkar semua berkaberkas koran
lama dan baru, tak kelihatan juga kata ini.
Mengapa untuk orang miskin ada berasnya sedangkan orang kaya tidak.
Jangan-jangan tagal barang beginian makanya orang malu untuk disebut miskin.
Bagaimana jika orang yang kita sebut miskin lantas makan berasnya orang kaya.
Apakah dia lantas menjadi orang kaya.
Sebaliknya, apakah orang yang makan beras untuk orang miskin berarti dia
menjadi orang miskin? Puyeng
Bosss. Kapala sakit. Sudahlah. Setop barmaen gila. Sekarang saatnya sedikit serius.
Ada pakar yang menyebutkan kemiskinan sebagai kegagalan dalam memenuhi
kebutuhan dasar. Petanyaannya adalah yang dimaksudkan dengan kebutuhan dasar
itu apa. Dalam kebanyakan pustaka lama kebutuhan dasar selalu diidentikkan
dengan sandang, papan dan pangan. Di era postmo
sekarang ini, kemiskinan seperti itu harus juga meliputi sesuatu yang
tidak bersifat ragawi. Itu sebabnya, orang tidak hanya berbicara tentang kurang
makan tetapi sebagai tolok ukur kemiskinan tetapi juga sikap moral. Alkisah,
ada dua orang peneliti, yaitu Gunawan dan Sugiyanto (2003) yang mengutip
Suharto (2002), (ini bukan mbah
Harto yang dedengkot ORBA yang jika dilihat dari duitnya
pasti tidak tergolong miskin), menggolongkan kemiskinan ke dalam 3 aras, yaitu
kemiskinan absolut, kemiskinan struktural dan kemiskinan sosial. Selanjutnya
Gunawan dan Sugiyanto mengelaborasi 3 tingkat kemiskinan tersebut ke dalam 3
kategori pengamatan kemiskinan, yaitu: kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar, kemampuan dalam
pelaksanaan peranan sosial dan kemampuan dalam menghadapi permasalah atau
tekanan ekonomi dan non-ekonomi. Khusus pada kemampuan memenuhi kebutuhan dasar
maka 3 hal harus ditinjau, yaitu pengeluaran keluarga, human capital dan security capital.
Dalam meghitung pengeluaran keluarga, kedua orang peneliti ini menggunakan
standar garis fakir miskin (GFM) yang dibuat oleh BPS, yaitu sekitar 90-an ribu
rupiah per bulan per kapita. Di bawah garis ini, orang dikatakan miskn dan di
atas GFM orang dikatakan tidak miskin.
Akan tetapi jika angka-angka tersebut diperoleh maka angka pengeluaran
responden baru memberi indikator tentang status kemiskinan absolut, khusus pada
aras pengeluaran. Human capital dan security capital belum
termasuk di dalam angka itu. Termauk di dalam kelompok human capital
antara lain, tingkat pendidikan. Termasuk security capital, antara lain, ketersediaan rumah. Di luar
hal-hal tersebut, ke dua peneliti juga berbicara tentang parameter kemampuan
pelaksanaan fungsi sosial dan daya resisten terhadap persoalan, baik yang
bersifat ekonomi maupun non-ekonomi. Ternyata, atau kata pelawak Srimulat nyatater, mengukur kemiskinan tidak sesederhana yang
dibayangkan. Rumit. Sungguh rumit. Macam-macam parameter dan variabl yang
dipakai. Lantas, data penelitian macam mana yang membuat Gubernur NTT resah dan
gelisah (kayak lagunya Obbie Messakh), lantas timbul gusar: hey, jangan ada pornografi kemiskinan di NTT.
---***---
Penulis bukan seorang poverty
specialist. Namun
demikian, ada 2 kasus yang ingin dirujuk oleh penulis untuk memberikan bukti
bahwa kemiskinan merupakan kata yang mudah terucap tetapi begitu nisbi ketika
diukur. Ketika melakukan penelitian untuk
keperluan penulisan Disertasi dalam dalam Bidang Ilmu Kehutanan penulis sangat terpaksa untuk
memahami aspek-aspek pengeluaran dan perilaku sosial masyarakat pengguna
api. Disebut terpaksa karena miskinnya pengalaman penelitian
dengan menggunakan metode-metode sosial ekonomi (sosek). Akan tetapi, apa boleh
buat, karena perintah promotor maka dikerjakan juga dengan banyak membaca dan
berdiskusi dengan kawan-kawan yang ahli dalam penelitian sosek. Ketika itu,
pertanyaan dalam perumusan masalah adalah mengapa orang membakar dalam praktek
bertani secara tradisional.. Melalui beberapa kajian kepustakaan, penulis
memutuskan untuk merumuskan hipotesis bahwa petani savana di Timor membakar
karena api merupakan bentuk substitusi tenaga kerja dan pupuk, selain karena
alasan budaya.
Belakangan, setelah melalui pengujian statistik tertentu, semua hipotesis
tersebut diterima. Akan tetapi bukan itu yang terpenting dalam kaitannya dengan
judul tulisan. Dari total 35 responden yang diamati secara sangat perlahan
selama 1 tahun lebih di dapat angka rata-rata pendapatan responden jauh di
bawah GFMnya BPS. Artinya, rata-rata petani responden di Ekateta adalah orang
miskin. Akan tetapi anehnya, orang-orang yang dikatakan miskin ini rata-rata
memiliki lebih dari 5 ekor sapi dan banyak lagi hewan ternak lainnya. Bahkan,
beberapa di antara mereka memiliki lebih dari 10 ekor sapi. Apakah mereka
miskin? Hampir semua rumah mereka
terbuat dari bahan-bahan sederhana, nyaris tanpa bahan atap seng. Dinding
terbuat dari bahan bebak.
Kebanyakan anak-anak tidak disekolahkan lagi begitu mereka menamatkan
pendidikan sekolah dasarnya. Salah seorang responden mengatakan demikian: pak, dari pada buang uang kasi sekolah anak
lebih baik kasi sekolah sapi sa. Akan tetapi rata-rata
responden tetap dapat memainkan fungsi sosial mereka, baik sebagai orang tua
dan kepala kelurga maupun sebagai anggota dan tokoh masyarakat. Selain itu,
selama dua tahun meneliti di Ekateta, tidak pernah tercatat ada orang Ekateta
yang tercekam oleh persoalan-persoalan ekonomi dan ancaman lingkungan. Tidak ada
orang yang tecatat mati karena kelaparan. Jika
lahan orang Ekateta dikategorikan dalam kelas-kelas kemampuan lahan
seperti dalam buku-buku teks, maka hampir pasti semua lahan mereka tergolong
lahan kritis. Tetapi ketika ditanyakan apakah pernah terjadi longsor besar?
Apakah pernah terjadi, rumput tidak bisa tumbuh? Apakah pernah terjadi, jagung
dan palawija tidak bisa tumbuh sama sekali?. Jawabnya pasti: tidak. Lantas,
fakta seperti ini mau dikomentari seperti apa. Apakah mereka miskin? Untuk
sebagian parameter, jawabnya hampir pasti iya. Tetapi untuk parameter lainnya,
mungkin tidak. Lantas, data macam mana yang membuat Bapak Gubenur NTT marah dan
melontarkaan ucapakan pornografi kemiskinan?
Kasus lainnya merujuk kepada pengalaman hidup sehari-hari penulis
sendiri. Penulis adalah dosen PNS golong
III. Isteri penulis, Ir. Dolly F.S. Riwu Kaho-Ballo, M.Si., adalah juga PNS bergolongan III. Pejabat eselon IV bahkan.
Coba pula perhatikan bahwa yang bersangkutan bergelar mentereng sebagai
pertanda bahwa tingkat pendidikannya sangat tinggi. Pendapatan bulanan kami,
lumaya besar. Belum ditambah rejeki di sana dan di sini. Dilihat dari total take home payment, keluarga kami hidup di atas
GFMnya BPS. Jadi, pasti keluarga kami tidak miskin, walaupun tidak dapat disebut
kaya. Akan tetapi dengan anak sebanyak 5 orang, ternyata pendapatan kami
rata-rata hanya cukup untuk mendukung biaya hidup yang memadai sampai
pertengahan bulan. Sisa bulan adalah perjuangan penuh keringat dan doa sampai
datangnya tanggal baru di bulan baru. Hari ambel gaji.
Tabungan kami kadang ada, kadang lebih besar potongan pajak dari pada
bunganya. Sebagai dosen, penulis sering mendapat kesempatan melakukan
penelitian. Bahkan di tahun 2003, pernah
terpilih sebagai salah satu peneliti muda terbaik di Undana. Kalau mengikuti
logika seorang calon rektor Undana bahwa kemampuan dosen untuk membeli motor
dam mobil bisa linear dengan kesempatan melakukan penelitian maka teori itu
tidak berlaku bagi penulis. Sebab, sebagian besar uang penelitian dihabiskan
untuk kegiatan penelitian. Boro-boro
bisa disaving. (Oh
iya, terbersit juga pertanyaan: meneliti itu kegiatan untuk mendapat ilmu atau
untuk mendapat kesempatan memiliki motor dan mobil sih?). Anak kami 5 orang,
tiga di antaranya sudah bersekolah di Universitas dan dua lainya masih di SMA.
Ketika harus membayar biaya masuk sekolah anak-anak kami, kami harus meminjam
uang. Kendaraan kami setiap hari adalah kendaraan roda dua, hasil kreditan
dengan pembayaran model PG alias potong gaji. Karena sibuk mencari makan, kami
bedua nyaris tidak dapat mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan di
kelurahan. Jangankan beraktivitas di kelurahan, mendampingi anak-anak dalam
proses belajar di rumah saja sulitnya minta ampun. Beruntung sejak tahun 2003,
penulis terpilih sebagai seorang penatua di salah satu gereja anggota GMIT
sehingga masih ada kesempatan setor
muka di lingkungan rumah. Lantas, kami ini tergolong
orang miskin atau tidak sih? Atau seperti kata Mpok Minah dalam sinetron Bajaj
Bajuri: maaf, kami ini tergolong
miskin atau tidak sih? Dalam ukuran umum hampir pasti kami tidak
miskin tetapi orang dengan tanpa rumah sendiri, punya beban utang yang harus
dibayar lewat PG (potong gaji), dan kurang beraktivitas sosial apakah pantas
disebut sebagai tidak miskin? Jadi,
kalau ada yang mengatakan kami tidak miskin, ya monggo. Biarkan saja.
Dikatakan miskin, ya memang nyatanya begitu, asal tidak korupsi. So what gitu loh. Ada
apa dengan mu boss.
Mau ditambah lagi kepusingan kita dengan terminologi miskin? Bagimana
kalau rasa malu dan harga diri dihitung juga sebagai kebutuhan dasar lantas
kedua parameter ini digolongkan sebagai tolok ukur penilaian kemiskinan. Paling
kurang, kemiskinan sosial. Lalu, bagaimana dengan para koruptor, yang mungkin
duitnya banyak tetapi tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi salah satu
kebutuhan dasar, yaitu harga diri. Bagaimana dengan orang-orang berpangkat
tinggi tetapi kelakuannya mencerminkan kekurangmampuan untuk memenuhi salah
satu kebutuhan dasar, yaitu rasa malu.
Tambahkan sendiri kasus-kasusnya oleh sidang pembaca dan kemudian
nikmati saja kepusingan anda dalam menilai miskin dan tidak miskin. So what gitu loh. Ada apa dengan mu boss.
---***---
Guna menghindari kesalah pahaman antara peneliti, penelitian, pengguna
data dan pembaca data kemiskinan, termasuk Pemda, maka beberapa hal ingin
disarankan.
1.
Gunakan parameter-parameter kemiskinan yang
tidak perlu seragaman untuk semua daerah.
Angka GFMnya BPS tidak perlu dipersalahkan. Angka seperti itu perlu
karena memang pada akhirnya harus ada satu tolok ukur sebagai angka
perbandingan. Akan tetapi untuk parameter-parameter lainnya, perlu didiskusikan
bersama. Bila perlu melibatkan masyarakat sasaran penelitian.
2.
Setelah parameter ditentukan maka hal berikut
yang harus disepakati adalah semacam angka yang disebut sebagai perbandingan
nilai penting. Dalam dunia penelitian tanaman, indeks nilai penting sering
digunakan untuk menilai mana tanaman yang betul-betul mendominasi suatu daerah
berdasarkan tampilan beberapa variabel sekaligus. Apakah karena dia banya, atau
karena dia kanopinya luas, atau karena dia sering dijumpai. Lantas, veariabel-variabel ini dibandingkan
satu dengan yang lainnya. Hasil perbandingan
yang bersifat multiarah itu baru
dijadikan dasar penentuan urutan nilai
penting tanaman. Angka semacam ini sangat perlu untuk menentukan skoring yang
pantas untuk parameter mana.
3.
Peneliti sebaiknya tidak terburu-buru
mengekspos data penelitiannya tetapi didiskusikan kembali dengan semua pihak
yang terkait. Masukkan dari suatu diskusi terbuka merupakan salah satu cara
yang baik dalam melakukan verifikasi data temuan. Terutama jika penelitian dilakukan dengan
metode penelitian kualitatif, diskusi terbuka merupakan salah satu cara untuk
melaksanakan tahap triangulasi.
4.
Kalangan pengguna data seperti pemda dan LSM
sebaiknya memahami betul bentuk dan struktur kemiskinan masyarakat lokal
sehingga tidak terjebak dalam defenisi-defenisi kemiskinan atau parameter kemiskinan persis seperti yang
ada dalam buku teks, yang mungkin menjebak pikiran karena ditulis oleh peneliti
yang tidak memahami konteks lokal..
5.
Pembaca data hasil penelitian kemiskinan,
hendaknya jangan terlampau gembira karena berpikir dengan data yang ada dapat
digunakan untuk menjatuhkan pihak
lain. Jangan pula bersikap terlalu defensif.
Artinya, data-data hasil penelitian tentang kemiskinan atau yang sejenis
jangan buru-buru dihadapi dengan semangat menolak. Pola defensif akan membuat
pembaca tertipu oleh imajinya sendiri tentang pokok permasalahan. Terlanjur menyebutkan orang sebagai miskin
padahal orang tersebut hapy-hapy saja
dalam hidupnya setiap hari adalah kekeliruan. Sebaliknya, meyakinkan diri bahwa
kita tidak miskin, padahal hidup kita berlepotan dengan utangan, makan harus
menumpang di keluarga, baju pinjam di tetangga, tidak mampu melaksanakan
fungsi-fungsi sosial kita bahkan dengan keluarga yang tidak terurus dengan
baik, juga sama menyesatkannya.
6.
Semua pihak hendaknya sadar,
sesadar-sadarnya, bahwa tidak ada penelitian yang 100% sempurna. Dalam metode-metode
perhitungan statistik selalu ada angka yang menunjukkan bias, keragaman dan
atau galat (eror), yang berasal dari sesuatu yang tidak bisa dikendalikan oleh manusia. Sebagai orang
beriman, penulis percaya bahwa dalam ukuran derajat uji alfa 0.01 atau 0.05 ada
kuasa Tuhan di sana. Jadi, peneliti jangan sombong. Pembaca jangan cepat marah.
Selalu ada ruang informasi yang harus terus dipelajari karena begitu luas dan
dalamnya ilmu pengatahuan dan dipihak lain manusia bersifat terbatas. Apakah ada manusia yang hebat tanpa batas?
---***---
Akhirnya,
penulis ingin menyampaikan sesuatu sebagai penutup. Tuhan menciptakan manusia
dalam keberagamannya. Mereka ada yang miskin dan ada yang kaya. Jadi, jangan
menjadi malu ketika kita miskin. Jangan
jadi sombong ketika kita kaya dan berkuasa.
Persoalan miskin dan tidak miskin adalah pesoalan klasik. Persoalan
peradaban. Sepanjang sejarah dunia, persoalan ini tidak pernah ada
habis-habisnya. Jangannkan Republik Indonesia yahng baru berumur 60 tahuh
ini. Bangsa Amerika Serikat yang
ekonominya nomor wahid di dunia sajapun masih juga bergelut dengan persoalan
ini. Adik saya yang tinggal di Amerika
Serikat berceritera bahwa hidup bertiga bersama seorang isteri dan seorang anak
dengan honor isterinya sebagai peneliti 45.000 USD terasa sangat menyesakkan
dada. Oleh karena itu, dia terpaksa harus juiga aktif mencari-cari pekerjan
tambahan. Meski demikian, ceritera adik
saya itu, hampir di setiap kota-kota di Amerika ada saja orang-orang yang
hidupnya menggelandang sambil setiap 1 minggu sekali menerima tunjangan sosial
dari negara. Nah, lu. Tetapi coba perhatikan, bahwa dengan memberikan tunjangan
sosial bagi orang-orang yang jobless dan homeless seperti itu bukankah itu
berarti bahwa pemerintah AS mengakui adanya kemiskinan?. Lantas, mengapa kita
yang baru berusia 60 tahun sebagai bangsa dan mash terus dalam proses membangun
harus terlalu malu kalau dikatakan miskin. Betul tidak?
Bagi
saya, soal miskin dan tidak miskin adalah nisbi. Relatif. Mengapa demikian,
karena miskin dan tidak miskin sangat tergantung dari parameter apa yang
digunakan. Akan tetapi di luar sifat nisbinya itu ada satu hal yang pasti dalam
persoalan ini, yaitu si kaya dan si miskin datang dari asal yang sama dan akan
kembali kehadapan Pengadil yang sama pada Hari Penghakiman Terakhir. Si kaya dan si miskin lahir sama telanjang
dan ketika berpulang akan
hilang pula segala atribut. Tinggal tulang belulang. Ketika kita menyadari
betul bahwa Tuhan menghendaki kita hidup saling menolong dalam semangat cinta kasih
kepada sesama sebagai bukti cinta kita
pada Tuhan maka kaya dan miskin hanya sebutan.
Lebih penting dari itu adalah apa yang kamu buat sebagai orang kaya dan
apa yang kamu buat sebagai orang miskin. Kata buat bermakna bekerja. Oleh
karena itu, si miskin dan si tidak miskin sama-sama harus terus bekerja. Dalam Bible jelas tertulis: yang tidak bekerja, jangan makan. So, for all my friends, kaya
dan miskin tidak perlu didramatisasi. Tidak perlu pula di politisasi. Bekerja
saja terus secara jujur, bersih, tidak korup, produktif sembari rajin berdoa.
Mudah-mudahan anda setuju dengan saya.
Jika tidak pun, maka so
what gitu loh. Ada apa dengan mu.
Pinjam kata SBY, yang presiden RI itu, hey I don’t care.
1 komentar:
Bayar Pakai Dengan Pulsa AXIS XL TELKOMSEL
Anda Dapat Bermain Setiap Hari dan Selalu Menang Bersama Poker Vit
Capsa Susun, Bandar Poker,QQ Online, Adu Q, dan Bandar Q
Situs Situs Tersedia bebebagai jenis Permainan games online lain
Sabung Ayam S1288, CF88, SV388, Sportsbook, Casino Online,
Togel Online, Bola Tangkas Slots Games, Tembak Ikan, Casino
Terima semua BANK Nasional dan Daerah, OVO GOPAY
Whatsapp : 0812-222-2996
POKERVITA
Posting Komentar