Rabu, 01 Juni 2011

sila yang ada 5 itu, jati diri manusia

Dear Sahabat Blogger,

Bagi kita warga Negara Republik Indonesia, setiap tanggal 1 Juni sebenarnya adalah hari yang khusus. Hari istimewa. Karena doeloe kala pada 1 Juni 1945 pada rapat BPUPKI, Bung Karno berpidato tentang dasar negara yang akan lahir, Indonesia. Dengan susunan yang tidak sama persis dengan rumusan yang ada sekarang, beliau mengusulkan hasil penggaliannya, yaitu PANCASILA. Selengkapnya, Pancasila itu adalah:

  1. Ketuhanan yang Maha Esa
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab;
  3. Persatuan Indonesia:
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Begitulah Pancasila. Cuma itu. Sesederhana itu rumusannya tetapi ternyata tidak sesederhana itu konsekuensinya. Ribuan nyawa telah meregang tagal urusan anti dan mempertahankan Pancasila. Ada DI/TII Kartosuwiryo, ada PKI tahun 1948 di Madiun, Ada PRRI/Permesta, dan ada pula G30S yang bukan saja membuat pertumpahan darah yang misterius di tahun 1965 dan beberapa waktu sesudahnya tetapi juga menamatkan sama sekali karir politik sang Penggali Pancasila. Terhentikah? tidak juga. Di masa reformasi ini, muncul aneka rupa gerakan yang terang-terangan menyatakan anti-pancasila. Ada gerakan yang menyerukan dasar negara khalafah seperti yang di usung oleh hizbut tahrir Indonesia, ada pula gerakan yang ikut didomplengi oleh Noordin M. Top yang orang Malaysia itu. Terakhir ini muncul pula new NII yang tak jelas juntrungannya sampai saat ini. Tantangan bagi Pancasila bukan cuma secara ideologis tetapi juga oleh penyelewengan dalam menyelenggarakan negara oleh pengurus-pengurusnya. Di mulut mengaku Pancasilasis tetapi korupsi besar-besaran seperti kasus Bank Century, Gayus Tambunan dan yang mutakhir masalah pemberian uang oleh Nazarudin dari Partai Demokrat kepada sekjen MK dilakukan. Di mulut mengaku Pancasilais tetapi di depan sidang DPR dan ditontong jutaan rakyat tega memaki ...bang (sensor) ... Ketika anda mencuri uang milik rakyat maka sudah pasti anda mengingkari sila ke dua, ke tiga, ke empat dan ke lima .... dan jangan lupa, kejahatan seperti itu sama saja dengan anda mengingkari pengkauan Iman anda sendiri karena Tuhan tidak pernah mengajarkan untuk mencuri. So, sila pertama pun dilanggar oleh koruptor dan para bandit.

Apapun juga, Pasca 1998, Pancasila seperti kehilangan gigi. Tidak diajarkan di kurikulum sekolahpun semua seperti diam saja. Bermnculan UU dan peraturan daerah yang bertenang dengan Pancasilapun tak ada yang perduli. Pancasila hanya digaungkan di sekitar tanggal 1 Juni. Setelah itu habislah dalam sunyi. Sunyi tetapi tidak sepi karena di balik kesunyian Pancasila, orang gaduh mencuri, merusak acara pentas seni budaya yang tidak sesuai dengan hukum agama tertentu, menusuk pendeta yang konon gedung gerejanya tidak berizin, merazia tempat hiburan malam tanpa perduli hukum positif, membunuhi polisi dengan bom dan senjata hasil rampasan, mencuri, korupsi, memaksakan kehendak di PSSI hanya karean telah medapat bayaran, mencoblos dalam pemilu hanya karena sekantung kreses sembako....masih banyak lagi daftar kegaduhan itu..... Ya, di balik kesunyian Pancasila, hingar bingarlah kejahatan di republik tercinta ini. Bagi kaum penjahat dan egoisi ini, rumusan, Pancasila mungkin diganti seperti ini:

  1. Keuangan yang maha esa;
  2. Kemanusiaan yang tak perlu adil dan, bila perlu, biadab;
  3. Persatuan suku saya, ras saya, pulau saya, partai saya;
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh ketidak hormatan dan kekurang ajaran dalam adu jumlah pendukung, demonstrasi dan pengerahan massa bayaran serta kemampuan melakukan tawuran;
  5. Keadilan sosial bagi seluruh keluarga saya, pendukung saya dan tim sukses saya.

Jika benar begitu maka, sepatutnya mereka itu kita tangisi beramai-ramai. Mengapa? Karena mereka, para bandit itu, telah kehilangan begitu banyak nilai-nilai kemanusiaan yang ada di dalam Pancasila. Mereka sesungguhnya telah kehilangan sebagain sisi kemanusiaanya. Franz Magnis Suseso dalam wawancaranya di televisi, menjelang pidato 2 mantan Presiden RI dan SBY sebagai Presidan RI hari ini dalam rangka peringatan pidato Bung Karno 1 Juni 1945 mengatakan bahwa di dalam Pancasila terselip begitu banyak dimensi kemanusiaan. Saya bergerak cepat dan lalu menemukan fakta bahwa paling kurang tiap Sila mengandung 1 dimensi manusia.

Dalam sila pertama terkandung dimensi manusia sebagai makhluk religius. Manusia selalu gelisah dan bertanya bahwa siapa aku yang berhubungan dengan sesama. Dari mana aku dan mereka berasal. Lalu manusia tunduk dan menyadari bahwa di luar aku dan mereka adalah sebuah misteri yang mengadakan sebagai pengada. Orang beragama mengatakan yang misteri itu adalah TUHAN.

Dalam sila kedua, dimensinya adalah bahwa manusia makhluk dinamis. Manusia aktif berhubungan dengan segala sesuatu yang eksistensial yang berbeda dengan benda lain di alam. Jika benda lain bereaksi karena hubungan sebab akibat dan karena ada keperluan maka manusia tidak memerlukan itu. Dinamika manusia ditentukan oleh dirinya sendiri. Dia berhubungan bukan hanya karena dia perlu tetapi kehendak bebasnya yang mendorongnya. Salah satu kehendak bebas itu adalah membangun relasi dengan sesama secara etis, yaitu sehakekat, satu derajat dan satu martabat, dimana saja manusia itu berada, siapapun dia. Manusia selalu rindu untuk mengasihi sesama.

Dalam sila ketiga terkandung dimensi filsafati yaitu manusia adalah makhuk multidimensional. Manusia adalah makhluk yang eksis dengan aneka dimensi kehidupan. Manusia adalah makhluk badani tetapi juga rohani. Dia menginginkan bukti nyata tetapi juga suka berkhayal. Semua dimensi yang anekarupa itu bersatu di dalam diri satu manusia. Maka secara sadar manusia itu adalah makhluk yang rindu akan persatuan.

Dalam sila keempat terkandung dimensi filsafat, yaitu manusia adalah makhluk yang bertanya. Manusia heran akan sekelilingnya lalu dia bertanya. Setiap bertanya dan mendapatkan jawaban maka selalu akan ada pertanyaan baru. Manusia bingung maka untuk itu dia memerlukan refleksi. Dalam refleksinya manusia berdiskusi baik dengan dirinya sendiri maupun juga dengan sesamanya. Dalam diskursus itu manusia bersepakat tentang jawaban-jawaban. Jadi, manusia sejak awal adalah makhluk yang berdiskusi, bermusyawarah dan bersepakat.

Dalam sila kelima terdapat dimensi filsafat lainnya, yaitu manusia adalah makhluk sosial yang berbudaya. Manusia dan sesama mula-mula bersepakat lalu membentuk kebudayaan. Budaya adalah proses humanisasi kesepakatan-kesepakatan yang intinya adalah apa yang kamu punya miliklah, apa yang aku punya kumiliki. Ketika aku kekurangan maka kemana lagi aku berlari jikalau bukan kepada engkaulah. Ketika engkau menderita, jangan kemana-mana tapi datanglah padaku. Hidup adalah saling memberi dan menerima. Adil bagi semua. Itulah dasar dari socius atau berteman. Teman dalam satu budaya boleh saja membikin negara. Jikalau dalam negara diperlukan pengurus-pengurus maka saya pilih kamu sebagai pengurus yang wajib menjamin ke-socius-an kita harus terus berjalan.

Dear sahabat,

Begitulah seharusnya Pancasila. Itulah sebabnya mengapa Pancasila amat sangat relevan bagi kita yang ditakdirkan untuk bersepakat hidup bersama-sama dalam keragaman di negeri indah bak Zamrud khatulistiwa ini. Negeri Nusa antara ini. Pertanyaannya adalah mengapa sekarang Pancasila terpuruk begini rupa? Ada banyak cara menjawab tapi saya memilih yang satu ini. Begini: yaitu Pancasila adalah visi kita bersama di Indonesia. Kita manusia yang memiliki visi ini adalah makhluk memiliki jiwa. Dalam konteks berbangsa, Pancasila mengenyangkan jiwa kita. Itulah jasa Bung Karno dan angkatannya. Tetapi angkatan ini lupa bahwa jiwa ada di dalam badan sedangkan badan memerlukan makanan. Memang kita adalah bangsa besar yang disegani sampai kemana-mana. Malaysia dan Singapura sampai merasa perlu meminta perlindungan Inggris karena begitu takutnya mereka pada Indonesia. Tapi sayang, apa daya, perut kita kosong. Kita lapar. Datanglah angkatan Soeharto yang rajin memberi makan bagi badan kita dan patutlah kita berterima kasih tetapi sayang urusan jiwa diabaikan. Kita hanya boleh tahu bahwa kita kenyang sedangkan jiwa kita hanya boleh seukuran yang ditentukan negara. Jiwa kita dikosongkan. Pragmatisme menjebak pada situasi perut kenyang tetapi tak lagi punya mimpi selain bagaimana menjadi kaya secepat-cepatnya. Pancasila yang adalah jiwa kita itu direduksi hanya menjadi rumus hafalan. Rusaklah jiwa kita. Di tahun 1997-1998 kita akhirnya tahu bahwa kita bukan cuma kehilangan jiwa tetapi perut kitapun kembali kosong. Di masa reformasi, demokrasi yang amat baik itu dijalankan tetapi ternyata hanya pada tataran prosedural. Esensinya hilang, yaitu kesejahteraan dan kesetaraan. Kita sering bergaduh sendiri. Jiwa seolah-olah terisi badan seolah-olah kenyang. Nyatanya tidak. Dalam keadaan demikian, segolongan orang yang menumpang pada prosedur demokrasi berusaha menyeragamkan Indonesia. Maka, pingsanlah Pancasila. Pancasila ditikam dari belakang. Pancasila dikhianati. Kitalah sekarang korbannya juga akhirnya. Sudah perut tidak kenyang-kenyang amat, jiwa kita compang camping tidak keruan.

Karena itu, kembalilah kepada jiwa bangsa yang benar karena di lima sila itu semua dimensi kita sebagai manusia disatukan. Anda boleh putih, saya biru kehijauan, dan mereka merah jingga tapi kita satu adanya. Jangan karena putih adalah atribut kebenaranmu maka kamu merasa berhak memakasakan bagi yang lainnya. Biarlah kita tetap dalam kamar yang berbeda tetapi rumah kita tetap satu jua akhirnya. Rumah Kita itu punya 5 kamar, yaitu Pancasila. Rumah kita itu akta hukumnya bernama UUD 1945. Rumah kita itu halamannya adalah Bhineka Tunggal Ika tempat semua bunga beraneka warna hidup lalu semerbak mewangi dan indah. Alamat Rumah Kita adalah Negara Kesatuan Republik INDONESIA. Meerrrdeeekkaaaaaaaaa.

Franky S. - Pancasila Rumah Kita


Tabe Tuan Tabe Puan