
The Times They Are A-Changin' - Bob Dylan
Tabe Tuan Tabe Puan
ku suka menuturkan ceritera tentang Pencipta dan ciptaannya
lhhhoooooo....koq ga ada Indonesia di daftar itu? Saya segera coba mencari daftar lengkapnya di www.latimes.com dan ...hmmmmm....eurekaaaa, ini dia ....syyyuuuuuuttttttt.....nangkring di urutan 83.....kesal bercampur tersipu tapi agak lega karena posisi ini jauh di atas sang juru kunci, yaitu Togo yang berada di urutan 156. Lagi-lagi mencoba menghibur diri.
Setelah menaruh data-data di atas dalam makalah dan bahan presentasi yang sedang saya kerjakan, pikiran saya berhamburan kemana-mana. Salah satu hal yang akhirnya saya sadari adalah hari ini tepat 1 Juni. Hari lahirnya Pancasila. Mengapa tepat dihari besar rekipliek ini koq ya data yang saya dapat sangat mengganngu perasaan? Mengapa seolah-0lah Pancasila yang keren itu amat berjarak dengan fakta kehidupan sehari-hari di Indonesia. Bagaimana mungkin negara yang orang-orangnya sejak bangun bagi sudah basah kuyup disirami rohani-nya oleh kuliah-kuliah subuh di hampir semua stasiun televisi adalah negeri yang kurang bahagia? bagaimana bisa di negara yang para orang hebatnya sangat yakin akan kesucian negaranya lalu menolak kedatangan Lady Gaga berkonser di Indonesia nasibnya apes begini? Jangan-jangan kita memang negeri yang tidak suci seperti dugaan elite hebat tersebut? Entahlah. Saya cuma ingin merenungkan masalah ini mulai dari titik dimana Pancasila disebut sebagai filsafat bangsa dan negara. Konon, filsafat Pancasila ini digali dari puncak-puncak budaya adiluhung bangsa Indonesia. Benarkah Pancaasila itu filsafat?
Secara etimologis kata ”filsafat“ (Inggris - philosophy) berasal dari bahasa Yunani “philosophia” yang dimengerti sebagai “cinta kearifan”. “Philos” artinya cinta dan “sophia” artinya kearifan. Maka, filsafat adalah cinta kearifan, “wisdom” atau kebijaksanaan. Dalam terang defenisi ini maka pencarian orang Indonesia akan Tuhan yang esa, kemanusiaan, persatuan, bermusyawarah dan keadilan genap memenuhi defenisi filsafat. Ya, orang Indonesia mengidealkan dalam hidupnya mencari kearifan atau kebijaknsanaan. Mencari hikmat. Untuk membuktikan kebenaran pernyataan ini maka saya mengutip Hegel yang menyatakan bahwa pada hakikatnya filsafatnya ialah suatu sintese pikiran yang lahir dari antitese pikiran. Dari pertentangan pikiran lahirlah paduan pendapat yang harmonis. Inilah yang disebut Hegel sebagai dialektika berpikir.
Kalimat pertama dan Mukadimah UUD Republik Indonesia 1945 berbunyi "bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa. Oleh sebab itu penjajahan harus dihapusakan karena bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan". Perhatikanlah bahwa kalimat pertama dari pernyataan di atas adalah sintesa antara penjajahan dan perikemanusiaan dan perikeadilan. Pada saat sintese menghilang akan lahir kemerdekaan.Hal inipun dengan amat jelas dikemukakan dalam Mukadimah Konstitusi R.I. 1950 itu yang berbunyi "maka dengan ini kami menyusun kemerdekaan kami itu, dalam suatu Piagam Negara yang berbentuk Republik Kesatuan berdasarkan ajaran Pancasila". Dalam dokumen ini, pancasila merupakan cara untuk mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan dan perdamaian dunia serta kemerdekaan. Kalimat ini memperlihatkan dengan jelas terang benderang frasa antitesa dalam dialektika bangsa Indonesia dalam bernegara. Terbukti sah bahwa memang Pancasila adalah filsafat bangsa Indonesia untuk hidup bahagia. Bahagiakah kita hari ini?
Data menunjukan bahwa bangsa-bangsa yang tidak punya pancasila malah hidupnya lebih bahagia ketimbang kita? Kita yang memiliki Pancasila malah kurang beruntung. Apa yang salah. Ada apa denganmu? Jangan-jangan dialektika kita hanyalah hasil olah pikir para founding fathers belaka dan tidak berakar secara nyata dalam memori kolektif kita? Jangan-jangan pancasila hanyalah wacana tanpa bentuk dan ketika ingin diberi bentuk malah terjadi pembelokan kemana-mana. Ada demokrasi terpimpin nan Pancasila ala penggali Pancasila itu sendiri, yaitu Bung Karno. Si Bung Besar. Ada demokrasi Pancasila ala Pak Harto. Bapak Pembangunan. Semua upaya ini, sayang-nya berakhir dalam tragedi. Lalu dimana letak masalahnya? Socrates sang filsuf besar Yunani itu mengatakan bahwa "jika kita mengetahui apa itu kebaikan maka kita harus mengerjakannya". Seorang Filsuf Agung, Yoshua Hamasia, mengatakan bahwa "isi doa-mu harus terlihat di dalam kerjamu". Terlihat sudah bahwa antara pikiran dan perkataan serta perbuatan bisa tidak sejalan. Belum tentu yang bisa dipikirkan akan berhasil dikerjakan. Nah, supaya pikiran baik dapat dikerjakan juga dengan baik, kita memerlukan 1 alat. Alat itu adalah pengetahuan empiris tentang fakta-fakta yang relevan lalu membuat prediksi berdasarkan pemahaman terhadap fakta tersebut (Ewing, 2010). Inilah yang disebut sebagai belajar, Belajar secara sistematis adalah proses dalam sistem ilmu pengetahuan. Orang yang berbahagia adalah orang yang mampu mengerjakan pikiran baiknya. Orang yang cuma mampu omdo (omongan doang) adalah orang-orang cilaka nan murung. Maka, relasi antara indeks HDI dan derajat kebahagiaan bangsa dapat dipahami. Mengertilah kita bahwa dengan HDI yang rendah, pantaslah Indonesia kurang bahagia hidupnya. Bagaimana memahaminya secara gampang? Begini bro en sista....
Di Indonesia Raya ini, mulut kita bilang Tuhan Yang Maha Esa tetapi yang kita kerjakan adalah men-tuhankan materi, kekayaan, kemolekan, ketersohoran dan seterusnya. Di mulut kita bilang kemanusiaan tetapi hanya karena kita tidak setuju dengan ajaran Ahmadiyah, membunuhlah yang dilakukan. Di mulut kita bilang. Di mulut kita bilang persatuan Indonesia, yang kita lakukan adalah pemekaran daerah nyaris tanpa batas berbasis etnis, suku, dan kepentingan elit. Di mulut kita bilang demokrasi musyawarah yang kita buat adalah meneriakan kata "bangsat" di dalam sidang DPR kepada lawan politik. Di mulut kita bilang keadilan sosial bagi semua tetapi yang kita lakukan adalah bagi-bagi apel malang dan apel washington di antara orang separtai, satu korps, satu grup bermain golf dan seterusnya. Di mulut bilang filosofia tetapi kaki dan tangan kita mengerjakan kejahatan. Maka, mengkuti logika Yoshua Hamasia, haruslah kita duga: ada tipu di antara doa dan perbuatan kita. Maka sial sudah kita seumur-umur. Unhappiness. Tragedi 1948 terjadi, diulang di tahun 1965, diulang lagi di tahun malari 1973, terjadi lagi di tahun 1998, terjadi lagi ratusan dan mungkin ribuan kali perkelahian dan perbunuhan sesama anak bangsa karena beda agama, beda suku dan beda kepentingan. Kita tidak pernah belajar dari pengalaman empirik kita. Tak heran, sudah lebih 60 tahun kita merdeka tetapi perilaku kita tetap sama seperti pola pikir orang-orang yang satu jaman dengan Ken Arok. jauh sudah perjalanan kebangsaan kita tetapi tampaknya kita tidak kemana-mana. Kita seperti terbenam dalam lubang dan tak bisa (atau tak mau) keluar. TRAGIS. Kata orang tua "keledai tidak jatuh dalam lubang yang sama 2 kali". Kita jatuh ribuan kali dalam comberan yang sama. Maka, ketimbang keledai, kita ini lebih......(anda lanjutkan saja saudara ku sebangsa dan setanah air). HIDUP PANCASILA. MERDEKA!!!!!Dengarlah suara gemercik airIndah bukan? menurut hemat saya, tidak sekedar indah syairnya tetapi ada kebenaran di dalam syair itu. Ketika semua hal rasanya harus dibicarakan lalu diributkan dan dikacaukan maka menepi untuk menyepi rasanya sebuah opsi yang berharga. Mengapa? Karena dalam diam dan dalam sepi, terbuka peluang bagi "hati yang berbicara". Leahy (1989) menjelaskan bahwa ketika manusia perlu sekali waktu melepaskan diri dari kekakuan, kecongkakan dan prasangka-prasangka yang merupakan resultante dari proses bertanya, berbicara dan mendengar suara sendiri. Dengan melepaskan itu semua maka manusia akan dituntun pada kemurahan hati yang lebih luhur. makin dekat kearah cinta kasih yang adiluhung. Itulah yang akan dicapai ketika manusia memasuki suasana suci (sacrum facere). Ketika memasuki sacrum facere inilah manusia akan memiliki cinta murni yang tidak mengambil untung bagi diri sendiri. Cinta yang berbelas kasihan dan menghidupkan. Saya, yang berlatar belakang Kristiani, punya 1 contoh tentang hal ini, yaitu ketika Yesus merasa perlu berdoa sendirian di Taman Getsemani menjelang penangkapan-NYA. Apa hasilnya? adalah ini: keteguhan hati dan kerelaan yang luar biasa untuk memenuhi "panggilan" dari sang Ilahi. Pertanyaannya adalah: apakah sacrum facere dapat dicapai dalam keriuhan? jawab saya tegas: tidak. Hanya dalam sepi dan hening suara hati nurani anda akan bergema keras dan menuntun anda menuju sacrum facere. Frans Suseno mengatakan bahwa Tuhan bekerja di dalam hati nurani manusia.
di balik rumpun bambu di sudut dusun
Lihatlah pancuran berdansa riang
Menyapa batuan, menjemput bulan
...
Ada perempuan renta menimba
Terbungkuk namun sempat senandungkan tembang
...
saksikan bahwa sepi lebih berarti dari keriuhan
....
"....di masa lalu cendana dikelola sangat eksklusif, baik sejak masa abad I Masehi, masa penjajajahan, masa orde baru, bahkan sampai masa orde reformasi. Rakyat kehilangan hak atas cendana, bahkan yang tumbuh di lahan miliknya sendiri. Hasilnya adalah menghilangnya cendana dari lahan-lahan milik negara. Cendana diklaim hampir musnah. Dalam red list IUCN, sejak tahun 2006, cendana dikelompokkan sebagai jenis yang terancam punah. Cendana tidak lagi vital. Lalu apa solusinya? Berdasarkan hasil studi tahun 2010 dan 2011, cendana memerlukan sinergi antara pemerintah, swasta dan masyarakat supaya dia kembali vital. Mengapa semua pihak itu perlu terlibat? Jawabannya adalah karena kita memang memerlukan semuanya...."
Isteriku sayang, pernikahan kita ibarat sandal atau sepatu. Engkau bagian kiri (atau kanan), aku bagian kanan (atau kiri)-nya. Sebagai bagian kanan, engkau cenderung bergerak ke kanan. Sebagai bagian kiri, aku cenderung ke kiri. Kita ternyata tidak sama. Ketidaksamaan yang tidak mungkin di satukan bahkan oleh apapun dan siapapun juga. Bahkan oleh Penciptanya, kita berdua memang sudah dibikin secara terpisah. Engkau adalah sandal (atau sepatu) kiri (atau kanan) sedangkan aku adalah sandal (atau sepatu) yang kanan (atau kiri). Kita nyata-nyata berbeda. Mungkin itu sebabnya dalam namaku yang Riwu Kaho kita sering Ribut Kacau. Engkau adalah Ballo yang bisa dibaca sebagai Balau. Jika digabungkan maka nama kita berdua adalah Ribut Kacau Balau. Aneh dan memang kacau.....tetapi, hmmmm...nanti dulu...bukankah setiap pabrik akan memproduksikan sandal (atau sepatu) memang harus berbeda antara kiri dan kanan? Pabrik yang bikin hanya kiri atau kanan saja pastilah pabrik yang didirikan hanya untuk ditutup kembali karena merugi. Siapa mau beli hanya bagian kiri atau kanan saja? Bukankah setiap pemakai sandal (atau sepatu) selalu memakai sekaligus sepasang sandal kan? Yang kiri di kaki kiri dan yang kanan di kaki yang kanan. Mana ada pemakai sandal (atau sepatu) yang memakai salah satu saja karena pasti akan dianggap gila. Bukankah setiap pemakai sandal (atau sepatu) akan memakai sandal kiri dan sandal bersama-sama kan? Mana bisa orang pakai sandal hanya untuk kaki yang satu saja? Dia akan dianggap bodoh. Lalu, bukankah setiap pemakai sandal (atau sepatu) akan menggunakannya menuju satu tujuan tertentu? Ke kantor, ke pasar, dan kemana saja, bahkan bisa saja tanpa arah tertentu. Sandal dipakai bisa untuk melindungi kaki dan bisa pula sebagai aksesori penarik perhatian. Maka....lihatlah di Kaki Pemilik-Nya, kita berdua yang berbeda dipakai sepasang. Engkau di kaki-Nya yang satu, aku di kaki-NYA yang lain. Di Kaki Sang Pemilik, secara kompak, kita berdua selalu digerakan secara bersama-sama ...srok srok tok tok...menuju Tujuan-NYA...srok sroookkk tok toookkkk. Kita memang berbeda tetapi sudah ditakdirkan untuk dipasangkan secara bersama-sama. Hari ini, kita diingatkan bahwa sudah 26 tahun kita dipasangkan dan dipakai-NYA untuk mewujudkan Tujuan-NYA....bersukurlah wahai sandal (atau sepatu) kanan (atau kiri)....terima kasih karena 26 tahun sudah kita bergerak berpasangan sama-sama.....Terima Kasih kepada-NYA karena kita dipasangkan.....teruslah melangkah ke depan kendati ribut kacau balau...srok sroookkk tok tookkk.....
Powered byIP2Location.com