
Berbahagialah kita, anda dan saya karena Tuhan masih berkenan mempertemukan setiap kita dengan satu lagi Hari Raya Jumat Agung, Perayaan Perjamuan Kudus dan Paskah, di tahun 2011. Ayanda dan Ibunda saya, misalnya, tak lagi merayakan hari-hari besar umat Kristiani ini dalam situasi yang sama dengan yang saya alami. Ayahanda "Robert SGT" dan Ibunda "Tien" mungkin merayakannya di dimensi lain dengan cara yang hanya mereka dan Tuhan yang tahu. Penyanyi lagu-lagu balada kecintaan saya, Franky Sahilatua juga tak lagi merayakan Paskah seperti kita. Dia telah berangkat meninggalkan "perahu retak" dunia ini menuju Rumah Allah. Apapun juga, bagi semua sahabat Kristiani saya ingin mengucapkan SELAMAT JUMAT AGUNG. SELAMAT PASKAH. TUHAN YESUS MEMBERKATI ANDA (dan juga saya).
Berkenan dengan perayaan Jumat Agung dan Paskah kali ini, ada yang ingin saya renungkan setelah sebelumnya saya gumuli secara serius. Apa yang saya gumulkan dan renungkan itu. Adalah ini:
Kata "takut" pada kutipan ayat di atas kelihatannya merupakan terjemahan dari kata dalam bahasa Yunani "αγωνία" atau "agwnia" atau "agonia". Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris maka kata itu akan menjadi "agony" yang memang berarti takut. Akan tetapi hasil penelusuran saya secara berhati-hati menemukan arti lain terkait kata "agoni". Saya menemukan bahwa kata "agony" dalam bahasa Inggris ternyata berpadanan dengan lebih dari satu kata Yunani. Kata "agony" selain berpadanan dengan "αγωνία" ternyata juga berpadanan dengan kata "μαρτύριο" atau "martyrio" yang berarti penderitaan yang amat dalam. Karena itu saya tak heran jika dalam Alkitab Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) ayat ke 44 dari Kitab Lukas pasal 22 berbunyi
"Yesus sangat menderita secara batin sehingga Ia makin sungguh-sungguh berdoa. Keringat-Nya seperti darah menetes ke tanah"
Perhatikan pula terjemahan dalam versi lainnya sebagai berikut:
Dalam banyak naskah-naskah renungan saya sering menangkap kesan bahwa Lukas 22: 42-44 memberi petunjuk bahwa Yesus takut. Yesus, dalam sisi manusiawinya, ternyata ketakutan menghadapi Penyaliban yang dahsyat dan mengerikan itu. Begitu takutnya Yesus, lalu Dia berusaha mencari jalan selamat untuk diri-NYA. Pada titik ini saya tertegun. Benarkah Yesus yang saya kagumi luar dalam itu adalah seorang yang penakut? Bukan cuma takut, lebih lanjut tampak Yesus mengusahakan sesuatu yang lainnya seperti yang terlihat pada kutipan ayat tersebut berikut ini ..... "ambillah cawan ini dari-KU" .... Sekarang ada 3 opsi konsekuensi jika do'a Yesus agar Bapa setuju mengambil "cawan" itu dari-NYA: pertama, Allah kehilangan sifat adil. Bukankah penghukuman harus dijatuhkan karena kesalahan sudah terjadi? Kedua, Allah ingkar janji. Bukankah Penyaliban sudah dinubuatkan sejak perjanjian lama? Ketiga, jika Allah memang adil dan tidak berbohong maka kepada siapa "cawan" harus dialihkan? Siapa yang harus dikambing hitamkan? Siapa yang harus dikorbankan menggantikan Yesus? Benarkah Tuhan Yesus dalam doanya berpikir tentang "bagaimana mengorbankan orang lain"? Nah lihatlah, konsekuensi logis dari perspektif Yesus ketakutan dan berusaha melarikan diri diri dari "cawan" ternyata berdampak sangat serius terhadap kesejatian Allah dan Yesus. Hal ini juga tidak main-main karena di beberapa blog yang kontennya sangat sisnis terhadap Yesus saya membaca bahwa perkara ketakutan Yesus ini ternyata digunakan sebagai dasar argumen menolak dimensi Ketuhanan-NYA..."heeeiiii, lihatlah...Yesus yang penakut itu pasti bukan Tuhan karena tak masuk akal Tuhan itu penakut". Betulkah Tuhan Yesus ketakutan lalu diam-diam berusaha bernegosiasi dengan sang Bapa guna berusaha mencari selamat bagi diri-NYA sendiri sembari mengorbankan orang lain? Jujur saja, saya tak yakin. Mengapa demikian?
Saya memiliki beberapa referensi yang menunjukkan bahwa Tuhan Yesus sama sekali bukanlah penakut dan juga bukan pencari keselamatan untuk diri-NYA sendiri lalu tega mengorbankan orang lain. Kisah Yesus Tuhan Yesus menghadapi pencobaan di padang gurun; ceritera Tuhan Yesus yang mengusir roh jahat; bagaimana cara Tuhan Yesus menghadapi angin topan di tengah lautan yang nyaris mengaramkan kapal yang ditumpanginya; Bagaimana pilihan etis Tuhan Yesus menghadapi banyak orang yang marah dan ingin merajam si perempuan pezinah...dan wwwooowwww...masih amat banyak lagi referensi sejenis yang menunjukkan bahwa Tuhan Yesus bukanlah penakut. Tidak pula seorang pencari keselamatan bagi diri-NYA sendiri. Tuhan Yesus juga tidak sedang bernegosiasi dengan Bapa untuk tega mengirimkan orang lain ke Kayu Salib ganti Dia. Jika benarlah Yesus memilih sikap seperti begitu maka, maaf, ke-Kristenan saya akan saya tanggalkan menit ini juga karena bukan Yesus seperti itu yang saya sembah. Dalam perspektif ini Yesus adalah penakut dan berusaha lari sejauh-jauhnya dari penghukuman. Sulit saya membayangkan bahwa ibarat menghadapi kapal yang karam Tuhan Yesus sedang berusaha berenang secepat-cepatnya supaya tidak ikut terbawa tenggelam terseret arus kapal karam lalu tidak perduli apakah si anu dan si polan sedang termenggah-menggeh klelep mau mati tenggelam. "Walah kalo nulungin situ bisa-bisa gw ikutan klelep dunk, tak us-us aja ya". Maaf, saya tidak yakin bahwa Yesus bertindak seperti itu. Itu bukan tipenya dech. Kalau tidak begitu lalu apa? Ada alternatif perspektif kedua.
Saya mendapat sedikit kelegaan ketika mengetahui bahwa ayat ke 44 Kitab hasil tulisan dokter Lukas pada pasal ke 22 ternyata dapat berbunyi dalam pemaknaan yang berbeda...."Tuhan Yesus amatlah sengsara" ... Oh, ternyata peristiwa doa di taman Getsemani tidaklah harus ditafsirkan bahwa Yesus adalah si penakut yang sedang berusaha mengelak dari Salib dan meletakkan salib pada bahu manusia. Tuhan Yesus ternyata amat menderita. Apa yang membuat Tuhan Yesus menderita? Bayangan dahsyatnya Salib dan penyalibankah? Bisa jadi begitu tetapi Yesus tak sedang mengupayakan penghindaran dari penghukuman. Yesus yang sehakekat dengan Allah itu tahu persis bahwa Salib tetap ditancapkan dan Dia akan tergantung di situ. Yesus juga paham bahwa tak boleh ada sesiapaun yang lain yang dapat menggantikan Dia sebagai yang tergantung di Salib. Yesus tahu bahwa "cawan harus diminum" tetapi "bolehkah cawan itu ditukar"? Saya membayangkan Yesus bergumul dalam pikiran-NYA dan berbisik ..."Bapa, masih bolehkan ada solusi lain dari penghukuman yang akan aku tanggung"..... Terhadap kemungkinan ini, saya sedikit lega tetapi belum seluruhnya karena masih terasa "bau" upaya meluputkan diri dari "cawan". Yesus mengelez? Saya pikir tidak kendati Yesus sebenarnya bisa saja mengambil jalan lain bukan? Saya teringat pengalaman saya beberapa waktu yang lalu sebagai salah satu pengurus dalam organisasi x. Salah satu petinggi di organisasi ini jelas-jelas bersalah menyalahgunakan kuasa dan melakukan korupsi. Mula-mula musyawarah pengurus memutuskan untuk memecat yang bersangkutan tetapi lalu dengan alasan "kasih" maka keputusan itu diubah hanya menjadi penundaan kenaikan gaji berkala. Hukuman tetap djatuhkan tetapi bentuknya dirubah dan bahkan lebih ringan. Bisa jadi model inilah yang "dinegosiasikan" oleh Yesus kepada sang Bapa. Boleh-boleh saja tafsir seperti itu tetapi - sekali lagi menurut hemat saya - itu juga bukan tipe Yesus.
Sampailah saya pada alternatif perspektif yang berikutnya yang saya yakini jauh lebih mendekati kebenaran Firman Tuhan tentang jati diri Yesus. Begini: Tuhan Yesus sadar bahwa Salib dan Penyaliban pasti terjadi karena keadilan Allah. Hukuman sudah dijatuhkan dan itu harus terjadi. Compromise no more. Tidak ada pilihan lain. Betuk penghukumannya juga sudah pasti seperti nubuat para Nabi. Ya, penyaliban yang adalah hukum yang amat mengerikan dan menghina itu tak boleh berubah. Tak bisa diubah. Harus seperti itu. Tuhan Yesus juga tahu bahwa manusia si pecundang tak akan mampu menanggung Salib yang nista itu kecuali DIA. Lalu apa yang membuat Yesus amat menderita? Menurut saya, Yesus amat menderita justru karena keterlibatan manusia dalam proses penghukuman itu. Tangan Bangsa Israel sebagai ruang budaya kehidupan Yesus sekali lagi akan berlumuran darah dan kali ini adalah darah Mesias mereka sendiri. Mesias yang dinanti-nantikan begitu lama. Tangan umat pilihan ini kembali harus berlumuran darah bahkan kali ini darah anggota komunitasnya sendiri. Ingat bahwa Yesus terlahir dan sampai mati adalah seorang Yahudi. Dalam hukum Yahudi, amat terlarang "jeruk makan Jeruk" atau "Jahudi makan Jahudi".
Yesus yang mau memahami perilaku dan kedosaan manusia dengan segala konsekuensinya itu rupanya memasuki taman Getsemani dengan beban itu. Dia akan mati di Salib tetapi bagaimana dengan nasib manusia si pecundang yang membunuh-Nya itu? Jika kematian-NYA adalah bentuk ultimat terhadap penebusan dosa bagaimana dengan tanggung darah oleh kaum pembunuh-NYA? Yesus tahu betul bahwa jawaban terhadap dosa akan segera dimiliki oleh manusia melalui Kematian dan Kebangkitan-NYA tetapi bukankah manusia bebas memilih ataukah selamat ataukah maut. Apakah si degil manusia mau belajar dari kesalahan mereka tentang penyaliban. Apakah jauh setelah penyaliban, manusia tak lagi gemar menebar kebencian? Yesus tahu betul bahwa Dia sudah menyiapkan jembatan emas Keselamatan menuju Allah, yaitu diri-NYA sendiri tetapi apakah pendewaan terhadap diri sendiri, kekuasaan, keterkenalan dan kekayaan tidak lagi menjadi pilihan hidup manusia? Saya membayangkan dalam pergumulan batinnya yang dahsyat mungkin Tuhan Yesus berkata dalam hati-NYA
Dalam perspektif yang saya tawarkan ini pusat perhatian saya bukanlah upaya Yesus untuk bernegosiasi dengan Sang Bapa tentang keluputan-NYA dari Penyaliban melainkan CINTA KASIHNYA YANG AMAT MURNI DAN TAK TERBATAS BAGI MANUSIA. Sisi inilah yang mengejutkan dari Yesus seperti yang dikatakan oleh Tim Stafford (2010) dalam bukunya "Surprised by Jesus" bahwa pribadi Yesus adalah pribadi yang sugguh sangat mengejutkan bagi banyak orang yang mengaku mengenal Dia. Salah satu ciri khas Tuhan Yesus adalah beliau selalu berpikir dalam suatu kesatuan persekutuan. Itulah penjelasannya mengapa Yesus yang sama sekali tidak memiliki dosa tetapi malah menyerahkan diri-NYA untuk dibaptis oleh Yohanes Pembaptis. Dia melakukan itu karena Dia solider dengan manusia yang berdosa dan membutuhkan pembaptisan. Itu pula penjelasannya mengapa Tuhan Yesus amat sering bergaul dengan mereka yang terpinggirkan, yaitu si pezinah, si pemungut cukai dan yang lainnya. Setiap tindak-tanduk Yesus selalu memberi petunjuk bahwa...."hei, aku mencintai kalian dan karena itu aku mau masuk dalam penderitaanmu, dalam kesusahanmu, dan bahkan .... dalam dosamu. Bayangkan, di tengah ancaman Salib yang akan dikenakan kepada-NYA, Yesus malah memikirkan manusia. Jelas sudah, siapa yang digumulinya dengan penuh penderitaan di Getsemani. Siapa yang di tangisi-NYA di Getsemani. Bukan diri-NYA sendiri melainkan Manusia. Luar biasa.
Berkali-kali saya membaca Lukas 22: 42-44 dan saya selalu cemas akan "ketakutan" Yesus. Tetapi syukurlah, kali ini saya memahaminya dari perspektif yang berbeda. Yesus boleh saja menderita, cemas, gelisah atau takut sekalipun tetapi saya tahu kini bahwa obyek ketakutan-NYA bukanlah diri-NYA sendiri. Yesus pertama-tama tidak sedang berpikir kepentingan diri-NYA sendiri. Manusialah yang ada dibenak-NYA sepanjang hidup dan karya_nya bahkan ketika DIA berada begitu dekat dengan dengus napas seringai jahat sang maut. Itulah demonstrasi Cinta Kasih Yesus yang tak tertandingi. Di zaman ketika semangat mementingkan diri sendiri begitu merebak bukankah teladan YESUS terasa amat luar biasa? Ketika di Libya semua berperang melawan semua, ketika para pelaku teror bom di Indonesia hanya memikirkan isi kepalanya sendiri, dan ketika para petinggi DPR sibuk mencari-cari alasan pembenaran dalam pemborosan pembangunan gedung DPR yang baru, dan ketika para penggemar George Toisuta dan Arifin Panigoro sibuk memikirkan kepentingan diri mereka sendiri di PSSI maka teladan Yesus adalah oase penyejuk di tengah padang pasir kepentingan diri itu.
Sahabat Kristiani, jika perspektif ini bisa diterima maka jelaslah sudah Tuhan Yesus bukanlah pecundang nan penakut melainkan adalah sumber mata air cinta kasih yang teramat luas dan dalam. Inilah Yesus Tuhanku. Penebusku yang hidup. Kepada-NYA layak saya mempertaruhkan hidup dan peruntungan hidup. Ketika saya tak memperdulikan Dia malah sebaliknya, Dia berpikir ten
tang saya. Dia menangis untuk saya. Dia gelisah karena saya. Dia takut karena memikirkan saya. Yesus memang Tuhan tapi Dia juga sungguh sahabat saya. Kepada saya dan anda YESUS telah menawarkan Syalom Allah itu. Maukah anda dan saya? Anda mau Yesus yang penakut atau Yesus yang bersahabat. Saya sudah membuat pilihan. Terserah anda. SELAMAT PASKAH
Shalom Tuan Shalom Puan
Berkenan dengan perayaan Jumat Agung dan Paskah kali ini, ada yang ingin saya renungkan setelah sebelumnya saya gumuli secara serius. Apa yang saya gumulkan dan renungkan itu. Adalah ini:
„Ya, BapaKu, jikalu Engkau mau, ambillah cawan ini daripadaKu: tetapi bukanlah kehendakKu, melainkan kehendakMulah yang terjadi.“... Ia sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh berdoa. PeluhNya menjadi seperti titik darah yang bertetesan ke tanah.“ (Luk.22:42-44)Ayat di atas menunjukkan secara kronologis detik-detik ketika Tuhan Yesus sedang menunggu "saat-NYA" sebagaimana yang telah ditentukan oleh Sang Bapa. Setelah melaksakan perjamuan kudus di kamar loteng sebuah rumah pengikut-NYA, Tuhan Yesus lalu berjalan menuju Taman Getsemani ditemani 3 orang murid-Nya. Di sana Tuhan Yesus mengambil sewaktu dua waktu untuk berdoa menggumuli "saat-NYA" tersebut. Hampir semua tafsir Alkitab mengatakan bahwa ayat-ayat itu menujukkan sisi manusiawi Yesus yang memiliki rasa takut. Sudah barnag tentu, saya memahaminya di balik "ketakutan-NYA" itu tersembunyi teladan Ilahiat, yaitu ketaatan di hadapan Bapa. Tuhan Yesus takut tetapi di taat. Saya bersetuju dengan tafsir. Akan tetapi ijinkan saya untuk mengatakan bahwa saya memiliki masalah pada penggunaan kata "takut" dalam ayat di atas. Benarkah Yesus "ketakutan" dan lalu berusaha "menghindar dari Salib"? Benarkah begitu? Saya kuatir jika memang benar demikian karena beberapa konsekuensi logis dari homili seperti itu. Karena itu saya berusaha memahami benar arti kata "ketakutan" yang dipakai di Lukas 22: 44.
Kata "takut" pada kutipan ayat di atas kelihatannya merupakan terjemahan dari kata dalam bahasa Yunani "αγωνία" atau "agwnia" atau "agonia". Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris maka kata itu akan menjadi "agony" yang memang berarti takut. Akan tetapi hasil penelusuran saya secara berhati-hati menemukan arti lain terkait kata "agoni". Saya menemukan bahwa kata "agony" dalam bahasa Inggris ternyata berpadanan dengan lebih dari satu kata Yunani. Kata "agony" selain berpadanan dengan "αγωνία" ternyata juga berpadanan dengan kata "μαρτύριο" atau "martyrio" yang berarti penderitaan yang amat dalam. Karena itu saya tak heran jika dalam Alkitab Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) ayat ke 44 dari Kitab Lukas pasal 22 berbunyi
"Yesus sangat menderita secara batin sehingga Ia makin sungguh-sungguh berdoa. Keringat-Nya seperti darah menetes ke tanah"
Perhatikan pula terjemahan dalam versi lainnya sebagai berikut:
- Sedang ia dalam sengsara, maka ia meminta doa dengan lebih bertekun; maka peluhnya pun menjadi seperti titik-titik darah gugur ke bumi (Shellabear Draft, 1912)
- Dan waktu dia ada dalam sngsara, dia minta do'a dngan lbeh tkun: dan dia punya ploh jadi sperti titek-titek darah mnitek di tanah (Melayu BABA, 1913)
- Maka dalam sangsara jang besar itoe makin radjin ija meminta-doa dan peloehnja pon mendjadi saperti titik-titik darah jang besar berhamboeran kaboemi (Klinkert, 1879)
- Dan sedang 'ija kene parang pajah, maka makin radjin munadjatlah 'ija. Maka pelohnja djadilah saperij titikh 2 darah kantal, jang malileh turon kabumi (Leydekker Draft, 1733)
Dalam banyak naskah-naskah renungan saya sering menangkap kesan bahwa Lukas 22: 42-44 memberi petunjuk bahwa Yesus takut. Yesus, dalam sisi manusiawinya, ternyata ketakutan menghadapi Penyaliban yang dahsyat dan mengerikan itu. Begitu takutnya Yesus, lalu Dia berusaha mencari jalan selamat untuk diri-NYA. Pada titik ini saya tertegun. Benarkah Yesus yang saya kagumi luar dalam itu adalah seorang yang penakut? Bukan cuma takut, lebih lanjut tampak Yesus mengusahakan sesuatu yang lainnya seperti yang terlihat pada kutipan ayat tersebut berikut ini ..... "ambillah cawan ini dari-KU" .... Sekarang ada 3 opsi konsekuensi jika do'a Yesus agar Bapa setuju mengambil "cawan" itu dari-NYA: pertama, Allah kehilangan sifat adil. Bukankah penghukuman harus dijatuhkan karena kesalahan sudah terjadi? Kedua, Allah ingkar janji. Bukankah Penyaliban sudah dinubuatkan sejak perjanjian lama? Ketiga, jika Allah memang adil dan tidak berbohong maka kepada siapa "cawan" harus dialihkan? Siapa yang harus dikambing hitamkan? Siapa yang harus dikorbankan menggantikan Yesus? Benarkah Tuhan Yesus dalam doanya berpikir tentang "bagaimana mengorbankan orang lain"? Nah lihatlah, konsekuensi logis dari perspektif Yesus ketakutan dan berusaha melarikan diri diri dari "cawan" ternyata berdampak sangat serius terhadap kesejatian Allah dan Yesus. Hal ini juga tidak main-main karena di beberapa blog yang kontennya sangat sisnis terhadap Yesus saya membaca bahwa perkara ketakutan Yesus ini ternyata digunakan sebagai dasar argumen menolak dimensi Ketuhanan-NYA..."heeeiiii, lihatlah...Yesus yang penakut itu pasti bukan Tuhan karena tak masuk akal Tuhan itu penakut". Betulkah Tuhan Yesus ketakutan lalu diam-diam berusaha bernegosiasi dengan sang Bapa guna berusaha mencari selamat bagi diri-NYA sendiri sembari mengorbankan orang lain? Jujur saja, saya tak yakin. Mengapa demikian?
Saya memiliki beberapa referensi yang menunjukkan bahwa Tuhan Yesus sama sekali bukanlah penakut dan juga bukan pencari keselamatan untuk diri-NYA sendiri lalu tega mengorbankan orang lain. Kisah Yesus Tuhan Yesus menghadapi pencobaan di padang gurun; ceritera Tuhan Yesus yang mengusir roh jahat; bagaimana cara Tuhan Yesus menghadapi angin topan di tengah lautan yang nyaris mengaramkan kapal yang ditumpanginya; Bagaimana pilihan etis Tuhan Yesus menghadapi banyak orang yang marah dan ingin merajam si perempuan pezinah...dan wwwooowwww...masih amat banyak lagi referensi sejenis yang menunjukkan bahwa Tuhan Yesus bukanlah penakut. Tidak pula seorang pencari keselamatan bagi diri-NYA sendiri. Tuhan Yesus juga tidak sedang bernegosiasi dengan Bapa untuk tega mengirimkan orang lain ke Kayu Salib ganti Dia. Jika benarlah Yesus memilih sikap seperti begitu maka, maaf, ke-Kristenan saya akan saya tanggalkan menit ini juga karena bukan Yesus seperti itu yang saya sembah. Dalam perspektif ini Yesus adalah penakut dan berusaha lari sejauh-jauhnya dari penghukuman. Sulit saya membayangkan bahwa ibarat menghadapi kapal yang karam Tuhan Yesus sedang berusaha berenang secepat-cepatnya supaya tidak ikut terbawa tenggelam terseret arus kapal karam lalu tidak perduli apakah si anu dan si polan sedang termenggah-menggeh klelep mau mati tenggelam. "Walah kalo nulungin situ bisa-bisa gw ikutan klelep dunk, tak us-us aja ya". Maaf, saya tidak yakin bahwa Yesus bertindak seperti itu. Itu bukan tipenya dech. Kalau tidak begitu lalu apa? Ada alternatif perspektif kedua.
Saya mendapat sedikit kelegaan ketika mengetahui bahwa ayat ke 44 Kitab hasil tulisan dokter Lukas pada pasal ke 22 ternyata dapat berbunyi dalam pemaknaan yang berbeda...."Tuhan Yesus amatlah sengsara" ... Oh, ternyata peristiwa doa di taman Getsemani tidaklah harus ditafsirkan bahwa Yesus adalah si penakut yang sedang berusaha mengelak dari Salib dan meletakkan salib pada bahu manusia. Tuhan Yesus ternyata amat menderita. Apa yang membuat Tuhan Yesus menderita? Bayangan dahsyatnya Salib dan penyalibankah? Bisa jadi begitu tetapi Yesus tak sedang mengupayakan penghindaran dari penghukuman. Yesus yang sehakekat dengan Allah itu tahu persis bahwa Salib tetap ditancapkan dan Dia akan tergantung di situ. Yesus juga paham bahwa tak boleh ada sesiapaun yang lain yang dapat menggantikan Dia sebagai yang tergantung di Salib. Yesus tahu bahwa "cawan harus diminum" tetapi "bolehkah cawan itu ditukar"? Saya membayangkan Yesus bergumul dalam pikiran-NYA dan berbisik ..."Bapa, masih bolehkan ada solusi lain dari penghukuman yang akan aku tanggung"..... Terhadap kemungkinan ini, saya sedikit lega tetapi belum seluruhnya karena masih terasa "bau" upaya meluputkan diri dari "cawan". Yesus mengelez? Saya pikir tidak kendati Yesus sebenarnya bisa saja mengambil jalan lain bukan? Saya teringat pengalaman saya beberapa waktu yang lalu sebagai salah satu pengurus dalam organisasi x. Salah satu petinggi di organisasi ini jelas-jelas bersalah menyalahgunakan kuasa dan melakukan korupsi. Mula-mula musyawarah pengurus memutuskan untuk memecat yang bersangkutan tetapi lalu dengan alasan "kasih" maka keputusan itu diubah hanya menjadi penundaan kenaikan gaji berkala. Hukuman tetap djatuhkan tetapi bentuknya dirubah dan bahkan lebih ringan. Bisa jadi model inilah yang "dinegosiasikan" oleh Yesus kepada sang Bapa. Boleh-boleh saja tafsir seperti itu tetapi - sekali lagi menurut hemat saya - itu juga bukan tipe Yesus.
Sampailah saya pada alternatif perspektif yang berikutnya yang saya yakini jauh lebih mendekati kebenaran Firman Tuhan tentang jati diri Yesus. Begini: Tuhan Yesus sadar bahwa Salib dan Penyaliban pasti terjadi karena keadilan Allah. Hukuman sudah dijatuhkan dan itu harus terjadi. Compromise no more. Tidak ada pilihan lain. Betuk penghukumannya juga sudah pasti seperti nubuat para Nabi. Ya, penyaliban yang adalah hukum yang amat mengerikan dan menghina itu tak boleh berubah. Tak bisa diubah. Harus seperti itu. Tuhan Yesus juga tahu bahwa manusia si pecundang tak akan mampu menanggung Salib yang nista itu kecuali DIA. Lalu apa yang membuat Yesus amat menderita? Menurut saya, Yesus amat menderita justru karena keterlibatan manusia dalam proses penghukuman itu. Tangan Bangsa Israel sebagai ruang budaya kehidupan Yesus sekali lagi akan berlumuran darah dan kali ini adalah darah Mesias mereka sendiri. Mesias yang dinanti-nantikan begitu lama. Tangan umat pilihan ini kembali harus berlumuran darah bahkan kali ini darah anggota komunitasnya sendiri. Ingat bahwa Yesus terlahir dan sampai mati adalah seorang Yahudi. Dalam hukum Yahudi, amat terlarang "jeruk makan Jeruk" atau "Jahudi makan Jahudi".
Yesus yang mau memahami perilaku dan kedosaan manusia dengan segala konsekuensinya itu rupanya memasuki taman Getsemani dengan beban itu. Dia akan mati di Salib tetapi bagaimana dengan nasib manusia si pecundang yang membunuh-Nya itu? Jika kematian-NYA adalah bentuk ultimat terhadap penebusan dosa bagaimana dengan tanggung darah oleh kaum pembunuh-NYA? Yesus tahu betul bahwa jawaban terhadap dosa akan segera dimiliki oleh manusia melalui Kematian dan Kebangkitan-NYA tetapi bukankah manusia bebas memilih ataukah selamat ataukah maut. Apakah si degil manusia mau belajar dari kesalahan mereka tentang penyaliban. Apakah jauh setelah penyaliban, manusia tak lagi gemar menebar kebencian? Yesus tahu betul bahwa Dia sudah menyiapkan jembatan emas Keselamatan menuju Allah, yaitu diri-NYA sendiri tetapi apakah pendewaan terhadap diri sendiri, kekuasaan, keterkenalan dan kekayaan tidak lagi menjadi pilihan hidup manusia? Saya membayangkan dalam pergumulan batinnya yang dahsyat mungkin Tuhan Yesus berkata dalam hati-NYA
..."mengapa ya Bapa, aku digariskan harus mati oleh tangan manusia yang aku cintai itu? Tak adakah jalan lainkah? Aku adalah harapan bangsa degil ini .... Akulah harapan sebenarnya bangsa sesat ini.....jika aku harus mati, siapakah harapan mereka? Ya Bapa, mengapa aku harus mati di tangan mereka? Karena keadilan MU, adakah mereka diloloskan dari hutang darah atas kematian KU? ... Ya Bapa, mengapa, hanya karena berbeda visi dan klaim kebenaran sepihak, Penyaliban ini harus terjadi....Ya Bapa, mengapa siklus pertumpahan darah atas nama perbedaan visi dan klaim kebenaran masih harus terjadi lama setelah Penyaliban ini?Tentang ini saya mengajak anda semua untuk mengingat kisah Kain yang harus menerima hukuman atas pembunuhan yang dilakukan terhadap adiknya Habel. Anda juga tak boleh menutup mata terhadap fakta sejarah bahwa 40-50 tahun setelah penyaliban Yesus, Bangsa Israel dihancur leburkan oleh Romawi dan diserakan ke seluruh penjuru dunia. Kisah kelam bangsa Israel masih akan terus berlangsung amat lama sampai masa tangan berdarah si Monster Hitler yang membunuh 6 juta orang Yahudi. Apakah ini bukan bentuk hukuman tanggung darah terhadap kejahatan mereka membunuh Mesisnya sendiri? Anda juga jangan melupakan konsteks sosial, politik dan historis bahwa dalam peristiwa Penyaliban Yesus terpaut banyak aspek yang menunjukkan intrik politik, intrik kekuaasaan, intrik keagamaan dan bahkan intrik pengkhianatan. Ya, Yesus adalah korban tak berdosa dari intrik-intrik yang terjadi. Fakta menunjukkan bahwa korban tak berdosa dan sia-sia dalam berbagai sengketa di dunia begitu amat luar biasa banyaknya. Ratusan juta nyawa meregang percuma selama perang Salib, perang antara kaum Protestan dan Katolik, di Eropa, WW I, WW II, Perang Vietnam, Perang Teluk, kerusuhan Mei 1998 di Indonesia, peristiwa 9-11 di New York dan ribuan peritiwa berdarah lainnya. Yesus mengetahui itu. Yesus mengenal betul kedegilan hati manusia kesayangannya itu. Pasti. Salib memang diperlukan tapi Yesus ragu akan kemauan manusia untuk belajar dari Salib. Dan karenanya Dia menderita. Dia menangis.
Dalam perspektif yang saya tawarkan ini pusat perhatian saya bukanlah upaya Yesus untuk bernegosiasi dengan Sang Bapa tentang keluputan-NYA dari Penyaliban melainkan CINTA KASIHNYA YANG AMAT MURNI DAN TAK TERBATAS BAGI MANUSIA. Sisi inilah yang mengejutkan dari Yesus seperti yang dikatakan oleh Tim Stafford (2010) dalam bukunya "Surprised by Jesus" bahwa pribadi Yesus adalah pribadi yang sugguh sangat mengejutkan bagi banyak orang yang mengaku mengenal Dia. Salah satu ciri khas Tuhan Yesus adalah beliau selalu berpikir dalam suatu kesatuan persekutuan. Itulah penjelasannya mengapa Yesus yang sama sekali tidak memiliki dosa tetapi malah menyerahkan diri-NYA untuk dibaptis oleh Yohanes Pembaptis. Dia melakukan itu karena Dia solider dengan manusia yang berdosa dan membutuhkan pembaptisan. Itu pula penjelasannya mengapa Tuhan Yesus amat sering bergaul dengan mereka yang terpinggirkan, yaitu si pezinah, si pemungut cukai dan yang lainnya. Setiap tindak-tanduk Yesus selalu memberi petunjuk bahwa...."hei, aku mencintai kalian dan karena itu aku mau masuk dalam penderitaanmu, dalam kesusahanmu, dan bahkan .... dalam dosamu. Bayangkan, di tengah ancaman Salib yang akan dikenakan kepada-NYA, Yesus malah memikirkan manusia. Jelas sudah, siapa yang digumulinya dengan penuh penderitaan di Getsemani. Siapa yang di tangisi-NYA di Getsemani. Bukan diri-NYA sendiri melainkan Manusia. Luar biasa.
Berkali-kali saya membaca Lukas 22: 42-44 dan saya selalu cemas akan "ketakutan" Yesus. Tetapi syukurlah, kali ini saya memahaminya dari perspektif yang berbeda. Yesus boleh saja menderita, cemas, gelisah atau takut sekalipun tetapi saya tahu kini bahwa obyek ketakutan-NYA bukanlah diri-NYA sendiri. Yesus pertama-tama tidak sedang berpikir kepentingan diri-NYA sendiri. Manusialah yang ada dibenak-NYA sepanjang hidup dan karya_nya bahkan ketika DIA berada begitu dekat dengan dengus napas seringai jahat sang maut. Itulah demonstrasi Cinta Kasih Yesus yang tak tertandingi. Di zaman ketika semangat mementingkan diri sendiri begitu merebak bukankah teladan YESUS terasa amat luar biasa? Ketika di Libya semua berperang melawan semua, ketika para pelaku teror bom di Indonesia hanya memikirkan isi kepalanya sendiri, dan ketika para petinggi DPR sibuk mencari-cari alasan pembenaran dalam pemborosan pembangunan gedung DPR yang baru, dan ketika para penggemar George Toisuta dan Arifin Panigoro sibuk memikirkan kepentingan diri mereka sendiri di PSSI maka teladan Yesus adalah oase penyejuk di tengah padang pasir kepentingan diri itu.
Sahabat Kristiani, jika perspektif ini bisa diterima maka jelaslah sudah Tuhan Yesus bukanlah pecundang nan penakut melainkan adalah sumber mata air cinta kasih yang teramat luas dan dalam. Inilah Yesus Tuhanku. Penebusku yang hidup. Kepada-NYA layak saya mempertaruhkan hidup dan peruntungan hidup. Ketika saya tak memperdulikan Dia malah sebaliknya, Dia berpikir ten

Shalom Tuan Shalom Puan