


Beberapa waktu yang lalu saya bertemu http://blogberita.net/2008/06/25/dua-pertanyaan-tanpa-jawaban-soal-tuhan/"> sebuah tulisan blog yang mengajukan pertanyaan ini: Dari mana asal Tuhan, apakah Dia tiba-tiba ada? Dalam kolom komentar, ada 165 komentar, jumlah yang 'luar biasa' untuk ukuran blog Indonesia. Komentar amat beragam. Ada yang sekedar mengutip ujaran kata musisi terkenal John Lenon, "God is a concep," sedang kebanyakan berada pada posisi ekstrim, minjem istilah @bm, PERCAYA. Simak ini!
"...pikiran kita manusia, tidak akan mampu menilai Dzat yang memiliki maha kekuasaan di dalamnya."
"Ngapain sampe nanya darimana asal usul Tuhan. Pokoknya Tuhan itu Ada dan Maha segal-galanya, yang menciptakan isi Langit dan Bumi..."
"... Untuk mengenal Tuhan, janganlah kita memakai logika atau pemikiran manusia. Tuhan adalah Tuhan dan manusia adalah manusia. Tuhan adalah Roh sedangkan manusia adalah daging. Oleh karena itu, agar bisa mengenal Tuhan, maka kita harus terlebih dahulu diurapi dengan Roh Kudus."
Lets go back to the question for a bit, apakah mempertanyakan keberadaan Allah sama dengan menyangkal keberadaanNya? Meyimak reaksi pembaca diatas, amat terkesan sikap percaya mengorbankan akal budi. Dalam sikap percaya yang 'buta' seperti ini, tidak heran, reaksi yang melulu muncul adalah 'pokoknya.' Pokoknya harus begini, begitu. Pokoknya harus beriman. Pokoknya jangan pakai logika. Pokoknya... pokoknya... TITIK! @bm benar, debat tentang konsep/realitas Allah dalam sikap ekstrim ini berbahaya.
Bagaimana dengan sikap lainya, menurut @bm, PERAGU? Yang pasti dalam budaya peragu di mana saya ada, dunia menjadi lebih 'nyaman.' Mengapa? Karena, "... metode kerja dalam filsafat adalah ragukan segala sesuatu. Menempel kepada sifat filsafat ini maka ilmu pengetahuan bekerja... maka ditemukanlah kapal uap, lampu pijar, kapal terbang, pesawat luar angkasa, telefon selular..." (@bm, Minggu, 03 Agustus, 2008). Tapi, lebih lanjut @bm katakan, dalam tradisi ini, muncul sikap ekstrim lainnya yang ditunjukan manusia durjana seperti Feuerbach, Freud, Nietzsche, Sartre. Mereka katakan Tuhan sudah mati. Tuhan adalah pikiranmu sendiri. Manusia menciptakan Tuhan. Fisafat mereka kemudian 'melahirkan' manusia paling jahat dalam sejarah manusia, Stalin (Uni Soviet), Mao Zedong (Cina) dan Hitler (Jerman). Tiga manusia jahat ini saja bertanggungjawab atas 100an juta nyawa manusia. Belum lagi rejim jahat lainnya, Nicolae Ceauşescu (Romania), Enver Hoxha (Albania), Kim Jong Il (Korea Utara), Pol Pot (Kambodia), Fidel Castro (Cuba) dll. Menyikapi 2 posisi ekstrim ini, dimanakah saya? Begini.
Saya adalah ORANG PERCAYA yang mengimani hukum ini: "Cintailah Tuhan Allahmu dengan sepenuh hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan seluruh akalmu. Itulah perintah yang terutama dan terpenting!" (Matius 22: 37 - 28). Artinya apa? Artinya, buat saya, realitas Sang Pencipta tidak saya imani hanya dengan sepenuh hati dan segenap jiwa tetapi juga akal. Artinya lagi, saya harus bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang 'berbau' filsafat seperti, 'Siapa yang menciptakan Allah?' Kalau tidak cilaka 12 karena kaum peragu gemar membuat kita kedengeran seperti orang tolol tidak berotak dan hanya punya blind faith.
Salah satu argumen yang paling kesohor tentang realitas Allah adalah argumen menurut Thomas Aquinas (1224 - 74), lainnya adalah Anselm of Canterbury (1033 - 1109). Aquinas memulai argumennya dengan memberi 2 hukum dasar ilmu pengetahuan yang berlaku hingga sekarang, "Sebab-Akibat." Hukum sebab-akibat memberikan suatu pengertian atas timbulnya suatu kejadian berdasarkan sebab sebelumnya. Silahkan kroscek ama @bm, seorang ilmuan besar di kampungnya!
Untuk menjelaskan ini, mari kita sederhanakan seperti ini: @bm ada didunia ini karena ada Sang Guru Tua (SGT), panggilan ayahandanya. SGT ada karena karena ada kakeknya @bm, sedang kakeknya @bm ada karena ada kakek buyutnya, terus-menerus seperti itu. Atau yang ini: Katakanlah A ada karena B, sedang B tidak muncul tiba-tiba, ia ada karena C dan seterusnya. Tapi, ada tapinya, menurut Aquinas, mencari sebab sebelumnya tidak mungkin indefinite, tanpa batas. Dus, perlu ada YANG AWAL yang menjadi sebab atas rantai 'causation of existence.' Aaaaaah betul sekali sahabat blogger, YANG AWAL itu saya panggil Bapa, Allah, yang berfirman, "Semuanya telah terjadi. Aku adalah Alfa dan Omega, Yang Awal dan Yang Akhir (Wahyu 21 :6). Tanpa Yang Awal, Nothing would have come into existence. Bagaimana, sudah mengertikah anda? Baiklah, mari kita sederhanakan lagi dengan contoh berikut ini.
Kali ini saya minjam 'cerita' sederhana karangan sejarahwan Thomas Woods. Suatu hari anda pergi ke kantor polisi untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM). Anda lalu disuruh untuk mengambil nomor tes. Saat hendak mengambil nomor, anda disuruh pergi loket sebelumnya untuk mengambil sebuah nomor. Anda pergi ke loket yang dimaksud, tapi disana, anda disuruh pergi ke loket sebelumnya lagi untuk mengambil sebuah nomor. Anda menjadi berang karena untuk mendapatkan nomor tes, anda harus ke loket sebelumnya, begitu terus. Anda merasa dimainkan oleh sebuh proses tanpa ujung. Anda putus asa dan memutuskan untuk pulang tapi pada saat itu anda melihat seseorang keluar dari kantor polisi memegang SIM baru. Anda pasti teramat lega karena terbukti bahwa proses mendapatkan nomor tes TIDAK MUNKIN go on and on and on, indefinitely.
Teori filsafat memang asyik, brain teaser, tapi seringkali hanya valid dalam ruang kuliah dan 'gatot' alias gagal total dalam realitas. Eksistensi @bigmike, saya dan anda serta jagat raya ini membuktikan realitas YANG AWAL, Sang ALFA yang berada diluar rantai causation of existence. Kita memang tidak mampu berkata banyak tentang Sang Alfa, tapi sudah bisa menetapkan Dia sebagai Yang Awal. Karena tanpa Dia, none of its effects -kita semua dan alam semesta- would be here.
Begitulah sahabat blogger, akhirnya kita sampai pada ini, apa yang ditakutkan @bm, bahwa kita memerlukan sekitar 120an komentar baru untuk menemukan bahwa kita tetap memerlukan 120an komentar baru lainnya, tidak perlu terjadi. Allah adalah sebuah realitas. Kalau anda meragukan realitas Dia, Sang Alfa itu, hakekatnya anda meragukan realitas anda sendiri. Karena tanpa Yang Awal -the First cause- anda tidak ada didunia ini.
Allah yang saya sembah adalah Allah yang Maha Besar. Allahu Akbar. Tapi Dia juga adalah Allah Maha Rasional. Sebagai mahluk ciptaanNya, saya diberi akal agar mampu, walau tidak sempurna, mengerti dan menyembahNya. Sebelum saya pamit, mungkin ada yang berminat menjawab ini: Mampukah Tuhan menciptakan sebuah benda yang sangat berat yang Dia sendiri tidak sanggup mengangkatnya?
Salam damai!