Minggu, 28 September 2008
No Discussion, just: sElAMat HarI LEBaraN
Selasa, 23 September 2008
Gadjah Mada, Sabu dan Robert yang Berpendapat
...tentang asal muasal Gadjah Mada, berita resmikan berasal dari pedalaman Singosari.....(Risfan Munir)......
Lantas dijawab berikut ini:
Barangkali memang aneh, Gadjah Mada mengarahkan pengembangan Majapahit ke tema penaklukan - luar Jawa - dengan kekuatan angkatan laut. Apakah ini sebuah petunjuk, bahwa Gadjah Mada adalah bagian dari "nenek moyang kita orang pelaut" ? Tegasnya, akan sangat mustahil seorang "Jawa pedalaman" masa itu (meski dengan kewenangan negara) mengerahkan kekuatan dan berorientasi menyeberang lautan ! Artinya, yang paling memungkinkan punya ide kelautan dan seberang lautan penuh kehidupan adalah orang-orang pelaut (punya tradisi hidup melaut) .....(Djarot).....
Gerangan apa percakapan ini? Oh, rupa-rupanya para netter di atas sedang mempercakapkan debat lama, yaitu apakah Gadjah Mada berasal dari pedalaman Jawa atau bukan. Risfan Munir berpendapat bahwa dia berasal dari pedalaman Singosari. Sedangkan Djarot berpkir bahwa tidak mungkin sesorang yang berbudaya pedalaman mengarahkan pergerakan penaklukannya ke arah laut, ke pulau-pulau atau daratan lain. Sampai di sini saya mulai tertarik. Sejurus kemudian perasaan tertarik berubah menjadi TERBELALAK ketika membaca skrip dari sesorang yang ikutan berpendapat, yaitu Ekadj08 dan......wuuihhhhh nama marga saya RIWU KAHO, marga saya, ikut disebut. Begini bunyinya:
.......beberapa bulan lalu saya menemukan sebuah buku `baru' di Kupang berjudul "Orang Sabu dan Budayanya" karya Robert Riwu Kaho, penerbit Jogja Global Media 2005. Sedikit saya ulas beberapa hal sehubungan dengan lontaran Pak Djarot. Kepulauan Sabu (Sawu) terletak di antara Pulau Sumba dan Rote, terdiri
Dalam buku tersebut disebutkan bila orang Sabu pada umumnya menamakan dirinya `Do Hawu'. Pulau Sabu mereka sebut `Rai Hawu'. Do/dou artinya orang atau manusia, dan rai artinya tanah atau negeri. Segala apa yang dipandang sebagai `yang asli' atau berasal dari Sabu selalu dikenakan kata sandang `Hawu'. Sedang yang berasal dari luar atau bukan asli Sabu dikenakan kata sandang ` `jawa`, misalnya terae `jawa (jagung), ki'i `jawa (domba), hi'ji/hi'gi `jawa (kain batik), dan emmu `jawa (rumah berbentuk bukan asli Sabu). Kata sandang hawu sudah dipergunakan sejak
Orang Sabu mengetahui kira-kira pada abad pertama Masehi, `Jawa Miha meninggalkan Sabu untuk menetap di Jawa. Di kemudian hari kontak antar keturunan dan keluarga tidak lagi terpelihara. Pengetahuan tentang adanya relasi ini diperoleh melalui syair-syair dan cerita para tetua dan pemangku adat di Sabu. `Migrasi' dari Asia Tenggara diakui telah berlangsung sekitar 500 tahun SM, dan kira-kira 200 tahun SM terjadilagi migrasi dari India Selatan. Migrasi ini juga sampai ke Sabu. Pada gelombang ketiga disebutkan, ketika kaum pendatang yang jumlahnya lebih sedikit (di Pulau Jawa) mulai diperangi oleh penduduk asli, sehingga posisinya terdesak. Untuk itu mereka meminta bantuan kepada kerabatnya yang telah menetap di `timur' untuk membantu mereka. Kala itu yang berkuasa di Sabu adalah Miha Ngara, dan mengutus kedua anaknya Hawu Miha dan Jawa Miha untuk membantu kerabatnya kaum pendatang di Jawa. Keduanya mendarat di pantai selatan Jawa Barat di suatu tempat berbukit karang, lalu diberi nama `Karang Hawu', letaknya kira-kira 1 km dari sebelah barat pantai Pelabuhan Ratu.
Setelah peperangan berhasil dimenangkan, kedua kakak-beradik itu berpamitan untuk kembali ke Sabu. Kerabat di Jawa meminta agar salah seorang dari mereka untuk tinggal menetap di Jawa. Permintaan itu ditampung namun harus dilaporkan dan diputuskan oleh ayahnya di Sabu. Akhirnya diputuskan bila Jawa Miha yang berangkat ke Jawa sedangkan Hawu Miha tetap tinggal di Sabu. Ketika keberangkatan, didirikan sebuah batu peringatan yang diberi nama `Wowadu `Jawa Miha' di Namata. Pada waktu `Jawa Miha berangkat ke Jawa ia diberi bibit beberapa jenis tanaman untuk ditanam di sana yaitu cengkeh, wilahege, jahe, pala, pohon pandan; dengan pesan bahwa sejak saat itu jenis tanaman tersebut tidak boleh ditanam oleh Hawu Miha dan keturunannya di Sabu. Setelah menetap di Jawa, Jawa Miha berganti nama menjadi `Aji Saka'. Dalam perkembangan selanjutnya mereka memperluas wilayahnya mulai dari Jawa Barat sampai ke Jawa Timur.
Pada zaman kerajaan Majapahit, Kepulauan Sabu berada dalam pengaruh Majapahit, dan hubungan lama antara orang Jawa dan orang Sabu kembali mendapat angin segar. Pulau Raijua dan Solor pernah menjadi pangkalan armada kerajaan Majapahit; perahu dan armada Majapahit sering menyambangi tempat ini. Terdapat banyak hikayat yang menghubungkan faktor sejarah ini, seperti di antaranya salah seorang permaisuri raja Majapahit bernama `Benni Kedo' berasal dari Raijua, bahkan memiliki rumah di Pulau Dana. Pulau Raijua disebut `negeri Maja' dan pemimpin masyarakat Raijua disebut `Niki Maja', dst.
Penulis buku menyebutkan keyakinan bila Gajah Mada berasal dari Raijua dengan beberapa alasan. Misalnya nama Gajah Mada bukanlah nama yang lazim disandang orang Jawa, karena orang Jawa akan mengucapkan nama itu Gajah Mendo. Hanya di Sabu dan Raijua saja orang menyandang nama-nama seperti Gaja, Mada, Me'do, Mo'jo, Jaka, Raja, Ratu, Laki, dst.
Sahabat blogger, sampai disini saya berhenti karena airmata telah berlinangan menggenangi pelupukmata. Mengapa kesedihan itu menyergap. Ya, karena sumber referensi bagi uraian Ekadj08 adalah ROBERT RIWU KAHO. Siapa dia? Ayahanda saya. Di mana dia? Di Surga bersama YESUS yang dipercainya. Maka bagi saya, tidak penting benar apakah informasi dari Robert Riwu Kaho valid, reliable dan obyektif seperti halnya tuntutan metode ilmiah ketika mengajukan hipotesis. Tidak penting benar. Robert sudah berpendapat, tugas orang lain untuk mematahkan pendapatnya dan atau malah memperkuat pendapatnya. Hal terpenting adalah selama hidup setiap orang, tidak perduli siapapun dia, harus berkarya sebaik-baiknya Mengapa? Ya, tidak lain dan tidak bukan sebab "yang oleh karenanya" – principe d-‘etre - kita layak untuk disebut sebagai manusia yang berprakarsa dan berkarya. Robert Riwu Kaho membuktikan itu. Semasa hidup, dia berkarya. Ketika sudah mati, namanya diperbincangkan orang. Untuk hal-hal yang baik. Saya, sebagai penerus DNA Robert Riwu Kaho, bangga kepadanya. Anda, saya dan kita semua ingin dikenang sebagai apa?
Satu – dua hari ke depan saya pasti tidak menunggui blog karena saya bersama rombongan keluarga besar RIWU KAHO akan menghantar beberapa barang- pribadi milik almarhum ke Pulau Sabu. Ritual ini di sebut Ruket’tu. Mengapa demikian? Dalam budaya Orang Sabu, setiap orang Sabu adalah milik tanah Sabu. Di manapun dia bepergian WAJIB baginya untuk kembali ke kampung halamannya. Robert Riwu Kaho mati di negeri orang. Tugas kamilah sebagai anak dan cucunya untuk menghantar kembali Robert Riwu Kaho guna kembali berdiam dan dipeluk tanah Pertiwi-nya. Tanah Tuak dan Gula. Rai due nga donahu. Tanah Anugerah Tuhan Seru Semesta Alam.
Tabe Tuan Tabe Puan
Selasa, 16 September 2008
Yang oleh karenanya-Principe d'Etre:BE THE BEST
Sahabat blogger terkasih,
Setelah menulis tentang sesuatu yang bersifat besar dan agak bombastis, yaitu tentang tragedi WTC dan fenomena terorisme yang mengikutinya, maka kali ini saya ingin menulis suatu gagasan yang kecil. Mungkin menarik mungkin pula tidak. Tetapi saya ingin menulis. Bukan karena apa-apa tetapi oleh karena dengan menuliskannya maka saya akan tetap disebut sebaga penulis blog. Jika saya melakukan scaling up terhadap kata-kata barusan maka kata-frasa kata di atas dapat saya tuliskan juga sebagai: oleh karena dengan menuliskannya maka saya akan dipandang sebagai manusia yang berkarya. Gerangan apakah ini?
Dalam teori filsafat manusia terdapat suatu terminologi, yaitu principe d'etre yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia akan dituliskan sebagai "prinsip adanya." Dapat juga ditulis sebagai "prinsip yang oleh karenanya". Wooouuwwww....apapula barang perkara yang satu ini? Saya tidak akan menjawabnya secara langsung tetapi coba kita renungkan perihal berikut ini. Jika manusia dikatakan terbentuk dari jiwa dan raga maka hal itu tidak berarti bahwa substansi manusia terdiri atas dua bahan itu yang dapat dipisah-pisahkan atas jiwa di satu pihak dan raga di lain pihak. Tidak pula berarti bahwa substansi manusia adalah campuran jiwa dan raga begitu rupa layaknya adonan roti kukus, misalnya. Tidak. Bukan itu maksudnya. Yang dimaksudkan oleh pernyataan bahwa manusia terbentuk dari jiwa dan raga adalah bahwa "yang oleh karena adanya jiwa dan raga itulah maka manusia menjadi hidup dan dapat berpikir. Adakah manusia tanpa daging? Adakah daging tanpa senyawa nitrogen? Adakah manusia hidup tanpa bernafas? Adakah pernapasan tanpa menghasilkan CO2. Daging model apakah yang namanya perasaan sedih? Terbuat dari senyawa apa perasaan senang? Saudaraku terkasih, daging, bernapas, sedih dan senang adalah fakta-fakta. Realitas-realitas. tetapi ada apa di balik itu? Mengapa dia harus seperti itu? jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan terakhir ini hanya akan saya, anda dan kita semua temukan jika kita mampu memahami hal-hal yang bersifat metafisika atau hal-ihwal di balik realitas. Prinsip "yang oleh karenanya" adalah pernyataan tentang struktur metafisika dari fakta-fakta realitas tentang manusia.
Sampai di titik ini, narasi saya seolah-olah ingin membicarakan hal-hal besar dan bertentangan dengan niat awal posting kali ini. Tidak. Justru dengan mengungkapkan tentang principe d'etre saya ingin berbicara tentang hal-hal kecil. Mungkin tidak berarti. Tidak keren. Tidak ilmiah. Tidak sistimatis. Waaahhhh....terlalu remeh. Lantas, saking remeh-temehnya maka maka hal-hal kecil itu perlu dipoles-poles menjadi lebih gagah . Bila perlu dengan menyewa seorang konsultan bisnis berbiaya mahal karena terbiasa berurusan dengan klien-klien korporat besar, nasonal dan internasional. Apa hal kecil itu? Tidak lain dan tidak bukan adalah apa yang menjadi keinginan saya dalam mengkreasikan dan terus menghidupkan blog ini. Apa blog? Mengapa bigmike? Mengapa savanna? Mengapa harus tentang persahabatan, kebaikan dan kasih sayang? Mengapa tidak ada visi? Apa tidak sebuah utopia? Apa tidak narsis? Apa bisa, tulisan di blog mengubah dunia? Jangan-jangan ada niat untuk mempromosikan diri sebagai pejabat anu di tempat anu pada tahun anu? Kata isteri saya: "mengapa dalam keadaan lelah-pun engkau masih berusaha menyempatkan diri berada di depan komputer dan membaca, dan menulis dan menanggapi komentar blog" dan.......lain sebagainya.
Seorang penulis puisi dari Amerika, Douglas Malloch, di tahun 1936 pernah menulis sebuah puisi yang teramat sangat indah. Puisi ini diberi judul Be The Best Whatever You Are. Berikut saya tuliskan lengkap bagi anda:
Be The Best Of Whatever You Are
By Doglas Malloch
If you can't be a pine on the top of the hill,
Be a scrub in the valley - but be
The little scrub by the side of the hill;
Be a bush if you can't be a tree
If you can't be a bush be a bit of the grass
And some highway happier make
If you can't be a muskie then just be a bass
But the leveliest bass in the lake
We can.t all be captains, we've got to be crew
There's something for all of us here
There's big work to do, and there's lesser to do
And the task you must do is the near
If you can't be a highway the just be a trail
If you can't be the sun, be a star
It isn't by size you win or you fail
Be the best of whatever you are
Adalah wajar jika seorang manusia memiliki keinginan. Wajar dan manusiawi jika keinginan-keinginan itu semakin lama-semakin meningkat sesuai dengan dearajat kepuasan yang semakin meningkat. Dalam terang teori Mashlow terlihat bahwa kebutuhan manusia tersusun secara hirarkis mulai dari kebutuhan pokok sampai pada kebutuhan tertinggi, yaitu kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Anggapan teori ini adalah setiap manusia memiliki kebutuhan untuk berkembang dan maju. Seberapa berkembang dan seberapa maju? Sky is the limit. Seberapa aktual diri anda? Sky is the Limit. Seberapa besar kemajuaan status sosial yang anda inginkan. Makin besar makin baik. Paling besar, paling baik. Sky is the limit. Jika anda telah berada di puncak maka adalah keinginan untuk turun kembali ke lantai dasar? Pemberi pertanyaan adalah orang gila.
Begitulah saudara, hukum dunia ini. Postulat hidup di dunia yang semakin lama semakin bernuansa kebendaan ini. Dan di tengah nuansa itu, saya datang dengan tawaran kecill. Tawaran yang datang dari kampung miskin dan melarat. Datang dari negeri nyaris tanpa hujan. Kerindangan pohon amat langka. Maukah anda bersahabat dengan saya? Adakah cukup kebaikan yang dapat dibagi dari hasil persahabatan itu. Adakah dari persahabatan dan kebaikan itu lantas menjalar Kasih yang bersifat Ilahiat di antara kita semua? Sungguh saya tidak tahu. Mengapa? Ya, karena yang saya tawarkan hanyalah hal-hal yang kecil dan remeh temeh. Lalu, karena itu, minderkah saya? Kecil hatikah saya? Tidak. Dahulu kala, seorang yang teramat besar peranannya dalam sejarah peradaban dunia, saya sebut saja sebagai si Miskin dari Nazaret, pernah berceritera bahwa yang terpenting dari anda bukanlah seberapa besar talenta yang engkau punya tetapi usaha apa yang kau berikan untuk mengembangkan talenta-talenta itu. Tidak ada perkara besar dan perkara kecil. Semuanya berharga. Anda dinilai bukan karena banyak atau sedikitnya talenta. Bukan pula besar kecilnya perkara, melainkan seberapa besar usaha anda untuk mengembangkan talenta-talenta itu. Seberapa kuat anda menyelesaikan perkara-perkara yang dibebankan kepadamu.
Lantas datanglah Douglas Malloch mengingatkan bahwa:
Kalau tak dapat menjadi cemara di puncak bukit
Jadilah perdu di lembah; tetapi jadilah
Perdu kecil yang terbaik di samping bukit;
Jadilah semak jika engkau tak mampu menjadi pohon.
Kala u engkau tak dapat menjadi semak, jadilah segerombol rumput
Dan menjadikan jalan raya menjadi lebih meriah
Kalau tidak mampu menjadi ikan besar jadilah ikan kecil,
Tetapi ikan kecil yang paling bergairah di danau.
Tak mungkin semua menjadi kapten, harus ada yang menjadi awak kapal,
Dan tugas pertama yang harus kita kerjakan adalah yang terdekat.
Kalau tidak mungkin menjadi jalan raya maka jadilah jalan setapak;
Kalau tidak mungkin menjadi matahari jadilah sebuah bintang;
Berhasil atau gagal bukanlah karena ukuran anda menjadi sesuatu.
Melainkan sudahkah anda menjadi yang terbaik dalam setiap peran anda,
Apapun itu
Saya suka, teramat suka dengan pesan dua orang itu, yaitu si Miskin dari
Akhirnya, saya harus berkata begini: bahwa saya, dengan pertolongan TUHAN, bertekad untuk terus mengembangkan dan berbagi talenta yang saya punya, meski kecil., teramat kecil., yaitu menulis. Tidak ada kata malu untu melakukannya. Tidak ada kata gentar hati hanya gara-gara tulisan saya kurang menarik bagi banyak orang. Hanya ini yang saya bisa. Tetapi meskipun tidak berarti, saya berjanji untuk terus berusaha memberikan yang terbaik yang saya mampu untuk sahabat sekalian. Oleh karena itu, meski lelah dan mungkin tidak akan banyak dibaca orang tetapi saya tidak akan lelah untuk menulis, menulis dan terus menulis. Mengapa saya harus terus menulis? Ada satu hal lain yang ingin dikatakan oleh Si Rendah Hati dari Nazareth dan Douglas Malloc, yaitu anda bisa belajar dari setiap perkara yang anda lakukan, besar maupun kecil. Ya, memang begitu, yaitu dengan terus menulis "oleh karenanya saya akan terus belajar. Mengapa saya perlu terus belajar? Ya, sebab "yang oleh karenanya, saya pantas disebut manusia. Mengapa pantas? Ya, karena dengan demikian saya sudah berpikir, berkreasi, berbicara, berkesadaran akan adanya orang lain, mengenal, memiliki afeksi, kognisi, terampil dan....masih banyak hal lagi yang menunjukkan bahwa melalui proses belajar, saya telah berupaya untuk melakukan manifestasi terhadap esensi saya sebagai manusia, baik sebagai satu pribadi maupun sebagai bagian dari semesta sistem kehidupan. Kata orang Perancis, L'essence de la manifestation.
Apakah saya sedang narsis dan berhalusinasi. Apakah saya sedang berbuat salah ketika saya berniat tentang sesuatu yang mula-mula untuk membangun persahabatan, lalu sama-sama menghasil kan dan berbagi kebaikan dan dari itu hidup kita akan dikelilingi oleh pancaran sinar Kasih yang Ilahi?. Tidak saudara. Semua saya lakukan sebab meskipun hal itu hanya sebuah perkara kecil tetapi "yang oleh karenanya " saya merasa akan berguna bagi diri sendiri, sesama dan Sang Pencipta. Bermimpi? May Be Yes, May Be No. But, I'm Just Do My Best Whatever I am.
Tabe Puan Tabe Tuan
Rabu, 10 September 2008
TRAGEDI NINE ELEVEN: TENTANG APA SEMUANYA ITU (hari ini di 7 tahun yang lewat)
Memang, jumlah itu masih belum seberapa dibandingkan dengan jumlah korban pada peristiwa Tsunami Aceh yang mencapai ratusan ribu jiwa. Akan tetapi harap diingat, yang terjadi di Aceh tidak pernah dirancang oleh manusia. Beda dengan yang terjadi di gedung WTC. Semua dirancang dan dikerjakan oleh manusia. Ya, makhluk yang katanya ciptaan termulia tetapi kematian yang dirancang dan dikerjakannya jauh melebihi binatang terkejam sekalipun. Buaya liar mencabik-cabik paling banyak 1-3 ekor mangsanya dalam sekali makan. Harimau lapar juga hanya sejumlah itu. Tetapi, lihatlah apa yang dilakukan manusia. Bahkan jika tentang manusia sebagai aktor penghancur kehidupan maka catat baik-baik apa yang dilakukan oleh Kaisar Ming, Jenghiz Khan, Caesar, Idi Amin, Hitler, Regim pasca G30S, dan….masih banyak lagi yang dapat anda isi sendiri. Berapa jiwa yang mati selama WW I dan WW II. Berapa? Juta Bung. Jutaan.
Kemudian, WTC ternyata, hanyalah suatu awal. Berikutnya adalah
Sekarang, hari ini, 7 tahun berlalu sudah. Peristiwa itu ternyata belum bisa dilupakan dengan Mudah. Osama masih hidup dan bergerilya di daerah antara Afghanistan dan Pakistan. Obama dan McCain masih menggunakan Nine Eleven sebagai bahan kampanye pemilihan Presiden di USA. Apa makna Nine Eleven bagi orang per orang sebagai manusia? Untuk itu, ijinkanlah saya bertanya: ”tentang apa semua ini”. ”Mengenai apakah semua itu”. Banyak pakar sudah berbicara tetapi saya belum menemukan satupun kebenaran yang berada dalam kamar yang sama. Selalu terjadi pro dan kontra. Selalu ada dua kamar yang berseberangan. Kita terbelah. Secara jujur, saya pun tidak punya pendapat yang benar-benar valid, reliable dan obyektif tentang itu. Kemanusiaan dan ikatan primordial keagamaan saya saling berperang sama sendiri untuk menemukan simpul-simpul yang valid, reliable dan obyektif dimaksud.
Sampai hari ini, 7 tahun setelah persitiwa memilukan itu, saya cuma mampu tiba pada kesimpulan seperti ini: kemanusiaan kita harus dipertanyakan kembali. Ketika kita seharusnya tidak boleh terbelah pada saat kemanusiaan kita diserang, kita malah saling membunuh di jalan-jalan di Afghanistan dan Irak. Diam-diam kita menghitung: sudah 1000 orang di pihak sana yang mati. Baru 200 di pihak kita yang meregang nyawa. Nyawa dihitung bagaikan menghitung jumlah gol dalam pertandingan sepak bola piala Dunia. Di mana rasa iba kita sebagai manusia. Di mana rasa duka kita? Di mana semangat altruisme kita sebagai sesama ras manusia?. Ya, bagi saya, Nine Eleven bukanlah sekedar American Under Attack tetapi KEMANUSIAAN yang diserang dan dihina habis-habisan. Dalam situasi ini, seharusnya Kemanusiaan kita tidak boleh terbelah. Karena kita bukan monyet. Kita bukan pohon cemara. Kita bukan batu. Kita ini Manusia. Kita adalah satu keluarga besar dari ras yang sama. Ras Manusia. We are human race. Tapi, betulkah Nine Eleven adalah tentang hal itu? Hanyalah Tuhan Seru Sekalian Alam yang Mengetahuinya.
Tabe Tuan. Tabe Puan.
Minggu, 07 September 2008
Fukuda BUKAN Kuda karena Fukuda punya Kuda...eh salah....Fukuda punya MALU
Sampailah kita pada akhir masa edar posting lama. Karena hidup memerlukan perubahan maka di blog kita ini harus ada posting baru. Dari beberapa opsi bahan mentah, ada satu yang saya pilih karena memuat sesuatu yang akan sangat positif bagi interelasi, baik antar kita semua sebagai sesama blogger di blog ini maupun kita masing-masing sebagai warga manusia yang wajib mengembangkan persahabatan, kebaikan, dan kasih sayang. Orang Jepang adalah mitra sejajar bagi Amerika Serikat padahal dahulu mereka adalah bangsa pecundang yang luluh lantak dihantam Amerika Serikat pada WW II. Tetapi lihatlah betapa kebangkitan mereka malah membuat Amerikapun menjadi was-wis- wus-wes-wos terhadap mereka. Apa modal kebangkitan mereka? Jawabanya ada pada karakter bangsa mereka yang kuat. Amat kuat. Salah karakter kuat mereka adalah ini HAJI NO BUNKA? .....weeeeeiiiiiii........apaan tuh bigmike???????? Haji Oma irama sih banyak di Indonesia?......oh no no no no my friend bukan itu, tetapi Haji No Bunka adalah BUDAYA MALU. Nah, pada beberapa minggu lalu orang Jepang sekali lagi memamerkan semangat Haji No Bunka itu. Ruuuuaaaaaarrrr biasa. Agar tidak berkepanjangan, inilah WILMANA, dengan tulisannya tentang barang perkara yang satu itu. Saya tidak membuat tambahan apapun terhadap isi tulisan ini, kecuali membuat perubahan di judul agar tampak gaya mabuknya BM. Di bagian akhir, Wilmana memberikan bonus bagi sahabat Kristiani untuk menunjukkan bahwa Haji No Bunka tidak asing bagi pengikut Kristus. Oleh karena itu, semua Kristiani seharusnya juga mampu ber-Haji No Bunka.
Dengan tambahan perenungan ini maka tulisan Wilmana saya bagia atas 2 bagian. Pada bagian pertama terdapat hikayat pengunduran diri Fukuda serta rasionale dan tafsirannya. Pada bagian kedua terdapat perspektif Kristiani terhadap budaya dan fenomena Haji No Bunka. Selamat membaca dan berdiskusi. Oh ya, pada saat berdiskusi nanti, jangan lupa sama Wak Haji tadi itu ya hi hi hi hi hi
Bagian I
Fukuda Bertindak
Perdana Menteri Jepang Yasuo Fukuda secara mendadak mengumumkan pengunduran dirinya, kemarin (Senin, 01/09/2008). Dalam sambutannya, Fukuda menjelaskan bahwa sikap ini diambil guna memecah kebuntuan politik yang selama ini terjadi di negeri sakura itu. Kalo kita trace back record Fukuda, ia memang sudah lama bertentangan dengan pihak oposisi, Partai Demokratik Jepang, yang mengendalikan majelis tinggi parlemen dan memiliki kewenangan menunda pemilu.
Akhir maret lalu, oposisi mengecam habis keputusan Fukuda yang tetap meneruskan kebijakan pajak bahan bakar minyak yang sudah bertahan selama tiga tahun. Pertentangan kedua pihak lalu menimbulkan spekulasi bahwa Fukuda bakal diganti lewat pemilu pada bulan September tahun depan. Dan, meski masih punya waktu satu tahun lagi, tetapi Fukuda berpendapat lain. Daripada membiarkan stagnasi politik berkepanjangan yang dapat berdampak luas bagi perekonomian negara, ia memilih melepaskan jabatannya. Kita simak kata-kata Fukuda sebagai berikut.
“Jika kita memprioritaskan kehidupan masyarakat Jepang, tidak bisa terjadi kevakuman politik. Hari ini sy memutuskan untuk meletakkan jabatan. Kita membutuhkan orang-orang baru untuk menanggulangi situasi yang berkembang di parlemen,” demikian Fukuda dalam konferensi pers.
Kok Bisa?
Mungkin para sahabat sekalian bertanya-tanya, apa maksud artikel ini? Apakah saya pingin menyaingi Kompas, Sindo, ato koran-koran sejenis untuk beradu kecepatan merilis berita dunia bagi pembaca? Ah, tidaklah…
Lalu, untuk apa repot-repot mengekspose berita Fukuda itu, yang bagi orang Jepang bahkan bagi dunia, perilaku para politisi Jepang seperti ini sudah bukan barang baru lagi. Koizumi yang diganti oleh Fukuda pun mengakhiri masa jabatannya dengan mengundurkan diri. Nah ini rahasia yang ingin saya buka kepada anda sekalian.
Selama ini saya mengamati, kenapa para politisi Jepang bisa dengan enak, ikhlas, alias legowo meletakkan jabatannya, tapi hal yang sama sangat sulit bahkan mustahil dilakukan oleh para politisi
Beberapa waktu lalu, media kita sibuk mempersoalkan Bagir Manan, orang kampus yang lalu menjadi Ketua MA, berkali-kali menandatangani peraturan intern MA yang memperpanjang masa pensiunnya sendiri. Publik menjadi gerah karena merasa bahwa moralitas peraturan itu tidak lebih dari sekedar mempertahankan kekuasaan. Seringkali terjadi kecelakaan kereta api, tidak cukup untuk membuat para direksi PTKAI dengan ikhlas melepas jabatannya. Jika hal ini ditanyakan, maka kita bisa menduga jawabannya yang menyerahkan hal itu kepada Pemegang Saham BUMN itu, dalam hal ini Menteri Negara BUMN. Menteri Teknis yang membawahi regulasi di industri kereta api, Menteri Perhubungan, juga punya jawaban yang setali 3 uang yaitu, terserah Bapak Presiden. Persis sama dengan respon Paskah Suzeta dan MS Kaban ketika terindikasi sebagai penerima dana kolusi BI yang saat ini kasusnya sedang disidangkan di pengadilan tipikor.
Seorang sahabat di kantor pernah nyeletuk, “Orang Jepang punya etika sudah jalan. Beda dengan kita orang
Sikap moral seperti ini yang dikenal dengan istilah keren, ‘responsibilitas’. Responsibilitas adalah nilai moral yang mengedepankan tanggung jawab moril atas amanah yang diemban. Tanggung jawab moril ini juga ditemukan dalam format fiduciary duty, tugas yang diemban atas dasar kepercayaan dan dilaksanakan semata-mata atas dasar itikad baik. Dalam fiduciary duty ini melekat fungsi duty of care (penuh tanggung jawab); duty of diligent (penuh kehati-hatian); dan duty of loyalty (demi kepentingan organisasi/negara/publik). Meski tugas telah dilaksanakan dengan penuh kehati-hatian (duty of diligent) namun, ketika kepercayaan itu sudah memudar, maka Pelaksana tugas harus punya keberanian moril untuk demi kepentingan publik/negara, ihklas dan legowo mengembalikan amanah kepada yang berhak. Karena ini soal kepercayaan, maka tidak perlu menunggu diberhentikan atas dasar fakta-fakta hukum yang otentik. Karena kepercayaan bukan sekedar perihal hukum tetapi lebih pada perihal etika.
Sepanjang jaman orla, seolah-olah tidak ada orang lain yang lebih layak menjadi Pemimpin daripada Bung Karno. Pada saatnya, bahkan parlemen mengangkat Bung Karno sebagai Presiden seumur hidup. Suharto sang Penguasa orde baru, baru mau turun setelah situasi politik bangsa hancur luluh. Gusdur, masih nekat petantang-petenteng di teras istana negara dengan bercelana pendek setelah dipecat oleh parlemen. Dalam ranah berbeda, kita bisa ambil contoh buruknya responsibilitas ini pada sikap para anggota KPU yang ngotot berangkat ke luar negeri sekedar melantik KPLN, menghabiskan puluhan miliar rupiah, padahal ngakunya KPU masih kekurangan dana.
Bagaimana baiknya, yah?
Ok-lah. Saya pun yakin bahwa penjelasan di atas tidak 100% akurat. Esensinya, saya pingin sampaikan bahwa jika orang Jepang bisa hidup dengan nilai responsibilitas, harusnya bangsaku ini juga bisa. Karena itu pertanyaan mendasarnya adalah, bagaimana kita dapat menumbuhkembangkan nilai responsibilitas ini?
Dalam hukum ada ungkapan, quid leges sine moribus, apa artinya hukum tanpa etika. Ungkapan ini menggambarkan bahwa hukum dan etika adalah dua sisi mata uang. Hukum membutuhkan etika sebagai ukuran moralitas, sementara etika membutuhkan hukum sebagai enforcement dalam pelaksanaannya.
Karena itu, perlu ada upaya yang kuat untuk menggunakan nilai responsibilitas ini sebagai moralitas dalam setiap produk hukum yang terkait dengan sistem rekrutmen Pemimpin dan Pejabat di semua aras lembaga negara maupun organisasi kemasyarakatan. Setiap Pemimpin, Pejabat, maupun Pengurus mengemban amanah tata kelola oleh karena kepercayaan. Oleh karena itu, mereka wajib bekerja dengan penuh tanggung jawab dan berhati-hati. Namun, mereka juga wajib memilih opsi mundur dari jabatan untuk meredakan rumors, atau kemelut politik, yang dapat merugikan organisasi/negara/publik, tanpa menunggu berjalannya (selesainya) proses hukum formal. Enforcement nilai responsibilitas melalui regulasi seperti ini, jika ditegakkan secara konsisten, bakal menumbuhkan budaya tau malu di kalangan para Pejabat (negara/NGO/swasta/dll). Mereka ini dapat menjadi suri teladan bagi rakyat dan pada gilirannya kita boleh berharap menjadi tidak beda lagi dengan Jepang dalam hal ini.
Bagian II
Renungan Kristiani yang saya ambil untuk kita renungkan bersama adalah terambil dari Amsal 9:10-18. Ayat kuncinya adalah ayat 10, 12 dan 13.
9:10
9:12
9:13
Di sekeliling kita banyak varian perbuatan tidak tahu malu. Menurut perspektif bacaan Alkitab tadi perbuatan tidak tahu malu itu adalah bagian dari KEBODOHAN. Tidak tahu malu ini erat kaitannya dengan kepekaan moral manusia terhadap asas kepatutan. Orang yang memiliki kepekaan moral tinggi, tentu dengan mudah dapat mengenali tutur kata maupun perilaku yang patut. Kepekaan moral tentang kepatutan ini rupanya telah 'hilang' dari budaya bangsa. Banyak orang yang jelas-jelas berbuat tidak patut, tetapi dengan entengnya lalu-lalang tanpa merasa malu. Banyak orang suka berbicara sarkastis dan merasa orang lain tidak perlu tersinggung. Mereka lupa bahwa 3000 tahun yang lalu, Salomo sudah mengidentifikasi perilaku tidak tahu malu ini sebagai KEBODOHAN.
Senin, 01 September 2008
Gaudeamus Igitur, Wisuda dan Berpuasa, Tanpa Kebaikan = Carpe Diem Tanpa Makna
Ada banyak kemungkinan jawabannya tetapi saya menduga hal itu berkaitan dengan sifat eksklusif acara wisuda itu. Bayangkan, menurut data pada tahun 2006, dari total 220 juta populasi penduduk Indonesia, terdapat 27 juta jiwa penduduk berada pada usia mahasiswa. Akan tetapi dari antara 27 juta jiwa tersebut hanya sekitar 3,5 juta yang benar-benar berkesempatan untuk menikmati bangku pendidian tinggi. Eksklusif bukan? Berapa kali orang di wisuda? Paling banyak 3 kali seumur hidupnya. Sekali ketika lulus S1 atau akademi. Kalau anda berminat, ya ketika lulus pendidikan S2. Dan kalau Tuhan berkenan, sekalilagi anda diwisuda setelah tamat S3. Sekali lagi, wisuda adalah acara yang tidak sering dan karena tidak seringnya itu maka dapat dikatakan wisuda adalah acara yang eksklusif. Pada hari wisuda seseorang akan berpenampilan mengkilat. Gagah. Cantik. Wangi. Di Kupang, terdapat tradisi untuk melakukan acara pesta semalam suntuk menyambut kebahagiaan wisuda. Tahun 2007 lalu, setelah mabuk-mabukkan dalam pesta wisuda semalam suntuk, seorang anak muda mabuk yang baru diwisuda terbunuh dalam keributan di antara kelompok pemabuk itu. Wahh....ekslusif. Sangat eklusif dan saking eksklusifnya, nyawa seorang wisudawan barupun harus di exclude. Eksklusif. Konyol. Tragis.
Sedemikan pentingkah acara wisuda? Menurut hemat saya acara ini memang penting. Namun demikian, meski penting, acara wisuda bukanlah hal terpenting. Saya sendiri seumur hidup hanya 1 kali mengikuti acara wisuda pada tahun 1986, yaitu pada saat menamatkan pendidikan sarajana peternakan di Fapet Undana, Kupang. Ketika lulus S2 di IPB Bogor pada tahun 1993 dalam bidang ilmu Agronomi, saya memilih tidak mengikuti acara wisuda. Pada saat yang sama dengan hari wisuda, saya memilih bergabung bersama beberapa rekan pencinta alam melakukan perjalanan ke Pulau Krakatau. Setelah acara Promosi Doktor dalam bidang Ilmu Kehutanan di UGM Jogjakarta, saya mencukupkan diri sampai di situ saja. Saya tidak lagi mengikuti acara wisuda di ruang besar. Di Balairung Utama UGM. Bagi saya, acara wisuda penting tetapi bukan yang terpenting. Wisuda adalah acara yang membanggakan tetapi bukan merupakan hal esensial. Nah, inilah saya: esensi bung. Esensi. Apa yang menjadi esensi?
Tujuan pendidikan, di mana saja dan pada strata apa saja, selalu memiliki tujuan akhir yang terletak pada 3 ranah, yaitu ranah kognisi, ranah afeksi dan ranah psikomotorik. Pada ranah kognisi seseorang dituntut untuk menjadi banyak tahu. Dalam ranah psikomotorik seorang pelajar diminta untuk mengumpulkan semua keterampilan yang diperlukan. Dua hal ini saja, berpengetahuan dan berketrampilan, sudah istimewa. Tetapi tujuan pendidikan yang tertinggi dan teristimewa terletak dalam pencapaian tujuan pada ranah afeksi. Pada ranah ini seseorang yang telah mengalami proses pendidikan akan mengalami perubahan sikap. Pada ranah ini, anda yang tinggi ilmu pengetahuan dan sekaligus terampil, diharapkan mampu memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Anda ingat kisah kejatuhan Adam dan Hawa di taman Eden? Ya ketika mereka berdua ingin sekali memiliki kemampuan untuk memilah dan memilih hal yang baik dan yang jahat. Suatu pengetahuan yang sifatnya Ilahiat. Melalui pencapaian pada ranah afeksi ini, seseorang diberikan kesempatan untuk semakin lama semakin mampu memiliki sifat-sifat Ilahiat. Perilaku yang baik dapat dimiliki oleh siapa saja. Ayah dari ayah saya adalah orang yang amat baik. Ayah saya adalah juga orang yang tidak kalah baiknya. Apa yang membedakan keduanya? Tidak lain dan tidak bukan adalah kebaikan ayah saya dilengkapi dengan ilmu pengatahuan dan keterampilan yang tinggi karena dia bersekolah. Kakek saya tidak. Apakah dengan begitu kakek saya tidak banyak pengetahuan dan tidak terampil? Saya bersaksi bahwa kakek saya adalah orang yang amat sangat terampil dan meskipun tidak bersekolah formal tetapi beliau sangat mampu membaca dan menulis. Ternyata beliau gemar belajar sendiri secara otodidak. Apakah anda memperhatikan kesulitan saya ketika berusaha membedakan kakek dan ayah saya? Kalau anda jeli, saya menjadi susah melakukan diferensiasi di antara keduanya karena ternyata, meski tidak formal, tetapi kakek saya mengintegrasikan dirinya juga dalam proses pendidikan. Dia memperoleh tambahan kebaikan karena proses ini. Inilah urgensi pendidikan, yaitu setiap proses pendidikan adalah dihasilkannya kebaikan.
Di sinilah masalah saya dengan dunia pendidikan Tinggi di Indonesia (sudah barang tentu di Kupang), acara wisuda dan lagu Gaudeamus. Mutu pendidikan Tinggi di Indonesia tergolong sangat payah. Sebagai contoh di antara ribuan universitas yang ada di Indonesia, hanya ada 2 Universitas yang mampu menempatkan diri di dalam daftar 100 Perguruan tinggi terbaik di Asia menurut sistem pemeringkatan Webometrics tahun 2008. Kedua perguruan tinggi tersebut adalah Unversitas Gadjah Mada, Jogjakarta yang berada pada peringkat ke 74 dan Institut Teknologi Bandung, Bandung yang berada pada peringkat ke 78. Jika diletakkan dalam peta peringkat Universitas sedunia menurut lembaga yang sama, maka pada daftar 1000 Universitas terbaik di dunia, UGM menempati peringkat ke 819 sedangkan ITB berada pada peringkat ke 826. Di mana universitas lainnya? Wuuuusssshhhh......hilang ditiup angin yang bernama quality tradewinds. Di mana Unversitas Nusa Cendana berada? Sampai saya menutup laptop dan mengoyang-goyangkannya ke kiri dan ke kanan, nama Undana tidak muncul sama sekali.....hicksssss....hickssssss........Terlalu banyak universitas di Indonesia yang didirikan hanya untuk mengejar setoran, yaitu menghasilkan sarjana sebanyak-banyaknya. Untuk apa gelar sarjana itu? Pasti ada banyak hal tetapi menurut pengamatan saya adalah, hanya merupakan atribut feodalisme baru, sarana untuk mencapai kedudukan yang lebih baik dalam sistem kepangkatan pada karir birokrasi. Gelar sarjana juga banyak diminati karena bisa dijadikan modal dalam pertarungan pemilu, baik untuk memilih Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, dan anggota legislatif . Lebih gawat lagi, gelar sarjana diperlukan sebagai pemanis lembar undangan pernikahan. Gelar calon pengantin yang berderat-deret adalah kebangggan yang luar bisa meski terkesan narsis.
Jika fenomenanya betul begitu maka sampailah saya pada bagian akhir tulisan ini, yaitu bahwa betapa saya amat tidak nyaman dengan alunan lagu Gaudeamus ketika para profesor, dekan, wisudawan dan civitas akademika memasuki ruang acara wisuda. Menurut sejarah tradisinya , lagu Gaudeamus Igitur memiliki nama lain yaitu De Brevitate Vitae. Jika Gaudeamus Igitur berarti Karenanya Marilah Kita Bergembira maka De Brevitate Vitae berarti Dalam Pendeknya Kehidupan. Tahukah anda bahwa di negara asal tradisi lagu ini, yaitu di Italia, Jerman, Belanda dan Swiss, lagu ini sering dinyanyikan sebelum acara minum bir bersama. Di Belgia dan Belanda, di mana aktivitas minum sambil bernyanyi dianggap lazim, lagu ini menjadi salah satu lagu "resmi" yang dinyanyikan sebagai pembuka acara minum-minum para pelajar. Perhatikan lirik lagu Gaudeamus dan terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia berikut ini
Gaudeamus igitur
Juvenes dum sumus.
Post jucundam juventutem
Post molestam senectutem
Nos habebit humus.
Marilah kita bergembira
Ketika kita masih muda.
Setelah melalui kesenangan di masa ini
Setelah melalui masalah di umur tua
Bumi akan menelan kita.
Vivat academia!
Vivant professores!
Vivat membrum quodlibet
Vivant membra quaelibet
Semper sint in flore.
Panjang umur akademi!
Panjang umur para pendidik!
Panjang umur setiap pelajar!
Panjang umur seluruh pelajar!
Semoga mereka terus tumbuh berkembang!
Di mana keberatan saya? Perhatikan bait pertama. Lagu ini tidak lebih baik dari makna negatif Carpe Diem, yaitu hidup dalam kesenangan belaka. Nikmatilah sepuas-puasnya hidupmu sebelum kau mati dan ditelan bumi. Nuansa hedonis yang luar biasa. Inikah tujuan pendidikan? Perhatikan pula bait kedua. Bagi saya substansi dari bait kedua bersifat sangat narsis. Memuji diri sendiri. Institusi dipuji. Dosen dipuji. Mahasiswa dipuji. Di mana masyarakat diletakkan dalam pemikiran itu. Di mana tujuan kebaikkan ingin diletakaan dalam pesta ria itu? Itukah tujuan pendidikan?
Lantas, apakah saya manjadi anti terhadap lagu indah ini. TIDAK. Kecemasan saya terletak pada kesejajaran semangat hedonis dan narsis yang ada dalam lagu ini dengan cara-cara orang Indonesia mengelola dan melibatkan diri dalam pendidikan tinggi kita. Penyelenggara hanya berminat pada setinggi-tingginya biaya dan pembayaran SPP. Pelajar hanya berminat setinggi-tingginya pada gengsi sebagai manusia bergelar. Mereka lupa pada tujuan luhur pendidikan. Tujuan yang pada tingkat tertinggi seharusnya menghasilkan kebaikan, persahabatan dan kasih sayang. Tujuan yang sangat Ilahiat.
Akhirnya, proses pendidikan yang bertujuan untuk menghasilkan kebaikan seharusnya juga paralel dengan tujuan pendidikan yang akan dijalankan oleh sahabat-sahabat Muslim yang terkasih. Selama 1 bulan ke depan kawan-kawan Muslim akan kembali masuk ke dalam kampus yang bernama Ibadah Puasa. Apa yang anda harapkan dari menjalankan Ibadah Puasa? Hanya sekedar tahu ilmu tentang ibadah Puasa? Hanya sekedar terampil berpuasa dan memenuhi kewaiban 30 hari berpuasa tanpa batal kecuali sudah waktunya? Saya berharap, semua sahabat Muslim yang berpuasa dapat sampai juga kepada apa yang kita sebut sebagai ranah perubahan sikap. Setelah berpuasa, apakah anda siap untuk menjadi orang yang lebih baik?. Jika tidak maka puasa anda akan sama saja dengan kalimat nyanyian Gaudeamus Igitur. Berpuasa hanya untuk sekedar menyenangkan hati dan mematut-matut diri sendiri. Tanpa arah, Tanpa Makna. Tanpa Nilai Ilahiat.
Selamat diwisuda Kawan. Selamat berpuasa Sahabat. Tuhan Memberkati