Rabu, 15 Agustus 2012

from savu with love: to indonesia

Dear Sahabat Blogger,

Agustus datang kembali dan itu berarti, bagi orang Indonesia, adalah bulannya Hari Kemerdekaan Republik Indonesia terkasih. Kendati banyak diperbincangkan secara kurang baik (kerajaan korupsi-lah, negara gagal-lah, negara-nya para cicak dan buaya-lah, negaranya para preman ber-ayat-lah serta masih banyak sebutan sinis lainnya) tapi toh di negara inilah saya dilahirkan. Sampai hari ini masih menjadi warga negara yang sah - dan akan terus begitu, dan di sinilah saya akan menua dan lalu menghilang. Mau kemana? Mau bagaimana lagi? Inilah negara saya (dan anda juga). sudah garis tangan. So, terima saja dengan penuh syukur. Karena itu pada tempat pertama ini saya ingin mengucapkan DIRGAHAYU INDONESIA. JAYALAH KAMU SELAMANYA. TUHAN MEMBERKATI. Tetapi bagaimana memberikan makna kepada Hari Raya nasional ini supaya dia tidak berlalu begitu saja tanpa kesan? Ijinkanlah saya untuk menceriterakan Indonesia dari perspektif negeri liliput di bagian selatan Indonesia, di antara samudera raya Pasifik dan Hindia, tempat nenek moyang dari garis ayah saya berasal: Sabu.

Negeri Sabu, biar kecil, tetapi adalah bagian sah dari NKRI. Sabu adalah salah satu kabupaten di propinsi NTT. Ada apa dengan suku bangsa ini sehingga tentang Indonesia perlu diberikan perspektif Sabu? Apa hebatnya? Menurut saya tidak ada yang terlalu hebat. Biasa saja. Apalagi ukuran pulaunya juga tergolong kecil saja. Lalu apa? Ini jawaban saya: Indonesia hari ini tidak lengkap jika 1 saja pulau di antara ratusan ribu buah pulaunya hilang. Dengan perkataan lain, tanpa Sabu maka Indonesia yang ada bukanlah Indonesia yang seperti hari ini. Titik. Anda setuju atau tidak, saya memaksa untuk setuju karena aturan silogismenya memang sudah seperti itu. Lha, apa itu silogisme? Gak urusan, pokoknya saya sudah bilang begitu ya begitulah .... ha ha ha ha.....Lalu, apa prespektif Sabu yang saya sebut-sebutkan tadi yang dapat digunakan untuk meneropong Indonesia hari ini? Pada bagian pertama ini adalah yang berkaitan dengan asal-usul Orang Sabu.

Dari mana asal-usul orang Sabu? Saya mengutuip dari tulisan Riwu Kaho yang lebih senior dari saya, yaitu Robert Riwu Kaho (almarhum ayahanda) dalam bukunya "Orang sabu dan Budayanya" (2005). Pada pengetahuan tradisi yang umum dipercaya di Sabu, nenek moyang Oran Sabu berasal dari suatu negeri di bagian barat dari Pulau Sabu. Entah dimana pastinya karena tabu bagi orang Sabu untuk menyebutkan daerah asal nenek moyang mereka. Namun demikian, jika merujuk kepada kepercayaan bahwa leluhur I orang sabu adalah seseorang yang bernama Kika Ga yang berasal dari ufuk barat Pulau Sabu, yaitu negeri yang bernama Jawa Ae (India Selatan) maka asal usul dimaksud lebih bisa diperkirakan. Konon, Kika Ga berasal dari wilayah Hurat, Kerajaan Gujarat, India bagian selatan. Jika kita membaca di peta India bagian selatan maka kita akan bertemu dengan kota Surat yang terletak di sebelah utara kota Bombay di teluk Cambay. Tanpa bermaksud untuk mengatakan bahwa identifikasi ini 100% pasti begitu tetapi ijinkan saya mengajukan 1 fakta lain yang diungkapkan juga oleh Ayahanda Robert.

Di katakan oleh para tetua di Pulau Sabu, yang adalah folklore turun temurun, bahwa ciri-ciri fisik orang Sabu yang mula-mula adalah ba'bae kae, meddi kuri, keporo rukettu, bella dillu, bella ka'bajela, nga bella ta'be yang artinya berukuran tubuh pendek, berkulit hitam, rambut keriting, telinga lebar, telapak kaki lebar dan juga berdahi lebar. Jika benar demikian maka terdapat paradoks di antara kedua pendapat di atas. Ciri-ciri fisik yang disebut belakangan ini bukan merupakan gambaran orang-orang yang berasal dari India yang umumnya tinggi besar melainkan merupakan gambaran orang dari manusia awal Indonesia seperti Meganthropus atau Pithecanthropus atau Homo sapiens sapiens (manusia moderen). Apakah kelompok ini berasal dari Afrika selatan (out of Africa) atau asli Indonesia (orang Wajak, Trinil dan Solo) atau bahkan asli manusia purba di sabu kita tidak tahu pasti tetapi jika benar bahwa tetua di Sabu memastikan bahwa orang awal di Sabu berciri fisik seperti di atas lalu 2 opsi tentang orang Sabu asli adalah apakah manusia purba ataukah pendatang Homo sapiens sapiens yang datang dari daerah lain maka mereka pasti tidak sekelompok dengan Kika Ga yang beriasal dari India. Apapun juga, dalam ceritera para tetua di Sabu, penduduk asli Pulau Sabu ini menghilang ketika datang orang-orang melayu yang berasal dari Indochina terus ke Malaka dan terus menelusuri Jawa, Bali, NTB, Ende, Flores Timur dan Timor.

Pergerakan migrasi orang-orang Melayu yang berasal dari Indochina memasuki daerah-daerah di Nusantara (Olson, 1996 dan Dahler, 2000) sebenarnya merupakan gambaran pergerakan gelombang II migrasi bangsa-bangsa manusia yang bersebaran di Nusantara lalu tiba di Pulau Sabu. Ditulis oleh Robert "Ayahanda" Riwu Kaho bahwa sekitar 500 tahun SM datanglah orang-orang yang berasal dari daerah Yunan dan wilayah Indochina, yang berhenti sementara di daerah Malaka dengan membawa Budaya Dongson yang mendominasi Indonesia sampai hari ini. Kelmpok ini sangat dominan di Nusantara sekarang yang berasal dari ras Mongoloid. Donselaar (1872) dan beberapa penulis yang jauh lebih ke belakang seperti Bere Talo yang mengutip Lubis menguraikan bahwa sekelompok Melayu (Hindia Muka) berlayar dari negeri Cina putih Malaka (Sina Mutin Malaka) mengarungi laut Jawa menyinggahi P. Ninobe, Kusu, Kae, Api, LoE dan Larantuka Baboe. Dari persinggahan terakhir ini sebagian kelompok terus berlayar sampai ke Pulau Timor di satu tempat yang bernama Halileon Lumamar di muara Sungai Loes, Timor Timur. Sebagian tinggal dan mengisi Pulau Timor ke arah Barat dan sebagian terus berlayar menuju Rote dan menetap di Thie. Dari Thie, sebagian lagi berlayar terus dan tiba di Pulau Sabu. Kisah berpisahnya orang-orang Timor, Thie dan Sabu di Pulau Timor bagian Timur ini menghasilkan kisah legendaris tentang Belu Mau, Thie Mau dan Sabu Mau yang masih diyakin hingga hari ini. Orang-orang Melayu ini memiliki keterampuilan bertani yang memadai dan tanda-tanda ini begitu kuat melekat di orang-oran Sabu sampai hari ini. Dipercaya bahwa sebagain terbesar orang Sabu sekarang adalah keturunan mereka yang berasal dari gelombang migrasi ke II. Jika ini benar demikian maka kelompok yang berperawakan sedang ini (kebanyak orang Sabu berperawakan seperti ini) pastilah bukan sekelompok dengan Kika Ga yang, sekali lagi konon, berasal dari India.

Lalu dari mana datangnya Kika Ga? Seperti yang telah dikatakan tadi bahwa Kika Ga diyakini berasal dari Gujarat, India selatan. Oleh karena itu, kemungkinan besar Kika Ga dan kelompoknya (sebab hampir tidak mungkin terjadi pelayaran seorang diri dalam persebaran manusia) berasal dari gelombang migrasui ke III yang memasuki Nusantara dan tiba di Sabu. Berawal dari pertikaian antar kerajaan di India antara abad 2 dan 3 Masehi amaka banyak kelompok di bagian Selatan yang ditaklukan oleh kerajaan besar di India Utara terpaksa berlayar meninggalakan negeri mereka menuju tempat baru. Orang-orang Keling dengan perawakan yang besar dan berhidung mancung ini dalam pelayarannya singgah diberbagai tempat di Nusantara dan salah satunya tiba dan menetap di Sabu. Akan tetapi perlu diingat bahwa kedatanagn mereka tidaklah tiba di pulau yang kosong melainkan sudah berpenduduk. Dapat dibayangkan bahwa kemungkinan besar penduduk Sabu ketika itu adalah keturunan dari mereka yang datang pada gelombang migrasi II (siapa tahu bercampur pula dengan gelombang migrasi I atau orang asli Sabu - Sabunensis). Lalu mengapa kendati para tetua Sabu mengakui adanya beberapa gelombang migrasi orang-orang ke Sabu tetapi yang diakui sebagai leluhur orang Sabu adalah Kika Ga yang berasal dari gelombang ke III migrasi?

Dalam hipotesis saya, pengakuan tentang Kika Ga sebagai leluhur orang Sabu terutama disebabkan faktor bahwa dia dan kelompoknyalah yang pada akhirnya berkuasa atas teritori Sabu. Saya menduga demikian karena orang-orang India Selatan sudah memiliki budaya kerajaan, yaitu entitas yang tersusun atas kekuasaan. Pada lapisan paling atas struktur sosial kerajaan adalah "raja". Seperti biasa, pemenang adalah penulis sejarah atau sejarah ditentukan oleh pemenang. Dugaan ini semakin kuat mengingat latar belakang orang-orang India selatan itu keluar dari negeri mereka lalu tiba di Sabu, yaitu peperangan. Setibanya di Sabu, ada kemungkinan mereka menaklukan para penduduk Sabu yang datang dari gelombang migrasi sebelumnya, entah lewat perang atau negosiasi. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa para pendatang di sabu yang berasal daro gelombang migrasi II umumnya berbudaya petani dan hidup tanpa struktur sosial yang tersusun atas derajat kekuasaaan teritori kecuali, mungkin, pemukiman dan ladang. Di kalangan tetua di Sabu sering beredar ceritera turun temurun tentang watak pemberani leluhur mereka yang merupakan ciri khas para panglima perang atau paling kurang serdadu tentara. Hal ini merupakan verifikasi terhadap dugaan bahwa paling kurang penduduk yang berasal dari migrasi II rela dipimpin oleh mereka yang lebih kuat dan terstruktur yang berasal dari India Selatan. Sampai hari ini mitos tentang elite pula Sabu yang selalu dikaitkan dengan daya kesaktian dan kedigdayaan bukan merupakan hal aneh sebagai simbol kepemimpinan dan kekuasaan. Saya tidak bisa memastikan bahwa hipotesis saya ini benar tetapi demikianlah yang saya ajukan.

Sampai di sini, saya ingin menghentikan ceritera dan dugaan tentang kisah perjalanan berbagai-bagai gelombang para leluhur orang Sabu yang ada di Pulau Sabu. Saya ingin membuat perspektif dari kisah saya di atas. Terdapat paling kurang 3 pelajaran yang bisa saya petik dari kisah-kisah di atas, yaitu:
  1. Klaim sebagai orang asli dan tidak asli di Sabu dan juga di Nusantara sebenarnya sangat relatif. Karena itu, kesenangan melakukan klaim bahwa Sabu atau Indonesia adalah milik orang asli atau anak daerah setempat kurang patut. Kita semua adalah pendatang, minimal adalah pendatang yang "dikirim Tuhan dari Surga" lewat aneka rupa kemungkinan hukum biologis, sejarah dan lain sebagainya. Karena itu, aforisme bahwa Presiden harus orang asli atau Gubernur dan Bupati harus anak daerah adalah melawan sejarah. Jas merah kata Bung Karno sang proklamator NKRI.
  2. Namun demikian, kita harus maklum jika klaim-klaim seperti itu sangat mungkin terjadi manakala "realm"-nya adalah elit. Sudah dari sono-nya elite terbiasa "membajak" fakta. Maka, kendati menjengkelkan, kita terpaksa harus memahami klaim seperti yang dilakukan oleh mister Rhoma Irama tentang Gubenur DKI Jakarta. Tetapi harap dicatat bahwa memahami tidak identik dengan membenarkan tetapi belajar memahami adalah pelajarn kedua. Selanjutnya, pelajaran ke tiga yang saya petik adalah ini:
  3. Sebenarnya semua yang dikisahkan di atas adalah hipotesis di atas aneka ragam probabilita yang sebagian kebenarannya masih tersembunyi dan harus terus menerus dikaji sampai akhirnya mendekati kebenaran. Apa pelajaran ke tiga itu? belajar.
Singkatnya, Sabu dan Indonesia adalah milik kita semua, asli maupun tidak asli. Mayoritas ataupun minoritas. Indonesia adalah milik beragam-ragam kita semua yang adalah satu bangsa satu negara satu Ibu Pertiwi. Bhineka Tunggal Ika. Dalam sintesa hidup berkeragaman bersama sudah pasti akan ada timbul aneka problem. Mana ada hidup tanpa problema? Cara mengatasi problema bukan dengan bertengkar, berkelahi atau tawuran barbar melainkan belajar saling menerima. Filsafat manusia mengajarkan bahwa "I'm called to realized my self in the world, but for you". Saya berarti jika itu terkait anda. Filsafat Orang Sabu mengajarkan bahwa "ie tallo wewini do me mu'de pa dara jarru" yang berarti "jika banyak sahabatmu maka hidupmu pasti lebih mudah". Sahabat Indonesia, tentang apa semua ini? CINTA. Teruslah berlajar saling mengasihi agar hidup berkebangsaan makin baik, hari demi hari. DIRGAHAYU INDONESIA. MERDEKA.

Nyanyian TANAH MERDEKA -Leo Kristi


Tabe Tua Tabe Puan

45 komentar:

mikerk mengatakan...

Nyanyian Tanah Merdeka
Seperti satu meriam kala meledak
Seribu bedil adakah berarti
Kalau laras laras sudah berbalik
Apalagi kau tunggu saudara
Ayo nyalakan api hatimu
Seribu letupan pecah suara
Sambut dengan satu kata “ Merdeka ! “

Merah putih mawar melati
Merah putih bara hati
Merah putuh mawar hati
Merah putih setiap hati

Bunga-bunga berguguran
Di sana di bawah panji
Tanah airku tanah merdeka

Bunga-bunga berguguran
Di sana di bawah panji
Tanah airku tanah merdeka

Lirik dan lagu oleh Leo Kristi

mikerk mengatakan...

Dear All,

Maaf posting ini belum diedit. Semoag tidak terlalu menganggu. GBU

Anonim mengatakan...

su rindu dengan si bos punya tulisan.......baca dolo dan asyik jadi yang pertama baca (John)

Anonim mengatakan...

tapi lagu dari leo kristi easyik sayang tidak ada videonya (John)

Anonim mengatakan...

tapi lagu dari leo kristi asyik sayang tidak ada videonya (John)

Anonim mengatakan...

@ A'a Tana Makati,

Terma kasih banyal posting ini yang sangat mengangkat martabat dan falsafah hidup orang Sabu. Biar kecil tetapi dia punya harga diri. Hal ini terus diajarkan oleh Bapa Tana kita Robo Robert Riwu Kaho almarhum. Teruslah berjunag untuk Indonesia sebagai anak Sabu. Tuhan Yesus memberkati. MERDEKA (Savunesse)

Anonim mengatakan...

Pepatah mengatakan, “Gajah mati meninggalkan gading, manusia berpulang meninggalkan nama baik”. Sejumlah tokoh asal Sabu Raijua menghayati benar kearifan warisan leluhur tersebut. Siapa tidak kenal mendiang El Tari, almarhum Piet A. Tallo, Herewilla, Robert Riwu Kaho, Frans Likadja dan sekian banyak figur publik asal Sabu Raijua?

Anonim mengatakan...

Mereka telah mengharumkan nama di tanah Flobamora, bahkan di seantero negeri ini. Bukan oleh kekayaan yang dimiliki. Bukan pula karena nama buruk. Para pemimpin asal Sabu Raijua ini disegani selama hidup dan dikenang setelah tiada justru karena harum semerbak buah bakti mereka untuk rakyat. Mereka ada tokoh yang hidupnya diabdikan untuk negeri Indonesia tercinta. Jasa mereka dikenang dan banyak yang ingin meniru jalan perjuangan mereka supaya SABU dan INDONESIA makin jaya (Savunesse)

Anonim mengatakan...

Kultur orang Sabu itu pekerja. Tetapi bukan asal kerja. Mereka bekerja dengan totalitas tinggi, etos prima, santun dan jujur.

Totalitas kerja itu terbukti nyata dari fakta banyaknya orang Sabu sukses di tanah rantau. Etos mereka prima sehingga mudah dipercaya. Mereka juga santun, terbukti tidak suka banyak bicara menjelek-jelekkan orang lain. Dan jujur sehingga sangat mudah mendapat kemudahan di mana pun mereka berada. HIDUP SABU HIDUP INDONESIA (Savunesse)

Anonim mengatakan...

MENYIMAK kondisi Indonesia akhir-akhir ini: Papua bergolak, kekerasan komunal meningkat, korupsi kian merajalela, kita berani bertaruh, bahwa Indonesia tidak sekadar butuh seorang presiden. Indonesia juga membutuhkan seorang pelayan.

Indonesia tak pernah kekurangan stok presiden (baik tua maupun muda). Nama-nama yang berkibar di sejumlah lembaga survei, semua layak dan punya kapasitas menjadi calon presiden. Tapi, rasa-rasanya belum ada di antara tokoh-tokoh tersebut pantas menjadi pelayan rakyat Indonesia.

Pascakemerdekaan, masyarakat Indonesia terus mencari sosok pelayan, tapi yang dicari itu tak pernah benar-benar ditemukan. Sebenarnya kita pernah punya Soekarno dan Soeharto. Tapi, keduanya tersesat di rimba kekuasaan (Taufik)

Anonim mengatakan...


Pascareformasi, kita pernah punya pengalaman dipimpin BJ Habibie tapi minim legitimasi; Gus Dur yang kelebihan legitimasi namun royal memberikan pernyataan; Megawati presiden perempuan yang mewakili kelembutan, namun justru bertindak keras ketika berhadapan dengan Aceh dan Papua; selanjutnya kita dipimpin presiden militer tapi peragu, tak bisa tegas, kecuali hanya mengeluh dan memuntahkan air mata. Padahal, mengeluh dan menangis bukan solusi menyelesaikan persoalan bangsa: korupsi merajalela, kekerasan komunal, musibah yang tiada henti, serta tabiat memperkaya diri para elite negeri.

Anonim mengatakan...

Survei terbaru Soegeng Sarjadi Syndicate yang dirilis awal Juni lalu memperlihatkan nama Prabowo Subianto, Megawati, Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, Surya Paloh dan Wiranto, potensial menjadi calon presiden. Nama-nama tersebut masih stok lama, dan beberapa di antaranya tokoh karena rekayasa media.

Mereka adalah sosok populis, bukan lahir akibat proses dialektika dari bawah. Bukan lahir dari akar, dan mampu menyerap aspirasi masyarakat secara langsung. Mereka tipikal pemimpin yang cocok untuk beberapa daerah, tapi belum tentu diterima seluruh rakyat Indonesia.

Meski rakyat kita punya ingatan pendek, namun mereka mengenali sosok dalam survei tersebut. Sebagian dari sosok ini masuk kategori persona nongrata-orang yang tidak disukai. Mereka memiliki rekam-jejak buruk sebelumnya. Di antaranya pernah terlibat penculikan aktivis 1998; pernah memberlakukan Darurat Militer di Aceh dan operasi militer di Papua; lumpur Lapindo; berkedok topeng restorasi; dan penembakan mahasiswa Trisakti.

Anonim mengatakan...

Negeri ini begitu berselemak kasus dan persoalan, sehingga membutuhkan figur yang minim masalah. Figur yang bisa diterima semua golongan, cocok untuk semua daerah dan punya solusi atas masalah bangsa. Kita butuh orang-orang ‘pungo’ (bahasa Aceh, pungo: gila) yang mampu menarik negeri ini dari lumpur masalah.

Kita butuh sosok pemimpin inspiratif dan instuitif. Pemimpin yang tak pernah kering dengan ide-ide brilian serta selalu mengetahui persoalan di masyarakat dan tahu cara menyelesaikannya. Pemimpin inspiratif dan instuitif ini penting untuk menjawab kebutuhan bangsa yang mulai kehilangan daya kreatif dan jadi pemalas.

Pemimpin instuitif tak hanya menerima laporan dari bawahan, tapi mampu mendeteksi masalah-masalah bangsa tanpa harus diberitahu lebih dulu. Ini tidak mudah, karena untuk menjadi pemimpin seperti ini dia harus berkutat dengan masyarakat dalam rentang waktu yang lama: bukan sosok karbitan dan muncul ketika musim Pemilu saja.

Anonim mengatakan...

Kita pernah punya presiden hebat seperti Soekarno dan kuat lewat sosok Soeharto. Namun, keduanya tersesat di rimba kekuasaan-mabuk kuasa. Mereka membelokkan tujuan dan filosofi bernegara, yang kemudian terulang kembali di tangan presiden sekarang.

Tamsil nasib negeri ini seperti orang gali sumur. Orang menggali sumur untuk memenuhi kebutuhan air. Tapi, di tengah proses penggalian si penggali menemukan harta karun lalu terlena dengan temuan itu. Sehingga lupa pada tujuan yang sebenarnya: air.

Penggali sumur negeri ini (baca: pemimpin) juga demikian. Awalnya bertekad mewujudkan Indonesia jadi Negara adil dan makmur. Namun, di tengah jalan misi berbelok: mementingkan memperkaya diri dan kelompok. Mereka menjadi penjarah dan penadah!

Anonim mengatakan...

Padahal, yang kita butuhkan adalah ‘penggali sumur’ yang benar-benar mampu mengobati dahaga rakyat, menyediakan air untuk kehidupan. Namun kita jadi pesimis, karena ambisi menjadi pemimpin di Negara kita tak pernah dilandasi semangat melayani, melainkan untuk dilayani masyarakat.

Indonesia adalah rumah besar yang dihuni beragam suku bangsa: ada yang bandel, nakal, dan keras kepala; ada yang lembut, gemulai dan patuh. Pemimpin di sini harus bisa berdialog dengan si bandel, bisa menginspirasi si lembut dan patuh. Artinya, kita butuh pemimpin yang bisa berdialog dengan orang Papua, Aceh, dan diterima orang Ambon, serta bisa bercanda dengan orang Batak. Dia pun memahami budaya Bali, Dayak serta akrab dengan orang Jawa dan Sunda.

Sosok demikian tidak lahir saat dekat musim Pemilu saja. Marcus Tullius Cicero seperti digambarkan Robert Harris dalam novel Imperium (2008) butuh beberapa tahun bekerja untuk menjadi Konsul Roma. Sebagai pengacara dan ahli retorika, Dia menghabiskan banyak waktu dengan membela masyarakat kecil, bergaul dan hafal nama-nama rakyat yang akan memilihnya.

Anonim mengatakan...

Karenanya, seorang pemimpin haruslah beranjak dari bawah. Bukan dari kalangan elite yang “sok” paham persoalan masyarakat. Dia mestilah orang yang selalu ingin dipercayakan oleh rakyat untuk mendengarkan cerita-cerita dan persoalan mereka. Pemimpin yang tak membiarkan rakyat berkutat sendirian dengan kegetiran hidup, melainkan selalu jadi pelindung mereka.

Dia selalu menyempatkan diri mengunjungi desa-desa terpencil, tertinggal, terisolir, terpinggirkan, terbelakang, serta tinggal di sana, mengobrol dengan masyarakat di warung-warung kopi, balai desa, atau pos jaga. Sebab, dia akan tahu masalah utama dialami rakyatnya.

Jika ingin mengubah Indonesia, saatnya kita mencari pelayan (disuruh atau tidak) untuk melayani dan memikirkan rakyat, dari Sabang sampai Merauke. Dan 2014 akan menjadi tahun pertaruhan; Apakah kita bisa memiliki pemimpin sekaligus seorang pelayan rakyat?

Merdeka, salam dari NAD (Taufik)

Anonim mengatakan...

@ Taufik,

Mantap sekali. Slam dari Savu (Savunesse)

mikerk mengatakan...

Dear All,

saya baru membuat beberapa editing yang perlu. Semoga lebih nyaman dibaca. Terima kasih yang sudah berkungjung dan berkomentar. GBU

mikerk mengatakan...

@ Savunesse, memang banyak sudah teladan dari pendahulu kita. Tugas kita adalah melanjutlkan perjuangan mereka dengan lebih baik. Merdeka

mikerk mengatakan...

@ Bung Taufik,

Saya terkesima dengan ulasan anda. Luar biasa. Tengkyiu, Salam dari Kupang. GBU

Anonim mengatakan...

SEANDAINYA YANG MEMBACA TULISAN INI ADALAH PARA ELIT KITA......MERDEKA BUNG MIKE.....(Yuyun)

Anonim mengatakan...

@ BM,

Posting yang bagus di hari kemerdekaan. Indonesia hari ini adalah Indonesia yang dibajak oleh para elit baik yang ada di parpol maupun yang berada dalam kelompok-kelompok keagaam yang berubah menjadi centeng jalanan. Indonesia hari ini adalah Indonesia yang mengalami set back sejarah tanpa kemauan yg sungguh-sungguh dari elite, mulai dari presiden untuk mengubahnya (Ghentenx)

Anonim mengatakan...

Para elite membangun sistem politik yang personal atau relasi politik yang berdasarkan hubungan personal di partai. Prinsipnya adalah "Semakin dekat secara personal semakin berkuasa". Partai-partai di Indonesia itu dikuasai segelintir elite yang hanya berorientasi meraih kemenangan dalam pemilu. Kondisi tersebut juga diperburuk oleh watak para elite politik yang mengedepankan figur dan selanjutnya (para elite) membuat partai menjadi semacam oligarki. Inilha kacaunya Indonesia yang sialnya, mengutip BM, ternyata memiliki akar sejarah yang amat panjang di Nusantara ini (Ghentenx)

Anonim mengatakan...

BTW, mohon maaf lahir dan batin bagi BM. Keep on posting bro'. Salam van Ngayogjokatrohadiningrat(Ghentenx)

Anonim mengatakan...

@ BM,

mantap kali ni...aku suka posting ini. Ia sajalah bahwa Indonesia tersusun oleh ratusan atau ribuan budaya seperti yang ditulis BM, antara lain dari Pulau leluhurnya BM, Savu (yang bener savu atau sabu sih?????. Semua kita bhineka tunggal ika membentuk indonesia raya. Ia gak Bung? (Iwan)

Anonim mengatakan...

Hal lain yang menarik hati saya adalah frasa "pemenang menulis ejarah". Temen saya Ragil, anak NU, pernah menulis begini dalam forum Gus Dur....(ikuti ya BM...)

Anonim mengatakan...

Pemenang menulis sejarah untuk membenarkan semua tindakannya, sekaligus menyalahkan semua tindakan kaum yang dikalahkan. Mengutip Adolf Hitler: “Kebenaran adalah kebohongan yang diualng-ulang 1000 kali”. Lalu di Jaman kini praktek model ini terus berlanjut secara diam-diam oleh mereka yang merasa menjadi pemenang. Bila perlu sejarah sejak jaman dinosaurus diutak-atik agar kian membenarkan versi kaum pemenang. Tak heran bila peradaban manusia , ada yang mengatakan, dibangun di atas lapisan-lapisan kebohongan sejarah selama ribuan tahun. Untuk apa….? Anda tau sendiri jawabnya.

Anonim mengatakan...

Jadi ingat saya di jaman Orde baru. Wow, sejarah tidak lain adalah proyek fitnah terbesar sepanjang sejarah bangsa Indonesia yang malang ini. Pahlawan-pahlawan sejati dinistikan, pahlawan gadungan diangkat ke Taman Makam Pahlawan. Pantaslah bila sekarang terpuruk sebagai bagian dari bangsa yang rela dijejali dongeng full bohong dari penguasa orde Baru dan sebagian kebohongan masih dilestarikan.

Anonim mengatakan...

Contoh yang paling mengerikan adalah pembantaian pasca peristiwa G-30S/PKI pada paruh 1960an. Menurut Amnesti Internasional lebih dari 1,2 juta orang tewas sia-sia. Sedangkan menurut Pangkopkamtib Soedomo sekitar 600 ribu jiwa saja. Apapun alasannya pembantaian jiwa anak bangsa tanpa pengadilan adalah perbuatan sangat biadab. Apalagi ratusan ribu jiwa. Celakanya lagi tidak ada yang mengaku bertanggung jawab. Setau saya cuma mantan Presiden Gus Dur yang meminta maaf kepada kaum komunis atas peristiwa yang sangat memalukan tersebut.

Anonim mengatakan...

Di sinilah saya mengagumi kejujuran seorang Gus Dur meskipun kejujurannya berbuah caci-maki dari saudara-saudara seiman. Lucunya, orang-orang yang mencaci sikap gentlement Gus Dur justru datang dari kalangan yang selalu bawa ayat-ayat agama dan berusaha tampil di depan membentengi Rasul dan Allah dari segala macam bentuk pelecehan. Disenggol dikit ngamuk. Disentil dikit mendelik.

Anonim mengatakan...

Saya geleng-geleng kepala. Jadi agamanya untuk apa yach kalau tidak ada kejujuran? Lha wong nabi mengutamakan budi pekerti luhur dengan beri tauladan yang sip: jujur, amanah, cerdas, berani menyampaikan. Eh, rupanya sampai sekarang yang diutamakan cuma pakaian dan kulit luar. Plus pamer ibadah. Plus pamer kesalehan. Plus pamer ayat-ayat. Tapi kejujurannya di mana???

Anonim mengatakan...

Dan ada yang menggelikan soal dolanan sejarah. Masih banyak yang mengacu kepada kitab suci agama untuk dijadikan fakta sejarah. Ditambah lagi bodohnya dengan monopoli tafsir dari kalangan tertentu yang diberi otoritas melakukan tafsir. Jadinya? Mudah ditebak: akal-akalan doang. Percuma sekolah tinggi-tinggi bila sejarah koq bukan dari hasil penelitian ilmiah. Sekali lagi: Hey orang-orang beriman, Kejujurannya di mana??? Cape deeeeh….!

Anonim mengatakan...

Ungkapan si Ragil di atas memang tidak ilmiah-ilmiah banget bahkan cenderung sarkastik. Tapi substansinya bener banget. Persis seperti kata Hitler bahwa kebenaran adalah kebohongan yang diulang-ulang 1000 kali. lantas siapa yang bernai berbohong sampe segitu banyak? jawabnya tidak lain dari para elite. SALAM KEMERDEKAN MOHON MAAF LAHIR BATIN (Iwan)

Anonim mengatakan...

Oh ia BM, aku suka banget statusmu di FB tentang hari raya idul fitri di kelompok EGAF. Asik banget. Juga statusmu tentang pulau Savu. Foto dna puisinya luar biasa. GBU (Iwan)

mikerk mengatakan...

@ Bung Iwan, ya memang seperti itu yang saya maksudkan .... nice komentar, thanx sudah berkunjung, GBU

Anonim mengatakan...

@ BM,

kalo liat foto-foto Sabu di FB-nya BM wah, ternyata Sabu itu indah. Itu karunia Tuhan yang harus dikelola dengan baik. Hidup Sabu Hidup Indonesia, proficiat BM. GBU (Marten)

Anonim mengatakan...

@ Bigmike,

Verry smart postings, nice blog. Keep on posting bro...(Dude)

Anonim mengatakan...

Sabu atau rote titik terselatan Indonesia (Wiliam)

Anonim mengatakan...

Rote titik terselatan tetapi Pulau Dana, Sabu Raijua juga merupakan salah satu di antara 5 pulau terdepan Indonesia

Anonim mengatakan...

sori (savunesse)

Anonim mengatakan...

di tanah merdeka ini....merdeka?????...kita belum merdeka..ada penjajahan informasi dan aliran kapital oleh negara barat dan china....ada penjajahan ajaran yang datang dari timur tengah...antek-enateknyapun banyak...siapa yang merdeka? (Essien JK)

Anonim mengatakan...

btw, very smart blog....harap diteruskan.....(Essien, JK)

rental mobil murah mengatakan...

merdeka buat bangsa indonesia..

iklan baris gratis mengatakan...

tambah semangat biasanya di hari kemerdekaan. :D

mikerk mengatakan...

terima kaish untuk semua sahabat yang sudah berkunjung dan/atau memberi komentar. GBU