
Sahabat blogger terkasih,
Tak tahulah saya, mengapa membicarakan tentang Indonesia kok berasa enak-enak enek. Nggak dibicarakan, terlalu banyak perkara aneh bin ajaib di sekitar kita. FPI ngepruki orang. Ansor nyerang FPI. FPI bales mendemo kemana-mana dan bahkan bisa memaksa polisi membiarkan si Rizieq melakukan orasi di luar ruang tahanan (enggak tahu KUHP pasal berapa yang membolehkannya). Polisi menghantam mahasiswa. Gantian mahasiswa ngamuk dan membakar. BIN mulai lagi kembali ke hobi lamanya di masa orde baru, yaitu menginteli masyarakatnya sendiri. Sementara itu Malaysia malah membikin helipad hanya 7 meter dari perbatasan RI-Malaysia. Perahu nelayan Indonesia dibakar oleh polisi Australia di Indonesia sendiri. Si BIN diam saja. SBY-JK asyik sendiri. Pelajar perempuan bergaya preman. Geng Nero nabokin temennya sendiri bergaya kaisar Nero, si gila dari Romawi jaman dahulu. Jaksa main mata sama Artalyta. Apapun, mulut maunya diam tapi ...hati kita gelisah.
Sebaliknya, kalau kita mau ribut tentang Indonesia, ya ributnya sama siapa? Apakah yang kita omongkan di blog ini akan didengar mereka yang "di luar sana? Apakah isi blog ini dapat signifikan mempengaruhi keadaan? Nggak yakin saya. Di blog ini, yang terjadi malah ribut sendiri sesama blogger ketika Indonesia diperbicangkan. Dalam kegamangan seperti ini, untunglah blog ini punya sahabat setia yang mencatat bahwa biarpun orang-orang di blog ini suka bertengkar tetapi semuanya bisa kelar karena ada kasih dan persahabatan. Ahaaaaaa......kalau memang benar begitu maka saya tidak ragu lagi untuk memposting artikel berikut ini karena kebaikan memang tidak memerlukan kerumunan orang banyak untuk memulainya. Nah, Tanpa komentar lagi, inilah Posting dari WILMANA
NEGARA KALAH: Moralitas Pemimpin atau Siapa?
Sidang Pembaca yang terhormat, setelah menulis dari perspektif korporasi, kali ini saya pingin menulis governance & ethics dari perspektif negara. Mohon maaf jika ada hal-hal yang belum sepenuhnya cocok dengan pendapat, atau bahkan data dan info yang dimiliki sidang pembaca sekalian. Terima kasih banyak saya sampaikan kepada beberapa media yang menjadi sumber informasi saya. Baiklah, mari kita mulai.
Ada Apa Dengan SBY?
Dalam memberikan respon terhadap aksi kekerasan Laskar Islam pimpinan Munarman di Monas minggu (1/6), Presiden SBY melontarkan satu istilah yang menarik bagi saya.
”Negara tidak boleh kalah dengan perilaku kekerasan. Negara harus menegakkan tatanan yang berlaku untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia,” ujar Presiden dalam jumpa pers, Senin (2/6), di Kantor Presiden.
Beberapa hari ini saya merenungkan kata-kata SBY dan membandingkannya dengan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara di sekitar saya. Istilah menarik dari SBY, “negara kalah”, sungguh menggugah akal sehat dan nurani saya. Surfing saya di internet menemukan publikasi media news.okezone.com memberi ulasan yang cukup dramatis:
“Ya, negara tidak boleh kalah. Pernyataan lugas dan mengandung arti dalam. Negara ini harus tertib hukum. Tidak boleh suatu kelompok atau pribadi yang bebas hukum, jika mereka terbukti melanggarnya. Efek jera harus diberikan.”
Saya merenungkan, apa sesungguhnya yang berada di benak SBY ketika mengungkapkan hal ini. Rasa penasaran membuat saya berupaya menemukan pengertian tertentu di balik ungkapan “negara kalah” ini. Saya lalu melanjutkan surfing di beberapa media untuk mendapatkan informasi tambahan yang sekiranya dapat memberikan gambaran yang lebih jelas. Maka ketemulah di situs abeproject.wordpress.com kutipan tambahan dari seruan SBY pada Senin (2/6) tersebut, sebagai berikut:
”Tindakan kekerasan yang dilakukan organisasi tertentu dan orang-orang tertentu, mencoreng nama baik negara kita, di negeri sendiri maupun dunia. Jangan mencederai seluruh rakyat Indonesia dengan gerakan-gerakan dan tindakan-tindakan seperti itu,” ujar Yudhoyono.
Apa itu Negara Kalah?
Apa yang dikatakan SBY di atas menjadi makin jelas bahwa ternyata “negara kalah” ini ada kaitannya dengan kebiasaan baru warga negara yang suka bertindak anarkis dan arogan sesukanya tanpa peduli dampaknya bagi reputasi maupun penilaian dunia terhadap bangsa dan negaranya. “Negara kalah” rupanya ada kaitan dengan kebiasaan baru rakyat negeri ini yang tidak lagi mengindahkan ketentuan hukum negara hampir di segala aras.
“Negara kalah” juga rupanya berkaitan dengan makin menguatnya fenomena pembiaran Aparat Negara atas berbagai pelanggaran hukum, termasuk tindakan anarkis dan arogansi sekelompok masyarakat terhadap yang lainnya. “Negara kalah” rupanya ada hubungannya dengan gejala ketidakmampuan Pemerintah menjalankan kewajiban negara untuk memberikan perlindungan dan rasa aman terhadap warga negaranya sendiri.
Bahkan bisa jadi, lebih jauh lagi, “negara kalah” rupanya ada hubungannya dengan kebingungan Pemerintah memilih untuk konsisten mengembangkan demokrasi Pancasila, atau mengadopsi “demokrasi barat” sesuai propaganda Amerika Serikat, atau mengikuti bujukan beberapa elemen negara untuk menjalankan “demokrasi nabi” yang belakangan ini banyak didengungkan dan diperjuangkan secara luas di mana-mana.
Kita tau bahwa beberapa tahun belakangan ini, ada fenomena munculnya beberapa elemen negara yang memberikan penilaian buruk terhadap sistem tata negara yang dianut oleh negara ini. Era yang dikenal juga dengan istilah “era reformasi” ini, mulanya menimbulkan optimisme, tetapi segera berganti dengan pesimisme yang luar biasa. Kebebasan memang nampak, tetapi cenderung kebablasan. Berbagai elemen di negara ini dengan bebas mengkritisi sistem bernegara, sekaligus memperjuangkan solusi masing-masing, bahkan cenderung saling bersaing secara tidak sehat karena masing-masing memberlakukan truth claim doctrine terhadap apa yang diyakininya benar.
Moralitas pancasila sebagai bentuk formal sistem nilai moral dasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, semakin tenggelam dalam euforia berbagai sistem “tandingan”. Di awal era reformasi, muncul wacana mengubah format NKRI menjadi federasi, yang dengan mudah dapat kita duga siapa dalang dibalik ide ini. Ide-ide otonomi khusus atau otonomi diperluas telah menghasilkan peraturan perundang-undangan tersendiri. Sebelum itu, ditetapkan kesepakatan bangsa (politisi?) untuk mengamandemen UUD ’45. Fenomena yang paling terasa adalah pemekaran (perpecahan?) daerah tingkat I maupun tingkat II yang begitu merajalela nyaris tak terkontrol. Baru kemarin rakyat Banggai kepulauan dengan anarkis mengusir anggota DPR dan aparat Pemprov Sulteng dalam rangka memaksakan keputusan sepihak untuk bernaung ke Provinsi Malut.
Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa isu mengubah format sistem tata negara bukan lagi sekedar wacana, melainkan realitasnya sudah mulai bergulir bak fenomena bola salju yang menggelinding. Hal ini dapat dimaklumi karena elemen-elemen negara yang berjuang bagi perubahan sistem tata negara ini tidak hanya berwacana, tetapi berupaya mewujudkan ide-idenya melalui tindakan-tindakan nyata di lapangan. Hampir tidak ada institusi negara yang tidak disusupi oleh agen-agen perubahan ini. Hal ini dengan mudah terlihat pada fakta adanya berbagai keputusan strategis kenegaraan yang sudah dipaparkan di atas.
Banyak perubahan yang terjadi, jika dicermati lebih jeli sesungguhnya hanyalah gambaran “pertikaian” para agen perubahan yang menjalankan misinya masing-masing. Sudah bukan rahasia lagi bahwa sepak terjang “agen asing” dalam berbagai bentuk pendekatan politik, ekonomi, budaya, dan keamanan, tidak lepas dari ambisi menanamkan pengaruh dan ideologinya di negeri kita ini. Atau contoh lain adalah aksi-aksi kelompok-kelompok agama yang secara eksplisit meminta penerapan sistem tata negara berdasarkan syariat agama tertentu. Agenda ini rupanya demikian serius dan sistematisnya sehingga mengundang organisasi keagamaan internasional untuk secara spesial mengambil peran juga. Ada yang sukses bermetamorfosis menjadi partai politik, ada yang masih betah berstatus ormas meski kekuatan massanya, semakin hari semakin menggelembung.
Jika di kalangan islam, misalnya, selama ini dikenal cuma ada dua kekuatan besar, muhammadiyah dan NU, maka sekarang orang sudah harus memperhitungkan kekuatan organisasi transnasional (menurut Ketua Umum PBNU, Pen.) seperti Ikhwanul Muslimin dengan kendaraan polititiknya PKS dan ada juga organisasi kemasyarakatan Hisbut Tahrir Indonesia, yang sekali bergerak dapat memobilisir ribuan massa di seluruh wilayah RI secara serentak.
Melalui jalur politik, kekuatan-kekuatan yang saling bersaing ini dapat mempengaruhi kebijakan publik Pemerintah mulai dari tingkat pusat hingga ke daerah dengan berbagai Perda-Perda berbau syariat agama tertentu, misalnya. Bahkan kekuatan-kekuatan ini rupanya cukup mampu untuk melumpuhkan sendi-sendi bernegara sehingga dalam banyak hal nampak dalam bentuk sikap pembiaran Aparat terhadap berbagai tindak pelanggaran hukum dengan alasan kepentingan agama. Mulai dari aksi-aksi masa bodoh para politisi, aparat pemerintah, sampai pada berbagai bentuk anarkisme dan arogansi sekelompok masyarakat terhadap sebagian warga negara yang terus terjadi hingga tulisan ini dibuat.
Dampak sikut-menyikut di atas nampak pada fakta bahwa semakin hari semakin kelihatan ketidajelasan hukum di negara ini. Hukum formal negara tidak kunjung ditegakkan secara konsisten, sementara elemen tertentu di negara ini, dapat seenaknya bertindak anarkis dan arogan berdasarkan pada hukum agamanya, atau ada juga yang sekedar menggunakan hukum rimba sebagai pegangan.
Lewat gerakan-gerakan propagandis, rakyat disuguhkan iklan ala TV Indonesia tentang sistem demokrasi pancasila yang sekuler, pluralis, dan amburadul. Seiring dengan itu, semakin hari berbagai kelompok masyarakat dengan berani mempertunjukkan “efektifitas” hukum sendiri ketimbang hukum negara Pancasila yang dicap sekuler dan pluralis. Ormas-ormas keagamaan tanpa malu-malu memberlakukan fatwa haram terhadap apa saja yang diberi label sekuler dan pluralis. Karena itu, atas dasar hukum agama, siapapun seolah-olah dapat mengambil tindakan menghukum terhadap warga negara lainnya yang dianggap melakukan pelanggaran dan penodaan hukum agama.
Sidang Pembaca yang terhormat, pada titik inilah rupanya SBY menyuarakan tentang “negara kalah”. Negara yang tidak berdaya menghadapi tekanan-tekanan untuk menjatuhkan dan menghancurkan sistem tata negara yang resmi dianut oleh bangsa ini. Negara yang menghadapi gejala penurunan kualitas kehidupan berbangsa tanpa daya perlawanan sama sekali. Persis sistem komputer yang tak berdaya karena telah terinfeksi virus ganas yang menggerogoti sendi-sendinya secara sistemik.
Negara Kalah = Negara Gagal?
Beberapa waktu lalu, bigmike menyampaikan data survey efektifitas tata negara oleh majalah Foreign Policy. Data itu menunjukkan posisi Indonesia saat ini tergolong negara gagal. Tentang publikasi index negara gagal, sebenarnya dimulai tahun 2005. Di tahun 2005, Indonesia berada diperingkat 44, kategori warning. Ditahun 2006, Indonesia ada di peringkat 32, kategori ‘warning.’ Setelah 2 tahun berturut-turut Indonesia berada dalam kategori ‘warning’ maka di tahun 2007 Indonesia bukannya meningkat, tetapi justru mengalami penurunan kualitas tata negaranya. Sialnya, fenomena ini justru terjadi di era pemerintahan SBY.
Jadi nampaknya, ada kesenjangan antara keinginan SBY yang terungkap lewat penolakan terhadap “negara kalah” dengan kenyataan yang beliau hasilkan sebagai Kepala Negara. Kenyataan empiris menurut ukuran Foreign Policy, SBY malah membawa negara ini terpuruk pada ketegori negara gagal. Kata bigmike, Indonesia sekarang menjadi Indonesial.
SBY Punya Solusi?
Sidang Pembaca yang terhormat, saya memperkirakan bahwa SBY juga membaca hasil survey Foreign Policy itu. Makanya publikasi data Foreign Policy ini seolah-olah senada dengan sinyalemen “negara kalah” yang disuarakan oleh SBY. SBY malah memberikan ketegasan mengenai apa yang harus diperbuat oleh aparat negara dalam menyikapi sinyalemen ini. Hal ini nampak dari pernyataan SBY yang saya kutip kembali di sini:
Negara ini harus tertib hukum. Tidak boleh suatu kelompok atau pribadi yang bebas hukum, jika mereka terbukti melanggarnya. Efek jera harus diberikan.
Tindakan kekerasan yang dilakukan organisasi tertentu dan orang-orang tertentu, mencoreng nama baik negara kita, di negeri sendiri maupun dunia. Jangan mencederai seluruh rakyat Indonesia dengan gerakan-gerakan dan tindakan-tindakan seperti itu,” ujar Yudhoyono.
Pernyataan ini kembali menghidupkan api pengharapan dihati saya dan mungkin banyak lapisan masyarakat bangsa ini. Bahwa negara ini sesungguhnya masih memiliki peluang dan potensi untuk bangkit kembali dari keterpurukan. RI masih dapat meningkatkan sistem imun untuk melawan virus yang terlanjur menyerang secara sistemik. Masih dapat menegakkan kembali sistem negara pancasila yang khas Indonesia tanpa menyepelekan sistem bernegara yang dipraktekkan oleh negara lainnya yang ada di dunia ini.
Api pengharapan ini hanya akan semakin membara jika SBY dapat mewujudkan pernyataannya lewat berbagai tindakan nyata Pemerintah di lapangan. Keteladanan Pemerintah tentu akan menjadi panutan bagi seluruh rakyat untuk bertindak dalam kerangka moralitas khas bangsa ini yaitu Pancasila. Hal ini perlu diungkapkan karena SBY toh bukan tanpa kelemahan, seperti fakta pada alinea penutup di bawah ini.
Akan tetapi, moralitas teriakan SBY ini nampak dari tindakan aparat di lapangan. Beberapa hari ini, kembali marak tindak kekerasan sekelompok umat islam terhadap kelompok Ahmadiyah di berbagai pelosok tanah air. Bulan Juni ini, aksi kekerasan terhadap umat Kristen di Jatimulya Bekasi kembali terjadi, bahkan kali ini dimotori oleh Camat setempat. Saya kembali bertanya-tanya, apa sesungguhnya moralitas SBY, ketika menyuarakan “negara kalah”? Emang sih, ada yang bilang moralitas SBY yang sebenarnya adalah moralitas TPs. Mohon maaf, TPs di sini bukan “tetap Pancasila”, tetapi “Tebar Pesona”, alias verbalisme belaka.