Senin, 30 Maret 2009

doea tanda mata, ataoe lebih, dari sitoe gintoeng

Dear Sahabat Blogger,

Di tengah hiruk pikuknya masa kampanye pemilu, yang ternyata tetap saja nggak ada maju-majunya (mungkin penggemar dian pishesa ya???....aku masih seperti yang dulu.....), tragedi Situ Gintung membetot perhatian kita di Indonesia. "Tsunami kecil" kata sebagian pemberitaan. "Tsunami Air Tawar" kata yang lainnya. Lalu ingatan orang di bawa kembali ke horor tsunami Aceh 2004. Jika di Aceh yang tewas sekitar 100.000 jiwa maka di Situ Gintung yang tewas 100 orang. Nggak seberapa? Ya, jika anda adalah penggemar berat matematika maka terang benderang bahwa 100 lebih kecil dari 100.000. Maka apalah artinya 100 berbanding 100 ribu? Begitukah? Apakah nyawa manusia cukup dikalkulasi secara matematis? Dan karena belum ada satupun manusia yang mampu menciptakan nyawa manusia maka tak bisa lain kecuali ini: KAMI BERDUKA.

Dalam posting-posting lama, saya pernah menggunakan tinjauan filsafat manusia untuk memberikan beberapa ciri manusia sebagai makhluk idup. Dua di antaranya adalah membaca dan belajar. Dua cara ini yang menyebabkan manusia memiliki beberapa daya kognisi (menjadi tahu), afeksi (menjadi lebih bisa merasa) dan psikomotorik (menjadi terampil) dibandingkan dengan makhlk hidup tertentu. Dua cara itu pula yang membuat nalar manusia berkembang dan terus berkembang lalu...wuuiiiihhh.....jadilah manusia sebagai makhluk hidup yang mampu mengatasi makhluk hidup lainnya. Manusia berada pada tingkat yang paling tinggi dalam piramida makan-memakan (bukankah hanya manusia yang bisa memakan rupiah dan dolar sedangkan monyet tidak....xi xi xi xi xi...). Tagal kelebihan-kelebihannya itu, sekaligus ini cilakanya, manusia merasa berkuasa di dalam alam. Sekali lagi membaca dan belajar adalah kado dari Tuhan" untuk manusia yang oleh karenanya (principe d'etre) manusia dapat memenuhi harkat hidupnya. Apa yang saya tulis kali ini adalah tentang kado itu, membaca dan belajar. Apa yang dapat kita baca dari tragedi Situ Gintung? Apa yang dapat kita pelajari dari tragedi tersapunya orang-orang dan benda-benda yang ada di sekitar Situ Gintung ketika waduk ini jebol dan menumpahkan air mautnya?

Jaman dahulu, jadoel, setiap pertemuan penting dua pihak selalu di akhiri dengan saling bertukar simbol kenangan. Cendera mata atau tanda mata. Apa tanda mata dari Situ Gintung untuk kita? Kepala yang lain mungkin dapat mengidentifiikasikan banyak cendera mata tetapi saya cuma punya 2. Dan inilah doea tanda mata dari Situ Gintung.

Tanda m
ata 1: perilaku manusia
Apa yang paling ramai diberitakan di warta-warta tentang Situ Gintung bertalian dengan manusia? Paling pertama adalah jumlah korban. Berapa yang tewas. Berapa yang hilang dan berapa yang cedera dan dirawat di rumah sakit. Berikutnya apa? ceritera dari warga yang selamat. Lantas, apalagi? ceritera tentang operasi pelaksanaan evakuasi korban bencana Di sini saya ingin membuat catatan. Berita di KORAN JAKARTA edisi Sabtu 28 Maret 2009. berbunyi begini:

....proses evakuasi terhambat oleh lalu lalang orang-orang yang datang menonton ......ddddooooohhh........bencana ternyata dapat menjadi obyek wisata karena bencana adalah obyek tontonan.....awesome....
Lalu, ... masih kata berita....di sana-sini bermunculan pedagang-pedagang dadakan yang menjajakan kebutuhan para pengunjung.....ddddooooohhhhh lagi......bencana ternyata juga menciptakan peluang bisnis.....that's great....

Lalu, saya tercenung dan berpikir:...jika bencana makin banyak dan makin sering....sudah barang tentu wisatawan akan semakin banyak. Lalu, uang berputar makin banyak dan lalu....hmmmhhhhh... lumayan....ekonomi Indonesia yang terguncang karena krisis global mendapat salah satu bentuk solusi. Kalau begitu bagaimana jika kita menciptakan makin banyak bencana supaya tercipta BB (Bisnis Bencana). Masuk akal. Logis secara matematis. Tetapi apakah Etis? Inilah soal saya. Inilah tanda mata itu. Apakah menonton bencana tanpa berbuat apa-apa selain menonton lalu menghambat proses evakuasi korban lalu memanfaatkan situasi bencana untuk berbisnis adalah tindakan etis? Saya tidak akan mengulasnya. Andalah yang bertugas untuk itu dan saya tolong diberitahu. Tetapi inilah tanda mata dari Situ Gintung.

Masih tentang tanda mata perilaku manusia. Menurut data dari warta Situ Gintung adalah danau buatan yang dibikin oleh Belanda pada tahun 1932 dan kelar pada tahun 1933. Mengapa itu dibuat? Belanda membuatnya untuk membantu mengelola air permukaan agar tidak terlalu banyak air limpasan yang dapat menjadi beban bencana bagi kota Jakarta. Setelah Merdeka, dan sinyo-sinyo Belanda itu pergi, sampai sekarang Situ Gintung tetap ada seperti apa adanya. Situ Gintung tetap dibiarkan sebagai bangunan Dam .... tanpa dirawat. Di warta dapat dibaca juga bahwa pada tahun 2002 ketika terlihat adanya retakan-retakan, datanglah beberapa orang dari PU lalu periksa sana sini dan lalu ... pergi tak pernah datang lagi. Sementara itu, di sepanjang sempadan waduk, yaitu daerah berjarak 100 - 300 m dari tubuh waduk dan saluran outletnya yang seharusnya berupa ruang terbuka hijau yang padat ditumbuhi vegetasi malah padat ditumbuhi oleh rumah-rumah pemukiman. Bahkan, masih menurut warta, di titik yang seharusnya ada bangunan pintu air yang pernah dibangun oleh Belanda sekarang malah berdiri bangunan rumah. Akibatnya ketika debit air bertambah dan terjadi luberan (overtopping) maka air luberannya ini bergerak lambat dan memberikan waktu yang cukup untuk menggerus atau menimbulkan erosi pada tanggul, yang konon dibuat hanya dari urugan tanah biasa. Tanggul yang tererosi itulah yang menyebabkan "tsunami air tawar" seperti yang telah diberitakan. Lihatlah juga perilaku manusia di sepanjang sempadan outlet air buangan dari Situ Gintung. Dari foto-foto yang ada terlihat bahwa di kiri-kanan outlet selebar 5 meteran itu, penuh ditumbuhi rumah padahal secara teoritis seharusnya daerah itu harus disediakan sebagai daerah sabuk. Ketika ada kebutuhan untuk memperlebar outlet air limpasan maka daerah sabuk yang bebas bangunan akan memudahkan upaya itu. Pertanyaannya adalah siapa yang memberikan ijin mendirikan bangunan di kiri-kanan outlet itu? Pahamkah masyarakat dan pemberi ijin akan konsekuensi-konsekuensi ekologis dan teknis dari hadirnya pemukiman di dekat waduk? Legal tidak bangunan-bangunan itu?

Ada pendapat yang saya kutip dari berita-berita bahwa sebaiknya warga di situ dipindahkan. Memindahkan warga dan membongkar rumah warga? Waaaaaaaaoooooowwwwww........yang berpikir demikian harap bersiap dengan berjuta persoalan baru. Ganti rugi yang tidak masuk akal. HAM-lah. Korupsilah.....pokoknya bakal ketiban bejibun dan seabrek-abrek persoalan yang menhgabiskan banyak energi. Lalu, ini salah satu ciri khas bangsa kita, semua dibiarkan seperti apa adanya saja. Semua semau-mau. Semua orang, semua pihak dan semua hal dibiarkan berlangsung semau-maunya sendiri.......preketeeeeekkkkkk.....mblegedhesssss......

So, jika demikian ketidak perduliannya maka seharusnya semua saja maklum ketika Situ Gintung dan air simpanannya juga bertindak semau-maunya sendiri untuk jebol dan tumpahan airnya melanda habis semua yang dilaluinya Pertanyaannya adalah: "apakah etis tindakan tidak merawat waduk selama berpuluh tahun, membangun pemukiman semau-maunya di sepanjang sempadan waduk dan outlet air, serta penutupan beberapa pintu perlolosan air. Sekali lagi, etiskah perilaku demikian? Sekali lagi, anda tolong merenungkannya dan sesudah itu harap saya juga dibagi hasil perenungan itu. Tetapi apapun juga, inilah tanda mata 1.

Tanda Mata 2: belajarlah mengelola alam
Setelah bencana terjadi dan Situ Gintung menjadi kering maka diskusi teknisnya adalah apakah Situ Gintung dibiarkan kering selamanya ataukah waduk tersebut perlu dibangun kembali. Seorang blogger tangguh di http://www.rovicky.wordpress.com setelah mengulas berbagai alasan geologis dengan sangat memukau menyimpulkan bahwa "keringkan saja danau ini dan jangan dibendung lagi"....wwwwhooooopppsssssss.....Di lain pihak, sebagaimana dikutip oleh www.kompas.com, seorang pengamat perkotaan Nirwono Joga mengatakan bahwa "Situ Gintung penting bagi Jakarta" karena jasanya sebagai pengendali banjir bagi Jakarta Selatan. Lha, lantas yang mana yang kita pilih? Jujur saja, saya tidak berpretensi mengusulkan apa-apa dan bahkan menurut hemat saya inilah kado kedua dari Situ Gintung untuk kita semua. Bacalah tanda-tanda (manusia adalah pembaca simbol kata Louis Leahy) dan lalu, belajarlah. Setelah itu ambil keputusan dengan tepat. Mau diapakan Situ Gintung pasca bencana. Bekerja di dalam alam, memanfaatkan dan mengelolanya tidaklah dapat dilakukan sambil lewat apalagi dilakukan tanpa memahami apa-apa. Ingatlah ini: di luar anda, terdapat alam dan hukum-hukumnya tersendiri yang jika anda mengabaikannya maka anda akan "dihukumnya". Tarushah sedikit respek kepada alam. Bukan hanya wanita, alampun butuh untuk dimengerti. Bagaimana memahami alam? Bacalah dan belajarlah. Sekarang juga jangan ditunda.

Lalu, apa sebenarnya saran saya? Saya ingi ikut urun pendapat tetapi ada 2 kendala besar, yaitu saya bukanlah ahli geologi atau ahi tata kota. Saya cuma sedikit punya tahu (tempe juga ada di meja makan he he he) tentang hutan dan hidrologi hutan. Saya juga kadang-kadang berbicara tentang kronika daerah tangkapan air dalam konteks pengelolan daerah aliran sungai karena saya adalah ketua Forum DAS NTT. Ya cuma itu dan tak tega daku mempermalukan diriku sendiri dengan usulan yang ngawur ...cieeeeeeehhhh....Kendala lain adalah, saya tidak memiliki data yang lebih lengkap dan komprehensif tentang kondisi Situ Gintung kecuali data-data di surat kabar dan gambar peta dari Mister Google. Tetapi biar kentara sedang belajar maka saya beranikan diri juga untuk membuat sedikit catatan. Sekaligus inilah tanda mata dari saya. Begini:

Dam kecil buatan seperti Situ Gintung yang berupa tubuh air hasil perangkap air permukaan adalah hal yang jamak bagi kami di NTT yang kering dengan struktur tanah yang bersifat tanah kartz. Di NTT, sejak awal tahun 1980-an banyak dibangun dam-dam air penampung kecil yang disebut sebagai embung. Banyak di antara embung itu yang sebenarnya tidak ideal menurut struktur geologinya tetapi hanya itu caranya untuk menyiapkan cadangan air bagi penduduk di masa kemarau yang bisa berlangsung 6-7 bulan. Maksud saya, danau buatan seperti Situ Gintung wajar ada jika alasannya kuat. Apakah Situ Gintung harus ada yang oleh karenanya (principe d'etre) keadaan bisa lebih buruk jika tidak ada? Jikalau jawabannya adalah YA maka pilihannya adalah lakukanlah konservasi terhadap Situ Gintung.

Kata konservasi amat penting karena jika Situ Gintung dipertahankan maka hanya ada satu alasannya yaitu sebagai daerah upstream atau daerah tangkapan air dengan aneka fungsinya. Jika begitu maka UU No. 7/2004 tentang Sumberdaya Air mengamanatkan bahwa daerah upstream adalah daerah konservasi. Maka pilihan cuma 1: tegakkan semua kaidah-kaidah konservasi tanpa syarat. Maka, bangunan waduk harus dibangun berdasarkan prinsip-prinsip sipil keteknikan yang tepat dan akurat. Maka, perawatan yang reguler harus dilakukan. Maka, ruang terbuka hijau di sekitar waduk, outlet air dan sempadan wajib diadakan. Jika untuk itu hutan kota harus didirikan ya lakukanlah. Maka, pemukiman di sepanjang sempadan waduk dan outletnya tidak boleh ada. Maka, pengelolaan daerah upstream, transportasi dan downstream, yang bila perlu melibatkan pihak pengelola sungai Pesanggrahan. Pengelolaan ini harus bersifat terpadu dan didasarkan atas prinsip-prinsip eksternalities: lintas wilayah adminsitrasi, lintas sektoral dan lintas bidang ilmu. Maka, insentif dan disinsentif perlu dipikirkan. Jasa lingkungan bagi yang memelihara ekosistem adalah perlu. Tegakan hukum seadil-adilnya tanpa pandang bulu sekalipun penduduknya botak nggak punya rambut. Relokasi penduduk? Apa boleh buat jika hal itu memang suatu keharusan.

Dalam ilmu pengelolan bencana dikatakan bahwa resiko bencana = bahaya x kerentanan x ketidakmampuan. Anda lihat bahwa ketidakmampuan adalah faktor determinan yang dapat mereduksi kerentanan dan bahaya yang pada ujungnya akan mereduksi resiko bencana. Memanfaatkan alam, apakah itu di Situ Gintung ataupun dimana saja tak pernah lepas dari resiko dan semua tentang mengelola alam secara cermat adalah bagaimana hidup berdampingan secara damai dengan resiko bencana. Bagimana cara agar memiliki kemampuan dalam mengelola alam dan sekaligus mengurangi resiko bencana? Tak lain dan tak bukan: BACALAH DAN BELAJARLAH. Inilah sejatinya 2 tanda mata yang diberikan oleh Allah lewat tragedi Situ Gintung.

Kita tidak bisa bernegosiasi, dan sebaiknya tidak berpikir untuk melakukan discount tentang pentingnya, belajar mengelola alam guna mereduksi resiko bencana jika Situ Gintung ingin tetap dipertahankan. Saudaraku, ingatlah bahwa di hari Jumat pagi buta, pada tanggal 27 Maret 2009, Situ Gintung dan air yang ada di dalamnya tidak bernegosiasi dengan siapapun ketika mereka memutuskan untuk jebol dan mengirimkan "tsunami air tawar" yang mematikan itu. Anda maoe tanda mata seperti itoe? Saya memoetoeskan TIDAK.

Tapi saya berharap anda soeka dengan doea tanda mata dari saya berikoet ini:


Tabe Tua
n Tabe Puan

Selasa, 24 Maret 2009

dapatkah kita bersahabat dengan mereka? thom pace bilang: "may be"

Dear Sabahat Blogger.

Sahabat saya yang baru, sudah barang tentu sahabat kita bersama: MR HASTU (lihat link), memposting 2 artikel berturut-turut tentang kohabitasi antara manusia dan alam. Posting sejenis sudah pernah saya buat di blog musik saya kira-kira 1 bulan lalu. Sekarang, saya rasa perlu untuk memindahkan artikel itu ke “blog induk” untuk 2 tujuan: pertama, bahan renungan tentang interaksi kita dengan alam. Dan kedua, ….supaya ada bahan posting untuk blog bigmike …. ha ha ha ha….Silakan disimak dan dinikmati.

Tahun 1980-an awal, di layar TVRI - ketika itu stasiun TV lain tidak ada - diputar sebuah serial TV yang legendaris, yaitu “the live and times of grizzly adams”. Serial televisi ini berceritera tentang seseorang yang bernama Grizzly Adams yang melarikan diri dari tuntutan hukum karena diduga terlibat dalam suatu perkara pembunuhan. Adams melarikan diri karena merasa tidak pernah berbuat kesalahan apapun. Adams melarikan diri ke arah pegunungan (mountain). Bersembunyi dan sekaligus mencoba bertahan hidup di sana sedapat-dapatnya. Dalam satu kesempatan, Adams bertemu seekor beruang grizzly yang sendirian (orphans), belakangan diberi nama Ben. Alkisah, Adam mencoba untuk bersahabat dengan Ben. Dan itulah yang terjadi kendati sulit di awalnya karena si beruang, bagaimanapun, adalah hewan liar (wildlife) dengan naluri membunuh yang besar. Keduanya bersama-sama bertualang menelusuri gunung, hutan, sungai dan berbagai kehidupan liar lainnya sembari melindungi dan memelihara alam yang ada. Berteman bersama mereka adalah seorang pedagang tua, the Mad Jack, dan seorang native american - pria Indian - Nakoma.

Begitulah film cantik itu dan saya tak pernah melewatkan satupun serial itu. Memandang gambar-gambar alam nan asli, asri dan cantik adalah degup jantung tersendiri. Salah satu penjelasan tentang “hobi” saya yang kendati selalu belajar disiplin ilmu yang berbeda tetapi semuanya berkaitan dengan alam bebas - peternakan range, ekologi tanaman dan perlindungan hutan - antara lain terinspirasi oleh film TV ini. Menonton persahabatan yang tulus di antara dua spesies yang berbeda mengusik rasa kemanusiaan (afeksi) saya. Salah satu adegan yang paling menggetarkan adalah tatapan mata nanar si Ben ketika harus menyaksikan Adams yang akhirnya ditangkap oleh seorang pemburu hadiah (bonty hunter) dan kembali dimasukkan ke dalam penjara. Tak kalah dahsyatnya dengan itu adalah adegan ketika kedua sahabat itu bertemu kembali karena setelah melewati proses hukum, Adams tidak terbukti bersalah. Kedua sahabat itu bertemu kembali dan melanjutkan persahabatan sembari terus mengembara di alam liar menebar kebaikan. Entah bagaimana cara pembuatan film itu tetapi ketika itu saya belajar 1 hal, yaitu persahabatan dengan siapa dan apapun adalah mutiara yang sepatutnya dijaga.

Beberapa waktu lalu, saya membaca berita bahwa di Sumatera Selatan dalam 1 tahun terakhir ini sudah 9 orang tewas diterkam harimau. Di Kupang, 2 orang tewas diterkam buaya muara. Kemanusiaan kita tergerak karena perasaan iba mendengar ada manusia yang mati diterkam binatang buas. Apa solusinya? Musnahkan si binatang buas? Mungkin begitu tetapi nanti dulu karena faktanya Harimau Sumatera adalah binatang liar yang dalam status dilindungi karena nyaris punah. Buaya Timor tergolong hewan yang juga nyaris punah dan terpaksa dilindungi. Begitupula nasib berbagai spesies lainnya. Hiu yang menakutkan, Ikan Paus yang berukuran raksasa, Kuda Nil yang dahsyat “kremusannya”, Komodo yang meski eksotik tapi liar dan amat ganas, dan banyak lagi hewan perkasa lainnya yang pada faktanya adalah jenis-jenis yang nyaris punah. Mengapa demikian? Siapa penyebab kepunahan spesies-spesies “gahar” itu? Adalah ini: MANUSIA. Perburuan oleh manusia dan perusakan habitat hewan-hewan liar itu guna alih fungsi lahan adalah force majeur.

Atas nama sesama spesies manusia kita patut bersedih atas matinya orang yang diterkam binatang buas. Akan tetapi obyektivitas tak boleh berheti di situ. Kita harus jujur mengakui bahwa ……manusia ternyata lebih buas dari binatang terbuas sekalipun….memang manusia kalah otot dan tenaga kebanding hewan-hewan liar itu tetapi manusia punya satu senjata yang lebih hebat, yaitu NALAR. Taufik Ismail pernah mengatakan bahwa “jika harimau Jawa punya nalar maka past manusia Jawa-lah yang harus dikonservasi”. Dengan akalnya itu manusia berpotensi menjadi monster yang paling menakutkan. Seorang diri, Ryan van Jombang mampu menghabisi 11 orang. Hanya demi ambisi 1 orang Hitler, 6 juta otang Yahudi harus meregang nyawa. Hanya karena ambisi berkuasa manusia mengkreasikan perang, yang menghabiskan jutaan nyawa sepanjang sejarah manusia. Dengan alasan perjuangan suci, manusia berani menabrakan pesawat ke twin tower di New Yor. Ribuan orang mati seketika. Demi memenangkan perang, hanya manusia yang mampu mengkreasikan bom atom. Cukup dengan sekali menjatuhkannya di Hiroshima, matilah ratusan ribu nyawa sekaligus. Tanpa ampun. Tanpa kasihan. Jawablah saudaraku: ….. siapa predator sesungguhnya? Siapa yang sesungguhnya berada pada posisi teratas dalam rantai makanan?

Di tengah kesusahan hati itu, saya kembali teringat Adams dan Ben. Manusia dan binatang. Entah jikalau si Darwin benar, bahwa kita masih sedulur dengan binatang-binatang. maka persahabat itu mudah dimengerti. Tetapi baiklah, terlepas benar tidaknya Darwin, yang pasti adalah kita dan alam merupakan 2 obyek yang berbeda. Lalu, apakah karena kita berbeda maka kita boleh menusnahkannya? Mengapa kita dan mereka harus saling membunuh? Mengapa harus saling menghancurkan? Kemana rasa cinta kita? Dimana? Bukankah cinta bersifat merangkum semua?

Marilah kita belajar dari Adam dan Ben. Lalu, Thom Peace menciptakan sebuah lagu cantik, “maybe” yang merupakan theme song dari serial TV itu. Lagu ini tidak saja indah dalam harmonisasinya tetapi juga liriknya yang membuat terkesima. Buktikan sendiri dan selamat menimba kearifan dari lagu ini.

Thom Pace Song Maybe “The Life and Times of Grizzly Adams
(versi audio recording)

(versi televisi)

Selasa, 17 Maret 2009

inga.....ingaaaaa......tiiiiing: kita di bawah naungan bendera yang sama meski kampanye mungkin membelah kita

Sahabat Indonesia,

Musim kampanye terbuka dalam rangka pemilihan umum legislatif telah tiba. Keriuh rendahan ada di sana dan di sini.... heeeiiii .... saya suka si merah......gw sih milih si kuning ajah .... abdi mah biru teaaaaaa.....kulo nderek sing ijo-ijoooo ..... eeehhhh kitorang suka yang warna ungu moooo.......lalu, semua kita terbelah dan berbeda sesuai warna favorit kita. Dan cilakanya, di hadapan kita tersedia 38 "kotak" yang berbeda + "kotak-kotak" lokal di Aceh + kotak berwarna putih yang siap memisahkan dan membelah kita. Dan ada yang lebih cilaka lagi: dari dalam rumah yang satu ada si abah, ambu, teteh, kang mas, dimas, paman, dan atau bibi beramai-ramai menjadi calon anggota legislatif. Dari kotak dengan warna yang berbeda. Memilih si ambu ..... eeehhhh .... si teteh ngambeg ke kita. Menimbang untuk mencontreng gambar si akang ... wadaaaaooowww ....... si eneng geulis tersinggung. Bersimpati pada si mas ...eeeealaaaaaahhhh ....... kok si mbakyu nesa-nesu ora karuannnn.......tttooooobbbbiiillllll........wwwuuuiiiiiuuhhhhhh.....

Dan lalu, begitulah sidang pembaca. Tanpa terasa kita sekarang memasuki suatu situasi di mana kaki kita serasa berdiri di tubir jurang: perpecahan. Mungkin kita menyangkalnya akan tetapi sejarah bangsa kita mengajarkan fakta bahwa ketika di mulut kita berteriak.... bersatulah ..... lihatlah....diam-diam kita mempersiapkan diri untuk ...... bercerailah......

Di situs berita www.detiknews.com, terbetik kabar bahwa bapak Ketua KPU Abdul Hafiz Ansyari mengatakan bahwa : "kami juga melarang para parpol melakukan pawai selama kampanye dan jangan sampai berbarengan kampanye konvoinya". Mudah ditebak mengapa sang Ketua KPU berseru demikian. Ya, pastilah untuk menghindarkan kemungkinan terjadi nya kerusuhan massa. Mengapa demikian? Perhelatan demokrasi di Indonesia yang seharusnya membawa niveau pesta lebih sering tampak sebagai ajang perkelahian antar gang. Saya tidak tahu, terbuat dari bahan baku apa syaraf-syaraf emosi bangsa kita ini. Disenggol sedikit langsung berantem. Mudah marah dan mudah tersingung tetapi anehnya ... amat gemar berolok-olok. Suka menghina. Lebih aneh lagi, orang-orang pemarah ini setiap hari Jumat tidak pernah alpa mengunjungi Masjid. Setiap hari Minggu rasa-rasanya si penaik pitam itu rumahnya berpindahkan ke samping Gereja. Pura dan Kuil seolah nama tengah mereka.....ajaaaiiibbbbb.....ajooooooaaaaaiiiibbbbb......rajinnya sembahyang = rajinnya bertengkar.

So, sebelum semua pihak, apakah itu pemilik, pengurus dan suporter kota-kotak berwarna-warni itu beraksi lebih jauh dan memaksa kita terbelah tak karuan maka marilah kita ingat kembali himbauan arif berbagai pihak......pemilu adalah pemilihan umum bukan pembuat pilu.......pemilihan umum adalah pesta demokrasi bukan horor demokrasi....damailah saudaraku.....damailah saudariku.....

Guna mengantar harapan damai itu, saya ingin mengajak saudara dan saudari menengok kembali suatu himbauan yang tepat dari Franky Sahilatua, Iwan Fals, Edo Kondologit, Nicky Astria, Trie Utami dan lain-lainnya:..... "janganlah kita mudah bertengkar, mudah berpisah dan mudah berpencar .." karena....kita semua satu keluarga besar....kita semua sama bernaung di bawah bendera yang sama.... Merah Putih ...... Indonesia

di bawah tiang bendera
(Franky S, Iwan Fals, Edo K, Nicky A, Trie U dkk.)

Tabe Tuan Tabe Puan

Minggu, 15 Maret 2009

kata lai valentinus: tak perlu banyak-banyak (sedikit cukuplah)

Dear sahabat blogger,

Saya tadinya ingin memposting sesuatu tetapi ketika membuka e-mail......eeeehhhhh.......ada sebuah surat di inbox dari seseorang bernama "lai valentinus riwu kaho"....ahaaaaaaaa.......anda lihat di situ ada kata "riwu kaho" bukan? Oleeeeeeee.......oleeeeee......riwu kaho (bung Proxy, ijinkan saia minjam istilah favorit anda, boleh yaaaaaaa.......hitung-hitung sedekah broooo.....hi hi hi hi)....dan anda benar sekali sahabat blogger terkasih: lai valentinus memilii hubungan khusus dengan saya yang ditandai dengan kesamaan nama itu. Siapa dia? abang? no sir no sor.....adik? yuuupppssss.....lai valentinus adalah adik sepupu saya. Ayahandanya adalah adik kandung SGT, Ayahanda saya almarhum.

Apa istimewanya e-mail dari lai, selanjutnya saya akan menyebutnya sebagai "pak lakers", selain karena itulah nama akrabnya yang biasa kami panggil dalam keluarga tetapi juga dalam nama itu tersembunyi inisial "riwu kaho". Siip laaaaahhhh....."kembali ke laptop": apa istimewanya e-mail dari pak lakers itu? Sebenarnya tidak ada. Dan memang pada mulanya saya tidaklah menaruh perhatian khusus terhadap bahan e-mailnya itu. Akan tetapi setelah saya merenung kembali .... wwwwwwweeeiiitttttt a momentos ..... ada "mutiara berkilau di sana" yang rasanya bahagia jika dapat dibagikan kepada sahabat sekalian.

Mari, saya ajak sahabat semua coba masuk ke dalam alam pikiran pak lakers. Dia adalah seorang pegawai di salah satu Universitas Swasta di Kota upang. Bukan cuma itu, dia adalah juga seorang calon sarjana theologia, meski agak telat (karena pak lakers punya sedikit persoalan dengan orientasi waktunya - pagi dikiranya malam dan sebaliknya malam dikiranya pagi). Apa hubungannya dengan isi e-mailnya? Saya menafsir bahwa pak lakers yang diberi "talenta" banyak kebisaan itu ingin "berbagi" barang sedikit talentanya itu. Lalu, dalam e-mailnya yang berupa puisi itu pak lakers bolak balik menggunakan kata "sedikit". Apa arti sedikit? Lalu di sinilah misteri "sedikit" itu. Teringatlah saya akan posting saya sebelum ini: "seandainya para jenderal itu sedikit lebih sabar, mungkin tidak akan ada perang". "Seandainya manusia menggunakan sumber daya alam sedikit lebih berhati-hati mungkin ancaman bencana lingkungan tidak terjadi"...dst....dst.....Mungkin kalau....ah dari pada saya bicara terlalu banyak...baiklah saya persedikit bicara saya supaya kita semua bolehlah barang sedikit memikirkan misteri "sedikit" yang ada dalam posting pak lakers CSTh (Calon Sarjana Theologia).

Selamat membaca dan semoga sedikit memberi bahan perenungan.

SEDIKIT

Kerja HATI-HATI-lah sedikit,

agar luput dari celaka.

Selesai kerja SANTAI-lah sedikit,

agar kekuatan pulih kembali.


Sampai rumah HAPPY-lah sedikit,

agar anak-istri senang.

Ada
persoalan TENANG-lah sedikit,
agar tidak salah langkah.

Dalam pergaulan SENYUM-lah sedikit,
agar banyak kawan.


Kalau makan PANTANG-lah sedikit,

agar tidak kena stroke.


Sama lingkungan PEDULI-lah sedikit,
agar dapat jadi berkat.

Kalau bertindak BERIMAN-lah sedikit,
agar diberkati Tuhan.


Dan.. jadi orang CIN-CAI-lah sedikit,,

agar tidak stress.

Tabe Tuan Tabe Puan

Kamis, 12 Maret 2009

someday never comes adalah damai yang tak pernah mau datang

Dear sahabat blogger,

2 - 3 hari belakangan ini dunia politik Indonesia, yang memang sudah "ramai" menjelang PEMILU, mendadak diguncang "gempa volkalinok taktiktronik dengan skala 007 pada skala ribet"....wwwwuuuuaaaaahhhhhh......SBY-JK pecah kongsi, JK merapat ke Megawati, SBY sakit dan.....di episentrumnya gempa itu bernama "perang opini " antara 2 mantan Danjen Kopassus (ingat ya, ini tentang tentara betulan bukan "kopi panas sampur sedikit susu" hi hi hi hi hi). Sintong Panjaitan mengeluarkan sebuah buku yang berjudul "perjalanan seorang prajurit para komando". Banyak hal dibicarakan dalam buku ini berkaitan dengan pengalaman jenderal Sintong semisal seputar ketika penumpasan G30S (terserah deh, para sahabat mo nambah kata PKI atau nggak), penumpasan gerombolan pembajak pesawat Garuda Woyla, Kerusuhan di pekuburan Santa Cruz Timtim (dahulunya), ....dan.....ahaaaaa.....peristiwa rivalitas Prabowo VS Wiranto + Habibie (bukan Hari-hari bikin bingung lho ya...ha ha ha ha).

Pada titik itu, Prabowo "angkat bicara" (nggak ngerti angkatnya pake tangan atau kaki xi xi xi xi.....). Berikut saya kutip dari www.okezone.com


daaaaaaaammmmmmmmmmhhhh.......weezzzzzzz......so pasti Prabowo en his gang was-was karena opini yang agak bengkok tentang paitua (kosa kata Kupang untuk menyebutkan beliau laki-laki) bisa bikin peluangnya menjadi Presiden RI berkurang satu-dua dikit (mending segitu bagaimana kalo 1000 dikit, ya nggak?). Nah, sahabat terkasih: sampai di sini saja informasi saya tentang "gempa volkalinok taktiktronik nan pemiluik" di belantara politik Indonesia kontemporer. Silakan anda baca sendiri beritanya lalu dicerna sebaik-baiknya (jangan sejelek-jeleknya). Ocheeeeee????? Tapi tidak secepat itu saya hentikan posting ini. Berangkat dari kisah di atas, saya ingin menceriterakan kembali suatu kisah nyata yang lain untuk memberi tali pengikat antara kisah Sintong VS Prabowo dengan kisah lainnya itu dengan satu pesan moral: "ketika nafsu kebencianmu jauh melebihi kadar kasih sayang yang ada dalam dirimu maka ..awas.......yang tinggal nanti hanyalah kehancuran. Damai akan pergi dan tak mau datang kembali". Begini kisa lain itu:

Pernah mendengar Perang Vietnam? Pastilah sudah. Ya, perang ini adalah perang yang brutal. Amat brutal untuk tujuan yang amat sumir. Adalah serial penjajahan, perang, pembebasan dan permufakatan ganjil yang menyebabkan bangsa dan negara Vietnam Raya terbelah 2. Di Bagian Utara berdiri negara Republik Demokratik Vietnam atau Vietnam Utara yang komunis serta berafliasi ke China dan Soviet. Sementara itu di bagian Selatan berdiri Republik Vietnam yang ditongkrongi oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Dua saudara satu kandung itu berperang dengan sangat hebatnya. Dan mudah ditebak, era perang dingin yang merupakan arena persaingan Rusia VS Amerika Serikat memperburuk semuanya. Hawa kematian membaui di mana-mana. Killing fields tercipta di sana.

Setelah perang yang berkepanjangan selama hampir 20 tahun, akhirnya semangat rakyat Vietnam untuk tegak berdiri kembali sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan tercapai. juga. Meski dengan "harga" yang amat mahal. Di satu sisi, jika di lihat dari adagium bahwa perang adalah perpanjangan medan pertarungan politik maka jelas dan terang benderang Vietnam Utara dan Soviet adalah pemenangnya. Tentara Vietnam Utara menang. Tentara Vietnam Selatan menjadi pecundang. Komunisme berkuasa di Vietnam dan mempersatukan kembali negara yang terpecah belah itu. Inilah perang yang akan dikenang, secara politis, sebagai kekalahan si Cowboy Yankee, Amerika Serikat. Beres? Belum. Sebab ada fakta yang harus ditelisik dari sisi yang lainnya lagi.

Jika kemenangan dalam peperangan diukur melalui besarnya kehancuran yang dialami oleh pihak musuh maka perhatikan data berikut ini:
  • Jumlah tentara Ameriksa Serikat yang tewas: 58.226 jiwa dan 153.303 cedera/cacat;
  • Jumlah tentara Vietnam Selatan yang tewas : 200.000 jiwa;
  • Jumlah total tentara di pihak utara yang tewas mencapai 1,1 juta jiwa (menurut data Vietnam Utara) dan 3,2 juta jiwa (menurut data AS);
  • Jumah penduduk Vietnam, utara maupun selatan, yang tewas selama 2 periode perang di antara tahun 1957 - 1974 mencapai 4 juta jiwa.
  • Jutaan hektar hutan Vietnam terbakar dan rusak selama masa operasi “rolling thunder” dengan bom-bom napalm yang dahsyat itu;
  • Jutaan penduduk cidera, cacat permanen dan trauma akibat penggunan senyawa kimia beracun sebagai substansi bom.

Siapa menang siapa kalah? Vietnam Selatan memang kalah dan AS keluar dari tanah Vietnam tapi lihatlah "warisan" yang ditinggalkan AS. Kematian dan kehancuran dalam skala yang dahsyat yang dialami pihak lawan. Sulit untuk menilai siapa pemenang sesungguhnya. Secara militer AS sulit untuk dikatakan kalah. Bahkan sampai saat Richard Nixon membuat keputusan untuk menarik diri dari Vietnam dan membiarkan Vietnam Selatan berusaha mempertahankan dirinya sendiri, secara umum mesin tempur USA “baik-baik saja”. Bahkan kata banyak analis, perang Vietnam digunakan oleh AS untuk melakukan ujicoba beberapa sistem persenjataannya. Ini adalah perang yang aneh, setiap kali dihantam AS dan kemudian terdesak, Vietnam Utara dan kompatriotnya mengajak masuk meja perundingan. Setelah jeda sejenak, mereka mundur dari meja perundingan dan berperang lagi. Di lain waktu, setelah capek menembak dan mengebom AS juga mengajak Vietnam Utara masuk meja perundingan. Setiap kali Vietnam Utara berulah dan enggan masuk meja perundingan maka tentara AS menggunakan kekuatannya militer dalam skala yang lebih besar dari biasanya untuk memaksa.

Bagi tentara AS, perundingan adalah bencana" karena semua rencana dan taktik militernya harus diubah Tak jarang, ketika pasukan AS tinggal melumpuhkan musuhnya, mereka dipaksa untuk kembali ke barak. Mereka diperintahkan untuk berhenti beroperasi meski situasi di lapangan menunjukkan seharusnya serangan tidak boleh dihentikan. Ketika Vietnam Utara “mutung” dan mundur dari meja perundingan maka kampanye militer USA dijalankan lagi tetapi seolah-olah semuanya harus mulai dari awal. Cilakanya permulaan serangan selalu dimulai dengan parade serangan berskala besar dan terjadilah pembataian. Bagi tentaea AS, makin lama makin banyak musuh yang dibunuh tetapi mereka tidak bisa mencapai satupun tujuan militer yang dirancang. Situasi “maju tidak mundur tidak”, tetapi terpaksa terus menerus membantai orang membuat goncangan batin yang hebat di kalangan tentara AS. Lagian, meski lebih sedikit jumlahnya tetapi korban di pihak AS juga terus berjatuhan. Dua hal yang terjadi secara simultan itu membuat militer AS mengalami frustrasi dan depresi berat. Tentara AS, yang bagaikan anjing galak yang maunya mengiggit tetapi lehernya dirantai. Lama-kelamaan mereka mengalami demoralisasi nilai-nilai kemanusiaan yang luar biasa besar. Umumnya mereka bertanya: "untuk apa perang?". "Mengapa kami menjadi pembunuh?". "Kapan selesai perang ini?". Dala situasi gamang seperti itu tak jarang tentara AS berubah menjadi "gila". Membunuh para tawanan yang menurut hukum perang seharusnya tidak boleh dibunuh, membunuh teman sendiri atau membunuh diri sendiri.

Sementara itu, nun jauh dari daratan hutan Vietnam, masyarakat AS mulai ribut mempertanyakan moralitas peperangan yang terjadi di Vietnam. Demo anti-perang Vietnam mulai marak. Lama-kelamaan gelombang demonstrasi semakin meluas dan rakyat AS bukan cuma ribut tetapi mulai berteriak keras dan menuntut: “mengapa kita menjadi pembunuh di Vietnam?”. “STOP PEMBANTAIAN di Vietnam”. Rupa-rupanya parade gambar orang-orang yang mati akibat kampanye militer AS ditonton bagai horor di televisi. Hal ini mengusik rasa kemanusiaan orang AS. Satu persatu tentara AS yang tewas dan cacatpun mulai menimbulkan histeria massa: “untuk apa anak-anak kami terbunuh untuk tujuan yang tidak jelas itu”. “Amerika sedang tidak dijajah lalu mengapa berperang dan membunuh?”……

Salah satu aspek psikologi massa yang mengemuka adalah betapa banyaknya anak-anak yang kehilangan ayahnya yang berangkat sebagai prajurit dan lalu mati atau tewas di Vietnam. Pagi-pagi ayahanda mereka pamit berangkat ke suatu suatu tujuan yang tidak diketahui si anak dimana tempat itu. Ketika sang anak bertanya: untuk apa berangkat? Ayahnya menjawab: “nanti engkau akan tahu sendiri suatu hari nanti”. Someday. Tetapi hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Sang Ayah tak pernah kembali. Hanya ibunya yang dijumpai setiap hari dan juga sedang bersedih hati. Lalu menangislah sang anak…someday never comes, papa……

Super Group asal AS, Creedence Clearwater Revival (CCR) yang fenomenal itu menangkap secara persis fenomena psikologi anak-anak korban perang yang kehilangan ayanda mereka itu. Lalu dibuatkanlah sebuah lagu. Lagu dari CCR itu kemudian menjadi salah satu lagu wajib kaum anti perang Vietnam. Dan menurut saya seharusnya substansi lagu itu dipahami oleh kita sekarang ini. Di sini. Di Indonesia. Untuk apa semua peperangan ini? Untuk apa semua perkelahian, pertentangan, dan pembantaian yang kita lakukan sekarang ini? Untuk apa Gaza, Irak, Afghanistan, Ambon, Poso, Aceh, Papua, Prabowo, Wiranto, Sintong, Kivlan? Untuk apa? Untuk masa depankah?

Ataukah, jangan-jangan semua ini hanya karena “kita” berbeda dari “mereka” dan oleh karena itu “mereka” harus dilenyapkan supaya “kita” berkuasa? Apakah ketika “mereka” lenyap maka masa depan itu otomatis menjadi milik “kita?. Apa hak kita untuk bertingkah bagai pemilik tunggal untuk apa yang disebut sebagai masa depan? Oh, semua itu saudara, hanya akan membawa kita kepada satu situasi saling membantai yang tak berujung. Jadi, siapa pemenang dan siapa pecundang dari setiap peperangan? "Kita" atau "mereka"? Menurut hemat saya tidak begitu saudaraku. Pemenang peperangan adalah kebencian dan sang pecundang adalah rasa kemanusiaan kita yang tak lain dan tak bukan adalah afeksi positif kita, yaitu kasih sayang. "Menang jadi arang kalah jadi abu". Apa saya salah? Renungkanlah sobat sambil mengingat bahwa CCR, lewat vokalisnya yang dahsyat John Fogerty yang sekaligus pencipta hampir semua lagu-lagu CCR, pernah “menjerit” dan “berpesan”… heeeeiiiii ….. dalam setiap permusuhan .... someday will never comes …..

Minggu, 08 Maret 2009

ingin seperti lilin: kecil dan berbagi terang meski hancur pada akhirnya

Dear Sahabat Blogger,

Hari ini tepat setahun yang lalu, saya mulai menulis untuk pertama kali di blog ini: http://bigmike-savannaland.blogspot.com. Ya, waktu itu adalah hari ke-delapan di bulan Maret tahun 2008. Saya ingat, tulisan pertama saya adalah tentang savanna. Mengapa savanna? Jujur saja, saat itu hanya itu yang ada dalam pikiran saya. Lha, mengapa hanya itu? Sebab, pada saat itu niat saya hanyalah ingin segera memiliki sebuah web-blog. Substansi hanya nomor kesekian. Mudahnya begini: yang penting bisa nampang dahulu di blog. Isinya, ya terserah sajalah. Lebih mudah lagi: pada awalnya adalah narsis. Narsisme. Semangat untuk mematut-matut diri sendiri ha ha ha ha ha....

Pada hari yang sama, saya buatkan 3 tulisan sekaligus. Semuanya tentang savanna............woooowwwww........bangganya. Lalu, saya mulai berpikir....eheeeeehhh.....pasti akan segera ada tanggapan, komentar dan lain sebagainya. Maklumlah: narsis he he he. Ternyata saya kecele, karena sampai tulisan ke sekian cuma ada 0 (nol) komentar.......walaaaaahhhhhh.......saya sedih.....saya kecewa.......Lalu saya berupaya mengirimkan e-mail ke beberapa sahabat guna memberitahukan keberadaan blog saya....oooouuuuugghhhhh.... Puji Tuhan........mereka menanggapinya tetapi .....weleeeeeeehhhh.....tidak persis seperti yang saya harapkan. Komentar mereka hanya disampaikan lewat e-mail. Tidak di blog. Namun demikian fakta itu tidaklah berarti bahwa upaya mengontak teman-teman sia-sia belaka karena semenjak itu di setiap posting ada 1-2 komentar. Lumayaaaaaannnnn....begitu saya membatin meski selanjutnya cuma sebegitulah komentar-komentar yang masuk. Tidak ada penambahan komentar yang signifikan.

Lalu, di titik itulah terjadi perubahan dalam pikiran saya. Blog bukanlah tempat jual tampang dan mencari perhatian orang. Saya berhenti narsis dan mulai serius berpikir bahwa blog adalah "karunia" Tuhan bagi saya sebagai tempat saya dapat menumpahkan pikiran, perasaan dan bahkan "uneg-uneg " saya. Pokoknya, semua hal yang oleh karenanya (raison d'etre) saya bisa mendapatkan ketenangan batin. Maklum tidak semua pikiran saya dapat bebas saya curahkan dalam pekerjaan saya sehari-hari. Saya terikat oleh "penjara-penjara" pekerjaan, deal, MOU, dan standard-standard etis tertentu yang merupakan fakta. Leahy mengatakan bahwa pikiran yang tidak dapat dikeluarkan akan mendatangkan kesusahan batin. Dalam perspektif itulah saya mulai melanjutkan posting-posting saya dan......Tuhan segera menunjukkan kegunaan blog ini. Satu bulan setengah setelah saya memulai blogging, ayahanda saya "SGT" berpulang ke Rumah Tuhan. Kepergiannya yang mendadak memukul pikiran dan perasaan saya ke titik nadir. Dan banyak sekali perasaan saya dapat saya tumpahkan lebih bebas di blog. Sepuluh bulan berikutnya, Ibunda saya menyusul SGT. Sebelas bulan kemudian orang tua akademik saya Prof. Sulthoni pun lelayu.....waaaooooo.....Blog ini ternyata menyediakan "ruang " bagi saya untuk "berteriak" dan "berkeluh kesah" guna mengurangi beban pikiran. Maha Besar Tuhan karena Rancangan-NYA tak ada yang sia-sia......Selalu ada yang indah di balik kesukaran kendati keindahan itu baru akan terasa tepat pada waktu yang....... Tuhan tetapkan sendiri.

Dan aneh, di tengah masa-masa sulit karena perkabungan yang terjadi, satu per satu sahabat blogger berdatangan ke blog saya. Satu, ......... dua, ..... tiga, ....... dan ....... puluhan .... bahkan ratusan ..... wooowwww ......... semua terasa seperti penghiburan yang menghampiri saya dengan nilai yang tak bisa diukur. Tetapi tantangan belum berakhir: semenjak itu ada semacam tuntutan agar saya dapat memposting secara teratur......postiiiiinnngggggg baaarrrruuuuu dunuuunnnkkkk!!!!!......begitu pekik para sahabat ....... Di tengah kesibukan saya, tuntutan seperti itu terasa sebagai suatu "tekanan". Saya mulai kelimpungan berbagi waktu antara pekerjaan sehari-hari dan blogging. Di tengah kebingungan datanglah bala bantuan. Tiga orang adik saya, Wilmana, Nyong Kupang dan Uly DTN + penerus DNA saya, Norman, bersedia memberikan tulisan sebagai bahan posting. Saya terbantu.

Tetapi bala bantuan itu tak berlangsung lama. Karena 1-2 alasan, Wilmana, Nyong Kupang dan DTN, berhenti mensuplai tulisan. Tinggal Norman yang sekali-sekali membantu. Keadaan menjadi agak sulit bagi saya. Sempat terbersit pikiran untuk menutup blog. Tapi pilihan itu saya kesampingkan karena ada semacam rasa tanggungjawab untuk tidak "mengkhianati "kepercayaan" sahabat blogger yang setia. Blogging dan posting berjalan terus dan untuk itu jadwal kerja saya yang berubah. Setelah mengerjakan tugas dan biasanya itu sudah larut malam, barulah saya melanjutkannya dengan blogging dan posting. Isteri saya terusik karena merasa saya mulai terlalu serius dengan aktivitas yang satu ini. Keseeriusan blogging yang menyita waktu saya bagi dia dan anak-anak. Tak jarang kami bersilat kata dan gayung bersambut dalam perbedaan pendapat yang tajam. Keadaan kembali menjadi sulit tetapi......lagi-lagi.....kemauan yang kuat untuk terus mempertahankan eksistensi blog ini menyebabkan lelah, kantuk dan cibiran isteri terkasih dapat "dipindahkan" ke alasan nomor ke sekian. Bukan berarti bahwa saya mengabaikan begitu saja beberapa kendala itu. Tidak. Sayapun berupaya mengubah beberapa kebiasaan. Dengan begitu posting dan blogging bisa terus berjalan meski....jujur saja....masih tetap tertatih-tatih.....Dan, inilah blog bigmike-savannaland ..... di hari ini ..... 1 tahun semenjak dimulai ...... Sahabat bisa menilai sendiri bagaimana blog ini .....

Lantas, di balik semua kisah satu tahun ini apa yang saya dapatkan? Yang pasti saya tidak bertambah kaya harta karena blogging meski di toko buku banya dijual aneka buku yang menawarkan jutaan keuntungan dari kegiatan blogging. Akan tetapi lihatlah....sekarang saya kaya sahabat. Kaya akan nilai-nilai kebaikan. Kaya ilmu karena banyak komentar yang datang adalah ilmu yang saya dapatkan secara cuma-cuma. Dan yang paling membahagiakan adalah ini: saya bisa terus berbagi nilai-nilai etis universal yang saya pegang. Apa itu? Tak lain dan tak bukan adalah persahabatan, kebaikan dan kasih sayang. Apakan dengan begitu saya adalah orang yang paling bersahabat, paling baik dan paling penuh kasih sayang? Tidak juga. Tetapi saya berani mengatakan bahwa saya adalah orang yang mau terus belajar agar mampu berbagi nilai persahabatan, kebaikan dan kasih sayang. Inilah tujuan saya dalam memiliki blog dan merawatnya. Perhatikanlah evolusi yang terjadi, mula-mula blog ada hanya untuk tujuan kesenangan, lalu sebagai cara untuk mengasihi diri sendiri dan pada akhirnya, dia ada agar supaya saya bisa berbagi kasih kepada sesama.

Tentang perkara berbagi kebaikan saya memiliki satu role model yang Universal, yaitu Lilin. Seperti yang kita ketahui bersama, lilin adalah benda kecil biasa yang nilainya tak seberapa. Tetapi ketika kegelapan datang, apa lagi di saat PLN rajin mengembangkan diri sebagai lembaga hemat energi, apakah ada yang lebih dicari selain barang sebangsa lilin? Ya, lilin si kecil itu ternyata mau berbagi terang bagi kita dan menjadi tumpuan harapan kita akan cahaya. Perhatikanlah bahwa bukan cahaya terang benderang nan menyilaukan yang ditawarkan si lilin melainkan hanyalah sinar yang temaram. Akan tetapi, nyatanya, di balik sinar redup itu ada harapan. Dan yang lebih istimewa dari si lilin adalah ini: lilin berbagi terang sembari tubuhnya sendiri perlahan-lahan meleleh dan hancur. Lilin ternyata rela mengorbankan dirinya sendiri demi kebaikan. Apakah keuntungan bagi si Lilin? Tak ada. Tetapi itulah teladan yang nyaris sempurna tentang KASIH. Ada banyak defenisi kasih tetapi kebanyakan kasih adalah kasih yang membutuhan imbalan. Hanya ada 1 kasih yang sempurna, yaitu kasih AGAPE, yaitu kasih yang murni datang dari subyek, lurus tertuju kepada obyek, setia hanya kepada obyek dan tidak mengharapkan apa-apa dari si obyek kecuali agar supaya obyek berbahagia.

Kita tahu, kasih AGAPE adalah kasih yang ILAHIAT. Kasih yang hanya dimilki oleh SANG MAHA ILAHI tetapi, ini luar biasanya, DIA mau kita juga bisa memilikinya. Dan lilin adalah teladan untuk itu. Tuan dan Puan sekalian yang terkasih, blog ini datang dari saya dan lurus tertuju untuk sahabat semua. Mengapa? Karena saya cuma ingin meniru sang lilin. Tidak gemilang tetapi mampu memberi sesuatu. Anda tak perlu membalas apa-apa. Sayapun tak menuntut apa-apa dari sahabat sekalian kecuali "janganlah menebar kebencian". Semoga dengan begitu, SANG MAHA ILAHI berbelas kasihan kepada saya. Amin.

Di ulang tahun I blog ini, saya ingin mempersembahkan sebuah lagu, yaitu "Candle Song" yang dilantunkan oleh Jon Anderson, si vokalis Super Group Vangelis dan YES. Mari menimba kearifan yang ada dalam syair lagu ini.


Tabe Tuan Tabe Puan