
Tepat hari ini dua tahun lalu, saya dan 9 orang saudara - laki dan perempuan - tiba-tiba menjadi anak-anak Yatim. Bapak Robert "SGT" Riwu Kaho pergi sudah ke "negeri seberang sana". Saya masih ingat betul kenangan 1-2 hari sebelumnya.
Tanggal 20 April 2008 pagi-pagi saya, berdua besama isteri, berangkat ke Gereja untuk beribadah karena hari itu adalah hari minggu. Seusai kebaktian, sambil berjalan menuju mobil, saya berkata pada isteri saya : "saya kepingin membeli mobil baru yang lebih layak pakai, mudah-mudahan dalam tahun ini juga". Isteri saya tampak diam saja tetapi saya lirik ada binar senang di matanya. Lantas, dari gedung Gereja saya singgah sebentar ke "rumah induk". yaitu rumah kediaman bapa Robert dan mama Tien. Setibanya di sana, Ayahanda Robert sedang berbaring di tempat tidur sambil membaca Alkitab. Lalu, seperti umumnya orang Sabu yang bertemu saya melakukan ritual "Ciom Sabu" kepada Ayahanda. Oh ya, sudah pasti ritual itu di sambutnya dengan hangat. Lantas, kami terlibat percakaan yang pada awalnya ringan-ringan-ringan saja tetapi berkembang ke arah yang amat serius. Ayahanda berceritera panjang lebar tentang kisah hidupnya yang pernah amat menderita. Menurut beliau, hidupnya bisa membawa guna bagi banyak orang semata-mata hanya karena TUHAN. Beliau juga kembali memberi catatan panjang tentang hidup dalam ikatan keluarga besar yang memerlukan banyak pengorbanan. Saya ingat betul kata-kata berikut ini:
Kemudian, Ayahanda mulai mengeluarkan beberapa catatan tentang kami ber-10, anak-anaknya. Satu-satu dibahas. Ada kegetiran tertentu. Tetapi ada juga kebahagiaannya. Hampir 2 jam kami berdiskusi, akhirnya saya mohon permisi untuk kembali ke rumah. Di akhir percakapan kami adalah tukar kata seperti ini:
Akhirnya, saya ke pantai. Lalu, tunggu punya tunggu Ayahanda tidak datang juga bergabung bersama saya di pantai. Sayapun menelepon Ayahanda:
Malam itu, saya membuat 1 buah posting di blog tentang "mother earth" menjelang peringatan hari bumi. Di dalam posting itu, antara lain saya menulis sebagai berikut:
Hari senin tangal 21 April 2008, saya amat sibuk dengan berbagai urusan pekerjaan dan tidak sempat menengok Ayahanda dan Ibunda.
Hari selasa, 22 April 2008, sejak pagi sampai sore saya juga amat sibuk dan tidak sempat menengok atau mengontak Ayahanda dan Ibunda. Akan tetapi sekitar pukul 7 malam, tepat setelah saya selsai melantunkan doa safaat pada Ibadat di Rayon, saya dijemput Norman, anak sulung saya, yang menyampaikan pesan Ibunda agar saya segera pergi ke rumah sakit menegok Ayahanda. Dia baru saja jatuh pingsan di dalam rapat Yayasan Pendidikan milik GMIT dan dirawat di RSU dalam keadaan koma...."waduh TUHAN, gawat nih"....dan benar saja, setibanya saya di rumah sakit, Ayahanda sudah tidak bisa apa-apa lagi.
Tanggal 23 April Malam hari. Setelah 1 hari dirawat tanpa kemajuan apa-apa, akhirnya malam hari itu juga .....TUHAN menjemput Ayahanda kembali ke rumah asalnya, yaitu RUMAH BAPA DI SURGA ..... Saya, dan kami semua, tak lagi punya bapak di muka bumi ini. Kami Yatim. Delapan bulan kemudian, Ibunda "pergi juga menyusul Ayahanda". Kami Yatim Piatu..
Sahabat terkasih, tentang Ayahanda saya tidak ingin mengulang-ulang hal-hal lama yang pernah saya tulis di blog ini tetapi ijinkan saya untuk mengenang bahwa "sebenarnya" apa yang akan saya alami pada tanggal 23 April 2008, yaitu "kepergian" Ayahanda, sudah ada tanda-tanda sebelumnya. Mengapa dia harus berbicara panjang dan lebar tentang kisah hidupnya dan kebahagiaan serta kegetiran di saat-saat akhir hidupnya?. Mengapa dia harus berpesan bahwa di dalam hidup, pengunaan rasio tak kalah penting dibandingan dengan perasaan?. Mengapa dia menyampaian pesan yang amat jelas bahwa ada batas kekuatan manusia dan di batas itu dia perlu beristirahat?. Mengapa saya harus menulis bahwa adalah "mother earth" yang akan memeluk anak-anaknya di dalam dekapanya di akhir setiap kehidupan jasmani?
Di dalam ilmu filsafat dikenal 3 jenis obyek kajian, yaitu apa hakikat kenyataan, bagaimana kita dapat mengetahui kenyataan dan apa yang harus kita lakukan di dalam kenyataan. Lalu untuk apa semua hal itu dikaji? Jawabannya cuma 1, yaitu menemukan kebahagiaan. Sekarang, perhatikanlah 3 episode terakhir pertautan saya dengan Ayahanda almarhum di saat-saat terakhir hidupnya:
Pada saat masih aktif sebagai Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di antara tahun 1987 - 1993, Ayahanda pernah menulis sebuah buku yang berjudul "tri bajik eka cita" atau 3 tindakan baik guna 1 tujuan. Tentang buku ini akan saya ulas pada seri kedua tulisan ini. Tetapi apa yang dilakukan di saat terakhir hidupnya ternyata adalah bahwa beliau kembali menulis 1 buah buka, khusus dipersembahkan kepada saya, yang berisi pesan bahwa "pahamilah hidupmu, gunakanlah rasa dan akal dalam menjalni hidupmu serta capailah kesadaran diri supaya dapatlah kita menjadi berarti di dalam hidup". "Dengan semua itu kamu akan berbahagia". Ya, Ayahanda Robert "SGT" Riwu Kaho telah menyelesaikan karya terakhirnya, yaitu 3 bajik 1 cita. Terima kasih Ayahanda Tercinta. Damailah kamu bersama Ibunda di dekat TUHAN.
Terima Kasih TUHAN karena di satu masa ENGKAU pernah mengirimkan seseorang yang begitu hebat guna bertindak sebagai Ayahanda bagi saya. Amin.
Tabe Tuan Tabe Puan
Tanggal 20 April 2008 pagi-pagi saya, berdua besama isteri, berangkat ke Gereja untuk beribadah karena hari itu adalah hari minggu. Seusai kebaktian, sambil berjalan menuju mobil, saya berkata pada isteri saya : "saya kepingin membeli mobil baru yang lebih layak pakai, mudah-mudahan dalam tahun ini juga". Isteri saya tampak diam saja tetapi saya lirik ada binar senang di matanya. Lantas, dari gedung Gereja saya singgah sebentar ke "rumah induk". yaitu rumah kediaman bapa Robert dan mama Tien. Setibanya di sana, Ayahanda Robert sedang berbaring di tempat tidur sambil membaca Alkitab. Lalu, seperti umumnya orang Sabu yang bertemu saya melakukan ritual "Ciom Sabu" kepada Ayahanda. Oh ya, sudah pasti ritual itu di sambutnya dengan hangat. Lantas, kami terlibat percakaan yang pada awalnya ringan-ringan-ringan saja tetapi berkembang ke arah yang amat serius. Ayahanda berceritera panjang lebar tentang kisah hidupnya yang pernah amat menderita. Menurut beliau, hidupnya bisa membawa guna bagi banyak orang semata-mata hanya karena TUHAN. Beliau juga kembali memberi catatan panjang tentang hidup dalam ikatan keluarga besar yang memerlukan banyak pengorbanan. Saya ingat betul kata-kata berikut ini:
Dalam hidup berkeluarga jangan lu hitung untung rugi secara material karena kalo lu bekin begitu lu akan liat lebe banyak ruginya. Karena itu yang harus lu lihat adalah kebahagiaan dari hidup dalam keluarga yang rukun,. Tidak ada uang untuk membeli kerukunan.
Kemudian, Ayahanda mulai mengeluarkan beberapa catatan tentang kami ber-10, anak-anaknya. Satu-satu dibahas. Ada kegetiran tertentu. Tetapi ada juga kebahagiaannya. Hampir 2 jam kami berdiskusi, akhirnya saya mohon permisi untuk kembali ke rumah. Di akhir percakapan kami adalah tukar kata seperti ini:
Saya: ini bapa hari mau pi mana, beta siang nanti mau pi berenang di pantai
Ayahanda: eh, bapa ikot pi pantai eeee tapi abis acara paguyuban Bagelen Purworejo
Saya: Bapa, beta ada rencana beli mobil ni, karmana eeeee....
Ayahanda: Eh, sonde usah. Pake bapa punya saja Kalo bapa mati sapa yang urus bapa punya mobil...hemat-hemat .... rasa-rasa kalo mau mengeluarkan uang...hitung baik-baik ....
Akhirnya, saya ke pantai. Lalu, tunggu punya tunggu Ayahanda tidak datang juga bergabung bersama saya di pantai. Sayapun menelepon Ayahanda:
Saya: bapa di mana ni? jadi berenang ko sonde?
Ayahanda: eh, kelar acara paguyuban,sopir minta ijin ada acara. Bapa juga merasa cape' ni...bapa istirahat saja dahulu ya.....
Malam itu, saya membuat 1 buah posting di blog tentang "mother earth" menjelang peringatan hari bumi. Di dalam posting itu, antara lain saya menulis sebagai berikut:
Bumi adalah pemberi hidup. Tempat kita berlindung. Tempat kita berteduh. Tempat kita menimba air. Tempat kita mengambil makanan. Tempat kita berbaring dan dipangku. Bahkan, pada hari ketika nyawa pergi dari badan maka bumilah yang akan memeluk jasad kita. Selamanya.
Hari senin tangal 21 April 2008, saya amat sibuk dengan berbagai urusan pekerjaan dan tidak sempat menengok Ayahanda dan Ibunda.
Hari selasa, 22 April 2008, sejak pagi sampai sore saya juga amat sibuk dan tidak sempat menengok atau mengontak Ayahanda dan Ibunda. Akan tetapi sekitar pukul 7 malam, tepat setelah saya selsai melantunkan doa safaat pada Ibadat di Rayon, saya dijemput Norman, anak sulung saya, yang menyampaikan pesan Ibunda agar saya segera pergi ke rumah sakit menegok Ayahanda. Dia baru saja jatuh pingsan di dalam rapat Yayasan Pendidikan milik GMIT dan dirawat di RSU dalam keadaan koma...."waduh TUHAN, gawat nih"....dan benar saja, setibanya saya di rumah sakit, Ayahanda sudah tidak bisa apa-apa lagi.
Tanggal 23 April Malam hari. Setelah 1 hari dirawat tanpa kemajuan apa-apa, akhirnya malam hari itu juga .....TUHAN menjemput Ayahanda kembali ke rumah asalnya, yaitu RUMAH BAPA DI SURGA ..... Saya, dan kami semua, tak lagi punya bapak di muka bumi ini. Kami Yatim. Delapan bulan kemudian, Ibunda "pergi juga menyusul Ayahanda". Kami Yatim Piatu..
Sahabat terkasih, tentang Ayahanda saya tidak ingin mengulang-ulang hal-hal lama yang pernah saya tulis di blog ini tetapi ijinkan saya untuk mengenang bahwa "sebenarnya" apa yang akan saya alami pada tanggal 23 April 2008, yaitu "kepergian" Ayahanda, sudah ada tanda-tanda sebelumnya. Mengapa dia harus berbicara panjang dan lebar tentang kisah hidupnya dan kebahagiaan serta kegetiran di saat-saat akhir hidupnya?. Mengapa dia harus berpesan bahwa di dalam hidup, pengunaan rasio tak kalah penting dibandingan dengan perasaan?. Mengapa dia menyampaian pesan yang amat jelas bahwa ada batas kekuatan manusia dan di batas itu dia perlu beristirahat?. Mengapa saya harus menulis bahwa adalah "mother earth" yang akan memeluk anak-anaknya di dalam dekapanya di akhir setiap kehidupan jasmani?
Di dalam ilmu filsafat dikenal 3 jenis obyek kajian, yaitu apa hakikat kenyataan, bagaimana kita dapat mengetahui kenyataan dan apa yang harus kita lakukan di dalam kenyataan. Lalu untuk apa semua hal itu dikaji? Jawabannya cuma 1, yaitu menemukan kebahagiaan. Sekarang, perhatikanlah 3 episode terakhir pertautan saya dengan Ayahanda almarhum di saat-saat terakhir hidupnya:
- Ketika Ayahanda berusaha menguraikan kisah hidupnya, yang terjadi adalah dia berusaha mencari makna atau hakekat dari kenyataan hidupnya.
- Ketika Ayahanda berusaha memperingatkan saya agar berhitung dalam pengeluaran, yang terjadi adalah dia sedang berusaha menjelaskan tentang penggunaan akal dan rasa dalam upaya mengetahui kenyataan
- Ketika Ayahanda mengabarkan bahwa dia tak bisa ikut berenang dan harus beristirahat, yang terjadi adalah dia sedang mengatakan bahwa hanya dengan mengenali batas-batas diri, kita akan mengetahui apa-apa yang dapat kita lakukan dalam hidup
Pada saat masih aktif sebagai Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di antara tahun 1987 - 1993, Ayahanda pernah menulis sebuah buku yang berjudul "tri bajik eka cita" atau 3 tindakan baik guna 1 tujuan. Tentang buku ini akan saya ulas pada seri kedua tulisan ini. Tetapi apa yang dilakukan di saat terakhir hidupnya ternyata adalah bahwa beliau kembali menulis 1 buah buka, khusus dipersembahkan kepada saya, yang berisi pesan bahwa "pahamilah hidupmu, gunakanlah rasa dan akal dalam menjalni hidupmu serta capailah kesadaran diri supaya dapatlah kita menjadi berarti di dalam hidup". "Dengan semua itu kamu akan berbahagia". Ya, Ayahanda Robert "SGT" Riwu Kaho telah menyelesaikan karya terakhirnya, yaitu 3 bajik 1 cita. Terima kasih Ayahanda Tercinta. Damailah kamu bersama Ibunda di dekat TUHAN.
Terima Kasih TUHAN karena di satu masa ENGKAU pernah mengirimkan seseorang yang begitu hebat guna bertindak sebagai Ayahanda bagi saya. Amin.
Tabe Tuan Tabe Puan