Jumat, 19 Maret 2010

NTT: kritis sudah, penggurunan di depan mata, lalu apa lagi?

Dear Sahabat Blogger,

Pada awalnya adalah kedatang seorang tamu, yaitu Pak Frans Sarong, wartawan Kompas, yang menanyakan kepada saya tentang beberapa hal terkait isu Hutan Cagar Alam Mutis, Timau, TTS, NTT dan proses penggurunan di Sumba Timur. Lalu, seperti biasa, sayapun "berpidato panjang kali lebar, kesana dan kemari, kesitu dan kesini dan kemana-mana". Tak disangka dan tak dinanya, beliau tertarik atas isi "khotbah" saya itu. Katanya: ... adik ... buatlah dalam bentuk tulisan...nanti akan saya publikasikan. Sayapun menulis...kecek kecek etret etret tak tik tuk....jadilah sebuah tulisan. Tak beapa lama kemudian, saya membaca kutipan tulisan saya itu di Kompas.com. Eh, Ternyata tulisan itu juga dikutip oleh LKBN Antara, kantor berita milik republik kit. Lantas dicopy ke mana-mana oleh berbagai harian dan juga layanan berita on line. Wuueeeeelllleeeeeeehhhh. Senangkah saya? Ya iyalah. Banggakah saya? So Pasti Bung en Zoes. Puaskah saya? Tidak. Lho?????? Ya, sudah baranhg tentu tidak karena sejatinya saya adalah manusia dan menurut filsafatnya manusia itu adalah "makhluk tak sampai". Oleh karena itu, manusia sebenarnya adalah makhluk yang tidak akan terpuaskan. Saya juga begitu. Di mana ltak ketidakpuasan itu? Tulisan itu baik tetapi cara memenggalnya yang kurang pas sehingga tak seluruh pesan dalam tulisan tersampaikan dengan baik. Akibatnya, sudah 2 minggu lebih ini saya di sapa di mana-mana di Kuoang sebagai "mister gurun". Ya, tak apalah, toh pekerjaan saya adalah guru. DItambah 1 huruf "n" menjaid gurun, lumayanlah he he he he...

Tapi bukan "bangga-banggi" (bahasa indonesia opoooooo iki????? xi xi xi xi..) itu yang menjadi fokus tulisan itu tetapi diam-diam ada perasaan nelangsa yang teramat sangat setelah membaca kembali tulisan saya itu. Propinsi tempat saya dilahirkan, dan oleh karena itu disebut tanah air saya, ternyata adalah propinsi yang "sangat bermasalah" kondisi lingkungannya. Untuk teman-teman setanah air NTT dengan saya dengarkan ini: saya, anda, kita semua sering teramat membanggakan tanah air kita NTT kita initetapi tahukah anda bahwa menurut citra satelit pada tahun 2007, dari total luas lahan daratan NTT 4,7 juta ha, terdapat 4,3 juta ha lahan kritis? NTT kita adalah juara "kakorek" jika berurusan dengan tingkat kesejahteraan tetapi adalah "kampiun" dalam urusan kerusakan sumberdaya lahan. Dengan curah hujan sekitar 1500 mm/tahun, tanah air kita diberkati Tuhan dengan potensi air sebesar 18 milyar meter kubik tiap tahun. Lalu kita memakainya sebanyak 6 milyar meter kubik. Wah, ada sisa 12 milyar meter kubik. Bagus bukan? Bukaaaaannn eeehh....Tidak. Ternyata kita tidak pernah mengalami surplus air. Nyata Ter....ternyata ....faktanya .... kita selalu mengalami defisit air sebesar 2,82 milyar meter kubik tiap tahun. Lho, kok bisa? Ya bisa dong. Hutan kita yang seharusnya berfungsi untuk menahan air hujan lebih lama di tanah, dalam bentuk "water table" kita tebangi terus menerus. Kita bakar terus menerus. Dahulu, pada sekitar tahun 1960 - 1970-an hutan NTT masih sekitar 20-an persen. Sekarang tinggal sekitar 11%. Di Pulau Sumba, hutan tinggal 6 - 7% dari total luas lahan. Data dari UNCCD tahun 2007 menunjukkan bahwa ada 3 daerah di Indonesia yang terancam proses penggurunan, yaitu NTT, NTB dan Sulawesi Tangah. Lalu dalam kontes "gurun idol" tersebut, pemenang nomor wahidnya adalah NTT..... horeeeeee...hip hip huraaaaaa. Hal ini bukan gosip atau isu murahan karena penlitian saya di Wairinding, Pandawai, Sumba Timur membuktikan hal itu. Proses penggurunan sudah menghadirkan "semerbak-nya" di NTT.

Menyedihkan. Nasib kita ternyata memang tak menentu. NTT = Nasib Tak Tentu. Tapi anehnya, tiap-tiap tahun selalu ada proyek atau program (yang isinya adalah proyek juga). El Tari dahulu bilang: tanam tanam sekali lagi tanam. Ben Mboi dulu berkicau: operasi nusa hijau. Fernandez omong: gerakan menanam 100 juita pohon. Lebu Raya berpidato: tanam dan rawatlah. Departemen Kehutanan bertekad: OMOT (one man one tree). Berhasilkah? Fakta yang ada menunjukkan bahwa seruan di masa lalu telah gatot. Gagal Total. Bagaimana dengan seruan terbaru? NTT. Nanti Tunggu Tahun-Tahun yang datang. Tapi maaf, melihat cara-cara berpikir dan cara bertindak kita semua, sampai dengan diskusi saya yang terakhir bersama beberapa stajeholder di Hoitel Sasando, Kupang, saya tidak begitu yakin. Betapa tidak, dalam bayangan para pengelola lingkungan hidup kita di NTT, termasuk rakyat itu sendiri, masih memandang orang hanya sebatas obyek. Lingkungan hidup masih semacam obyek seksi yang layak jual demi menglairnya proyek dan program. Cilakanya, sayapun ternyata sedang berkubang dalam "jebakan lumpur" yang sama. Lalu bagaimana? Menurut hemat saya, kita rubah cara berpikir kita. Kita ikuti cara berpikir dalam filsafat manusia. Rubah perilaku dahulu keterampilan dan kekayaan mengukuti kemudian. Bahkan, saya mengutip Alkitab, Tuhan membangunkan terlebih dahulu kesadara manusia. Tanggungjawab manusia ..... "semua boleh kau makan kecuali yang satu ini"....

Bisakah kita memetakan persoalan hutan dan penggurunan di NTT dengan lebih baik dan lalu menggerakan hati dan pikiran kita bahwa ... ini tanggungjawab kita semua .... Dalam keadaan begini saya teringat akan seorang petani di Desa Nenas, Timor Tengah Selatan kaki puncak tertinggi G. Mutis yang merupakan hulu 2 DAS paling besar di Timor Barat dan merupakan suatu desa yang amat sangat terpencil. Setelah diadvokasi oleh saya dan kawan-kawan dari ForDAS NTT, beliau amat gemar menanam. Ketika kami mengidentifikasikan bahwa mutu hutan di desanya mulai terdegradasi lalu mencarikan anakan tanaman bambu sebanyak 20.000 anakan untuk ditanam tanpa ragu semua anakan itu ditanam habis di sepanjang daerah aliran sungai yang melintasi desa itu. Yang mengejutkan adalah beliau grima kasih keemar menaman kembail setiap anakan yang ditemukan sudah mati mengering padahal masyarakat di sekitarnya hanya diam berpangku tangan. Pak Simon Sasi, begitu namanya. Saya pribadi memberi arti SASI sebagai sarjana ahli segala ilmu dan beliau tersipu tiap saya panggil begitu. Mengapa hal itu dilakukan oleh Pak Simon? Jawabnya adalah ....."Saya hanya punya cinta kepada Tuhan yang sudah menciptakan semua yang saya perlu. Saya cuma mau berterima kasih kepada Tuhan". Kawan setanah air Nusa Tenggara Timur yang terkasih, maukah kita belajar dari moralitas yang dimiliki Pak Simon?.

Untuk semua usaha Pak Simon yang tak kenal lelah untuk terus menanam dan merawat, sekaligus menghimbau semua anak negeri NTT melakukan hal yang sama, saya hadiahkan lagu cantik dari John Denver. Salah satu dewa musik bergenre Country. Lagu ini berjudul Garden Song yang berceritera tentang menanam seinci demi seinci. Sebaris demi sebaris. lalu rawatlah dengan penuh kasih. Iringi usaha itu dengan doa karena kita memerlukan pohon-pohon itu demi masa depan bumi kita. Masa depan kita sendiri. Dapatkah? Seharusnya bisa.

The Garden Song

Tabe Tuan Tabe Puan