Sebenarnya saya sudah bersusaha untuk menghindari posting sesuatu yang sekedar ikut-ikutan. Jika hari ini isunya adalah bla bla bla, saya ikutan bla bla bla. Mirip bebek pengekor. Bisa jadi lebih gawat karena bunyinya yang saya keluarkan dapat menyimpang dari aslinya menjadi ble ble ble atau blo blo blo trus go...blog....waaahhh. Tapi kali ini saya melanggar "pakem" yang saya buat sendiri. Tak apalah, wong otak ku sendiri. Tanganku dhewek. Preketheeeekkk lah. Saya tak tahan untuk tidak mengomentari apa yang terjadi di rekipliek tersayang akhir-akhir ini. Saya menjadi gelisah dan meluncurlah tulisan ini. Tagal kegelisahan itu maka posting ini tidak seperti biasa. Posting ini reaktif tapi sejujurnya kehilangan kedalaman. Terhadap satu isu biasanya saya mengendapkan dahulu. Berusaha memahami persoalan dan barulah bercakap-cakap bla bla dan blaaaaaaa......tapi kali ini, tidak. Apa boleh buat, namanya juga sedang jengkel.
Ada perkara yang ingin saya sampaikan tetapi saya sendiri belum tahu how to overcome-nya. Glap gulita bak kota Kupang kehilangan cahaya listrik PLN yang suka byar pet suka-suka, mana suka, su ba suka. Byar untuk urusan tagihan rekening dan pet ketika urusannya adalah servis. Karena itu, sekali lagi Bung dan Zoes, substansi posting ini melulu adalah keluh kesah dan tidak terstruktur dengan baik. Bagian I adalah pendahuluan (ya yang sekarang ini). Bagian II adalah tempat saya akan "mengomel" suka-suka, su ba suka, dan mana suka (lihat saja nanti). Bagian III adalah "yo wis" terserah. What ever will be will be. Che Sara. Lantas dimana perspektif solusi? Tidak ada karena ya itu tadi: what ever will be will be. Si Ever su pi bet ju pi . Che Sara. Sengsara. Apa gerangan bro en sist?
Satu dua hari belakangan saya dibuat terheran-heran sekaligus bingung dengan peristiwa-peristiwa yang ber-sliweran di sekitar kita. Aneka peristiwa ini tampaknya berkorelasi negatif dengan martabat bangsa. Bukan cuma itu, beberapa peristiwa memberikan indikasi dan atau pesan yang amat jelas bahwa masa depan NKRI sungguh sangat terancam. Tapi anehnya, semua berjalan like business as ussual seperti kesan saya pada posting tentang sindroma lemming.
- Perda dan pergub di beberapa daerah yang "melarang gerakan Ahmadiyah" seolah-olah anggota Ahmadiya bukan WNI. Perda atau pergub yang diterbitkan belakangan secara langsung bertentangan dengan Pancasil dan UUD 1945 tapi malah dengan amat bersemangat digelorakan oleh sebagian warga negara yang mayoritas lantas pemeriintah pusat diam. Anehnya, terhadap perda seperti itu Pak SBY en cs diam tapi begitu ada berita dari koran kecil di Australia - The Age - memberitakan dugaan kelakuan SBY en his famili en all the president man wuuuuaaaahhhh....Istana geger. Ibu Ani SBY, konon katanya, nangis-nangis. Untuk siapa Ibu menangis? Apakah Ibu Ani juga menangisi nasib anggota Ahmadiyah yang terancam kehilangan sebagian hak azasinya dan atau hak sipilnya untuk berkeyakinan dan bahkan beberapa anggotanya terbunuh di Cukeusik?
- Penutupan tempat beribadah orang-orang Kristen terus saja terjadi. Terakhir kita dengar kejadian di kota Bogor. Apakah orang Kristen hanya boleh beribadah di daerah mayorita Kristen? Jikalau benar begitu maka masihkah negara ini bisa kita sapa sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia?
- Pengiriman paket bom buku yang menurut sebagian pakar adalah paket bom yang hanya bisa dirakit oleh mereka yang terlatih. Kata Pak Hendropriyono.: "ini pekerjaan pemain lama, kelompok teroris yang memanipulasi agama". Bom ini sudah makan korban di daerah Utan Kayu, Jakarta Timur ketika dialamatkan kepada mister Ullil sang tokoh JIL. Hampir semua analis mengatakan bahwa dilihat dari pola-polanya maka jelas "pesan" paket bom ini adalah ... "matilah dikau wahai pluralisme". Jika memang itu pesannya maka patut diduga bahwa pesan besar yang sebenarnya adalah ... "matilah dikau wahai NKRI". Is that right sir en sor? (tuan dan puan maxud-nya).
- Ada gejala TNI mulai "kehilangan kesabaran" melihat "masyarakat reformasi" pasca 1998. Demokrasi menghasilkan keriuhan dan TNI yang terbiasa dengan perintah siap grak hormat grak lalu, mungkin saja, bernostalgia dengan "ketertiban" masa dwi fungsi yang membikin mereka amat sangat berkuasa di republik ini. Apa indikatornya? saya beri 2 contoh: 1) ketika TNI ikut secara aktif terlibat dalam "operasi sajadah" yang mengurusi orang-orang Ahmadiyah di Jawa Barat. Tidakkah hal ini bertentangan dengan UU. No. 34/2004 tentang TNI? Apakah sudah ada kebijakan dan keputusan politik negara untuk tugas selain perang perang, sebagaimana yang diamanatkan dalam ayat (3) pasal 7, yatu bahwa TNI ikut mengurusi Amadiyah?; 2) Matinya anak remaja di Atambua karena dianiaya oleh anggota TNI tagal teman satu corps dipalak oleh si remaja dkk. Pertanyaan yang sama adalah apakah hal ini tidak bertentangan dengan UU No. 34/2004.
- Jepang dilanda 3 bencana sekaligus. Gempa bumi 8.9 SR, tsunami pascagempa dan rusaknya rektor nuklir di Fukushima pasca tsunami. Apa yang diperlihatkan oleh bangsa Jepang? Mereka tetap tenang, tetap menjalankan order sipil (tidak ada huru-hara orang ngamuk), dan cukup rendah hati mengaku memerlukan bantuan internasional. Kesulitan dihadapi dengan penuh martabat. Saya teringat pengalaman bangsa yang lainnya yang pernah tertimpa bencana gempa dan tsunami di tahun 2004. Dalam kesulitan masih ada saja huru-hara, ada aktivis LSM yang tertangkap "menjarah" barang batuan lalu ramai-ramai dikepruki tentara, di sana-sini terdengar teriakan ... "hei, bantuan asing perlu dicurigai karena ada agenda tertentu" (sudah dibantu malah curiga), saling komplain soal proyek-proyek rehab-rekon dll dll. Bangsa ini yang saya maksudkan ini juga pernah "mengusir pergi" para relawan asing yang membantu sewaktu terjadi gempa di kota mereka yang dijuluki kota pelajar. Ibu kota negara dari bangsa yang saya maksudkan tesebut pernah mengalami bencana banjir yang parah. Ketika itu perahu bantuan malah disewakan oleh petugas kepada para korban banjir. Anda tahu bangsa yang saya maksudkan? Ya, bangsa kita inilah. All about dignity of nation. Belum cukupkan gambaran itu? Lihatlah dan coba berikan makna ketika FIFA ingin menegur PSSI, skaligus menampar nurdin halid, dilakukan di Timor Leste Negeri bekas teritori Indonesia. Malunya jadi berlipat ganda. Kita suka bicara bahwa kita bangsa besar dengan harga diri yang tinggi tapi bagaimana faktanya? Tak tega saya mengatakannya.
- NTT adalah propinsi kelautan yang sarana - prasarana tarnsportasinya sering menjadi faktor kendala dalam mobilitas antara pulau. Pemerintah pusat lalu mengirim bantuan sebuah kapal motor penyeberangan (KMP). Bukannya dipakai malah oleh Pemda - katanya sudah berkonsultasi dengan pemerintah pusat - lalu menyewakan KMP ini kepada pemerintah Timor Leste. Lucu? Ya, sangat.
Lagu itu berjudul "Che Sara". Saya ingat lagu ikarena ada memori tersendiri. Doeloe kala lagu ini pernah saya nyanyikan sambil bermain gitar guna "mengetest" kemampuan bernyanyi saya. Lho mengapa demikian? Saya ceritera sedikit. Pada waktu itu, di antara tahun 1978 - 1981, Kota Kupang dilanda demam anak-anak muda yang berlomba-lomba mendirikan grup vokal - vocal group. Bermodalkan 1 atau dua buah gitar + beberapa orang yang asal menyanyi tidak fales, jadilah sudah VG. Nah, saya kebetulan punya sedikit kemampuan bermain gitar. Tagal itu, jadilah saya anggota VG di SMA 1 Kupang. Sekolah saya. Di luar sekolah, sayapun ikutan VG yang sering mengisi liturgi puji-pujian di beberapa Gereja di Kota Kupang. Wah, top markotop-lah itu. Tapi posisi sebagai pemain gitar belumlah memuaskan hati saya benar. Diam-diam saya juga mengincar posisi sebagai leading vocalis yang adalah the front man dalam grup dengan segala macam "keuntungan". Keuntungan macam mana? Jualan. Lah jualan apa? Jual tampang....wkwkwkwkwk....Sebagai pemain gitar, saya merasa agak terhalangi oleh the front man sebagai pusat perhatian....narsis memang, itu saya akui. he he he he....Karena "niat luhur" ini maka saya lalu belajar menyanyikan lagu che sara-nya Jose Feliciano (sebenarnya terinspirasi oleh seorang teman SMA - kalau tidak salah ingat namanya adalah Ary Leo - yang suaranya terdengar indah jika menyanyikan lagu ini). Agak ribet syairnya karena bahasanya terasa aneh tapi sikat terus. Mau jadi apa jadilah sudah, begitu tekad saya (ternyata belakangan saya baru tahu bahwa itulah artinya che sara). Lalu di depan tape recorder saya menyanyikan an merekam lagu itu + 1 lagu dari Koes Plus - kisah sedih di hari minggu. Bagaimana hasilnya? Luar biasa, beberapa orang yang mendengarkan hasil kerjaan saya mengomentari bahwa...he, lu pung suara bagus juga eeee.....wwwhhhuuaaaaaiiiihhhh.....melenting sudah ke langit ke tujuh. Saya bisa menyanyi. Saya bisa menyanyi. Begitu saya membatin. dan memuji diri sendiri. Apa "pesan" dari balada saya dan lagu che sara? Ini dia: nekad, agak ngawur dan lalu...narsis.
Dear sahabat, begitulah bagian penutup dari posting ini, yaitu saya ingin kasi tau - kalau kasih tahu nanti ada yang tanya tempe - sama anda semua bahwa terhadap berbagai fenomen sosial politik bangsa ini saya sedang tidak punya gagasan apa-apa. Kalo begitu saya maka jalani saja hidup sebagai anak bangsa ini dengan modal nekad - bondo nekad alias bonek. Mungkin itu modal kita dalam bernegara. Seperti kata Bung Karno dulu...."merdeka dulu, urusan lain menyusul".
Bagi Bung Karno, kemerdekaan itu dia analogikan dengan kawin. Ada yang berani kawin, lekas kawin, dan ada yang takut kawin. Ada yang berani kawin “kalau sudah punya rumah gedung, sudah ada permadani, lampu listrik, dan tempat tidur mental-mentul”. Ada yang berani kawin “kalau sudah mempunyai meja satu, kursi empat, dan tempat tidur”. Beda dengan orang Marhaen, yang “kalau punya satu gubug, satu tikar, satu priuk : dia kawin”. “Sang Klerk dengan satu meja, empat kursi, dia kawin”. Jadi, yang jadi soal adalah : “kita ini berani merdeka atau tidak?” karena kalau masih menunggu ini itu selesai sebelum merdeka, atau menunggu tiap-tiap dari 70 juta rakyat Indonesia merdeka dulu jiwanya, maka “sampai lobang kubur pun Indonesia tidak akan pernah merdeka”. (Bung Karno dalam persidangan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, Juni 1945)
Begitulah Bung dan Zoes, kadang-kadang terlalu njemlimet denga persoalan kita bisa mandeg. Bisa tidak bekerja apa-apa. Sekali-sekali ayo kita tidak usah berpikir terlalu rumit - mersangsek saja dahulu, maju dahulu dan persoalan ditangi belakangan. Mujarabkah metode ala Bung Karno ini? Tak tahulah awak ni. Sejarah rekiliek dan Bung Karno membuktikan bahwa nekad bisa membawa kita kepada tujuan tetapi lalu ketika telah beada di tempat yang dituju kita bisa ngawur dan kehilangan arah. Ajaibnya kita kerap bangga dengan keanehan itu dan lalu narsis. Benarkah saya? Suka-suka. Mana suka. Su ba suka. Che sara.
Che Sara - Jose Feliciano
Jose Feliciano adalah penyanyi Amerika Serikat yang lahir di Puerto Rico. Dia memiliki jejak karir dan diskografi yang panjang dan cemerlang. Sejak berusia 3 tahun Jose telah menyanyi. Pada tahun 1963, ketika dia berumur 18, dia dikontrak oleh perusahaan rekaman RCA Victor. Sejak itu ratusan lagu, baik yang berbahasa Inggris maupun Spanish-Latin, telah direkam Jose Feliciano. Puluhan di antaranya "meledak" di tangga-tangga lagu dunia. Lagu "che sara" direkam oleh Jose dan mendapatkan kepopuleran yang luar biasa di Eropa dan Asia. Jose mencapai puncak ketenarannya. Enam (6) buah Grammy Awards serta puluhan penghargaan lainnya menjadi bukti "kesaktian" Jose.
Lagu dengan tema "terserah" seperti ini pernah pula dinyanyikan oleh penyanyi perempuan Doris Day di tahun 1950 - 1960-an. Silakan dengar. Bagus juga.
Doris Day - Que sera sera
Nah, supaya jangan terlalu jadul, bagaimana dengan che sara ala Indonesia yang dinyanyikan Glenn Fredly di bawah judul "terserah"
Di antara 3 "model" che sara di atas anda suka yang mana? Che Sara. Que Sera. Terserah. What Ever Will Be Will Be (si ever pi bet ju pi - terjemahan seenaknya dalam bahasa kupang xi xi xi)
Tabe Tuan Tabe Puan