Sabtu, 24 Maret 2012

kasih yang tak bertepi, DIA-lah itu

Dear Sahabat Blogger,

Selamat hari baru. Selamat menikmati berkat baru pada hari ini. Sesuai janji saya, dan saya ingin memenuhi janji itu, maka hari ini saya haturkan sebuah posting baru. Tak perduli kualitasnya seperti apa yang penting dia hadir. Pokoknya, saya ada apa adanya dan tidak mengada-ada supaya ada tanda bahwa saya ada. Semoga anda sepakat dengan saya mengenai hal ikhwal ini.

Posting ini dibikin dalam suasana hingar bingar yang amat riuh. Seminggu lagi, kalau semuanya lancar, harga bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia akan dinaikan. Sialnya, sebelum kenaikan harga BBM dimaksud resmi diumumkan sudah banyak perkara yang terjadi. Saban hari kita di Indonesia, sukur anda yang tinggal di luar negeri, disuguhkan dengan berbagai keributan tagal perkara yang bertalian dengan kenaikan harga BBM. Demonstrasi terjadi dimana-mana dengan skala yang makin lama makin masif. Jikalau cuma sekedar demonstrasi ya tak apalah tetapi hampir semua demonstrasi berakhir ricuh. Mahasiswa sulit dibedakan dengan provokator. Provokator tampil layaknya mahasiswa. Aparat Kepolisian didesak dan digebug lalu balas mendesak dan menggebuk. Berita terkini, aparat TNI akan keluar barak untuk menghadapi. Siapa yang dihadapi? Rakyat Indonesia itu sendiri karena diduga akan terjadi demonstrasi massal dan masif lalu mengancam obyek-obeyk vital milik negara. Para pengamat berbeda pendapat lalu tawuran kata-kata, di televisi, di radio maupun di surat kabar. Sebagian pro kenaikan BBM. Sebagian lagi bilang..."bohong lu...BBM tak perlu naik". Para politisi lintang pukang. PDIP dan yang sepikiran menolak (tapi Gubernur NTT yang ketua DPD PDIP NTT malah menyatakan setuju kenaikan BBM). Demokrat cs so pasti pro kenaikan tapi...heeiitttt, nanti dulu.....ada PKS yang kompanyonnya Demokrat menolak kenaikan BM. "Koalisi ikan teri" kata Sutan Bathoegana dari Demokrat. Rektor-rektor dikumpulkan di Jakarta supaya memahami mengapa BBM perlu naik. Di koran lokal, konon, Rektor Undana bilang: ..."mahasiswa di larang demo"...(entah dianya bilang begitu ato hasil penafsiran para juru berita). Sebagian aktivis mahasiwa dikirim plesir ke negeri China (kendati ada yang menolak). Entah apa maksudnya tapi isu terlanjur berkembang "mulut mereka sedang disuruh diam karena disuap nikmatnya plesiran"...walllaaahhhh... Di tengah isu yang berloncatan tidak keruan itu muncul lagi isu serangan hama "tomcat" di pulau Jawa. Mister Dahlan Iskan mengamuk di pintu tol Semanggi, Jakarta karena kerja Jasa Marga yang amburadul. Datang pula berita bahwa 5 teroris ditembak mati di Denpasar. PSSI berubah menjadi kembar. Versi pohon "djohar" dan versi api yang bernyala "La Nyalla". .... "wooooiiiiittttt, pengalihan isu...pengalihan isuuuuu". Gaduh. Ribut. Riuh......itulah Indonesia tanah air beta....

Di tengah hingar bingar yang amat gaduh dan riuh itu hadirlah perayaan Nyepi yang dirayakan para sahabat yang beragama Hindu Bali. Suasana mendadak hening sejenak dan terasa lumayan sejuknya Indonesia 1 hari itu. Happy Nyepi bagi sahabat Hindu. Jadi teringat syair lagu Ebiet G. Ade, saksikan bahwa sepi,berikut ini:

Dengarlah suara gemercik air
di balik rumpun bambu di sudut dusun
Lihatlah pancuran berdansa riang
Menyapa batuan, menjemput bulan
...
Ada perempuan renta menimba
Terbungkuk namun sempat senandungkan tembang
...
saksikan bahwa sepi lebih berarti dari keriuhan
....
Indah bukan? menurut hemat saya, tidak sekedar indah syairnya tetapi ada kebenaran di dalam syair itu. Ketika semua hal rasanya harus dibicarakan lalu diributkan dan dikacaukan maka menepi untuk menyepi rasanya sebuah opsi yang berharga. Mengapa? Karena dalam diam dan dalam sepi, terbuka peluang bagi "hati yang berbicara". Leahy (1989) menjelaskan bahwa ketika manusia perlu sekali waktu melepaskan diri dari kekakuan, kecongkakan dan prasangka-prasangka yang merupakan resultante dari proses bertanya, berbicara dan mendengar suara sendiri. Dengan melepaskan itu semua maka manusia akan dituntun pada kemurahan hati yang lebih luhur. makin dekat kearah cinta kasih yang adiluhung. Itulah yang akan dicapai ketika manusia memasuki suasana suci (sacrum facere). Ketika memasuki sacrum facere inilah manusia akan memiliki cinta murni yang tidak mengambil untung bagi diri sendiri. Cinta yang berbelas kasihan dan menghidupkan. Saya, yang berlatar belakang Kristiani, punya 1 contoh tentang hal ini, yaitu ketika Yesus merasa perlu berdoa sendirian di Taman Getsemani menjelang penangkapan-NYA. Apa hasilnya? adalah ini: keteguhan hati dan kerelaan yang luar biasa untuk memenuhi "panggilan" dari sang Ilahi. Pertanyaannya adalah: apakah sacrum facere dapat dicapai dalam keriuhan? jawab saya tegas: tidak. Hanya dalam sepi dan hening suara hati nurani anda akan bergema keras dan menuntun anda menuju sacrum facere. Frans Suseno mengatakan bahwa Tuhan bekerja di dalam hati nurani manusia.

Saya teringat sebuah tulisan yang pernah saya baca yang dikisahkan oleh Sindhunata, seorang imam Katolik yang bertugas di lereng Gunung Merapi. Dalam bukunya "mata air bulan" Sindhunata menceriterakan pengalaman seorang perempuan tua, miskin dan cacat buta. Mbok Tukinem dia punya nama. Tukinem miskin sejak dilahirkan. Ayahnya buruh tani. Ibunya bakul gerabah. Pada usia 7 tahun, Tukinem kecil tiba-tiba buta. Pada umur 10 tahun dibaptis menjadi Katolik. Biar buta, dia harus membantu ibunya mencari nafkah. Jogja - Semarang ditempuh dengan berjalan kaki sambil memanggul gerabah. Bisa 1 bulan mereka, ibu dan anak, ada di jalanan. Ketika dewasa, Tukinem menikah dengan seorang yang juga buta dan memperoleh anak 3 orang. Tetapi semuanya meninggal. Belakangan suaminya terkena kanker ganas dan tak bisa apa-apa lagi. Mbok Tukinem hanya bisa mendampingi dan merawat sang suami sambil terus berdoa dan bertasbih. Lalu Imam Sindhunata bertanya bagaimana mungkin Si Mbok bisa begitu tahan menderita. Di masa muda susah, di masa tua tetap saja menderita. Sindhunata tertegun ketika hal ini ditanyakan kepada si Mbok Tukinem dan dijawab "sakersanipun Gusti, kula nampi mawon", yang artinya "terserah Tuhan, saya hanya menerima". Mamma Miiiiaaaaa..... tak ada perlawanan sama sekali kendati kesusahan terus mendera. Tak mengeluh sembari terus mengabdi pada hidup dan Tuhannya. Si Mbok Tukinem ada dalam situasi sacrum facere. Dia mampu mengasihi dalam penderitannya sendiri.

Anda mungkin akan berpikir bahwa sacrum facere sepenuhnya hanya dapat dilakukan oleh yang Ilahiat. Anda benar karena KASIH adalah kuasa Ilahiat tetapi justru karena kuasa itulah maka sang Ilahi berkenan agar sifat ini dimiliki oleh manusia. Seumpama presiden Obama punya USAF One sebagai pesawat kepresidenan di AS tetapi dia berkehendak agar semua rakyat AS memilikinya juga. Persoalannya adalah apakah mereka itu mau atau tidak? demikian pula KASIH. Sang Ilahi mau kita memilikinya. Saban kali diulang-ulangnya keinginanNYA itu. Sayangnya, sabankali pula manusia menolak memiliki kasih. Kalaupun dimilikinya maka itu cuma sekedar lips service. Mengapa demikian? ternyata manusia tak mau membayar harganya kendati mampu. Ya benar belaka bahwa untuk memiliki KASIH ada bea-nya, yaitu mengalahkan diri kita. Menyangkal kehendak diri sendiri. Mencopot kecongkakan dan rasa utama diri sendiri. Dapatkah kita? Saya ragu kita mau karena adanya kecenderungan ke-aku-an yang tinggi pada diri setiap manusia. Perhatikan jalannya diskusi di TV-TV kita. Si Poltak bicara A, Si Anu menimpali dengan sangat keras lalu saling memaki. Kebenaran lalu ditentukan oleh kemahiran bersilat lidah. Kebenaran juga kerap ditentukan oleh kerasnya suara dan makian massa pendukung. dapat dimengerti sekarang, mengapa para demonstran perlu membawa pelantang suara dengan kekuatan yang berlipat-lipat dan dengan jumlah massa yang tak kalah berlipat-lipatnya? Supaya gema suaranya makin besar dan makin besar dan mengalahkan suara yang lain. Supaya anda mudah kali dikalahkan karena kalah jumlah. Maka tak heran, ketika mister SBY bicara naik BBM, Si Fulan menimpalinya dengan ancaman. Mister SBY curhat. Dibalas dengan tertawaan. Dan akhirnya mister SBY mememerintahkan: tentara siap keluar barak......nah lu.....Mereka semua, mungkin termasuk saudara dan saya, tak mau menyangkal keinginan kita sendiri.

Kemana arah posting ini? Apakah saya pro kenaikan BBM, lalu menyuarakan penerimaan ikhlas tanpa reserve kepada keinginan pemerintah? Apakah saya anti kenaikan BBM? Tidak begitu sob. Saya bukan siapa-siapa yang suaranya patut didengar. Sudah terlalu biasa suara orang seperti kami-kami ini diabaikan. Diberi harga kalo situ punya mau. Di anggap angin lalu kalo ga cocok sama situ punya kehendak. Karenanya, saya memilih untuk bersikap seperti Mbok Tukinem, yaitu menyerahkan kepada sang Ilahi (ingat bukan menyerahkan kepada SBY) ...."sakersanipun Gusti, kula nampi mawon". Mau kau naikkan itu harga BBM, apa boleh buat. Mau kau batalkan, ya monggo. Ya, kepada Tuhan sajalah saya mengadu. Jika DIA berkenan maka tak naiklah harga BBM itu. Tetapi jika DIA tak menghalang-halangi ya silakan saja naik itu harga BBM (dan semua harga-harga lainnya). Saya cuma ingin memiliki 1 kekuatan seperti yang dimiliki Mbok Tukinem kendati saya tahu itu amat sulit. Dalam diri saya selalu kuat semangat memikirkan diri sendiri. Ya, saya ingin terus berjuang agar memiliki cinta yang tak bertepi. Cinta yang sepenuhnya datang dari diri saya lurus terarah ke luar mengalahkan semua keinginan-keinginan pribadi. Cinta yang menghidupkan. Cinta yang hanya dimiliki DIA tetapi DIA mau saya, anda, kita semua memilikinya juga. Jika untuk mendapatkan kemampuan mengasihi dalam sacrum facere lalu menepi dan menyepi (agar dapat memahami rancangan DIA) adalah harga yang harus dibayar: saya bersedia dan mau. BBM: benar-benar mau?

Endless Love - Lionel Richie feat Shania Twain

Tabe Puan Tabe Tuan