Selasa, 02 November 2010

bangsa apa ini? negeri bencana negara letoy lebay

Dear Sahabat Blogger,

Dalam memori kolektif orang-orang tempoe doeloe yang tinggal di Kupang, bulan Oktober disebut sebagai bulan "panas". Ada dua makna, yaitu suhu atmosfir Kupang di bulan oktober adalah yang terpanas dalam setahun. Beberapa data menunjukkan suhu ambient rata-rata Kota Kupang sekitar 34.7oC. Jika suhu diukur pada areal jalan raya maka angka tersebut bisa melonjak mencapai 40-42oC......wwwaaaallllaaaahhh...panas amat. Makna kedua, mungkin karena pengaruh suhu udara yang panas, kasus-kasus rumah tangga yang bercerai mencapai jumlah terbesar dalam setahun. Sebagai kontras, bulan Juli adalah bulan terdingin di Kupang dan lalu di bulan itulah statistik jumlah pasangan menikah yang tercatat di Kantor Catatan Sipil selalu yang tertinggi. Ujar-ujaran orang Kupang doeloe lalu menjadi ... bulan Juli menikah bulan Oktober bercerai.....benar begitu? tak pasti juga tetapi demikianlah mitos dalam memori kolektif orang Kupang. Pokoknya, jika bulan Oktober maka heeeiiii...hati-hati...bakal ada kejadian memilukan. Dan tahun ini, mitos seperti itu menjadi nyata. Bukan di Kupang tetapi di Indonesia. Gerangan apakah?

Pagi hari masih baru, banjir bandang menyapu Kota Wasior. Luluh lantak. Hancur lebur. 29 orang mati 103 lainnya hilang. Harta benda lenyap disapu air.... Air yang amat banyak termasuk air mata. Tetapi .... amboooiiii .... lihatlah, Pemda Kab. Manokwari bingung, Pemda Papua Barat tak tau mau bikin apa dan pemerintah pusat malah sibuk mengurusi isu....siapa yang mau menggulingkan SBY...korban tak tertangani dengan baik berjam-jam lamanya. Lalu menteri kehutanan berteriak ... "wooooiii illegal logging tuh" ...eh belakangan diralat... "eeehhhmmmm...maaf ya, itu bukan illegal logging tetapi karena daerah aliran sungai (DAS) yang tidak dikelola dengan baik" . Mana yang benar bapak????? Karena berlarut-larut maka isunya menjadi tidak karuan dan yang bikin malu adalah ini....wah korban Wasior kurang diangani dengan baik karena kebanyakan mereka bukan penduduk asli....wuuuueeehehhh, gila... gilaaaa .... gilaaaaaaaa.....negeri apa ini?

Luka di Wasior belum kering benar ketika kita dikagetkan oleh bencana tsunami di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat pada tanggal 26 Oktober 2010. Menyusul gempa bumi berkekuatan 7 SR, gelombang tsunami setinggi 8 m menyapu Mentawai ...lintang pukang ..... remuk redam....hancur lebur....berita terkini (02-11-2010), 450 meninggal 200-an hilang. Apakah penanganan bencana lebih baik? Ga juga bro. Bayangkan, setelah kejadian, dengan alasan tengah malam dan komunikasi buruk, status peluang tsunami tidak lagi disebarkan. Setelah tsunami terjadi, barulah 12 jam kemudian penanganan dilakukan...terlanjur mati-lah mereka yang keleleran tapi mungkin masih bernyawa. Setelah 4 hari kemudian barulah helikopter 4 biji dipindahkan dari padang ke Muko-Muko yang lebih dekat ke Mentawai. Hermawan Sulistyo dalam wanacara di Metro TV mengherankan begitu lambatnya penanganan. Beliau juga merasa heran karena kesiap-siagaan di Padang, mungkin belajar dari gempa setahun silam, amat baik. Tapi mengapa tidak di Mentawai? SBY datang dari luar negeri menengok sebentaran ke Mentawai, bertangis-tangisan lalu...eh, kembali ke Vietnam. Pertemuan ASEAN. Dan selama ketidak hadirannya itulah penanganan begitu buruk. Kasihan Mentawai. Mereka ada tetapi seolah-olah tiada. Lalu merebak isu...Ah Mentawai kan berbeda dari rata-rata oran Sumatera Barat....mammmma miiiiia...gelo.....gilaaa.....maczhammm mannnaaaa negeri kita ini?

Masih terbengong-bengong dengan apa yang terjadi di Mentawai, kita kembali tertunduk merunduk sakit...amat sakit bung en zoes......merapi mengamuk di tanah Jawa. Wedhus gembel mengudara lalu mencari mangsa dan...23 orang meninggal termasuk mbah "rosa" Marijan yang setia, jantan, pemberani, tegar hati dan penuh komitmet tetapi sayang terlalu berkubang dalam sindrom inertia. Merapi ternyata sudah berubah. Dia tidak lagi bisa diprediksi seperti yang dipotret oleh pengetahuan lokal. Ilmu pengetahuan seharusnya tidak di tolak begitu saja karena alasan tradisi. Tetapi duka adalah duka, Jangan diperdebatkan. Karena itu, banyak pejabat berseliweran ke Merapi. Ebiet G. Ade menyanyi langsung di tenda duka. Kali ini tanpa isu gawat kecuali penangannya yang tetap saja tidak karuan. Bahwa masyarakat lebih mengkuatirkan khewan peliharaanya ketimabng nyawa sendiri adalah pertanda bahwa negara tidak berfungsi dengan benar. Bukankah di tangan negara diberi mandat untuk "memaksa"? Tetapi baiklah, di luar perkara itu ada satu peristiwa di Merapi yang mungkin akan menolong kita membebaskan diri dari prasangaka buruk seperti yang terjadi di Wasior dan Mentawai. Apa itu?

Jenazah Mbah Marijan ditemukan dalam keadaan bersujud menunaikan kewajiban agama yang diyakininya. Kita menjadi tahu bahwa orang tua yang satu ini adalah seorang Muslim yang baik dan taat, Tahniah untuk itu. Selamat. Tetapi tidak kurang mengharukan adalah seorang wartawan Vivanews.com, yaitu almarhum Yuniawan "Wawan" Wahyu Nugroho. Berikut saya kutipkan berita dari Vivanews.com:

Sebenarnya, Wawan--nama sapaan Yuniawan--dan Tutur, sudah sempat mengungsi dari Kinahrejo, bersama Agus Wiyarto (asisten dan kerabat Mbah Maridjan), anggota keluarga si Mbah, dan beberapa penduduk desa. Akan tetapi, sesampainya di pengungsian Umbulharjo, dengan mengendarai minibus Suzuki APV, Tutur dan Wawan berkeras kembali untuk menjemput Mbah Maridjan yang memilih bertahan di rumahnya. Di tengah hari yang mulai gelap, mereka tanpa ampun disergap bara wedhus gembel.

Kita tahu kini bahwa Wawan akhirnya "menjadi korban dari kebaikan hatinya sendiri". Apakah dia bersalah? Kita juga tidak tahu persis apakah sikap etis Mbah Marijan dengan bertahan di kampungnya lalu dengan itu seolah-olah mengajak yang lainnya ikut tewas bersama-sama adalah suatu kesalahan yang lain. Tuhan seru semesta alam yang maha mengetahui tetapi kita bisa belajar bahwa begitulah bentuk cinta kasih. Mbah Marijan mencintai Merapi dan tugasnya. Dan, mati karena keyakinan akan tanggung jawab sembari menjalankan tugas adalah pameran tentang 1 kata dan perbuatan. Wawan mau berkorban untuk orang lain. Nyawa taruhannya. Orang lain cuma bisa bicara Wawan melakukannya.....luar biasa. Dan inilah dia jasa 2 orang itu secara bersama-sama, si Mbah dan Wawan, yaitu mereka membebaskan kita dari kepicikan berpikir lalu menuding dan akhirnya menyebar gosip. Kita tahu dari gambar televisi ketika pemakaman Wawan. Ternyata dia Kristani. Anda bayangkan Si Mbah yang Muslim baik ingin ditolong oleh Wawan yang Kristiani. Perbedaan ternyata tidak menghalangi kasih sayang. Maka, hentikanlah omong kosong di Wasior dan Mentawai. Jangan lagi tega hati menambah susah Ibu Pertiwi yang ketika sedang tertimpa bencana masih juga dikuyo-kuyo isu perpecahan, Nurani Mbah Marijan dan Wawan memberikan petunjuk telak bahwa anak Bangsa ini tahu menempatkan diri. Masalah persatuan dan kesatuan di tingkat akar rumput ternyata bukan problem yang terlalu besar. Lalu, di mana letak masalahnya?

Masalah negeri ini ada pada elite yang tak tahu mengelola negara. Suka plesir ke mana-mana. Gubernur Sumatera Barat, Iwan Prayitno, malah memilih berkunjung ke Jerman ketika penanganan Mentawai masih amburadul. Politisi kita amat gemar berdebat berpanjang-panjang di TV pamer ilmu akal-akalan zonder ada tindakan nyata. Lalu ada si Marzuki Ali yang ketua DPR yang malah tega "mengata-ngatai" orang Mentawai bahwa "sudah tahu kepulauan Mentawai berisiko bencana kok orang Mentawai masih mau tinggal di sana". Lho, kalo mereka gak tinggal di Mentawainya lalu apa dong nama etnolinguistik mereka? Waduuuhhh...saya pikir, Marzuki lebih baik diam saja ketimbang ketahuan bodohnya. Pemimpin bangsa ini sibuk ja'im alias jega image. Negeri ini juga adalah negerinya para para pemain sandiwara berkelas penghargaan citra. Tak heran jika pencitraan menjadi model impian pemimpin kita dewasa ini. Berita kemarin adalah petugas sibuk mencopoti spanduk para pemberi bantuan di Merapi karena umbul-umbul itu menghalangi kelancaran gerak mobli ambulans. Umbul-umbul itu juga berisikan aneka iklan produk jasa dan kelompok partai. Kemalangan dikapitalisasi secara berlebihan.

Negeri dikepung oleh 4 lempeng bumi yang bergerak-gerak dan berpotensi menyebabkan bencana. Negeri ini terletak pada barisan "ring of fire" volcano yang siap meletus dan menghancurkan. Sebagian besar wilayah negeri ini ada di daerah tropika basah yang berpotensi menerima hujan dalam jumlah yang luar bisa besar dan mebawa banjir bandang. Semenjak tsunami Aceh, sudah banyak bencana berskala mega terjadi terjadi susul menyusul di Negeri ini. Undang-undang dan aneka aturan telah dibuat tetapi mengapa penanganan bencana selalu saja buruk. Semua berjalan seolah tanpa perencanaan. Kita tidak pernah serius belajar dari pengalaman. Bangsa dan negeri ini, ternyata, dikelola dengan amat tidak pantas. Kita letoy dalam aksi nyata tetapi sangat lebay dalam perkara pasang aksi kucing via sandiwara pencitraan. Mau jadi apa kita ini? Bangsa apa kita ini? Kesian .... eeehhh ... Sekian.

BERITA KEPADA KAWAN/EBIET G.ADE

Tabe Puan Tabe Tuan