Jumat, 01 Juni 2012

unhappiness di negeri pancasila

Dear Sahabat Blogger,

Sembari menyiapkan satu makalah untuk suatu pertemuan ilmiah saya membuka daftar HDI (human development index) tahun 2011 yang dirilis oleh UNDP pada tahun 2012. HDI adalah alat ukur untuk menilai derajat kesejahteraan suatu wilayah berdasarkan variabel pendapatan, pendidikan dan kesehatan. Cepat sekali mata saya tertuju pada negara-negara yang berada pada urutan 10 besar. Dan, seperti biasa, saya tak menemukan nama negara terkasih saya, NKRI, di dalam daftar urutan atas itu. Negara-negara yang berada pada urutan 10 besar adalah sebagai berikut:
  1. Norwegia, HDI 0.943
  2. Australia, HDI 0.929
  3. Belanda, HDI 0.910
  4. Amerika Serikat, HDI 0.910
  5. Selandia Baru, HDI 0.908
  6. Kanada, HDI 0.908
  7. Irlandia, HDI 0.908
  8. Lichtenstein, HDI 0.905
  9. Jerman, HDI 0.905
  10. Swedia, HDI 0.904
OK lah kalau begitu but, where's my beloved country position in that list? naik turun jari telunjuk saya mencari di daftar dan akhirnya ketemu juga....astagaaaaaaaa....ada di nomor urut ke 124 dengan HDI sebesar 0.617 yang setara dengan negara vanuatu, sebuah negeri liliput di Asia Pasific dengan angka HDI yang sama. Demi alasan harga diri saya mencoba mencari dimana posisi negeri tetangga terdekat yang satu lagi, karena Australia sudah ada di urutan atas, Singapura juga demikian, - ya anda benar, saya mencari posisi negara Timor Leste, ....naaaahhhhh...dia ada di posisi 147, tidak jauh-jauh amat dari Indonesia tetapi lumayanlah, Indonesia masih di atas.

Masih penasaran dengana daftar HDI, saya menelusuri daftar lain tentang negara-negara paling bahagia di dunia yang disusun oleh pakar ekonomi Jeffry Sachs dkk. (2012) dengan variabel pendidikan, kesehatan, pendapatan, tenaga kerja, harapan hidup dan jumlah jam lembur. Makin sedikit lembur, tetapi pekerjaan selesai, maka makin bahagia. Di daftar ini saya menemukan data 10 negara paling bahagia, yaitu:
  1. Denmark dengan indeks kepuasan (IK) 7.8
  2. Norwegia dengan IK 7.6
  3. Belanda, IK 7.5
  4. Swiss, IK 7.5
  5. Austria, K 7.5
  6. Finlandia, IK 7.4
  7. Australia, IK 7.4
  8. Kanada, IK 7,3
  9. Swedia, IK 7.3
  10. Irlandia, IK 7.2

lhhhoooooo....koq ga ada Indonesia di daftar itu? Saya segera coba mencari daftar lengkapnya di www.latimes.com dan ...hmmmmm....eurekaaaa, ini dia ....syyyuuuuuuttttttt.....nangkring di urutan 83.....kesal bercampur tersipu tapi agak lega karena posisi ini jauh di atas sang juru kunci, yaitu Togo yang berada di urutan 156. Lagi-lagi mencoba menghibur diri.

Setelah menaruh data-data di atas dalam makalah dan bahan presentasi yang sedang saya kerjakan, pikiran saya berhamburan kemana-mana. Salah satu hal yang akhirnya saya sadari adalah hari ini tepat 1 Juni. Hari lahirnya Pancasila. Mengapa tepat dihari besar rekipliek ini koq ya data yang saya dapat sangat mengganngu perasaan? Mengapa seolah-0lah Pancasila yang keren itu amat berjarak dengan fakta kehidupan sehari-hari di Indonesia. Bagaimana mungkin negara yang orang-orangnya sejak bangun bagi sudah basah kuyup disirami rohani-nya oleh kuliah-kuliah subuh di hampir semua stasiun televisi adalah negeri yang kurang bahagia? bagaimana bisa di negara yang para orang hebatnya sangat yakin akan kesucian negaranya lalu menolak kedatangan Lady Gaga berkonser di Indonesia nasibnya apes begini? Jangan-jangan kita memang negeri yang tidak suci seperti dugaan elite hebat tersebut? Entahlah. Saya cuma ingin merenungkan masalah ini mulai dari titik dimana Pancasila disebut sebagai filsafat bangsa dan negara. Konon, filsafat Pancasila ini digali dari puncak-puncak budaya adiluhung bangsa Indonesia. Benarkah Pancaasila itu filsafat?

Secara etimologis kata ”filsafat“ (Inggris - philosophy) berasal dari bahasa Yunani “philosophia” yang dimengerti sebagai “cinta kearifan”. “Philos” artinya cinta dan “sophia” artinya kearifan. Maka, filsafat adalah cinta kearifan, “wisdom” atau kebijaksanaan. Dalam terang defenisi ini maka pencarian orang Indonesia akan Tuhan yang esa, kemanusiaan, persatuan, bermusyawarah dan keadilan genap memenuhi defenisi filsafat. Ya, orang Indonesia mengidealkan dalam hidupnya mencari kearifan atau kebijaknsanaan. Mencari hikmat. Untuk membuktikan kebenaran pernyataan ini maka saya mengutip Hegel yang menyatakan bahwa pada hakikatnya filsafatnya ialah suatu sintese pikiran yang lahir dari antitese pikiran. Dari pertentangan pikiran lahirlah paduan pendapat yang harmonis. Inilah yang disebut Hegel sebagai dialektika berpikir.

Kalimat pertama dan Mukadimah UUD Republik Indonesia 1945 berbunyi "bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa. Oleh sebab itu penjajahan harus dihapusakan karena bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan". Perhatikanlah bahwa kalimat pertama dari pernyataan di atas adalah sintesa antara penjajahan dan perikemanusiaan dan perikeadilan. Pada saat sintese menghilang akan lahir kemerdekaan.Hal inipun dengan amat jelas dikemukakan dalam Mukadimah Konstitusi R.I. 1950 itu yang berbunyi "maka dengan ini kami menyusun kemerdekaan kami itu, dalam suatu Piagam Negara yang berbentuk Republik Kesatuan berdasarkan ajaran Pancasila". Dalam dokumen ini, pancasila merupakan cara untuk mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan dan perdamaian dunia serta kemerdekaan. Kalimat ini memperlihatkan dengan jelas terang benderang frasa antitesa dalam dialektika bangsa Indonesia dalam bernegara. Terbukti sah bahwa memang Pancasila adalah filsafat bangsa Indonesia untuk hidup bahagia. Bahagiakah kita hari ini?

Data menunjukan bahwa bangsa-bangsa yang tidak punya pancasila malah hidupnya lebih bahagia ketimbang kita? Kita yang memiliki Pancasila malah kurang beruntung. Apa yang salah. Ada apa denganmu? Jangan-jangan dialektika kita hanyalah hasil olah pikir para founding fathers belaka dan tidak berakar secara nyata dalam memori kolektif kita? Jangan-jangan pancasila hanyalah wacana tanpa bentuk dan ketika ingin diberi bentuk malah terjadi pembelokan kemana-mana. Ada demokrasi terpimpin nan Pancasila ala penggali Pancasila itu sendiri, yaitu Bung Karno. Si Bung Besar. Ada demokrasi Pancasila ala Pak Harto. Bapak Pembangunan. Semua upaya ini, sayang-nya berakhir dalam tragedi. Lalu dimana letak masalahnya? Socrates sang filsuf besar Yunani itu mengatakan bahwa "jika kita mengetahui apa itu kebaikan maka kita harus mengerjakannya". Seorang Filsuf Agung, Yoshua Hamasia, mengatakan bahwa "isi doa-mu harus terlihat di dalam kerjamu". Terlihat sudah bahwa antara pikiran dan perkataan serta perbuatan bisa tidak sejalan. Belum tentu yang bisa dipikirkan akan berhasil dikerjakan. Nah, supaya pikiran baik dapat dikerjakan juga dengan baik, kita memerlukan 1 alat. Alat itu adalah pengetahuan empiris tentang fakta-fakta yang relevan lalu membuat prediksi berdasarkan pemahaman terhadap fakta tersebut (Ewing, 2010). Inilah yang disebut sebagai belajar, Belajar secara sistematis adalah proses dalam sistem ilmu pengetahuan. Orang yang berbahagia adalah orang yang mampu mengerjakan pikiran baiknya. Orang yang cuma mampu omdo (omongan doang) adalah orang-orang cilaka nan murung. Maka, relasi antara indeks HDI dan derajat kebahagiaan bangsa dapat dipahami. Mengertilah kita bahwa dengan HDI yang rendah, pantaslah Indonesia kurang bahagia hidupnya. Bagaimana memahaminya secara gampang? Begini bro en sista....

Di Indonesia Raya ini, mulut kita bilang Tuhan Yang Maha Esa tetapi yang kita kerjakan adalah men-tuhankan materi, kekayaan, kemolekan, ketersohoran dan seterusnya. Di mulut kita bilang kemanusiaan tetapi hanya karena kita tidak setuju dengan ajaran Ahmadiyah, membunuhlah yang dilakukan. Di mulut kita bilang. Di mulut kita bilang persatuan Indonesia, yang kita lakukan adalah pemekaran daerah nyaris tanpa batas berbasis etnis, suku, dan kepentingan elit. Di mulut kita bilang demokrasi musyawarah yang kita buat adalah meneriakan kata "bangsat" di dalam sidang DPR kepada lawan politik. Di mulut kita bilang keadilan sosial bagi semua tetapi yang kita lakukan adalah bagi-bagi apel malang dan apel washington di antara orang separtai, satu korps, satu grup bermain golf dan seterusnya. Di mulut bilang filosofia tetapi kaki dan tangan kita mengerjakan kejahatan. Maka, mengkuti logika Yoshua Hamasia, haruslah kita duga: ada tipu di antara doa dan perbuatan kita. Maka sial sudah kita seumur-umur. Unhappiness. Tragedi 1948 terjadi, diulang di tahun 1965, diulang lagi di tahun malari 1973, terjadi lagi di tahun 1998, terjadi lagi ratusan dan mungkin ribuan kali perkelahian dan perbunuhan sesama anak bangsa karena beda agama, beda suku dan beda kepentingan. Kita tidak pernah belajar dari pengalaman empirik kita. Tak heran, sudah lebih 60 tahun kita merdeka tetapi perilaku kita tetap sama seperti pola pikir orang-orang yang satu jaman dengan Ken Arok. jauh sudah perjalanan kebangsaan kita tetapi tampaknya kita tidak kemana-mana. Kita seperti terbenam dalam lubang dan tak bisa (atau tak mau) keluar. TRAGIS. Kata orang tua "keledai tidak jatuh dalam lubang yang sama 2 kali". Kita jatuh ribuan kali dalam comberan yang sama. Maka, ketimbang keledai, kita ini lebih......(anda lanjutkan saja saudara ku sebangsa dan setanah air). HIDUP PANCASILA. MERDEKA!!!!!

Bee Gees - tragedy

Tabe Tuan Tabe Puan