Minggu, 20 September 2009

senang, sedih, heran, sangsi dan keterbatasan

Dear Sahabat Blogger,

Hari ini adalah hari Minggu. Harinya Dominggo. Saya senang. Semakin senang karena bisa menyaksikan betapa sahabat-sahabat Muslim saya, yang amat banyak itu, merayakan hari kemenangannya pasca Puasa. Kemenangan menghadapi godaan dunia lalu kembali menjadi fitri. Semakin lengkap perasaan senang saya karena dalam keadaan Fitri, sahabat-sahata saya yang ber-Lebaran itu sudi menerima permintaan maaf saya atas semua kesalahan yang saya bikin selama ini kepada mereka. Kesalahan adalah hutang dan ketika hutang itu dihapuskan ...wwwwoooowwww....bahagia bukan? Aniway, saya senang hari ini.

Tetapi pada saat bersamaan saya harus menghadapi perasaan masgul. Sedih. Semalam, tepat pukul 20.00 WITA, mama besar (kosa kata Melayu Kupang untuk memanggil isteri dari om atau paman atau pakde) saya, yaitu mama Lin Riwu Kaho-Udju Edo telah menutup mata untuk selamanya. Dalam keadaan sekarang inilah saat terakhir saya bisa bertemu dengan beliau. Mulai besok, hanya angin dan kenangan. Selama 4 tahun tinggal di Atambua, Belu, NTT, saya tinggal bersama mama besar. Jauh dari bapa robert dan mama Agustine. Lalu, sedikit banyaknya, hidup saya ikut dibentuk oleh mama besar. Mengenang itu, saya sedih. Aneh? Mungkin tidak bagi kebanyakan anda tetapi aneh bagi saya. Mengapa demikian? Di laptop saya tersedia 2 sistem operasi, yaitu Windows Vista dan Windows XP. Ketika saya ingin membuka Vista misalnya maka XP tidak dapat dibuka. Begitu pula sebaliknya. Kedua sistem tak mau jalan bersama. Lalu, jika mampu membuka keduanya secara bersamaan pastilah perkara aneh. Dengan demikian, sudah barang tentu saya merasa aneh karena dalam 1 diri 1 pribadi tercetus 2 perasaan sekaligus hari ini. Senang dan sedih.

Keanehan itu menimbulkan keheranan. Ketika masih amat kecil, saya heran mengapa bintang kerlap kerlip di angkasa malam hari tidak pada siang hari. Plato mengatakan bahwa "mata kita memberikan pengamatan, dan kita takjub" Lalu, dari rasa takjub itu timbulah niat ingin menyelidiki. Mengapa bintang berkerlip malam hari? Ketika memulai penyelidikan, saya merasa ragu: "apakah yang saya lihat itu betul-betul bintang atau jangan-jangan kue semprong milik saya yang disimpan di lemari telah diambil seseorang lalu digantung di langit hitam pekat dan diberi nyala lilin?". Descrates mengatakan bahwa "bergerak dari perasaan heran manusia mulai meragukan pengamatan panca inderanya". Karena manusia cemas dalam ketidakpastian maka keraguannya perlu dibuktikan. Hasil penyelidikan dan pembuktian yang saya lakukan menunjukkan bahwa ternyata kue semprong yang ada di lemari masih utuh. "Heeeiiii.....masih anteru (kosa kata Melayu Kupang yang berpadanan dengan kata utuh) kue ku...tidak ada yang hilang". Maka, sudah pasti yang kerlap-kerlip di langit itu bukan kue semprong saya. Itu mungkin bintang. Dan itu harus saya buktikan tapi....wwwaaaalllllaaaahhhhh....tangan saya tidak sampai menjangkau langit. Bintang itu tak bisa kupegang. Ternyata saya terbatas. Kemampuan saya terbatas. Tagal keterbatasan itulah, maka saya terus tetap takjub menatap indahnya bintang yang gemerlapan di langit tinggi.

Bagitulah sahabat-sahabat budiman, mengapa sampai sekarang ini saya terus saja merasa takjub. Saya masih saja heran dan sangsi mengapa senang, mengapa sedih dan mengapa keduanya bisa terjadi bergantian dan bahkan...wow. terjadi bersamaan. Keseriusan berpikir kadang-kadang malah menuntun kepada kebingungan yang teramat sangat. Ada yang tidak dapat terpikirkan. There is something out of my mind while everything are done. Lalu, saya bilang kepada diri saya sendiri..."heeiiii mike, dari pada pusing-pusing mikirin jawaban atas segala sesuatu bagaimana jikalau kamu bersukur dahulu. Mungkin sesudah itu. jawaban" akan diberikan kepadamu". Maka, "selamat datang senang. Selamat datang sedih. Silakan bercampur aduk menjadi satu. Saya memikirkan kalian berdua tetapi terlebih dari pada hanya berpikir, saya mau bersukur".

Selamat hari Lebaran 1340 Hijriah. Minal Aidin wal Faidzin. Mohon dimaafkan lahir batin. Selamat jalan mama besar. Selamat berbahagia menuju negeri abadi. Sang Pencipta akan tersenyum menyambut engkau. Oh ya, titip salam untuk bapa besar, bapa robert dan mama agustine. Katakan pada mereka bahwa saya rindu. Kami rindu.

Bagi sahabat yang ingin menikmati segitiga: heran, ragu dan keterbatasan maka silakan menikmati sebuah lagu bagus dari Phill Collin berikut ini:


Tabe Puan Tabe Tuan

Minggu, 06 September 2009

renungan Kristiani: haleluya atau

Dear Sahabat Blogger,

Karena hari ini adalah hari minggu maka ucapan yang paling tepat adalah "selamat hari minggu" dan bukan selamat hari selasa. Tak cocoklah itu. Tagal ini hari adalah hari minggu maka saya mohon ijin untuk sejenak "beristirahat" dari serial posting "saudaraku sebangsa dan setanah air" guna menyapa sahabat-sahabat saya yang Kristiani. Bagi kami, umat Kristiani, hari Minggu adalah hari beribadah dan karenanya saya ingin sekali menyapa dengan pertanyaan ini: "sudahkah hari ini anda melakukan HALELUYA?

Kata “haleluya” umumnya diterjemahkan orang sebagai “puji TUHAN”. Di sebagian kalangan Kristiani kata haleluya menjadi semaca "aforisme wajib" dalam saling menyapa.....

+ hoooiiii michael, apa kabarmu hari ini???
- baik,
+ Halleluya, .... amin michael????
+ Amin sudaraku. Amin....

Maka penuhlah bibir dan mulut orang-orang Kristen dengan kata ini....haleluya...haleluya...haleluya....begitu berulang-ulang. Jika tidak diucapkan rasanya belum afdol. Belum genap sebagai orang Kristen. Apakah ada masalah bagi saya dalam hal ini? TIDAK. Normal dan biasa saja. Sayapun acap kali demikian. Hal ini baru terasa menjadi masalah ketika saya terpaksa harus terbata-bata menjelaskan arti kata haleluja kepada salah seorang sahabat yang bertanya. Mengapa demikian? Bukankah kata haleluya berarti "puji Tuhan"? Oh ya memang itu dan itulah yang saya tahu sejauh ini. Namun saya terpaksa pontang-panting menjelaskan mengapa dari 1 buah kata "haleluya" terjemahannya menjadi "puji Tuhan"? Mana kata yang berpadanan dengan kata "Puji" dan "Tuhan" yang ada di dalam kata "haleluya?." So, carilah saya beberapa referensi dan saya memperoleh 3 macam pengertian yang lebih memadai tentang kata "haleluja. Inilah yang ingin saya bagi di hari ini. Hari Minggu. Harinya Tuhan.

Kata “haleluya” umumnya memang diterjemahkan sebagai “puji Tuhan". Alkitab terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) tahun 1974 yang dicetak ulang pada tahun 2007 juga menterjemahkannya sebagai “puji Tuhan”. Hal ini amat wajar karena kata haleluja merupakan pengbungan dari 2 kata ibrani, yaitu "hallel" yaitu memuji (praise) dan "Ya-H" (Yahwe atau Tuhan). Jadi, "haleluya" adalah "Puji Tuhan". Penelusuran lebih jauh memberikan informasi tambahan bahwa "haleluya" berasal dari gabungan verb "halal" (+u), yaitu "bersinar" (to shine) dan "Ya-H". Jadi, "haleluya" artinya "shine with god". Bersinar bersama Tuhan. Indah bukan? Tapi sabarlah barang sedikit karena dari hasil penelusuran terhadap akar kata memberikan tambahan informasi yang amat berharga tentang makna kata "haleluya".

Dalam bahasa aslinya, yaitu bahasa Ibrani, kata “haleluya” sebenarnya terdiri atas 2 kata, yaitu “halelu” dan “yah”. Kata “yah” menunjuk kepada YHWH atau TUHAN. Sedangkan kata “halelu” berasal dari akar kata yang terdiri dari dua huruf “he” dan “lamed”. Huruf “he” pada awalnya adalah gambar seorang laki-laki dengan tangan yang terangkat ke atas melihat ke arah suatu vision yang menakjubkan. Sedangkan huruf “lamed” merujuk kepada gambaran sebuah tongkat gembala yang biasa dipakai seorang gembala guna menggerakkan kawanan ternak menuju suatu arah tertentu. Dengan demikian penggabungan dua huruf “he” dan “lamed” itu berarti “melihat ke arah”.

Lantas, apa maksudnya frasa “melihat ke arah”? Di jaman dahulu, aforisme ini merujuk kepada keharusan bagi setiap pejalan kaki atau peziarah untuk melihat kepada tanda-tanda tertentu yang dijadikan sebagai pedoman orientasi arah dan tujuan. DI jaman sekarang tanda-tanda itu sudah digantikan oleh alat-alat seperti kompas, GPS dan lain sebagainya. Peziarah zaman doeloe, umpamanya, biasa menggunakan bintang utara, karena letaknya di atas kutub utara, sebagai pemandu. Bintang itu berbeda dengan bintang yang lain. Bintang lain terus beredar karena rotasi bumi. Bintang utara terus berada di tempatnya dan menjadi titik pusat dari gerakan bintang-bintang yang lain. Karenanya, bintang itu bisa menjadi penentu arah bagi kaum peziarah.

Dari penejelasan di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa secara etimologis kata "haleluya" dapat diartikan sebagai pedoman atau petunjuk atau kompas ke arah Yahwe. Haleluya adalah pentunjuk ke arah Tuhan. Haleluya berarti melihat ke arah Tuhan. Dan inilah yang saya tanyakan kepada semua sahabat Kristiani di awal posting ini. ....Sudahkah di hari ini, sampai hari ini, dan juga nanti besok perjalanan hidup anda "haleluya" dan akan terus "haleluya"?..... Pertanyaan ini sesungguhnya adalah juga pertanyaan kepada diri saya sendiri...heeeeiii michael riwu kaho...sudah-kah hidupmu "haleluya"????? Mudah-mudahan jawaban anda, dan saya, tidak keliru. Mudah-mudahan kita masih ingat apa tujuan hidup kita. Mudah-mudahan kita semua tidak lupa: kepada siapa hidup kita seharusnya diarahkan dan dilabuhkan. Mudah-mudahan "haleluya" dan bukan "halelupa". Kedua kata ini dibedakan hanya oleh 1 huruf tetapi memiliki arti yang ekstrim berbeda.

Pada tahun 1741 seorang komposer terkenal, George Fredrich Handel, menulis sebuah oratorium yang amat sangat tersohor, yaitu "messiah". Pada bagian chorusnya, terdapat penggalan oratorium yang paling terkenal dari "messiah", yaitu "haleluja". Kepada anda, baik yang "haleluya" maupun "halelupa", saya persembahkan chorus dahsyat itu. Tuhan Memberkati.



Tabe Tuan Tabe Puan